Gempa berkekuatan 6,2 skala Richter (SR) yang mengguncang Dataran Tinggi Gayo menyisakan duka mendalam bagi warga dua kabupaten bertetangga, Bener Meriah dan Aceh Tengah, Nanggroe Aceh Darussalam.
Di Kecamatan Ketol misalnya. Beberapa anak yang bermain layang-layang di lantai dua dan sebagian lain mengaji di dalam ruang lantai satu Masjid Babusalihin di Desa Blang Mancung, tertimbun reruntuhan bangunan tersebut. Hingga Rabu (3/7), baru sembilan bocah yang ditemukan. Mereka tewas.
“Diperkirakan masih ada belasan anak yang tertimbun reruntuhan masjid. Para orangtua mereka mengaku kehilangan anak. Anak-anak biasa bermain dan mengaji di masjid tersebut,” kata seorang warga, Zulkarnaen.
Anggota tim evakuasi, Rahmat menambahkan, selain sembilan bocah itu, ada dua anak-anak yang berhasil diselamatkan. Namun, keduanya mengalami luka parah. “Mereka berhasil dikeluarkan melalui celah-celah lubang bangunan. Yang umur 5 tahun mengalami patah tangan, dia anak yatim. Yang 13 tahun patah kaki,” ujar Rahmat.
Setelah gempa itu, dua kabupaten itu diguncang sedikitnya 10 gempa susulan berkekuatan 2-5,5 SR.
Korban jiwa sementara hingga kemarin sore sebanyak 42 orang dan diperkirakan terus bertambah karena banyak warga yang belum ditemukan. Mereka rata-rata tertimbun bangunan yang runtuh.
Ratusan orang lainnya mengalami luka-luka. Dan, belasan ribu orang harus hidup di posko pengungsian.
Kepala Stasiun Geofisika Banda Aceh Syahnan mengatakan, gempa yang berpusat di Bener Meriah itu merupakan gempa tektonik akibat pergerakan Patahan Sumatera atau Semangko. Patahan tersebut membentang sepanjang 1.900 kilometer di Pulau Sumatera.
“Bukan karena aktivitas gunung berapi,” ucap dia.
Menyinggung dampaknya yang besar, pengamat gempa dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Danny Hilman Natawidjaja, mengatakan karena sumbernya di daratan yang dekat permukaan. Gempa berpusat di 181 kilometer dari Banda Aceh, 35 kilometer barat daya Kabupaten Bener Meriah. Kedalaman gempa, hanya 10 kilometer.
“Karena sumbernya dangkal maka guncangannya sangat terasa dan banyak bangunan rubuh,” kata dia.
Gempa ini mengingatkan kembali pada gempa di Yogyakarta berkekuatan 6,5 SR yang terjadi pada 27 Mei 2006 silam.
Keduanya sama-sama merupakan gempa daratan. Gempa Yogyakarta dipicu aktivitas di sekitar sesar Opak yang memanjang dari Bantul hingga Prambanan, melewati wilayah permukiman.
Saat itu, guncangan gempa terasa selama 57 detik. Akibat gempa yang terjadi pada kedalaman 17 kilometer itu, rumah, bangunan bersejarah dan fasilitas umum rusak. Ribuan orang tewas.
Danny mengungkapkan, kerusakan yang terjadi akibat gempa dapat dipengaruhi oleh lokasi, karakteristik tanah, dan kualitas bangunan.
“Gempa Yogyakarta sangat merusak karena sesar yang aktif ada di bawah kawasan permukiman penduduk. Di Yogyakarta, karakteristik tanahnya juga endapan vulkanik yang rapuh sehingga mengamplifikasi gempa,” ucap dia.
Sementara gempa Aceh berpusat di segmen Aceh yang merupakan bagian dari Semangko yang memiliki 19 segmen.
“Kawasan yang hancur merupakan wilayah yang dilewati sesar aktif,” kata Danny.
Dia juga mengatakan, di Aceh, gempa lebih sering disebabkan aktivitas tektonik di samudera.
Namun, gempa daratan tak bisa diremehkan. Gempa daratan dengan kekuatan yang tak begitu besar saja bisa sangat merugikan bila tidak diantisipasi.
Saat dihubungi Kepala Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), Jarwansyah mengatakan, ada satu desa yang belum bisa ditembus tim evakuasi yakni Desa Bah.
Tanah longsor menutup akses masuk ke desa itu dan merusak bangunan rumah milik warga.
“Ada sekitar 300 jiwa yang terisolisasi. Dikabarkan ada korban jiwa akibat tertimbun longsor. Tapi kami harus memastikan lagi. Saat ini evakuasi terkendala ketidakadaan alat berat