- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita Luar Negeri
Darah dan Air Mata Masih Akan Mengucur di Mesir


TS
Aanmedia
Darah dan Air Mata Masih Akan Mengucur di Mesir
Jakarta - Mesir menghadapi krisis politik yang kompleks. Kudeta militer terhadap Presiden Mohamed Morsi, dikhawatirkan menjadi inspirasi dan alasan bagi kalangan Ikhwanul Muslimin untuk menempuh jalan kekerasan. Mesir dibayangi atmosfer kekerasan yang panjang. Adakah jalan keluarnya?
Bagi kalangan Ikhwanul, penggulingan Morsi merupakan pukulan telak dan penghinaan. Mereka belum lupa bahwa Barat belum bisa menerima kemenangan demokrasi oleh Muslim.
Kasus Aljazair, misalnya, masih membayangi kaum Ikhwanul Muslimin, dimana sekitar 200 ribu tewas dalam dekade perang saudara, setelah militer menolak hasil pemilu yang dimenangkan kelompok Islamis. Ini sebuah contoh buruk dan gelap bagi Mesir, setelah presiden Ikhwanul Muslimin digulingkan militer.
Bedanya, kelompok Islamis Aljazair tidak pernah diperbolehkan memerintah, sedangkan Mohamed Morsi dari Mesir diperbolehkan berkuasa selama satu tahun. Ada perasaan yang meluas bahwa ia sedang menulis sendiri nasib malangnya , dan itu bisa jadi akan mencegah mereka yang ingin mengangkat senjata untuk membelanya.
Sejauh ini kompleksitas masalah mencuat: pelengseran Morsi telah memecah kelompok Islam yang mulai masuk ke politik pasca revolusi 2011. Ada yang mendukung langkah militer, namun sebagian besar menentang kudeta militer itu.
Kaum Muslim yang menggulingkan diktator Husni Mubarak, yang menindas mereka selama puluhan tahun, telah tersudut dan sangat frustasi. Kudeta militer membuat kelompok Islamis amat kecewa dan frustasi lagi.
Kelompol Islamis seperti Ikhwanul Muslimin dan bekas sekutu ultrakonservatif mereka kini berisiko kehilangan pengikut, khususnya di antara kaum muda, yang menyimpulkan bahwa eksperimen demokrasi Mesir telah gagal dan bahwa politik damai tidak akan membuat mereka bergerak ke mana-mana.
Bahkan penasihat keamanan nasional Morsi yakni Essam El-Haddad menulis sebuah pesan perpisahan di Facebook, ”Pesan ini akan bergema di seluruh Dunia Muslim dengan keras dan jelas: bahwa demokrasi bukan untuk kaum Muslim”. Pernyataan itu menunjukkan demokrasi seakan tidak dapat dimenangkan Muslim (Ikhwanul) dan jalan kekerasan seakan dibenarkan.
“Anda telah menciptakan Mujahidin baru, orang-orang yang ingin menjadi martir. Ketahuilah bahwa jika satu dari sepuluh orang di sini nanti meledakkan diri mereka dengan aksi bom bunuh diri, maka itu adalah karena kesalahan Anda,” kata seseorang merujuk kepada Kepala Militer Jendral Abdel Fattah al-Sisi, pemimpin kudeta militer di Kairo.
Ada kekhawatiran bahwa para pendukung Morsi akan berubah melakukan aksi kekerasan karena militer membatalkan apa yang mereka lihat sebagai proses demokratik yang sah.
“Adanya kudeta, membuat Mesir punya dua pilihan: akan menjadi Suriah, atau akan menjadi Aljazair di era 90-an. Itulah alternatifnya. Itu akan terjadi,” kata Mohamed Nufil, seorang pegawai pemerintah berusia 44 tahun yang pro-Mursi ikut dalam demonstrasi di Kairo.
Para aktivis Al-Gamaa Al-Islamiya, yang melakukan sejumlah aksi paling mematikan, telah mengatakan secara terbuka bahwa mereka akan mengangkat senjata kembali untuk membela Morsi. “Karena tentara berani membunuh demokrasi di Mesir, maka kami akan melawan mereka,” kata Mohamed al-Amin, 40 tahun, salah seorang anggota Gamaa, beberapa jam sebelum dekrit militer untuk kudeta.
Kompleksitas masalah di Mesir pasca-kudeta akan lebih banyak diwarnai aksi kekerasan dan perlawanan dari kaum Ikhwanul dan sekutunya. Islam politik yang menginginkan penerapan Syariah Islam di Mesir, berhadapan dengan kaum nasionalis liberal, kiri dan sekuler yang menghendaki negara nasional dengan nilai-nilai agama yang bersifat hakekat, bukan Islam syariat. Benturan ideologis ini membelah Mesir ke dalam dua kutub yang bertarung itu: nasionalis versus Islamis.
Harus ada titik temu atau konsensus nasional bersama yang mampu mensinergikan seluruh kekuatan sosial dan kekuatan strategis di Mesir itu agar perbedaan menjadi rakhmat dan karunia, bukan kutukan, darah dan air mata. [Berbagai Sumber]
Bagi kalangan Ikhwanul, penggulingan Morsi merupakan pukulan telak dan penghinaan. Mereka belum lupa bahwa Barat belum bisa menerima kemenangan demokrasi oleh Muslim.
Kasus Aljazair, misalnya, masih membayangi kaum Ikhwanul Muslimin, dimana sekitar 200 ribu tewas dalam dekade perang saudara, setelah militer menolak hasil pemilu yang dimenangkan kelompok Islamis. Ini sebuah contoh buruk dan gelap bagi Mesir, setelah presiden Ikhwanul Muslimin digulingkan militer.
Bedanya, kelompok Islamis Aljazair tidak pernah diperbolehkan memerintah, sedangkan Mohamed Morsi dari Mesir diperbolehkan berkuasa selama satu tahun. Ada perasaan yang meluas bahwa ia sedang menulis sendiri nasib malangnya , dan itu bisa jadi akan mencegah mereka yang ingin mengangkat senjata untuk membelanya.
Sejauh ini kompleksitas masalah mencuat: pelengseran Morsi telah memecah kelompok Islam yang mulai masuk ke politik pasca revolusi 2011. Ada yang mendukung langkah militer, namun sebagian besar menentang kudeta militer itu.
Kaum Muslim yang menggulingkan diktator Husni Mubarak, yang menindas mereka selama puluhan tahun, telah tersudut dan sangat frustasi. Kudeta militer membuat kelompok Islamis amat kecewa dan frustasi lagi.
Kelompol Islamis seperti Ikhwanul Muslimin dan bekas sekutu ultrakonservatif mereka kini berisiko kehilangan pengikut, khususnya di antara kaum muda, yang menyimpulkan bahwa eksperimen demokrasi Mesir telah gagal dan bahwa politik damai tidak akan membuat mereka bergerak ke mana-mana.
Bahkan penasihat keamanan nasional Morsi yakni Essam El-Haddad menulis sebuah pesan perpisahan di Facebook, ”Pesan ini akan bergema di seluruh Dunia Muslim dengan keras dan jelas: bahwa demokrasi bukan untuk kaum Muslim”. Pernyataan itu menunjukkan demokrasi seakan tidak dapat dimenangkan Muslim (Ikhwanul) dan jalan kekerasan seakan dibenarkan.
“Anda telah menciptakan Mujahidin baru, orang-orang yang ingin menjadi martir. Ketahuilah bahwa jika satu dari sepuluh orang di sini nanti meledakkan diri mereka dengan aksi bom bunuh diri, maka itu adalah karena kesalahan Anda,” kata seseorang merujuk kepada Kepala Militer Jendral Abdel Fattah al-Sisi, pemimpin kudeta militer di Kairo.
Ada kekhawatiran bahwa para pendukung Morsi akan berubah melakukan aksi kekerasan karena militer membatalkan apa yang mereka lihat sebagai proses demokratik yang sah.
“Adanya kudeta, membuat Mesir punya dua pilihan: akan menjadi Suriah, atau akan menjadi Aljazair di era 90-an. Itulah alternatifnya. Itu akan terjadi,” kata Mohamed Nufil, seorang pegawai pemerintah berusia 44 tahun yang pro-Mursi ikut dalam demonstrasi di Kairo.
Para aktivis Al-Gamaa Al-Islamiya, yang melakukan sejumlah aksi paling mematikan, telah mengatakan secara terbuka bahwa mereka akan mengangkat senjata kembali untuk membela Morsi. “Karena tentara berani membunuh demokrasi di Mesir, maka kami akan melawan mereka,” kata Mohamed al-Amin, 40 tahun, salah seorang anggota Gamaa, beberapa jam sebelum dekrit militer untuk kudeta.
Kompleksitas masalah di Mesir pasca-kudeta akan lebih banyak diwarnai aksi kekerasan dan perlawanan dari kaum Ikhwanul dan sekutunya. Islam politik yang menginginkan penerapan Syariah Islam di Mesir, berhadapan dengan kaum nasionalis liberal, kiri dan sekuler yang menghendaki negara nasional dengan nilai-nilai agama yang bersifat hakekat, bukan Islam syariat. Benturan ideologis ini membelah Mesir ke dalam dua kutub yang bertarung itu: nasionalis versus Islamis.
Harus ada titik temu atau konsensus nasional bersama yang mampu mensinergikan seluruh kekuatan sosial dan kekuatan strategis di Mesir itu agar perbedaan menjadi rakhmat dan karunia, bukan kutukan, darah dan air mata. [Berbagai Sumber]
0
1.3K
11


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan