- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Jono dan Teman Galaunya [Karya Tulis]


TS
abdulhamidp
Jono dan Teman Galaunya [Karya Tulis]
Selamat Malam Agan2/wati

Ane mau coba buat treat [karya tulis] buatan ane sendiri. Treat ini spesial buat agan2/wati yang lagi galau hehehe
Tidak lupa ane juga mau minta izin sama pak Momod dan bu mimin agar diperkenankan buat bikin treat ini. Kalau salam kamar, tolong dipinahin yak hehehe
Ok langsung aja inilah treatnya
Spoiler for Sponsor:
Treat ini di persembahkan oleh :
lapak ane Gan
lapak ane Gan
Spoiler for CERPEN:
Di suatu sore mendung, Edi, salah seorang teman senasib Jono sesama kuli panggul di "Pasar Senen Sampai Senen Lagi" terlihat sedang melamun. Ia memang sedang menonton televisi tapi matanya saja. Pikirannya mungkin sedang jalan2 ke rumah Nurmala. Perempuan tukang jamu yang ditaksirnya beberapa tahun lalu.
Tapi sayangnya, meski Edi sudah mengerahkan segala kemampuannya, dan mengorbankan jiwa dan raganya demi merebut hati Nurmala. Namun gadis manis tinggi semampai itu ternyata lebih mencintai Erwin daripada dirinya. Padahal cinta Erwin biasa saja pada Nurmala. Sementara Edi begitu menggebu2, istilahnya, Edi rela melakukan apapun untuk Nurmala. Termasuk membetulkan genteng rumah Nurmala yang bocor, menggendong bakul jamunya, sampai mencari daun jambu merah yang kerap susah didapat saat Nurmala jatuh sakit. Paradoks..
Edi memang kalah level dibanding Erwin. Edi hanya seorang kuli panggul, yang setiap hari memakai kaus kutang yang tadinya berwarna putih, namun karena selalu dibasahi keringat kini warnanya berubah menjadi coklat gelap. Mungkin tak lama lagi warnanya akan berubah menjadi hitam. Erwin sedikit lebih beruntung, ia adalah supir pribadi pengusaha jepang. Setiap hari selalu memakai seragam, dari jarak 5 meter wangi parfumnya sudah tercium. Jika bossnya sedang tidak ada, ia memakai kacamata hitam yang ia beli di pasar loak. Rambutnya disisir kebelakang, meniru gaya ketua geng china yang mati gara2 kebanyakan makan telor mentah. Seragamnya tidak hanya satu, jika hari ini ia memakai baju warna hitam, besok mungkin ia akan memakai seragam berwarna abu-abu, atau biru, atau coklat. Ia menyesuaikannya dengan mobil yang ia bawa. Luar biasa...
Pada awalnya, Edi sempat merasakan manisnya gula-gula cinta Nurmala. Tapi setelah kedatangan Erwin, Edi kalah bersaing. Gula-gula cinta berlabel "Nurmala I Love You" itu rasanya berubah asin macam air laut. Dan kini rasanya sudah mulai pahit menyamai daun pepaya lantaran desas-desus pernikahan Nurmala dan Erwin sudah sampai di telinga Edi. Tragedi...
Celakanya, berita tidak menyenangkan itu justru ia dengar dari Jono, teman makan sepiring dan tidur sekamarnya. Mungkin jika berita itu datang dari orang lain, Edi tidak akan langsung percaya begitu saja. Tapi lantaran datangnya dari sahabat karibnya sendiri, bagaimana mungkin ia tak percaya ? Dan sakitnya pun langsung melukai hati. Merana...
Jono sangat menyesal karena telah mengabarkan isu pernikahan itu kepada Edi. Gara-gara desas-desus pernikahan Nurmala, gadis penjual "jamu anti miskin" yang selalu menyiksa Edi, Edi seperti kehilangan selera menjalani hidup. Kepala dan pikirannya tak pernah singkron. Jika di ajak bicara selalu ngelantur. Jika sedang sendiri ia melamun. Jika berjalan, ia seperti orang yang jiwanya dikuasai oleh jin. Hiiiiiiii...
Jono benar-benar sangat menyesali perbuatannya. Seandainya ia punya kepala dua, ia tak akan segan-segan membenturkan salah satu kepalanya ke tiang listrik. Jono memeras kepala.
"Bodoh, bodoh, bodoooohhhh!!!" Jono membatin, mengutuki dirinya sendiri. Sudah hampir seminggu Jono tidak bisa tidur nyenyak karena memikirkan Edi, satu-satunya teman bernasib pahit yang pernah ia kenal. Kebanyakan teman2 Jono malah senang mempermainkan hati wanita, kalaupun ditolak tidak masalah bagi mereka.
"Tinggal cari lagi, susah amat"
Tapi Edi memang beda. Ia lebih memilih menderita demi satu cinta. Ini bodoh atau apa ..?
Setelah rutin mengerjakan ritual sholat Tahajjud, dan sholat2 sunnat lainnya, suatu pekerjaan yang hampir tidak pernah ia lakukan sebelumnya. Jangankan sholat sunnat, sholat lima waktu saja masih bolong2. suatu hari Jono mendapat sebuah ide, atau mungkin sebuah petunjuk. Ia meminta izin kepada majikannya untuk pulang kampung. Tanpa sepengetahuan Edi, Jono pulang ke kampung halaman dengan sebuah ide di kepalanya. Mudik yuk...
Sampai di rumah, Jono langsung menemui "Ustadz Sholeh Hatinya Panjang Umurnya" guru ngajinya waktu SD dulu. Jono dan anak2 lain biasa memanggilnya "Ustadz SAPU" karena di kampung Jono kata "Hati" sering disebut "Ati" saja tanpa huruf "H". Ustadz yang memang sholeh hatinya dan panjang umurnya tidak pernah marah jika di panggil Ustadz Sapu. Ustadz yang satu ini memang terkenal baik dan murah senyum. Tak heran banyak yang menduga rahasia awet mudanya itu ada pada SENYUM HALILINTAR CETAR MEMBAHANA BADAI DUNIA AKHIRAT nya. hahaha...
Setelah mendapat wejangan dari Ustadz sapu, Jono merasa mendapat pencerahan yang luar biasa. Badannya terasa enteng, wajahnya cerah, meski sedikit kalah cerah dibanding pak Umar, guru honorer yang baru gajian tadi siang. Pancarannya mata tajamnya mengesankan bahwa ia sudah siap membayar rasa bersalahnya kepada Edi, teman malangnya. Horeeee....
Setelah berpamitan kepada keluarga dan Ustadz SAPU, serta tak lupa juga ia berpamitan sama Erlin, mantan pacar cinta monyetnya waktu SMP dulu yang kini sudah punya anak dua. Kebetulan suaminya tidak ada dirumah
. Jono pun berangkat ke kota, lumbung makannya, tempat dia melalui hidup dan deritanya. Dunia yang terlihat indah dari jauh, namun menyiksa lahir bathin dari dalam. Nasib Perantau...
Jono membawa oleh-oleh buat Edi. Makanan kesukaannya, "Ayam Goreng Sambal" buatan ibu Edi sendiri. Jono dan Edi sudah berteman sejak kecil. Rumah mereka masih satu gang di kampung. Jono mengetahui semua tentang Edi, sebagaimana Edi juga mengetahui semua tentang Jono. Jono berharap Ayam Goyeng yang juga makan kesukaan Ipin ini bisa mengurangi perasaan sedih Edi. Tapi sayang itu tidak terjadi. Wajah murung Edi masih sama, persis ketika Jono meninggalkannya tanpa pamit dua hari yang lalu. Tidak kurang dan mungkin tidak bisa lebih "murung" lagi. Istilahnya, Edi saat ini sudah berada pada titik tertinggi penderitaannya.
Hanya mungkin, lapisan tertipis dari imannya masih menempel kuat. Artinya ia masih ingat Tuhan. Kalau tidak, mungkin hidupnya akan berakhir pada tali jemuran. Na'uzubillah...
Jono duduk disebelah Edi, memegang bahunya. Edi sedang menonton waktu itu, matanya tak pernah lepas dari televisi, tapi matanya saja. Pikirannya mungkin sedang ada di tepi laut, diatas gunung, ditepi jembatan suramadu, diatas monas, dibawah pohon beringin di tengah kuburan, atau ditempat angker lain dimana orang-orang putus asa mengakhiri permasalahan hidup. Serem...
"Di.."
Jono mencoba membuka percakapan. Tapi Edi tak menjawab. Jono maklum.
"Maafin Inyong Di, Seharusnya inyong tidak memberitahu kabar itu karo koe Di.."
Edi masih tak menjawab.
"Inyong benar-benar menyesal Di, sumpah demi Tuhan" ungkap Jono dengan logat Purbalingganya yang kental.
Jono meneteskan air mata, bukan hanya menyesali perbuatannya. Tapi tak kuat membayangkan penderitaan teman karib disampingnya. Sekilas kedua pekerja kasar kuli panggul itu tampak tak mungkin mengenal apa itu air mata persahabatan. Tapi siapa sangka, ternyata hati mereka lebih lembut dari salju Fujiyama. Jono memeluk Edi, lalu memasukkan secarik kertas ke kantong Edi. Ustadz Sapu yang memberikan kertas itu kepada Jono supaya diberikan kepada Edi. Oooo...
Jono berdiri dan beranjak ke kamar. Tapi tidak untuk tidur, malam itu dia beribadah khusu'dan lama, seakan Malaikat Maut akan datang mencabut nyawanya esok hari. Jono berdo'a sampai tengah malam, Habis itu ia Sholat sunnat. Ia baru bisa tidur setelah Sholat Shubuh. Wow...
Pukul 7 Pagi Jono bangun, karena memang harus bangun. Ia bangun seperti orang mati yang dipaksa hidup kembali. Setelah 3 hari cuti, hari ini Jono tidak boleh telat, kalau tidak mau di pecat. Si Engkoh juragan Beras di "Pasar Senen Sampai Senen Lagi" itu tak akan segan-segan Memberhentikan buruh yang menganggap remeh pekerjaan.
"Pecat!!"
itu adalah mantra sakti yang membuat kuli-kuli panggul itu ketakutan.
Sayangnya, walau sudah sampai di gudang Jono tidak juga mampu sadar secara sempurna. Ia berjalan sempoyongan, berada diantara setengah sadar dan setengah tidur. Lalu Ambruk di sudut karung-karung beras. Tapi Jono masih selamat dari ancaman pemecatan, lantaran Si Engkoh yang rutin mengamati kerja buruh di gudang tidak melihat Jono. Soalnya Edi sudah menutupi tubuh Jono dengan karung goni. Aman...
Pukul 10.30 Jono baru benar-bangun dari tidur, dan ia sungguh kaget melihat jatah beras yang harus di panggulnya sudah tidak ada. Teror pemecatan dan masa depan yang suram mulai menghantui Jono. Badannya lemas dan hampir jatuh lagi. Namun seseorang menahannya dari belakang.
"Edi..!"
Jono sempat kaget melihat wajah Edi yang ceria. Ia mulai ragu apakah ia sudah benar-benar sadar atau maih ada di alam tidur.
"Tenang saja No', karung-karung beras mu sudah aku angkatin ke truk. Sekarang mendingan kita ke warung, aku traktir koe sarapan!" hahaha...
Di dalam "Warung Kopi Ratu Sejagat", diatas meja, Jono memandangi Edi seperti baru mengenalnya.
"Koe ora senang ngeliat inyong bahagia begini".
"Ya senang lah, tapi kenapa?" Jawab Jono dengan wajah sumringah.
"Lah bukannya koe yang memasukkan kertas itu kekantong inyong tadi malam, kok malah koe yang heran. Koe iki piye toh!"
Jono mengangguk dalam hati. Ia senang bukan kepalang, tapi ia juga penasaran.
"Sebenarnya kertas apa yang diberikan Ustadz Sapu kepada Edi. Benarkah kertas itu sedemikian dahsyat sehingga mampu menghilangkan kegalauan Edi hanya dalam waktu satu malam?"
Demi menghilangkan rasa penasarannya, diam - diam Jono berniat mengambil kertas itu dari Edi. Dapat..!
Jono membawa kertas itu ketempat yang jauh, ke ujung pulau. Dia tidak ingin diganggu oleh siapapun ketika membaca isi dalam kertas itu. Di ujung pulau, diatas batu karang, Jono berdiri menatap jauh hamparan selat sunda. Kemudian ia mengambil kertas itu dari kantongnya, ia baca.
"Sebesar apapun pengorbanan, sekuat apapun kemampuan, dan setinggi apapun keinginan. Jika ALLAH tidak menghendaki berarti tidak akan tercapai. Tapi berbahagialah.. Karena tujuan hidup bukanlah untuk mewujudkan keinginan, tapi untuk mendapat ke Ridhoan Tuhan.
Seluas apapun dunia ini, sebanyak apapun wanita hidup didalamnya. Kalau ALLAH belum menjodohkan, ya pertanda kita harus bersabar. Tapi berbahagialah... Karena kebahagiaan itu tidak bersumber dari seberapa banyak perempuan disampingmu. Tapi seberapa besar ke Ridhoan Tuhan terhadapmu.
Terimalah takdir dengan penuh rasa ikhlas.
Jangan paksakan apa yang Tuhan tidak berikan.
Tapi syukurilah apa yang telah engkau dapatkan.
Niscaya ALLAH Ridho.
Niscaya ALLAH menambahkan.
Itu sumber kebahagiaan...."
30 Tahun kemudian
Jono menghabiskan hampir seluruh hidupnya sebagai kuli panggul. Ia hidup bahagia bersama seorang istri dan 6 orang anak. Jono baru pensiun setelah berumur 65 tahun. Jono dan istri tercinta memilih pindah di kampung halaman dan hidup tenram dan damai disana.
Edi berhasil menjadi pengusaha sekaligus petani yang sukses. Bahkan ia tercatat sebagai petani paling sukses dalam sejarah pertanian di Indonesia. Bagaimana tidak, ia memiliki 100 ribu hektar tanah produktif dan menghasilkan berjuta-juta ton beras setiap tahun. Beras hasil tanamannya terkenal keseluruh Dunia. Ia hidup bahagia bersama seorang istri dan empat orang anak. Di usianya yang 63 tahun ini, ia telah melakukan banyak hal. Salah satunya, ia telah berhasil menerapkan sistem pertanian modern dan mensosialisasikannya keseluruh masyarakat di nusantara. Berkat kegigihannya itu, pemeretaan ekonomi yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah yang teramat payah itu mulai dirasakan oleh masyarakat terutama masyarakat yang tinggal di bagian timur dan perbatasan. Anak - anak muda kini tidak lagi malu menjadi petani.
Judul : Jono dan Teman Galaunya
Karya : Abdul Hamid P
Jenis Karya : Cerpen --- Fiksi
Tapi sayangnya, meski Edi sudah mengerahkan segala kemampuannya, dan mengorbankan jiwa dan raganya demi merebut hati Nurmala. Namun gadis manis tinggi semampai itu ternyata lebih mencintai Erwin daripada dirinya. Padahal cinta Erwin biasa saja pada Nurmala. Sementara Edi begitu menggebu2, istilahnya, Edi rela melakukan apapun untuk Nurmala. Termasuk membetulkan genteng rumah Nurmala yang bocor, menggendong bakul jamunya, sampai mencari daun jambu merah yang kerap susah didapat saat Nurmala jatuh sakit. Paradoks..
Edi memang kalah level dibanding Erwin. Edi hanya seorang kuli panggul, yang setiap hari memakai kaus kutang yang tadinya berwarna putih, namun karena selalu dibasahi keringat kini warnanya berubah menjadi coklat gelap. Mungkin tak lama lagi warnanya akan berubah menjadi hitam. Erwin sedikit lebih beruntung, ia adalah supir pribadi pengusaha jepang. Setiap hari selalu memakai seragam, dari jarak 5 meter wangi parfumnya sudah tercium. Jika bossnya sedang tidak ada, ia memakai kacamata hitam yang ia beli di pasar loak. Rambutnya disisir kebelakang, meniru gaya ketua geng china yang mati gara2 kebanyakan makan telor mentah. Seragamnya tidak hanya satu, jika hari ini ia memakai baju warna hitam, besok mungkin ia akan memakai seragam berwarna abu-abu, atau biru, atau coklat. Ia menyesuaikannya dengan mobil yang ia bawa. Luar biasa...
Pada awalnya, Edi sempat merasakan manisnya gula-gula cinta Nurmala. Tapi setelah kedatangan Erwin, Edi kalah bersaing. Gula-gula cinta berlabel "Nurmala I Love You" itu rasanya berubah asin macam air laut. Dan kini rasanya sudah mulai pahit menyamai daun pepaya lantaran desas-desus pernikahan Nurmala dan Erwin sudah sampai di telinga Edi. Tragedi...
Celakanya, berita tidak menyenangkan itu justru ia dengar dari Jono, teman makan sepiring dan tidur sekamarnya. Mungkin jika berita itu datang dari orang lain, Edi tidak akan langsung percaya begitu saja. Tapi lantaran datangnya dari sahabat karibnya sendiri, bagaimana mungkin ia tak percaya ? Dan sakitnya pun langsung melukai hati. Merana...
Jono sangat menyesal karena telah mengabarkan isu pernikahan itu kepada Edi. Gara-gara desas-desus pernikahan Nurmala, gadis penjual "jamu anti miskin" yang selalu menyiksa Edi, Edi seperti kehilangan selera menjalani hidup. Kepala dan pikirannya tak pernah singkron. Jika di ajak bicara selalu ngelantur. Jika sedang sendiri ia melamun. Jika berjalan, ia seperti orang yang jiwanya dikuasai oleh jin. Hiiiiiiii...
Jono benar-benar sangat menyesali perbuatannya. Seandainya ia punya kepala dua, ia tak akan segan-segan membenturkan salah satu kepalanya ke tiang listrik. Jono memeras kepala.
"Bodoh, bodoh, bodoooohhhh!!!" Jono membatin, mengutuki dirinya sendiri. Sudah hampir seminggu Jono tidak bisa tidur nyenyak karena memikirkan Edi, satu-satunya teman bernasib pahit yang pernah ia kenal. Kebanyakan teman2 Jono malah senang mempermainkan hati wanita, kalaupun ditolak tidak masalah bagi mereka.
"Tinggal cari lagi, susah amat"
Tapi Edi memang beda. Ia lebih memilih menderita demi satu cinta. Ini bodoh atau apa ..?
Setelah rutin mengerjakan ritual sholat Tahajjud, dan sholat2 sunnat lainnya, suatu pekerjaan yang hampir tidak pernah ia lakukan sebelumnya. Jangankan sholat sunnat, sholat lima waktu saja masih bolong2. suatu hari Jono mendapat sebuah ide, atau mungkin sebuah petunjuk. Ia meminta izin kepada majikannya untuk pulang kampung. Tanpa sepengetahuan Edi, Jono pulang ke kampung halaman dengan sebuah ide di kepalanya. Mudik yuk...
Sampai di rumah, Jono langsung menemui "Ustadz Sholeh Hatinya Panjang Umurnya" guru ngajinya waktu SD dulu. Jono dan anak2 lain biasa memanggilnya "Ustadz SAPU" karena di kampung Jono kata "Hati" sering disebut "Ati" saja tanpa huruf "H". Ustadz yang memang sholeh hatinya dan panjang umurnya tidak pernah marah jika di panggil Ustadz Sapu. Ustadz yang satu ini memang terkenal baik dan murah senyum. Tak heran banyak yang menduga rahasia awet mudanya itu ada pada SENYUM HALILINTAR CETAR MEMBAHANA BADAI DUNIA AKHIRAT nya. hahaha...
Setelah mendapat wejangan dari Ustadz sapu, Jono merasa mendapat pencerahan yang luar biasa. Badannya terasa enteng, wajahnya cerah, meski sedikit kalah cerah dibanding pak Umar, guru honorer yang baru gajian tadi siang. Pancarannya mata tajamnya mengesankan bahwa ia sudah siap membayar rasa bersalahnya kepada Edi, teman malangnya. Horeeee....
Setelah berpamitan kepada keluarga dan Ustadz SAPU, serta tak lupa juga ia berpamitan sama Erlin, mantan pacar cinta monyetnya waktu SMP dulu yang kini sudah punya anak dua. Kebetulan suaminya tidak ada dirumah

Jono membawa oleh-oleh buat Edi. Makanan kesukaannya, "Ayam Goreng Sambal" buatan ibu Edi sendiri. Jono dan Edi sudah berteman sejak kecil. Rumah mereka masih satu gang di kampung. Jono mengetahui semua tentang Edi, sebagaimana Edi juga mengetahui semua tentang Jono. Jono berharap Ayam Goyeng yang juga makan kesukaan Ipin ini bisa mengurangi perasaan sedih Edi. Tapi sayang itu tidak terjadi. Wajah murung Edi masih sama, persis ketika Jono meninggalkannya tanpa pamit dua hari yang lalu. Tidak kurang dan mungkin tidak bisa lebih "murung" lagi. Istilahnya, Edi saat ini sudah berada pada titik tertinggi penderitaannya.

Hanya mungkin, lapisan tertipis dari imannya masih menempel kuat. Artinya ia masih ingat Tuhan. Kalau tidak, mungkin hidupnya akan berakhir pada tali jemuran. Na'uzubillah...
Jono duduk disebelah Edi, memegang bahunya. Edi sedang menonton waktu itu, matanya tak pernah lepas dari televisi, tapi matanya saja. Pikirannya mungkin sedang ada di tepi laut, diatas gunung, ditepi jembatan suramadu, diatas monas, dibawah pohon beringin di tengah kuburan, atau ditempat angker lain dimana orang-orang putus asa mengakhiri permasalahan hidup. Serem...
"Di.."
Jono mencoba membuka percakapan. Tapi Edi tak menjawab. Jono maklum.
"Maafin Inyong Di, Seharusnya inyong tidak memberitahu kabar itu karo koe Di.."
Edi masih tak menjawab.
"Inyong benar-benar menyesal Di, sumpah demi Tuhan" ungkap Jono dengan logat Purbalingganya yang kental.
Jono meneteskan air mata, bukan hanya menyesali perbuatannya. Tapi tak kuat membayangkan penderitaan teman karib disampingnya. Sekilas kedua pekerja kasar kuli panggul itu tampak tak mungkin mengenal apa itu air mata persahabatan. Tapi siapa sangka, ternyata hati mereka lebih lembut dari salju Fujiyama. Jono memeluk Edi, lalu memasukkan secarik kertas ke kantong Edi. Ustadz Sapu yang memberikan kertas itu kepada Jono supaya diberikan kepada Edi. Oooo...
Jono berdiri dan beranjak ke kamar. Tapi tidak untuk tidur, malam itu dia beribadah khusu'dan lama, seakan Malaikat Maut akan datang mencabut nyawanya esok hari. Jono berdo'a sampai tengah malam, Habis itu ia Sholat sunnat. Ia baru bisa tidur setelah Sholat Shubuh. Wow...
Pukul 7 Pagi Jono bangun, karena memang harus bangun. Ia bangun seperti orang mati yang dipaksa hidup kembali. Setelah 3 hari cuti, hari ini Jono tidak boleh telat, kalau tidak mau di pecat. Si Engkoh juragan Beras di "Pasar Senen Sampai Senen Lagi" itu tak akan segan-segan Memberhentikan buruh yang menganggap remeh pekerjaan.
"Pecat!!"
itu adalah mantra sakti yang membuat kuli-kuli panggul itu ketakutan.
Sayangnya, walau sudah sampai di gudang Jono tidak juga mampu sadar secara sempurna. Ia berjalan sempoyongan, berada diantara setengah sadar dan setengah tidur. Lalu Ambruk di sudut karung-karung beras. Tapi Jono masih selamat dari ancaman pemecatan, lantaran Si Engkoh yang rutin mengamati kerja buruh di gudang tidak melihat Jono. Soalnya Edi sudah menutupi tubuh Jono dengan karung goni. Aman...
Pukul 10.30 Jono baru benar-bangun dari tidur, dan ia sungguh kaget melihat jatah beras yang harus di panggulnya sudah tidak ada. Teror pemecatan dan masa depan yang suram mulai menghantui Jono. Badannya lemas dan hampir jatuh lagi. Namun seseorang menahannya dari belakang.
"Edi..!"
Jono sempat kaget melihat wajah Edi yang ceria. Ia mulai ragu apakah ia sudah benar-benar sadar atau maih ada di alam tidur.
"Tenang saja No', karung-karung beras mu sudah aku angkatin ke truk. Sekarang mendingan kita ke warung, aku traktir koe sarapan!" hahaha...
Di dalam "Warung Kopi Ratu Sejagat", diatas meja, Jono memandangi Edi seperti baru mengenalnya.
"Koe ora senang ngeliat inyong bahagia begini".
"Ya senang lah, tapi kenapa?" Jawab Jono dengan wajah sumringah.
"Lah bukannya koe yang memasukkan kertas itu kekantong inyong tadi malam, kok malah koe yang heran. Koe iki piye toh!"
Jono mengangguk dalam hati. Ia senang bukan kepalang, tapi ia juga penasaran.
"Sebenarnya kertas apa yang diberikan Ustadz Sapu kepada Edi. Benarkah kertas itu sedemikian dahsyat sehingga mampu menghilangkan kegalauan Edi hanya dalam waktu satu malam?"
Demi menghilangkan rasa penasarannya, diam - diam Jono berniat mengambil kertas itu dari Edi. Dapat..!
Jono membawa kertas itu ketempat yang jauh, ke ujung pulau. Dia tidak ingin diganggu oleh siapapun ketika membaca isi dalam kertas itu. Di ujung pulau, diatas batu karang, Jono berdiri menatap jauh hamparan selat sunda. Kemudian ia mengambil kertas itu dari kantongnya, ia baca.
"Sebesar apapun pengorbanan, sekuat apapun kemampuan, dan setinggi apapun keinginan. Jika ALLAH tidak menghendaki berarti tidak akan tercapai. Tapi berbahagialah.. Karena tujuan hidup bukanlah untuk mewujudkan keinginan, tapi untuk mendapat ke Ridhoan Tuhan.
Seluas apapun dunia ini, sebanyak apapun wanita hidup didalamnya. Kalau ALLAH belum menjodohkan, ya pertanda kita harus bersabar. Tapi berbahagialah... Karena kebahagiaan itu tidak bersumber dari seberapa banyak perempuan disampingmu. Tapi seberapa besar ke Ridhoan Tuhan terhadapmu.
Terimalah takdir dengan penuh rasa ikhlas.
Jangan paksakan apa yang Tuhan tidak berikan.
Tapi syukurilah apa yang telah engkau dapatkan.
Niscaya ALLAH Ridho.
Niscaya ALLAH menambahkan.
Itu sumber kebahagiaan...."
30 Tahun kemudian
Jono menghabiskan hampir seluruh hidupnya sebagai kuli panggul. Ia hidup bahagia bersama seorang istri dan 6 orang anak. Jono baru pensiun setelah berumur 65 tahun. Jono dan istri tercinta memilih pindah di kampung halaman dan hidup tenram dan damai disana.
Edi berhasil menjadi pengusaha sekaligus petani yang sukses. Bahkan ia tercatat sebagai petani paling sukses dalam sejarah pertanian di Indonesia. Bagaimana tidak, ia memiliki 100 ribu hektar tanah produktif dan menghasilkan berjuta-juta ton beras setiap tahun. Beras hasil tanamannya terkenal keseluruh Dunia. Ia hidup bahagia bersama seorang istri dan empat orang anak. Di usianya yang 63 tahun ini, ia telah melakukan banyak hal. Salah satunya, ia telah berhasil menerapkan sistem pertanian modern dan mensosialisasikannya keseluruh masyarakat di nusantara. Berkat kegigihannya itu, pemeretaan ekonomi yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah yang teramat payah itu mulai dirasakan oleh masyarakat terutama masyarakat yang tinggal di bagian timur dan perbatasan. Anak - anak muda kini tidak lagi malu menjadi petani.
---SEKIAN---
Judul : Jono dan Teman Galaunya
Karya : Abdul Hamid P
Jenis Karya : Cerpen --- Fiksi
Kalau Agan2/wati berkenan dengan treat ane mohon kasih




Diubah oleh abdulhamidp 01-03-2014 21:52
0
2.2K
Kutip
16
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan