- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Rumah Triplek dan Suami Lumpuh, Mbah Kasturi Pasrah Tak Dapat 'Balsem'
TS
penikmatjanda
Rumah Triplek dan Suami Lumpuh, Mbah Kasturi Pasrah Tak Dapat 'Balsem'
Quote:
Jakarta - Kasturi (70) terduduk pasrah di samping suaminya yang terbaring lumpuh di rumahnya yang terbuat dari triplek. Bila dia mendapatkan 'Balsem' yang senilai Rp 150 ribu per bulan, itu akan sedikit membantu. Sayang, dia luput dari pendataan penerima 'Balsem'.
Kasturi, biasa disapa tetangga dengan Mbah Kasturi, merupakan warga Jalan Kalibaru Timur 2, RT 14/RW 3, Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara. Sehari-hari Mbah Kasturi di rumah mengurusi suaminya, Kastim (70) yang lumpuh sejak 5 tahun lalu karena luka bakar dari pinggang ke bawah akibat kompor meleduk.
Kastim sempat koma 3 hari dan dirawat ke RS Koja. Namun setelah bangun dari koma, Kastim meminta dirawat di rumah karena tidak betah dirawat di RS itu karena menurutnya pelayanan yang tidak terlalu menyenangkan. Walaupun masih menderita luka bakar, Kastim yang berobat pakai kartu Jamkesmas bersikukuh pulang dan hanya rawat jalan.
Kastim yang dulunya menghidupi keluarganya dengan menjadi nelayan di Cilincing kini hanya terbaring lemah di kasur besi usang di rumahnya. Makan pun harus disuapi dan diajak berbicara sudah tidak nyambung. Kasturi merawat Kastim dengan obat yang bisa dibeli dengan uang seadanya.
"Obatnya seadanya, kalau duitnya Rp 30 ribu ya beli segitu, adanya Rp 50 ribu ya beli Rp 50 ribu. Kalau obatnya habis dan uangnya nggak ada ya terpaksa beli," kata Kasturi yang sudah bungkuk dan memutih rambutnya.
Alhasil, setelah Kastim lumpuh, mereka menggantungkan hidup dari penghasilan anak semata wayangnya, Kadis (28), yang bekerja sebagai tenaga kontrak lepas cleaning service di salah satu mal besar di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Sebagai pekerja kontrak lepas, penghasilan Kadis tak tentu, terkadang Rp 1 juta atau bisa kurang.
"Kadis biasanya naik sepeda ke tempat kerjanya. Karena sepedanya rusak, dia sekarang naik angkot yang Rp 15 ribu setiap hari. Apalagi BBM naik. Kan nggak mungkin anak saya disuruh jalan kaki ke Gading, untuk ongkos pasti ada. Makan dikalahin, kalau nggak dari makan ya obat bapaknya nggak beli dulu," tutur Kasturi berkebaya hijau dan berjarik batik.
Kasturi merupakan perantau dari Cirebon dan mendiami rumah ini sejak 40 tahun lalu dan sudah memiliki KTP Jakarta. Rumah Kasturi berukuran 15 x 6 meter persegi yang semuanya terbuat dari triplek. Bau pesing menyengat hidung.
Begitu masuk, detikcom harus membungkuk, karena tinggi rumah triplek itu cuma sekitar 1,2 meter. Ada kasur susun besi usang di sebelah kiri di mana suami Kasturi terbaring lemah. Di sebelah kanan ada ruangan kecil berisi kasur besi usang yang ditempati anaknya. Ruangan tempat kasur ini ada ubin yang sudah kotor.
Masuk ke dalam sedikit ada ruangan berlantai tanah, di mana terdapat tungku tanah yang biasanya dibuat memasak.
"Kadang kalau punya uang pakai minyak tanah, kalau tidak punya pakai kayu bakar," tutur Kasturi.
Di sebelah dapur ada kamar mandi berukuran kecil 1 x 2 meter yang hanya ditutup gorden. Dalam kamar mandi yang terdapat beberapa ember, salah satunya terisi cucian yang diletakkan di bawah kran yang berdebit kecil. Hanya ada 1 sachet detergen kecil di dekat ember.
"Kalau pakai sedikit-sedikit, yang penting berbusa," tutur dua.
Tak ada kakus di dalam kamar mandi itu karena bagian belakang langsung berbatasan dengan Kali Banglio. Kasturi mengatakan bila ingin buang air besar, maka keluarganya dan rata-rata penduduk kampung itu membuangnya di kali yang airnya sudah menghitam itu.
Atap rumah itu dari seng. Seng di depan lebih rapat dari seng yang menutup di belakang bagian dapur dan kamar mandi.
"Rumah saya itu udah tinggal tunggu ambruknya. Kalau air lagi pasang itu pasti banjir sampai segini (sebetis). Kalau misalnya lagi banjir, anak saya lagi kerja, saya kerepotan ini mindahin baju di lemari," tutur Mbah Kasturi.
Kendati kondisinya demikian Mbah Kasturi tak mendapatkan 'Balsem' yang nilai Rp 150 ribu per bulan. Mbah Kasturi sedikit kecewa namun hanya bisa pasrah.
"Saya nggak dapat Balsem, waktu itu BLT juga nggak dapat. Sebenernya hati saya teriak sedih kenapa kok saya nggak dapat. Tapi mungkin memang belum rezekinya jadi ya udahlah pasrah aja. Hidup begini juga saya syukuri. Saya nggak mau marah sama pemerintah, saya cuma ingin sedikit diperhatikan saja kan saya termasuk orang kecil," tutur Mbah Kasturi sambil menitikkan air mata.
Sementara Ketua RT 14 RW 3 Kalibaru, Cilincing, Momon (53) menyesalkan pendataan 'Balsem' yang tak rata. Momon tak kuasa membantu karena tak dilibatkan dalam pendataan.
"Waktu BLT petugasnya masih dateng nyamperin saya dulu bilang mau ambil data. Jadi saya bisa tunjukkin mana aja warga saya yang butuh. Nah yang sekarang mah enggak, nyelonong aja. Kasihan kan tuh warga saya yang jompo-jompo malah nggak dapat," tutur Momon.
(nwk/mad)
Kasturi, biasa disapa tetangga dengan Mbah Kasturi, merupakan warga Jalan Kalibaru Timur 2, RT 14/RW 3, Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara. Sehari-hari Mbah Kasturi di rumah mengurusi suaminya, Kastim (70) yang lumpuh sejak 5 tahun lalu karena luka bakar dari pinggang ke bawah akibat kompor meleduk.
Kastim sempat koma 3 hari dan dirawat ke RS Koja. Namun setelah bangun dari koma, Kastim meminta dirawat di rumah karena tidak betah dirawat di RS itu karena menurutnya pelayanan yang tidak terlalu menyenangkan. Walaupun masih menderita luka bakar, Kastim yang berobat pakai kartu Jamkesmas bersikukuh pulang dan hanya rawat jalan.
Kastim yang dulunya menghidupi keluarganya dengan menjadi nelayan di Cilincing kini hanya terbaring lemah di kasur besi usang di rumahnya. Makan pun harus disuapi dan diajak berbicara sudah tidak nyambung. Kasturi merawat Kastim dengan obat yang bisa dibeli dengan uang seadanya.
"Obatnya seadanya, kalau duitnya Rp 30 ribu ya beli segitu, adanya Rp 50 ribu ya beli Rp 50 ribu. Kalau obatnya habis dan uangnya nggak ada ya terpaksa beli," kata Kasturi yang sudah bungkuk dan memutih rambutnya.
Alhasil, setelah Kastim lumpuh, mereka menggantungkan hidup dari penghasilan anak semata wayangnya, Kadis (28), yang bekerja sebagai tenaga kontrak lepas cleaning service di salah satu mal besar di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Sebagai pekerja kontrak lepas, penghasilan Kadis tak tentu, terkadang Rp 1 juta atau bisa kurang.
"Kadis biasanya naik sepeda ke tempat kerjanya. Karena sepedanya rusak, dia sekarang naik angkot yang Rp 15 ribu setiap hari. Apalagi BBM naik. Kan nggak mungkin anak saya disuruh jalan kaki ke Gading, untuk ongkos pasti ada. Makan dikalahin, kalau nggak dari makan ya obat bapaknya nggak beli dulu," tutur Kasturi berkebaya hijau dan berjarik batik.
Kasturi merupakan perantau dari Cirebon dan mendiami rumah ini sejak 40 tahun lalu dan sudah memiliki KTP Jakarta. Rumah Kasturi berukuran 15 x 6 meter persegi yang semuanya terbuat dari triplek. Bau pesing menyengat hidung.
Begitu masuk, detikcom harus membungkuk, karena tinggi rumah triplek itu cuma sekitar 1,2 meter. Ada kasur susun besi usang di sebelah kiri di mana suami Kasturi terbaring lemah. Di sebelah kanan ada ruangan kecil berisi kasur besi usang yang ditempati anaknya. Ruangan tempat kasur ini ada ubin yang sudah kotor.
Masuk ke dalam sedikit ada ruangan berlantai tanah, di mana terdapat tungku tanah yang biasanya dibuat memasak.
"Kadang kalau punya uang pakai minyak tanah, kalau tidak punya pakai kayu bakar," tutur Kasturi.
Di sebelah dapur ada kamar mandi berukuran kecil 1 x 2 meter yang hanya ditutup gorden. Dalam kamar mandi yang terdapat beberapa ember, salah satunya terisi cucian yang diletakkan di bawah kran yang berdebit kecil. Hanya ada 1 sachet detergen kecil di dekat ember.
"Kalau pakai sedikit-sedikit, yang penting berbusa," tutur dua.
Tak ada kakus di dalam kamar mandi itu karena bagian belakang langsung berbatasan dengan Kali Banglio. Kasturi mengatakan bila ingin buang air besar, maka keluarganya dan rata-rata penduduk kampung itu membuangnya di kali yang airnya sudah menghitam itu.
Atap rumah itu dari seng. Seng di depan lebih rapat dari seng yang menutup di belakang bagian dapur dan kamar mandi.
"Rumah saya itu udah tinggal tunggu ambruknya. Kalau air lagi pasang itu pasti banjir sampai segini (sebetis). Kalau misalnya lagi banjir, anak saya lagi kerja, saya kerepotan ini mindahin baju di lemari," tutur Mbah Kasturi.
Kendati kondisinya demikian Mbah Kasturi tak mendapatkan 'Balsem' yang nilai Rp 150 ribu per bulan. Mbah Kasturi sedikit kecewa namun hanya bisa pasrah.
"Saya nggak dapat Balsem, waktu itu BLT juga nggak dapat. Sebenernya hati saya teriak sedih kenapa kok saya nggak dapat. Tapi mungkin memang belum rezekinya jadi ya udahlah pasrah aja. Hidup begini juga saya syukuri. Saya nggak mau marah sama pemerintah, saya cuma ingin sedikit diperhatikan saja kan saya termasuk orang kecil," tutur Mbah Kasturi sambil menitikkan air mata.
Sementara Ketua RT 14 RW 3 Kalibaru, Cilincing, Momon (53) menyesalkan pendataan 'Balsem' yang tak rata. Momon tak kuasa membantu karena tak dilibatkan dalam pendataan.
"Waktu BLT petugasnya masih dateng nyamperin saya dulu bilang mau ambil data. Jadi saya bisa tunjukkin mana aja warga saya yang butuh. Nah yang sekarang mah enggak, nyelonong aja. Kasihan kan tuh warga saya yang jompo-jompo malah nggak dapat," tutur Momon.
(nwk/mad)
sumber : [url]http://news.detik..com/read/2013/06/28/162703/2287340/10/rumah-triplek-dan-suami-lumpuh-mbah-kasturi-pasrah-tak-dapat-balsem?n991101605[/url]
sindiran2 balsem salah sasaran, jadi bener2 kejadian ya ?
0
1.6K
Kutip
5
Balasan
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan