TS
onik
Selamat Menjalankan Puasa Bulan Ramadhan 1434 H
Spoiler for Marhaban Ya Ramadhan 1434 H :
Spoiler for Hikmah Ramadhan 1434 H :
Ramadhan adalah bulan kesembilan dalam penanggalan Hijriyah. Sepanjang bulan ini pemeluk agama Islam di seluruh dunia melakukan serangkaian aktivitas keagamaan ermasuk di dalamnya berpuasa, salat tarawih, witir, dan tadarusan. Pada bulan ini juga diturunkannya Al-Quran, pada bulan Ramadhan mencari malam laylatul Qadar, memperbanyak membaca Al-Quran (tadarusan). Kemudian diakhiri dengan membayar zakat fitrah dan rangkaian perayaan Idul Fitri. Kekhususan bulan Ramadhan ini bagi pemeluk agama Islam tergambar pada Al-Quran pada Surat Al-Baqarah ayat 185 yang artinya:
“Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”.
Dalam QS. Al-Baqarah: 187 juga dijelaskan tentang Ramadhan, yang artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa”.
Mengenai turunnya ayat ini terdapat beberapa peristiwa sebagai berikut:
a. Para shahabat Nabi SAW menganggap bahwa makan, minum dan menggauli istrinya pada malam hari bulan Ramadhan, hanya boleh dilakukan sementara mereka belum tidur. Di antara mereka Qais bin Shirmah dan Umar bin Khaththab. Qais bin Shirmah (dari golongan Anshar) merasa kepayahan setelah bekerja pada siang harinya. Karenanya setelah shalat Isya, ia tertidur, sehingga tidak makan dan minum hingga pagi. Adapun Umar bin Khaththab menggauli istrinya setelah tertidur pada malam hari bulan Ramadhan. Keesokan harinya ia menghadap kepada Nabi SAW untuk menerangkan hal itu. Maka turunlah ayat "Uhilla lakum lailatashshiamir rafatsu sampai atimmush shiyama ilal lail" (S. 2: 187).
(Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan al-Hakim dari Abdurrahman bin Abi Laila, yang bersumber dari Mu'adz bin Jabal. Hadits ini masyhur, artinya hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih kepada tiga orang atau lebih dan seterusnya. Walaupun ia tidak mendengar langsung dari Mu'adz bin Jabal, tapi mempunyai sumber lain yang memperkuatnya.)
b. Seorang shahabat Nabi SAW tidak makan dan minum pada malam bulan Ramadhan, karena tertidur setelah tibanya waktu berbuka puasa. Pada malam itu ia tidak makan sama sekali, dan keesokan harinya ia berpuasa lagi. Seorang shahabat lainnya bernama Qais bin Shirmah (dari golongan Anshar), ketika tiba waktu berbuka puasa, meminta makanan kepada istrinya yang kebetulan belum tersedia. Ketika istrinya menyediakan makanan, karena lelahnya bekerja pada siang harinya, Qais bin Shirmah tertidur. Setelah makanan tersedia, istrinya mendapatkan suaminya tertidur. Berkatalah ia: "Wahai, celakalah engkau." (Pada waktu itu ada anggapan bahwa apabila seseorang sudah tidur pada malam hari bulan puasa, tidak dibolehkan makan). Pada tengah hari keesokan harinya, Qais bin Shirmah pingsan. Kejadian ini disampaikan kepada Nabi SAW. Maka turunlah ayat tersebut di atas (S. 2: 187) sehingga gembiralah kaum Muslimin.
c. Para shahabat Nabi SAW apabila tiba bulan Ramadhan tidak mendekati istrinya sebulan penuh. Akan tetapi terdapat di antaranya yang tidak dapat menahan nafsunya. Maka turunlah ayat “ ‘Alimal lahu annakum kuntum takhtanuna anfusakum fataba'alaikum wa'afa 'ankum sampai akhir ayat”. (Diriwayatkan oleh Bukhari dari al-Barra).
d. Pada waktu itu ada anggapan bahwa pada bulan Ramadhan yang puasa haram makan, minum dan menggauli istrinya setelah tertidur malam hari sampai ia berbuka puasa keesokan harinya. Pada suatu ketika 'umar bin Khaththab pulang dari rumah Nabi SAW setelah larut malam. Ia menginginkan menggauli istrinya, tapi istrinya berkata: "Saya sudah tidur." 'Umar berkata: "Kau tidak tidur", dan ia pun menggaulinya. Demikian juga Ka'b berbuat seperti itu. Keesokan harinya 'umar menceritakan hal dirinya kepada Nabi SAW. Maka turunlah ayat tersebut di atas (S. 2: 187) dari awal sampai akhir ayat. (Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abi Hatim dari Abdullah bin Ka'b bin Malik, yang bersumber dari bapaknya).
e. Kata "minal fajri" dalam S. 2: 187 diturunkan berkenaan dengan orang-orang pada malam hari, mengikat kakinya dengan tali putih dan tali hitam, apabila hendak puasa. Mereka makan dan minum sampai jelas terlihat perbedaan antara ke dua tali itu, Maka turunlah ayat "minal fajri". Kemudian mereka mengerti bahwa khaithul abydlu minal khabaikaswadi itu tiada lain adalah siang dan malam. (Diriwayatkan oleh al-Bukhari yang bersumber dari Sahl bin Sa'id).
f. Kata "wala tubasyiruhunna wa antum 'akifuna fil masajid" dalam S. 2: 187 tersebut di atas turun berkenaan dengan seorang shahabat yang keluar dari masjid untuk menggauli istrinya di saat ia sedang i'tikaf. (Diriwayatkan oleh ibnu Jarir yang bersumber dari Qatadah).
Read more: http://www.cakrawawasan.com/2013/05/...#ixzz2YXfiNYlb
“Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”.
Dalam QS. Al-Baqarah: 187 juga dijelaskan tentang Ramadhan, yang artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa”.
Mengenai turunnya ayat ini terdapat beberapa peristiwa sebagai berikut:
a. Para shahabat Nabi SAW menganggap bahwa makan, minum dan menggauli istrinya pada malam hari bulan Ramadhan, hanya boleh dilakukan sementara mereka belum tidur. Di antara mereka Qais bin Shirmah dan Umar bin Khaththab. Qais bin Shirmah (dari golongan Anshar) merasa kepayahan setelah bekerja pada siang harinya. Karenanya setelah shalat Isya, ia tertidur, sehingga tidak makan dan minum hingga pagi. Adapun Umar bin Khaththab menggauli istrinya setelah tertidur pada malam hari bulan Ramadhan. Keesokan harinya ia menghadap kepada Nabi SAW untuk menerangkan hal itu. Maka turunlah ayat "Uhilla lakum lailatashshiamir rafatsu sampai atimmush shiyama ilal lail" (S. 2: 187).
(Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan al-Hakim dari Abdurrahman bin Abi Laila, yang bersumber dari Mu'adz bin Jabal. Hadits ini masyhur, artinya hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih kepada tiga orang atau lebih dan seterusnya. Walaupun ia tidak mendengar langsung dari Mu'adz bin Jabal, tapi mempunyai sumber lain yang memperkuatnya.)
b. Seorang shahabat Nabi SAW tidak makan dan minum pada malam bulan Ramadhan, karena tertidur setelah tibanya waktu berbuka puasa. Pada malam itu ia tidak makan sama sekali, dan keesokan harinya ia berpuasa lagi. Seorang shahabat lainnya bernama Qais bin Shirmah (dari golongan Anshar), ketika tiba waktu berbuka puasa, meminta makanan kepada istrinya yang kebetulan belum tersedia. Ketika istrinya menyediakan makanan, karena lelahnya bekerja pada siang harinya, Qais bin Shirmah tertidur. Setelah makanan tersedia, istrinya mendapatkan suaminya tertidur. Berkatalah ia: "Wahai, celakalah engkau." (Pada waktu itu ada anggapan bahwa apabila seseorang sudah tidur pada malam hari bulan puasa, tidak dibolehkan makan). Pada tengah hari keesokan harinya, Qais bin Shirmah pingsan. Kejadian ini disampaikan kepada Nabi SAW. Maka turunlah ayat tersebut di atas (S. 2: 187) sehingga gembiralah kaum Muslimin.
c. Para shahabat Nabi SAW apabila tiba bulan Ramadhan tidak mendekati istrinya sebulan penuh. Akan tetapi terdapat di antaranya yang tidak dapat menahan nafsunya. Maka turunlah ayat “ ‘Alimal lahu annakum kuntum takhtanuna anfusakum fataba'alaikum wa'afa 'ankum sampai akhir ayat”. (Diriwayatkan oleh Bukhari dari al-Barra).
d. Pada waktu itu ada anggapan bahwa pada bulan Ramadhan yang puasa haram makan, minum dan menggauli istrinya setelah tertidur malam hari sampai ia berbuka puasa keesokan harinya. Pada suatu ketika 'umar bin Khaththab pulang dari rumah Nabi SAW setelah larut malam. Ia menginginkan menggauli istrinya, tapi istrinya berkata: "Saya sudah tidur." 'Umar berkata: "Kau tidak tidur", dan ia pun menggaulinya. Demikian juga Ka'b berbuat seperti itu. Keesokan harinya 'umar menceritakan hal dirinya kepada Nabi SAW. Maka turunlah ayat tersebut di atas (S. 2: 187) dari awal sampai akhir ayat. (Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abi Hatim dari Abdullah bin Ka'b bin Malik, yang bersumber dari bapaknya).
e. Kata "minal fajri" dalam S. 2: 187 diturunkan berkenaan dengan orang-orang pada malam hari, mengikat kakinya dengan tali putih dan tali hitam, apabila hendak puasa. Mereka makan dan minum sampai jelas terlihat perbedaan antara ke dua tali itu, Maka turunlah ayat "minal fajri". Kemudian mereka mengerti bahwa khaithul abydlu minal khabaikaswadi itu tiada lain adalah siang dan malam. (Diriwayatkan oleh al-Bukhari yang bersumber dari Sahl bin Sa'id).
f. Kata "wala tubasyiruhunna wa antum 'akifuna fil masajid" dalam S. 2: 187 tersebut di atas turun berkenaan dengan seorang shahabat yang keluar dari masjid untuk menggauli istrinya di saat ia sedang i'tikaf. (Diriwayatkan oleh ibnu Jarir yang bersumber dari Qatadah).
Read more: http://www.cakrawawasan.com/2013/05/...#ixzz2YXfiNYlb
Selamat Berpuasa kepada seluruh Kaskusers Regional Aceh 1434 H
Semoga Berkah semuanya Marhaban ya Ramadhan
Semoga Berkah semuanya Marhaban ya Ramadhan
0
1.2K
Kutip
7
Balasan
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan