Jakarta, POL. MANTAN Panglima TNI Jenderal (Purn) Djoko Santoso mulai merapat dengan ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU). Kedatangan Joko Santoso di PBNU diterima oleh sejumlah tokoh NU Senin (1/7/13) malam.
Djoko Santoso mulai intensif mendekati berbagai kalangan mengusung gagasan menyelesaikan persoalan bangsa Indonesia dalam menuju bangsa yang adil sejahtera, dan aman (ASA).
Pada acara diskusi bulanan aktivis NU bertema "Menyongsong Satu Abad Nahdlatul Ulama" di PBNU, Jakarta, Senin (1/7/13) malam, Djoko juga mengajak NU membentuk sebuah kekuatan bersama (sekber) dalam menyikapi empat skenario terkait upaya mengubah ideologi Pancasila. Adapun keempat skenario transnasional tersebut adalah radikalisme agama (Islam), sosialisme, kapitalisme dan liberalisme.
Terkait Indonesia ASA, Djoko Santoso mengatakan, usia lembaga ini baru sebulan. Meski belum lengkap, pihak sudah membentuk tim perumus untuk mencari solusi dari masalah-masalah yang dihadapi bangsa saat ini.
Tokoh NU yang juga Ketua Majelis Tinggi PPP Chozin Chumaidy mengatakan pemimpin memang harus memberi harapan, dan dia berharap Djoko Santoso dengan lembaga Indonesia ASA-nya dapat memberi harapan baru kepada rakyat.
Pancasila yang kemarin diperingati hari kelahirannya telah menjadi bentuk indah yang mampu merekatkan semangat persatuan dan kesatuan berbangsa dan bernegara. Namun, momen peringatan kelahiran ideologi negara yang menjadi acuan dan orientasi bangsa sering kali dibayang-bayangi aksi kekerasan yang semakin merajalela di masyarakat.
Aksi kekerasan dan anarkisme telah berlangsung secara frontal di berbagai daerah, seperti Bima dan Mesuji, Lampung. Ada juga tawuran pelajar, kekerasan geng motor, pembakaran masjid di Madura, pembubaran diskusi buku di Jakarta dan Yogyakarta. Semua itu mungkin juga termasuk pembatalan konser Lady Gaga, membayangi eksistensi Pancasila sebagai dasar negara. Kekerasan terlihat seperti sesuatu yang kini dianggap lazim. Integrasi bangsa bergerak menuju arah negatif yang melahirkan keretakan dan ketegangan dalam hubungan antarkomunitas, personal, dan kelompok.
Kekerasan atau anarkisme memang cukup menggelisahkan. Keragaman bangsa kini berubah dari kekayaan menjadi potensi konflik yang sangat besar. Masyarakat mulai kehilangan nilai-nilai Pancasila yang menekankan multikulturalitas, kebhinnekaan, dan nilai keadilan. Pancasila hanya menjadi hafalan masyarakat, tanpa aplikasi nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Kelompok yang dicap berhaluan "garis keras" sering melakukan kekerasan yang tidak memberi rasa aman. Indonesia yang mengklaim ramah, sopan, dan terbuka terhadap sesama mulai menampilkan watak barbarismenya. Indonesia ibarat republik anarkisme, setiap persoalan diselesaikan dengan cara kekerasan.
Melihat kekerasaan dan anarkisme yang semakin merajalela, kita perlu untuk melihat fakta historis berdirinya negara Indonesia serta "kompromi" kelahiran Pancasila. Indonesia berdiri di atas darah pejuang. Sejarah Indonesia ditulis dengan darah bangsa Indonesia yang patriotik dan heroik. Perjuangan bangsa yang penuh keringat dan darah hingga mencapai kemerdekaan harusnya dilihat sebagai bentuk kesadaran nasional dan pentingnya bersatu, berbangsa, dan bernegara.
Indonesia merdeka dibangun di atas semangat persatuan dan kesatuan seluruh bangsa dengan semangat kebinekaan. Dalam melahirkan dasar negara, para pendiri bangsa mampu mengakomodasi seluruh kepentingan nasional tanpa kekerasan.
Pancasila sebagai ideologi negara didasarkan pada realitas masyarakat Indonesia yang heterogen secara sosial dan keagamaan. Arnold Mononutu mengatakan bahwa Pancasila merupakan sebuah sintesis yang memadai bagi kelompok agama yang berbeda. Pancasila menjadi simbol pemersatu berbagai ras, etnis, agama, dan suku (SARA) yang berbeda-beda tanpa ada diskriminasi dan kekerasan atas nama simbol agama atau SARA.
Musuh Bersama
Di tengah aksi massa dan kekerasan yang merajalela, pernyataan Daniel Sparingga tentang Pancasila akan menjadi momen reflektif untuk membaca tindak kekerasan dewasa ini. "Orang yang tidak menghormati, tidak menerima keragaman, dan tidak membela demokrasi adalah musuh Pancasila." Kenyataannya, Indonesia adalah negara bhinneka dan multikultural.
Multietnis, agama, bangsa, suku dan lainnya merupakan kekuatan perekat yang mampu menumbuhkan integrasi kebangsaan demi tercapainya kesadaran nasional. Akan tetapi, realitas kebinnekaan bangsa Indonesia harus berhadapan dengan realitas masyarakat yang mulai menunjukkan antidemokrasi, antikeragaman, dan antitoleransi. Keadilan, kesantunan, dan perdamaian hilang ditelah arus politik kejam. Bangsa Indonesia seakan telah kehilangan nilai-nilai luhur: kebersamaan, multikulturalisme, saling menghormati, dan musyarawarah.
Penting kiranya untuk kembali merekonstruksi kesadaran kita tentang Pancasila sebagai kekuatan pemersatu bangsa dan ideologi yang menyatukan. Multikulturalitas, toleransi, dan kebinekaan merupakan fondasi untuk membangun keragaman dan kedamaian antarelemen masyarakat.
Keluhuran nilai Pancasila akan mampu menyatukan keragaman etnik dan budaya masyarakat yang heterogen. Sejarah Pancasila merupakan kompromi demi persatuan dan kesatuan bangsa dan negara yang merdeka. Sejarah penghapusan tujuh kata Piagam Jakarta cukup menjadi pelajaran sejarah untuk selalu dikenang bagaimana founding father mengedepankan kesantunan dan kerendahan berbudaya.
Potret kekerasan, intoleransi, dan tidak menerima perbedaan merupakan sikap yang hanya akan melemahkan integritas bangsa. Nilai-nilai Pancasila mulai mengalami degradasi dalam masyarakat. Bangsa mulai mudah tersinggung secara emosi. Mereka mudah untuk konflik. Ini bisa menimbulkan ketegangan sosial dan budaya. Ironis sekali, sebuah keberagaman justru disikapi dengan emosi dan aksi kekerasan.
Sejarah kebangsaan yang penuh dengan darah seakan ditelan zaman menjadi artefak yang hanya menjadi penghias generasi bangsa. Nilai-nilai Pancasila seperti diberangus oleh pusara arogansi dan primordialisme buta. Pancasila tersisih dari kehidupan masyarakat. Sebagai generasi penerus bangsa, kita tentu tidak mengharapkan falsafah Pancasila hanya akan menjadi memori sejarah.
Peringatan kelahiran merupakan momen untuk meneguhkan kembali Pancasila sebagai ideologi negara yang mampu menjadi pemersatu bangsa, mempererat rasa kebangsaan, dan memperkuat karakter. Dia merupakan nilai moral yang mengakomodasi kebinekaan dan multikultur. Maka, demi kesejahteraan dan kesatuan bersama serta untuk menjaga nilai dan citra Pancasila, segala tindakan yang berlawanan dengan konsep agama dan Pancasila harus ditindak, tanpa melihat sosok dan kedudukannya.
Kekerasan dan sikap intoleran tentu sangat bertentangan dengan Pancasila dan agama. Itu harus dibersihkan tanpa melihat atribut yang dipakai, tokoh di baliknya.
Oleh: Juma Darmapoetra
Penulis bergiat di Literacy Institute
Sumber...