yantiqueAvatar border
TS
yantique
Ambisi PKS, Gerindra & Hanura punya Capres sendiri Terganjal aturan PT 20% UU Pilpres
Gerindra, Hanura dan PKS Beda Soal syarat Capres 2014, Syarat 20 Persen Kursi DPR Sangat Berat dan Tak Demokratis
Tue, 09/07/2013 - 18:33 WIB

JAKARTA-Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani meminta agar Rancangan Undang-undang (RUU) No 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden (Pilpres) dibawa ke sidang Paripurna DPR untuk diputuskan.Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tidak keberatan dengan Rancangan Undang-undang (RUU) Pilpres No 42 Tahun 2008 terkait besaran ambang batas pengajuan calon presiden atau Presidential Threshold (PT) mencapai 20 persen."Ini harusnya pansus. Dibawa dulu ke paripurna, apakah mau dilanjutkan atau tidak. Kalau Fraksi Gerindra inginkan perubahan baik keseluruhan atau bagian dari UU Pilpres," ujar Muzani di Gedung DPR, Senayan, Senin (8/7/2013).

Menurutnya, keputusan ini harus diambil di paripurna karena beberapa pasal yang tercantum di UU Pilpres masih berkaitan dengan UU Pemilu yang juga diputuskan di paripurna DPR. Muzani menilai, untuk persyaratan Capres yang diajukan itu tidak berdiri sendiri karena didukung oleh UU lain khususnya UUD 1945. Sehingga jika mengacu pada UUD 1945, maka setiap orang yang didukung oleh parpol bisa mengajukan diri sebagai Capres.

Untuk itu, Gerindra berharap Badan Legislasi (Baleg) DPR tidak memutuskan apapun dan melemparkan RUU Pilpres ini untuk diputuskan di Paripurna. "Kalau mau voting di paripurna. Artinya baleg melaporkan saja ke paripurna. Kalau kompromi dan bentuknya bagaimana," tandasnya. Aturan mengenai ambang batas parlemen untuk DPR sebesar 20 persen dinilai tidak memberikan kesempatan bagi partai untuk bertarung pada Pemilu 2014. "Ini tirani mayoritas. Bentuk dari arogansi partai politik besar," kata Ketua Fraksi Hanura Dewan Perwakilan Rakyat, Syarifudin Sudding, Selasa, 9 Juli 2014.

Menurut Suddin, syarat pencalonan presiden dan wakil presiden tak diatur oleh Undang-Undang Dasar. Seharusnya, lanjut dia, peluang semua partai mencalonkan kandidat tidak dibatasi dengan aturan yang saat ini dinilai hanya berpihak kepada partai-partai besar. "Menurut saya ini penting diganti," kata Suddin. Pada pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden mengatur mengenai syarat partai politik atau gabungan partai politik mengajukan calon presiden. Pasal ini menyebutkan pasangan calon diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah nasional pemilu legislatif.

Suddin mengatakan, jika aturan itu diubah, sangat memungkinkan banyak calon presiden dan calon wakil presiden yang maju dalam pemilu 2014. "Banyak calon malah lebih baik, itu memberi banyak pilihan ke masyarakat," ujar dia Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tidak keberatan dengan Rancangan Undang-undang (RUU) Pilpres No 42 Tahun 2008 terkait besaran ambang batas pengajuan calon presiden atau Presidential Threshold (PT) mencapai 20 persen. "Soal Presidential Threshold, kami siap saja. Kalau ditetapkan minimal memperoleh 20 persen kursi di parlemen, atau secara nasional, kita siap," kata Ketua Fraksi PKS Hidayat Nur Wahid di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (9/7/2013).

Hidayat mengatakan, seluruh partai akan sulit mencapai PT, sehingga PKS menyatakan terbuka untuk koalisi setelah hasil pemilihan legislatif (pileg). Menurutnya, berdasarkan survei sampai sejauh ini, belum ada parpol yang mampu menjangkau PT sebesar 20 persen. "Apakah PKS akan berkoalisi atau tidak, kami masih akan menunggu hasil pileg," kata Hidayat.
http://www.rimanews.com/read/2013070...rsen-kursi-dpr

Tarik Ulur RUU Pilpres Cuma soal Aturan "Nyapres"!
Selasa, 9 Juli 2013 | 10:25 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Pembahasan perubahan atas Undang-undang nomor 42 tahun 2008 tentang pemilihan presiden mentok. Padahal, pemilu tinggal satu tahun lagi. Sembilan fraksi di DPR masih keukeuh pada pandangannya masing-masing. Substansi pembahasan pun berputar pada topik itu-itu saja, yaitu perlu tidaknya undang-undang itu direvisi. Setidaknya, ada lima fraksi yang menolak UU Pilpres direvisi yaituFraksi Partai Demokrat, Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Amanat Nasional, dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa. Sementara, empat fraksi lainnya mendukung revisi UU Pilpres yakni Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Fraksi Partai Gerindra, dan Fraksi Partai Hanura.

Apa yang membuat pembahasan revisi UU Pilpres ini berjalan alot? Tak lain adalah persoalan presidential threshold (PT). Aturan ini terkait ambang batas partai boleh mengajukan pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).

Pasal 9 UU Pilpres menyebutkan bahwa pasangan capres dan cawapres bisa diusung partai politik atau gabungan partai politik dengan jumlah kursi di parlemen minimal 20 persen dan jumlah suara secara nasional minimal 25 persen. Hal ini jelas menghambat partai-partai kecil yang hendak mengajukan capres. Sebut saja Partai Gerindra yang sudah jauh hari mengusung Prabowo Subianto sebagai capresnya. Demikian pula Partai Hanura yang sudah deklarasi akan mengusung Wiranto.

Angota Komisi III DPR dari Fraksi Hanura, Syarifuddin Suding, saat memasukkan kertas pemilihan ke dalam kotak suara dalam proses seleksi calon ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Komisi III DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (2/12/2011). "Tidak ada dasar hukum adanya pasal soal PT itu, karena di dalam UUD 45 sangat jelas ditulis capres dan cawapres adalah pasangan yang diusung oleh partai atau gabungan partai politik. Tidak ada ambang batasnya," kata Ketua Fraksi Partai Hanura Syarifuddin Sudding, beberapa waktu lalu.

Sementara, PPP berkeinginan agar PT dijadikan 0 persen, atau hilang sama sekali. "Kalau sampai ada PT, namanya membatasi capres-capres yang ada saat ini. Kami ingin ada banyak pilihan. PPP tetap berkeinginan PT 0 persen," ujar Wakil Ketua Fraksi PPP, Ahmad Yani.

Sedangkan PKS tidak membicarakan persoalan PT. Anggota Baleg dari Fraksi PKS, Indra mengatakan, banyak hal yang harus direvisi dari Undang-undang itu yakni pelarangan presiden rangkap jabatan, pembatasan biaya kampanye, pengaturan/pembatasan iklan supaya tidak ada koptasi pencitraan semu melalui iklan yang akan menyesatkan pemilih, dan perubahan syarat pencapresan.

Satu pasal yang mengganjal
Anggota Baleg dari Fraksi Partai Gerindra Martin Hutabarat, mengatakan, dalam waktu hampir 1,5 tahun pembahasan di Badan Legislasi DPR, telah disepakati 120 Pasal perubahan dan 22 Pasal tambahan dari 262 Pasal UU Pilpres. Kompas.com/SABRINA ASRIL Politisi Partai Gerindra, Martin Hutabarat. "Hanya satu Pasal yang belum disepakati yakni mengenai angka PT pengajuan pasangan capres," katanya.

Alotnya pembahasan revisi UU Pilpres membuat Pimpinan Baleg memutuskan untuk melakukan konsultasi dengan Pimpinan DPR. Hasilnya setali tiga uang, tak menemukan jalan keluar. Pimpinan DPR akhirnya mengembalikan lagi pembahasan revisi UU Pilpires ke Baleg. Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani mengatakan, pembahasan ini sudah berlarut-larut sehingga salah satu opsinya adalah dengan voting di rapat paripurna. "Tentukan saja di paripurna apakah mau lanjut atau tidak, daripada enggak jelas begini," kata Muzani.

Jika dilakukan voting, maka revisi UU Pilpres bisa dipastikan batal. Pasalnya, kelompok penolak revisi berasal dari partai-partai besar. Sebagian besar partai berdalih jika UU Pilpres direvisi maka Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak memiliki cukup waktu. Alasan lainnya adalah adanya keinginan untuk memperkuat sistem presidensial. Rencananya, Baleg akan kembali menggelar rapat pleno untuk pengambilan keputusan pada Selasa (8/7/2013) sore ini.
http://nasional.kompas.com/read/2013...turan.Nyapres.

Golkar Sindir Fraksi Pendukung Revisi RUU Pilpres
Selasa, 9 Juli 2013 | 19:55 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden (Pilpres) membuat fraksi-fraksi di Parlemen terbelah. Rapat pleno Badan Legislasi yang dilakukan Selasa (9/7/2013) ini pun menjadi ajang saling sindir antarparpol yang kini sudah mengusung calon presidennya masing-masing.

Contohnya, Fraksi Golkar menuding fraksi-fraksi yang mendukung adanya revisi hanya memikirkan kepentingan calon presidennya masing-masing. Golkar sendiri menolak adanya revisi itu karena UU Pilpres dianggap sudah memadai untuk kembali dipakai dalam Pemilu 2014 mendatang. Pembahasan RUU Pilpres ini lama karena banyak partai yang menolak bukan lagi karena alasan sosiologis, tapi semua sudah memikirkan alasan kepentingan capresnya masing-masing," ujar anggota Baleg dari Fraksi Partai Golkar, Taufik Hidayat, dalam rapat pleno Baleg di Kompleks Parlemen, Selasa (8/7/2013).

Taufik pun menyindir pencalonan Wiranto sebagai capres dari Partai Hanura. Golkar telah memprediksi pencalonan Wiranto, yang juga mantan kader, pada Pemilu 2009 dan 2014. Golkar, tambahnya, pesimistis pencalonan Wiranto akan membawa nasib yang berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Di dalam rapat pleno Baleg, Hanura menyatakan dukungannya agar UU Pilpres direvisi karena persoalan presidential treshold (PT) tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Sindiran Taufik ini langsung disambut oleh anggota Baleg dari Fraksi Partai Hanura, Jamal Aziz Oskadon. "Ah, itu kan metromininya sudah beda bahan bakar," seloroh Jamal.

Candaan Jamal ini bisa saja menggambarkan suntikan baru Hanura setelah diperkuat pengusaha media Hary Tanoesoedibjo yang kemudian dijadikan cawapres bagi Wiranto. Selain Hanura, Partai Gerindra, yang mengusung Prabowo Subianto sebagai capres, juga mendukung revisi UU Pilpres, terutama soal adanya PT.

Hal serupa juga ditunjukkan Partai Persatuan Pembangunan yang hingga kini belum memiliki capres yang akan diusungnya. Sementara itu, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mendukung revisi untuk hal-hal di luar PT. PKS tak mempermasalahkan PT 20 persen kursi di parlemen untuk mengusung pasangan capres dan cawapres.

Menurut Taufik, pembahasan RUU Pilpres ini melelahkan karena tidak juga menemukan kesepakatan. Ia melihat jika terus ditunda, tetap saja sikap fraksi tidak akan berubah. "Makanya, saya usul silakan partai-partai yang protes soal PT ini berjuang dengan cara lain di luar Baleg. Gunakan cara di luar perubahan UU yang kita bahas. Kalau itu bisa ditempuh, saya kira proses legislasi bisa disesuaikan, bukan kami yang dipaksakan," ujar Taufik.
http://nasional.kompas.com/read/2013...si.RUU.Pilpres

-------------------------------

Aturan seorang Capres didukung minimal 20% suara pemenang pemilu adalah wajar-wajar saja. Yang aneh dan ambisius itu justru parpol-parpol gurem kayak Hanura, Gerindra dan PKS itu, yang nekad mencalonkan Capres sendiri tetapi kemampuan dukungannya di Parlemen sangat kecil. Di negara-negara maju yang menganut sistem demokrasi Parlementer atau Presidential, sudah jamak terjadi bahwa yang berhak menduduki kursi PM atau Presiden adalah tokoh dari parpol yang menang Pemilu sehingga memiliki dukungan suara yang signifikan di Parlemen bagi jago parpol ybs.

Sekarang misalnya PT untuk Capres RI diganti cukup 3,5% atau 5% saja sehingga partai gurem yang lolos pemilu dengan perolehan suaranya hanya 4% bisa mengajukan Capresnya sendiri. Maka bisa dipastikan bahwa capres yang maju bertanding di Pilpres, jumlahnya kayak kacang goreng banyaknya yaitu sekitar 10 sampai 12 pasangan. Terus misalnya saja yang menang ternyata adalah capres dari parpol gurem yang hanya punya dukungan suara 4% di DPR, Pertanyannya adalah, apa bisa kuat pemerintahan yang hanya didukung suara minoritas di DPR? Selagi SBY yang koalisinya bisa mengumpulkan 70% lebih dukungan suara di DPR dalam pemilu 2009 lalu, ternyata bisa keteteran menghadapi PKS, Golkar dan sekutunya yang lain, apalagi kalau hanya didukung sedikit suara di DPR itu kelak


emoticon-Ngakak
Diubah oleh yantique 09-07-2013 14:22
0
1.3K
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan