TS
raivac
[Cerpen] Jolt
Cerpen ini juga saya ikut sertakan dalam dalam Cerita Bulanan Grup Goodreads Kasfan [URL="https://www.S E N S O R/topic/show/1371683"]Bulan[/URL] [URL="https://www.S E N S O R/topic/show/1371683-lomba-cerbul-kasfan-juni-13#comment_77421269"]Juni[/URL] [URL="https://www.S E N S O R/topic/show/1371683-lomba-cerbul-kasfan-juni-13#comment_77421386"]2013[/URL]
semoga gak menjadi bacaan yang sia-sia
Sesungguhnya kulit mereka akan mengeluarkan berbagai-bagai kenajisan.
Dan nafas mereka bagai getah pohon Magiun yang memabukkan.
Jauhkanlah diri kalian dari berbagai kenajisan itu! Tetaplah kudus di hadapan Tuhan!
Deretan kalimat dengan nada puitis itu terukir jelas di atas sebongkah batu. Di sebelah batu tersebut berdiri sebuah gerbang kayu yang kokoh. Tulisan tadi bukanlah sebuah penggalan dari khotbah seorang Imam Besar. Itu adalah sebuah kutipan ayat dari Mar’Sidqua, kitab suci milik jemaat kepercayaan Tiang Air.
Tentu bukan tanpa alasan tulisan itu diukir. Itu adalah sebuah tanda, tepatnya peringatan, bahwa di balik gerbang kayu tersebut tersimpan sesuatu yang ‘tidak kudus’. Sesuatu yang mampu menjauhkan seorang manusia dari Tuhan. Sesuatu yang harus dihindari sebisa mungkin.
Di depan gerbang tersebut, kira-kira berjarak 10 langkah, seorang pria dengan rambut yang berwarna seperti salju sedang berdiri tegap. Ia memandang gerbang itu dengan tatapan dalam, hampir tidak terlihat berkedip. Pria yang wajahnya sudah mulai dimakan keriput itu membawa sebilah pedang di punggungnya.
Tangan kanannya menunjukkan beberapa guratan urat, meski ia tidak sedang membawa beban yang berat. Tidak, dia hanya sedang menggenggam sebuah gulungan kertas. Sebuah benda yang memuat alasan ia berada di depan tempat laknat itu.
“Inilah tempatnya,” gumam pria itu sambil memandang gulungan kertas yang ia bawa.
Dengan sekali tarikan nafas yang kuat, orang yang sudah tidak muda lagi itu mulai melangkah. Begitu tiba di depan gerbang, ia mengeluarkan sesuatu dari kantung di sabuknya. Benda itu berbentuk seperti sebuah pisau, tetapi lebih tebal dan berwarna hitam pekat. Dengan perlahan benda logam itu dimasukkan ke sebuah sela vertikal yang tampak tersembunyi di perbatasan antar papan kayu.
Tangan yang mulai kelihatan layu namun masih menyiratkan kekuatan itu kemudian memutar benda tersebut. Satu kali putaran searah jarum jam dan terdengar suara khas dari mekanisme beberapa roda gir.
Dentangan lonceng menggema dari atas gerbang. Di sisi kiri dan kanan gerbang itu memang terdapat semacam pilar dengan sebuah lonceng di puncaknya. Mendengar suara itu, pria tadi segera menarik kembali ‘pisau’-nya.
Jantungnya berdebar-debar. Ia telah mengalami banyak hal dalam hidupnya. Namun hari ini, ia merasa akan terjadi hal yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Keringat dingin mulai keluar seiring dengan terbukanya gerbang itu secara perlahan. Dari dalam, keluar sesosok pria lain dengan memakai jubah panjang dan cadar merah.
“Kau adalah utusan dari Pengadilan Provinsi?” tanya sosok itu. Si Pria beruban mengangguk dengan kaku. Matanya menyiratkan kengerian, meski ia tahu bahwa bahaya sesungguh masih akan datang. Ia lalu memberikan gulungan kertas yang sedari tadi ia genggam.
Orang bercadar merah tadi membuka gulungan itu dan dengan serius membacanya. Sebentar kemudian ia menggulung lagi kertas itu mengajak pria beruban untuk masuk.
Mereka berdua terus melangkah melalui sebuah jalan berbatu dengan pohon-pohon besar yang memagari. Meski di luar sana terdapat tulisan yang menyeramkan, tapi suasana hijau di sini menunjukkan hal sebaliknya.
“Ini adalah yang pertama kalinya dalam sejarah, bukan?” tanya orang bercadar. Pria yang beruban tadi tidak menjawab. Baru beberapa saat kemudian ia menoleh dan mengangguk lagi.
“Jangan terlalu tegang. Aku sudah menyiapkan yang terbaik untukmu, tuan...”
“Etius.”
“Ah, Tuan Etius. Dan aku adalah Beregi. Sebentar lagi kita akan masuk ke lingkaran pusat. Sebaiknya pakai mantelmu untuk menutupi pedang itu.”
Etius tertegun sesaat. Tangan kirinya meraba ujung sarung pedangnya. Ia lalu mengeluarkan mantel dari dalam kantung kulit yang ia bawa dan memakainya.
“Kami selalu sibuk melaksanakan kerja bakti setiap pagi. Jadi maaf kalau tidak ada sambutan khusus untukmu, Tuan Etius.”
Mereka terus berjalan sampai pohon-pohon itu semakin berkurang. Kini mereka tiba tepat di tengah wilayah itu, sebuah komplek bangunan yang tertata. Tampak banyak orang sibuk bahu-membahu membersihkan dedaunan kering maupun memotong rumput liar. Mereka semua nampak normal, kecuali balutan kain yang menutupi tubuh mereka.
“Seperti jenazah yang siap dimakamkan, bukan? Tapi begitulah posisi mereka di mata kalian.” ujar Beregi pada Etius.
Setelah berhenti sejenak mereka kembali berjalan, semakin dekat dengan orang-orang ‘unik’ itu. Semakin sempitnya jarak antara mereka dengan Etius membuat dirinya makin waspada. Beberapa penghuni di sana mulai memperhatikan Etius. Beberapa kali tangan kiri si tua Etius tampak bersiap merogoh pedangnya. Beregi menyadari hal itu, namun ia pura-pura tidak tahu.
Di dalam sebuah ruangan yang cukup sempit, terdapat tiga orang pria sedang berbincang dengan serius. Dua di antaranya memakai cadar. Yang berwarna merah adalah Beregi, dan yang satunya lagi adalah atasannya, Dyrot. Dyrot memakai cadar berwarna emas, dan ia sedang membaca gulungan kertas yang dibawa Etius.
“Ternyata kalian serius ingin melakukannya. Apa Pengadilan Provinsi benar-benar tidak bisa menundanya?” tanya Dyrot pada Etius dengan suara khasnya yang berat.
“Kami sedang kekurangan persediaan makanan dan air. Kalau harus menunggu sampai seminggu lagi, akan banyak menghabiskan persediaan.” jawab Etius dengan nada lemah.
“Bagaimana dengan meminjam seorang prajurit dari provinsi tetangga? Provinsi Gal’Rea misalnya? Di sana cukup banyak prajurit yang tidak menganut kepercayaan Tiang Air.”
Etius menggelengkan kepalanya lalu kembali bersuara, “Gubernur sedang bersitegang dengan pemerintah provinsi itu. Mereka adalah yang terdekat dengan kita, jadi tidak ada pilihan lain. Di sisi lain, kita tidak bisa mengurangi jatah makanan para tahanan, karena itu...”
“Tidak manusiawi. Ya, aku tahu itu, Tuan Utusan. Aku hanya tidak menyangka bahwa kalian benar-benar serius dengan ide baru ini.”
Dyrot meletakkan gulungan kertas itu di atas meja dan menghela napas dalam-dalam. Ini adalah masa yang sulit baginya selama sepuluh tahun mengepalai tempat di mana ia mereka berada sekarang. Kamp Seberius. Tempat ditampungnya orang-orang yang menderita Eroin, penyakit tanpa obat yang dianggap sebagai kutuk menurut kitab suci Aliran Air, Mar’Sidqua.
“Kau tahu Etius, sejak berdirinya tempat ini, sudah banyak yang menentangnya. Mereka menganggap memelihara orang yang terkutuk sama dengan membenarkan kutukan. Sejak pertama didirikan, sudah lebih dari 100 protes datang ke sini.” ujar Dyrot sedikit bercerita.
“Itulah alasan kami membuat sistem gerbang seperti di depan tadi. Untuk menemui kami, kau harus memiliki kunci khusus yang dapat membunyikan lonceng itu.” timpal Beregi.
“Tuang Dyrot, kami tidak punya banyak waktu lagi. Pengadilan akan marah besar padaku kalau...”
“Bawa dia ke sini, Beregi.”
Eroin. Tidak ada kata-kata lain yang bisa mendeskripsikan penyakit ini selain najis dan najis. Penyebabnya tidak diketahui secara ilmiah, begitu juga dengan obatnya. Satu-satunya yang diketahui oleh penganut aliran Tiang Air adalah, penyakit itu murni sebuah kutukan Tuhan.
Sebenarnya penyakit mereka sendiri tidaklah begitu mengerikan, apalagi mematikan. Penyakit yang tanda-tandanya baru muncul setelah akil baliq itu tidak mengurangi mengurangi fungsi tubuh sama sekali. Tidak ada gejala lumpuh, hilang ingatan, rabun, atau kegilaan. Satu-satunya gejala hanyalah munculnya guratan-guratan urat berwarna ungu di permukaan tubuh, dari ujung kaki sampai kepala.
Kemungkinan penyakit itu mudah menular bukanlah alasan utama mereka dikucilkan. Ayat-ayat dalam kitab suci sendiri yang dengan tegas menyuruh masyarakat untuk memisahkan mereka dari orang-orang lain. Dan sebagai jemaat yang taat, semua umat melaksanakannya.
Mereka tidak memiliki hak sebagaimana orang biasa. Tidak ada yang mau menjual barang pada mereka, tidak ada yang mau menerima uang mereka, dan tidak ada perlindungan hukum pada mereka. Bunuhlah penderita Eroin di siang hari dan kau akan tetap tidur nyenyak tanpa takut dipenjara.
Penderitaan mereka dan perlakuan masyarakat membuat sekelompok orang bertindak. Orang-orang ini bekerja sama membuat sebuah tempat penampungan penderita Eroin dan merawat mereka. Tindakan ini membuat banyak orang marah dan berusaha menuntut mereka. Namun tidak adanya landasan ayat membuat mereka gagal. Memang tidak ada satupun ayat dalam Mar’Sidqua yang mengatakan bahwa penderita Eroin tidak boleh dipelihara oleh orang-orang kafir.
“Tuan Dyrot, boleh aku bertanya?”
“Dengan senang hati, Tuan Etius.”
“Mengapa kalian tetap memakai cadar meski berada dalam bangunan? Bukankah tempat ini cukup jauh dari orang-orang itu?”
Dyrot, Kepala Kamp Seberius, tertawa dengan lepas lalu berkata menjawab dengan tenang, “Kami tidak pernah memakai cadar dan jubah, kecuali ada tamu.”
Etius sedikit bergidik melihat cara Dyrot menjawabnya. Tubuh Dyrot yang besar, ditambah suara berat dan cadarnya membuat ia nampak menakutkan. Bahkan untuk seorang Etius yang aslinya adalah seorang veteran.
“Mereka sudah datang.” ujar Dyrot. Etius menengok ke belakang dan melihat Beregi datang dengan membawa seseorang. Sebuah jenazah hidup lainnya mengikuti Beregi dari belakang. Beregi tampak membawa sebuah jubah dan rantai di tangannya.
“Nama aslinya adalah Amaral. Tapi berhubung kalian haram untuk menyebut namanya, panggil saja dia Jolt.”
Etius memandang sosok berbalut kain putih yang disebut Jolt itu. Tidak ada kesan lain yang didapat Etius selain ancaman. Tatapan mata Jolt, satu-satunya yang tidak tertutupi kain, membuat Etius tidak tenang melihatnya lama-lama.
“Kalian sudah menjelaskan tentang semua ini padanya, bukan?” bisik Etius pada Dyrot.
“Tentu. Ambillah rantai yang dibawa Beregi dan pergilah ke Asrodat sekarang bersama Jolt.”
Asrodat adalah nama dari penjara terbesar di Provinsi Gard. Tempat itu terletak di daerah paling pinggir dari provinsi, sama seperti Kamp Seberius. Hanyak membutuhkan waktu kurang dari setengah hari perjalanan saja untuk sampai ke sana.
Jolt sama sekali belum bersuara. Ia telah berjalan kaki cukup jauh dengan keadaan cukup menyedihkan. Kedua tangannya dirantai dan dituntun oleh Etius dari atas kuda.
“Sebentar lagi kita sampai. “ ujar Etius begitu melihat salah satu menara Asrodat dari jauh. Ini adalah pertama kalinya Etius berbicara pada Jolt sejak dari Kamp Seberius.
“Benda apa yang ada di punggungmu?” tanya Jolt tiba-tiba. Etius tiba-tiba menjadi gugup karena tidak menyangka orang yang dibawanya akan berbicara juga.
“Pedang. Aku membawa pedang yang akan kau gunakan nanti.”
“Kau ketakutan. Tapi kau tidak akan dapat membunuhku. Tidak ada yang ingin mengotori tangannya dengan darah di minggu suci ini, bukan?”
Etius hanya bisa terdiam. Jantungnya kembali berdebar. Orang yang berjalan didepannya jelas terikat dan tak berdaya. Tapi itu sama sekali tidak membuatnya tenang.
“Apakah kau orang yang mengusulkan ide ini?” tanya Jolt lagi. Ia tampak ingin menggali banyak hal dari Etius.
“Bukan. Aku hanyalah pemimpin dari 10 orang. Yang mengusulkan adalah seorang pejabat di pemerintahan.”
Pemimpin 10 orang adalah jabatan terendah dalam kepengurusan agama. Jabatan tertinggi adalah Hakim, ia yang bertugas memutuskan berbagai perkara besar. Untuk hal-hal yang sepele, di bawahnya ada pemimpin 200 orang, 100 orang, 50 orang, dan 10 orang. Jumlah itu menyatakan banyaknya orang yang ditanggungjawabi.
“Hahaha. Mereka selalu menyuruh orang-orang bawah untuk melakukan pekerjaan yang menyebalkan.”
“Jika tidak begitu maka aku tidak bekerja.”
semoga gak menjadi bacaan yang sia-sia
Spoiler for bagian 1:
Sesungguhnya kulit mereka akan mengeluarkan berbagai-bagai kenajisan.
Dan nafas mereka bagai getah pohon Magiun yang memabukkan.
Jauhkanlah diri kalian dari berbagai kenajisan itu! Tetaplah kudus di hadapan Tuhan!
Deretan kalimat dengan nada puitis itu terukir jelas di atas sebongkah batu. Di sebelah batu tersebut berdiri sebuah gerbang kayu yang kokoh. Tulisan tadi bukanlah sebuah penggalan dari khotbah seorang Imam Besar. Itu adalah sebuah kutipan ayat dari Mar’Sidqua, kitab suci milik jemaat kepercayaan Tiang Air.
Tentu bukan tanpa alasan tulisan itu diukir. Itu adalah sebuah tanda, tepatnya peringatan, bahwa di balik gerbang kayu tersebut tersimpan sesuatu yang ‘tidak kudus’. Sesuatu yang mampu menjauhkan seorang manusia dari Tuhan. Sesuatu yang harus dihindari sebisa mungkin.
Di depan gerbang tersebut, kira-kira berjarak 10 langkah, seorang pria dengan rambut yang berwarna seperti salju sedang berdiri tegap. Ia memandang gerbang itu dengan tatapan dalam, hampir tidak terlihat berkedip. Pria yang wajahnya sudah mulai dimakan keriput itu membawa sebilah pedang di punggungnya.
Tangan kanannya menunjukkan beberapa guratan urat, meski ia tidak sedang membawa beban yang berat. Tidak, dia hanya sedang menggenggam sebuah gulungan kertas. Sebuah benda yang memuat alasan ia berada di depan tempat laknat itu.
“Inilah tempatnya,” gumam pria itu sambil memandang gulungan kertas yang ia bawa.
Dengan sekali tarikan nafas yang kuat, orang yang sudah tidak muda lagi itu mulai melangkah. Begitu tiba di depan gerbang, ia mengeluarkan sesuatu dari kantung di sabuknya. Benda itu berbentuk seperti sebuah pisau, tetapi lebih tebal dan berwarna hitam pekat. Dengan perlahan benda logam itu dimasukkan ke sebuah sela vertikal yang tampak tersembunyi di perbatasan antar papan kayu.
Tangan yang mulai kelihatan layu namun masih menyiratkan kekuatan itu kemudian memutar benda tersebut. Satu kali putaran searah jarum jam dan terdengar suara khas dari mekanisme beberapa roda gir.
Dentangan lonceng menggema dari atas gerbang. Di sisi kiri dan kanan gerbang itu memang terdapat semacam pilar dengan sebuah lonceng di puncaknya. Mendengar suara itu, pria tadi segera menarik kembali ‘pisau’-nya.
Jantungnya berdebar-debar. Ia telah mengalami banyak hal dalam hidupnya. Namun hari ini, ia merasa akan terjadi hal yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Keringat dingin mulai keluar seiring dengan terbukanya gerbang itu secara perlahan. Dari dalam, keluar sesosok pria lain dengan memakai jubah panjang dan cadar merah.
“Kau adalah utusan dari Pengadilan Provinsi?” tanya sosok itu. Si Pria beruban mengangguk dengan kaku. Matanya menyiratkan kengerian, meski ia tahu bahwa bahaya sesungguh masih akan datang. Ia lalu memberikan gulungan kertas yang sedari tadi ia genggam.
Orang bercadar merah tadi membuka gulungan itu dan dengan serius membacanya. Sebentar kemudian ia menggulung lagi kertas itu mengajak pria beruban untuk masuk.
Mereka berdua terus melangkah melalui sebuah jalan berbatu dengan pohon-pohon besar yang memagari. Meski di luar sana terdapat tulisan yang menyeramkan, tapi suasana hijau di sini menunjukkan hal sebaliknya.
“Ini adalah yang pertama kalinya dalam sejarah, bukan?” tanya orang bercadar. Pria yang beruban tadi tidak menjawab. Baru beberapa saat kemudian ia menoleh dan mengangguk lagi.
“Jangan terlalu tegang. Aku sudah menyiapkan yang terbaik untukmu, tuan...”
“Etius.”
“Ah, Tuan Etius. Dan aku adalah Beregi. Sebentar lagi kita akan masuk ke lingkaran pusat. Sebaiknya pakai mantelmu untuk menutupi pedang itu.”
Etius tertegun sesaat. Tangan kirinya meraba ujung sarung pedangnya. Ia lalu mengeluarkan mantel dari dalam kantung kulit yang ia bawa dan memakainya.
“Kami selalu sibuk melaksanakan kerja bakti setiap pagi. Jadi maaf kalau tidak ada sambutan khusus untukmu, Tuan Etius.”
Mereka terus berjalan sampai pohon-pohon itu semakin berkurang. Kini mereka tiba tepat di tengah wilayah itu, sebuah komplek bangunan yang tertata. Tampak banyak orang sibuk bahu-membahu membersihkan dedaunan kering maupun memotong rumput liar. Mereka semua nampak normal, kecuali balutan kain yang menutupi tubuh mereka.
“Seperti jenazah yang siap dimakamkan, bukan? Tapi begitulah posisi mereka di mata kalian.” ujar Beregi pada Etius.
Setelah berhenti sejenak mereka kembali berjalan, semakin dekat dengan orang-orang ‘unik’ itu. Semakin sempitnya jarak antara mereka dengan Etius membuat dirinya makin waspada. Beberapa penghuni di sana mulai memperhatikan Etius. Beberapa kali tangan kiri si tua Etius tampak bersiap merogoh pedangnya. Beregi menyadari hal itu, namun ia pura-pura tidak tahu.
***
Di dalam sebuah ruangan yang cukup sempit, terdapat tiga orang pria sedang berbincang dengan serius. Dua di antaranya memakai cadar. Yang berwarna merah adalah Beregi, dan yang satunya lagi adalah atasannya, Dyrot. Dyrot memakai cadar berwarna emas, dan ia sedang membaca gulungan kertas yang dibawa Etius.
“Ternyata kalian serius ingin melakukannya. Apa Pengadilan Provinsi benar-benar tidak bisa menundanya?” tanya Dyrot pada Etius dengan suara khasnya yang berat.
“Kami sedang kekurangan persediaan makanan dan air. Kalau harus menunggu sampai seminggu lagi, akan banyak menghabiskan persediaan.” jawab Etius dengan nada lemah.
“Bagaimana dengan meminjam seorang prajurit dari provinsi tetangga? Provinsi Gal’Rea misalnya? Di sana cukup banyak prajurit yang tidak menganut kepercayaan Tiang Air.”
Etius menggelengkan kepalanya lalu kembali bersuara, “Gubernur sedang bersitegang dengan pemerintah provinsi itu. Mereka adalah yang terdekat dengan kita, jadi tidak ada pilihan lain. Di sisi lain, kita tidak bisa mengurangi jatah makanan para tahanan, karena itu...”
“Tidak manusiawi. Ya, aku tahu itu, Tuan Utusan. Aku hanya tidak menyangka bahwa kalian benar-benar serius dengan ide baru ini.”
Dyrot meletakkan gulungan kertas itu di atas meja dan menghela napas dalam-dalam. Ini adalah masa yang sulit baginya selama sepuluh tahun mengepalai tempat di mana ia mereka berada sekarang. Kamp Seberius. Tempat ditampungnya orang-orang yang menderita Eroin, penyakit tanpa obat yang dianggap sebagai kutuk menurut kitab suci Aliran Air, Mar’Sidqua.
“Kau tahu Etius, sejak berdirinya tempat ini, sudah banyak yang menentangnya. Mereka menganggap memelihara orang yang terkutuk sama dengan membenarkan kutukan. Sejak pertama didirikan, sudah lebih dari 100 protes datang ke sini.” ujar Dyrot sedikit bercerita.
“Itulah alasan kami membuat sistem gerbang seperti di depan tadi. Untuk menemui kami, kau harus memiliki kunci khusus yang dapat membunyikan lonceng itu.” timpal Beregi.
“Tuang Dyrot, kami tidak punya banyak waktu lagi. Pengadilan akan marah besar padaku kalau...”
“Bawa dia ke sini, Beregi.”
***
Eroin. Tidak ada kata-kata lain yang bisa mendeskripsikan penyakit ini selain najis dan najis. Penyebabnya tidak diketahui secara ilmiah, begitu juga dengan obatnya. Satu-satunya yang diketahui oleh penganut aliran Tiang Air adalah, penyakit itu murni sebuah kutukan Tuhan.
Sebenarnya penyakit mereka sendiri tidaklah begitu mengerikan, apalagi mematikan. Penyakit yang tanda-tandanya baru muncul setelah akil baliq itu tidak mengurangi mengurangi fungsi tubuh sama sekali. Tidak ada gejala lumpuh, hilang ingatan, rabun, atau kegilaan. Satu-satunya gejala hanyalah munculnya guratan-guratan urat berwarna ungu di permukaan tubuh, dari ujung kaki sampai kepala.
Kemungkinan penyakit itu mudah menular bukanlah alasan utama mereka dikucilkan. Ayat-ayat dalam kitab suci sendiri yang dengan tegas menyuruh masyarakat untuk memisahkan mereka dari orang-orang lain. Dan sebagai jemaat yang taat, semua umat melaksanakannya.
Mereka tidak memiliki hak sebagaimana orang biasa. Tidak ada yang mau menjual barang pada mereka, tidak ada yang mau menerima uang mereka, dan tidak ada perlindungan hukum pada mereka. Bunuhlah penderita Eroin di siang hari dan kau akan tetap tidur nyenyak tanpa takut dipenjara.
Penderitaan mereka dan perlakuan masyarakat membuat sekelompok orang bertindak. Orang-orang ini bekerja sama membuat sebuah tempat penampungan penderita Eroin dan merawat mereka. Tindakan ini membuat banyak orang marah dan berusaha menuntut mereka. Namun tidak adanya landasan ayat membuat mereka gagal. Memang tidak ada satupun ayat dalam Mar’Sidqua yang mengatakan bahwa penderita Eroin tidak boleh dipelihara oleh orang-orang kafir.
***
“Tuan Dyrot, boleh aku bertanya?”
“Dengan senang hati, Tuan Etius.”
“Mengapa kalian tetap memakai cadar meski berada dalam bangunan? Bukankah tempat ini cukup jauh dari orang-orang itu?”
Dyrot, Kepala Kamp Seberius, tertawa dengan lepas lalu berkata menjawab dengan tenang, “Kami tidak pernah memakai cadar dan jubah, kecuali ada tamu.”
Etius sedikit bergidik melihat cara Dyrot menjawabnya. Tubuh Dyrot yang besar, ditambah suara berat dan cadarnya membuat ia nampak menakutkan. Bahkan untuk seorang Etius yang aslinya adalah seorang veteran.
“Mereka sudah datang.” ujar Dyrot. Etius menengok ke belakang dan melihat Beregi datang dengan membawa seseorang. Sebuah jenazah hidup lainnya mengikuti Beregi dari belakang. Beregi tampak membawa sebuah jubah dan rantai di tangannya.
“Nama aslinya adalah Amaral. Tapi berhubung kalian haram untuk menyebut namanya, panggil saja dia Jolt.”
Etius memandang sosok berbalut kain putih yang disebut Jolt itu. Tidak ada kesan lain yang didapat Etius selain ancaman. Tatapan mata Jolt, satu-satunya yang tidak tertutupi kain, membuat Etius tidak tenang melihatnya lama-lama.
“Kalian sudah menjelaskan tentang semua ini padanya, bukan?” bisik Etius pada Dyrot.
“Tentu. Ambillah rantai yang dibawa Beregi dan pergilah ke Asrodat sekarang bersama Jolt.”
***
Asrodat adalah nama dari penjara terbesar di Provinsi Gard. Tempat itu terletak di daerah paling pinggir dari provinsi, sama seperti Kamp Seberius. Hanyak membutuhkan waktu kurang dari setengah hari perjalanan saja untuk sampai ke sana.
Jolt sama sekali belum bersuara. Ia telah berjalan kaki cukup jauh dengan keadaan cukup menyedihkan. Kedua tangannya dirantai dan dituntun oleh Etius dari atas kuda.
“Sebentar lagi kita sampai. “ ujar Etius begitu melihat salah satu menara Asrodat dari jauh. Ini adalah pertama kalinya Etius berbicara pada Jolt sejak dari Kamp Seberius.
“Benda apa yang ada di punggungmu?” tanya Jolt tiba-tiba. Etius tiba-tiba menjadi gugup karena tidak menyangka orang yang dibawanya akan berbicara juga.
“Pedang. Aku membawa pedang yang akan kau gunakan nanti.”
“Kau ketakutan. Tapi kau tidak akan dapat membunuhku. Tidak ada yang ingin mengotori tangannya dengan darah di minggu suci ini, bukan?”
Etius hanya bisa terdiam. Jantungnya kembali berdebar. Orang yang berjalan didepannya jelas terikat dan tak berdaya. Tapi itu sama sekali tidak membuatnya tenang.
“Apakah kau orang yang mengusulkan ide ini?” tanya Jolt lagi. Ia tampak ingin menggali banyak hal dari Etius.
“Bukan. Aku hanyalah pemimpin dari 10 orang. Yang mengusulkan adalah seorang pejabat di pemerintahan.”
Pemimpin 10 orang adalah jabatan terendah dalam kepengurusan agama. Jabatan tertinggi adalah Hakim, ia yang bertugas memutuskan berbagai perkara besar. Untuk hal-hal yang sepele, di bawahnya ada pemimpin 200 orang, 100 orang, 50 orang, dan 10 orang. Jumlah itu menyatakan banyaknya orang yang ditanggungjawabi.
“Hahaha. Mereka selalu menyuruh orang-orang bawah untuk melakukan pekerjaan yang menyebalkan.”
“Jika tidak begitu maka aku tidak bekerja.”
***
Diubah oleh raivac 01-07-2013 10:52
0
1.5K
Kutip
7
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan