- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
sebuah pilihan


TS
arliandiani
sebuah pilihan
Sebuah pilihan
By @ arliandiani
“ I will call you later “
“ Kita nikah yuk Lin “
Kata-kata itu sejak semalam merenggut konsentrasiku. Naskah yang seharusnya sedang dalam proses akhir terbengkalai tak bertuan. Ide dan gagasan yang sempat melayang-layang di otakku, menguap bersama angin. Disini, di tengah siang dengan matahari yang mulai meredup. Aku terombang-ambing pada pilihan yang tak kutemukan jawabanya. Berat rasanya untuk memilih di antara dua makhluk bernama laki-laki yang dihadiahkan tuhan padaku.
Waktu setahun seperti tak pernah cukup untuk membawa mereka pergi jauh. Hidup tak ubahnya seperti de javu. Sejauh apapun aku melangkah, tanpa sadar aku akan kembali ke tempat ini. Pada pilihan yang tak bisa kusebut pilihan. Terus berulang!.Usiaku pun sudah tak muda lagi untuk segera mengeksekusi. Menetapkan hati untuk nanti tidak mendua. Setia pada kondisi yang tak lagi sendiri walau aku tak yakin akan mampu untuknya. Ada jurang keraguan yang menganga lebar, bahwa tak ada lagi mereka berdua nanti di sudut hati ini jika takdir membawaku pada satu pilihan yang sempurna.
Angin semilir yang bertiup tak cukup sejuk untuk mendamaikan hati ini. Kegundahan tak kunjung pergi menjauh. Sesak terus saja memenuhi dada. Kebuntuan sepertinya akan menjadi kawan untuk hari ini. Mungkin, untuk hari-hari selanjutnya sampai lonceng kepastian itu berdentang penuh keyakinan. Andai saja poliandri tidak akan menjadi masalah, aku akan dengan sangat bahagia, memilih mereka berdua. Sering kali aku bertanya pada ketidakadilan, mengapa kaum lelaki diperbolehkan untuk berbagi hati. Sedangkan kami para wanita hanya boleh untuk setia. Sepengetahuanku, wanita dengan segala kelemahannya, lebih mampu untuk berbagi, bersikap adil pada lelaki.
Aku juga tak pernah lelah untuk mengadu pada cinta, mengapa ia hadir tidak pada satu orang saja. Mengapa harus mencari dan membandingkan dengan yang lain jika pada akhirnya akan terselimuti ketidakberdayaan seperti ini. Mengapa juga ia begitu buta untuk bisa memahami, bahwa apa yang dilakukannya hanya berujung pada airmata bagi pilihan yang tak terpilih. Andai saja cinta bisa sedikit bijaksana dan menekan sisi tamak, tentu saat ini aku hanya akan bergelayut manja pada satu pundak kekar.
Andai saja,andai saja, andai saja. Sebanyak appaun andai saja melambungkan harapan, tak akan mengubah apapun pada saat ini. Mereka hanya andai saja yang tak kan menjadi nyata. Aku tetap bertarung dengan hati yang tak mereda oleh kerinduan yang tak berbalas. Bertepuk sebelah tangan. Tak bersuara apalagi riuh. Disini, di bilik kebimbangan aku hanya dapat menimbang segala aspek yang terpapar jelas. Tak perlu mikroskop, lup, teropong atau alat bantu lainnya untuk melihat. Mata telanjang saja sudah cukup untuk bisa memaknai secara objektif jika hati tak ikut menilai dengan berbicara meracau.
Aku akan hidup berkecukupan dengan harta melimpah, tak kurang satu apapun jika aku memilih untuk menerima pinangan-nya saat ini juga. Tidak memaksakan keberuntungan, menanti panggilan dari diri-nya yang hanya isapan jempol belaka. Sungguh, aku akan menikmati hidup sebagai nyonya kaya yang jika berkehendak dapat menghambur-hamburkan uang dengan percuma. Membeli permata atau berwisata ke negara-negara primadona, jika memilih mengenakan cincin lamaran-nya Tidak perlu khawatir dengan kemiskinan dan tipu daya-nya yang semenakutkan setan.
Aku akan menjadi wanita baik dengan surga sebagai imbalan jika memilih menjadi pendamping hidup-nya. Tidak menjelma menjadi wanita penghibur untuk pemuas nafsu setan-nya yang siap menggiring ke neraka. Sungguh aku tidak akan memerlukan jaket tebal untuk menghangatkan setiap kali perjalanan panjang jika aku bersedia menganganggukkan kepala untuk-nya. Tidak perlu risau dengan angin yang menghantam seperti paku dengan kesatria besi-nya..Aku akan berceloteh riang penuh cinta jika mengiyakan kata-katanya. Tidak dirundung duka karena menanti maaf-nya. Aku akan menjadi sempurna jika bersedia menjadi peri hidupnya. Tidak hanya sekedar angel dalam kata untuknya.
Disini bersama nafas yang tak lagi biasa, semua terasa menyiksa. Satu helaan nafas untuknya, satu helaan nafas juga untuknya. Dua makhluk bernama lelaki berlomba mendayung harapku yang tak berlabuh. Terus setia pada penghianatan. Bayang wajahnya yang rupawan dalam balutan satin beradu dengan maskulinitasnya yang temaram. Berbungkus kaos oblong pasar rombengan.
Aku hidup dalam dua sisi mata uang materialistis dan optimis. Hati dan masa depan. Keduanya begitu menggiurkan. Membuat pilihan rasanya seperti berjalan di atas pecahan beling dan bara api. Panas dan perih. Lelah rasanya terus berkutat pada hal yang sama. Dia atau dia. Sang konglomerat atau sang pencuri melarat. Terngiang kata harapan setiap kaum hawa, jejaka kaya nan elok. Menyadarkan bisikan mengenai harapan dan asa tak ingin menyerah. Meyakinkan bahwa saat ini, disini, aku ingin berada dalam pelukannya. Berbisik tanpa suara, aku dilamar olehnya.
By @ arliandiani
“ I will call you later “
“ Kita nikah yuk Lin “
Kata-kata itu sejak semalam merenggut konsentrasiku. Naskah yang seharusnya sedang dalam proses akhir terbengkalai tak bertuan. Ide dan gagasan yang sempat melayang-layang di otakku, menguap bersama angin. Disini, di tengah siang dengan matahari yang mulai meredup. Aku terombang-ambing pada pilihan yang tak kutemukan jawabanya. Berat rasanya untuk memilih di antara dua makhluk bernama laki-laki yang dihadiahkan tuhan padaku.
Waktu setahun seperti tak pernah cukup untuk membawa mereka pergi jauh. Hidup tak ubahnya seperti de javu. Sejauh apapun aku melangkah, tanpa sadar aku akan kembali ke tempat ini. Pada pilihan yang tak bisa kusebut pilihan. Terus berulang!.Usiaku pun sudah tak muda lagi untuk segera mengeksekusi. Menetapkan hati untuk nanti tidak mendua. Setia pada kondisi yang tak lagi sendiri walau aku tak yakin akan mampu untuknya. Ada jurang keraguan yang menganga lebar, bahwa tak ada lagi mereka berdua nanti di sudut hati ini jika takdir membawaku pada satu pilihan yang sempurna.
Angin semilir yang bertiup tak cukup sejuk untuk mendamaikan hati ini. Kegundahan tak kunjung pergi menjauh. Sesak terus saja memenuhi dada. Kebuntuan sepertinya akan menjadi kawan untuk hari ini. Mungkin, untuk hari-hari selanjutnya sampai lonceng kepastian itu berdentang penuh keyakinan. Andai saja poliandri tidak akan menjadi masalah, aku akan dengan sangat bahagia, memilih mereka berdua. Sering kali aku bertanya pada ketidakadilan, mengapa kaum lelaki diperbolehkan untuk berbagi hati. Sedangkan kami para wanita hanya boleh untuk setia. Sepengetahuanku, wanita dengan segala kelemahannya, lebih mampu untuk berbagi, bersikap adil pada lelaki.
Aku juga tak pernah lelah untuk mengadu pada cinta, mengapa ia hadir tidak pada satu orang saja. Mengapa harus mencari dan membandingkan dengan yang lain jika pada akhirnya akan terselimuti ketidakberdayaan seperti ini. Mengapa juga ia begitu buta untuk bisa memahami, bahwa apa yang dilakukannya hanya berujung pada airmata bagi pilihan yang tak terpilih. Andai saja cinta bisa sedikit bijaksana dan menekan sisi tamak, tentu saat ini aku hanya akan bergelayut manja pada satu pundak kekar.
Andai saja,andai saja, andai saja. Sebanyak appaun andai saja melambungkan harapan, tak akan mengubah apapun pada saat ini. Mereka hanya andai saja yang tak kan menjadi nyata. Aku tetap bertarung dengan hati yang tak mereda oleh kerinduan yang tak berbalas. Bertepuk sebelah tangan. Tak bersuara apalagi riuh. Disini, di bilik kebimbangan aku hanya dapat menimbang segala aspek yang terpapar jelas. Tak perlu mikroskop, lup, teropong atau alat bantu lainnya untuk melihat. Mata telanjang saja sudah cukup untuk bisa memaknai secara objektif jika hati tak ikut menilai dengan berbicara meracau.
Aku akan hidup berkecukupan dengan harta melimpah, tak kurang satu apapun jika aku memilih untuk menerima pinangan-nya saat ini juga. Tidak memaksakan keberuntungan, menanti panggilan dari diri-nya yang hanya isapan jempol belaka. Sungguh, aku akan menikmati hidup sebagai nyonya kaya yang jika berkehendak dapat menghambur-hamburkan uang dengan percuma. Membeli permata atau berwisata ke negara-negara primadona, jika memilih mengenakan cincin lamaran-nya Tidak perlu khawatir dengan kemiskinan dan tipu daya-nya yang semenakutkan setan.
Aku akan menjadi wanita baik dengan surga sebagai imbalan jika memilih menjadi pendamping hidup-nya. Tidak menjelma menjadi wanita penghibur untuk pemuas nafsu setan-nya yang siap menggiring ke neraka. Sungguh aku tidak akan memerlukan jaket tebal untuk menghangatkan setiap kali perjalanan panjang jika aku bersedia menganganggukkan kepala untuk-nya. Tidak perlu risau dengan angin yang menghantam seperti paku dengan kesatria besi-nya..Aku akan berceloteh riang penuh cinta jika mengiyakan kata-katanya. Tidak dirundung duka karena menanti maaf-nya. Aku akan menjadi sempurna jika bersedia menjadi peri hidupnya. Tidak hanya sekedar angel dalam kata untuknya.
Disini bersama nafas yang tak lagi biasa, semua terasa menyiksa. Satu helaan nafas untuknya, satu helaan nafas juga untuknya. Dua makhluk bernama lelaki berlomba mendayung harapku yang tak berlabuh. Terus setia pada penghianatan. Bayang wajahnya yang rupawan dalam balutan satin beradu dengan maskulinitasnya yang temaram. Berbungkus kaos oblong pasar rombengan.
Aku hidup dalam dua sisi mata uang materialistis dan optimis. Hati dan masa depan. Keduanya begitu menggiurkan. Membuat pilihan rasanya seperti berjalan di atas pecahan beling dan bara api. Panas dan perih. Lelah rasanya terus berkutat pada hal yang sama. Dia atau dia. Sang konglomerat atau sang pencuri melarat. Terngiang kata harapan setiap kaum hawa, jejaka kaya nan elok. Menyadarkan bisikan mengenai harapan dan asa tak ingin menyerah. Meyakinkan bahwa saat ini, disini, aku ingin berada dalam pelukannya. Berbisik tanpa suara, aku dilamar olehnya.


anasabila memberi reputasi
1
594
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan