Tantangan pertama bagi Selim sebagai Sultan adalah ketegangan yang meningkat antara dirinya dan Shah Ismail, raja dari Kekaisaran Safavid (Persia). Ismail baru saja mengubah agama kerajaannya dari Islam Sunni menjadi Islam Syiah. Pada tahun 1510, Ismail memperluas kerajaannya sampai bagian barat Iran, mengancam negara - negara tetangga yang lebih kecil. Pada 1511, Ismail mendukung gerakan pro Syiah di Anatolia, yang menyebabkan Pemberontakan Sahkulu di Kesultanan Ottoman. Lalu pada 1514, Selim I menyerang Ismail untuk menghentikan penyebaran Syiah di kerajaannya. Selim I mengalahkan Ismail di pertempuran Chaldiran pada tahun 1514. Pasukan Ismail lebih gesit dan lebih siap daripada lawannya, tapi Pasukan Ottoman menang karena mereka sudah lebih modern dan mempunyai artileri dan pistol. Ismail terluka dan hampir ditawan oleh Selim. Lalu Selim dan pasukannya memasuki ibukota Safavid Tabriz pada 5 September. Tak lama, pasukannya yang ketakutan akan kabar burung bahwa akan ada serangan balik dari Ismail, buru - buru mundur. Kemunduran ini menyebabkan Ismail sembuh dengan cepat.

Selim lalu menyerang Kesultanan Mamluk di Mesir, mengalahkan pasukan Mamluk di Pertempuran Marj Dabiq dan Pertempuran Ridanieh. Kedua kemenangan ini membuat Kesultanan Ottoman mengusai seluruh Syria dan Palestina di Sham, Hejaz dan Tihamah di Semenanjung Arabia, sekaligus Mesir. Selim pun memperluas daerah jajahannya sampai Mekah dan Madinah, sampai dia diberi gelar Khadim ul Haremeyn, yang artinya Pesuruh dari Dua Tempat Suci (Masjidil Haram dan Masjidil Aqsa kayanya). Setelah penaklukan Mesir dan Kota Suci Mekah dan Madinah pada tahun 1517, Selim membujuk Al - Mutawakkil III (1509 - 1517) yang terakhir di garis keturunan Khalifah Abbasiyah yang tinggal di Kairo sejak 1261 sebagai penguasa sah Kesultanan Mamluk, untuk menyerahkan gelar Khalifah dan lambang Kekhalifahan, yaitu jubah dan pedang Sang Nabi Muhammad S. A. W, sekarang disimpan di Musium Istana Topkapi di Istanbul, Turki.