- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Presiden Lupa Akar Masalah Ditingkat Lokal (Oleh : Ir.Hein Namotemo MSP)


TS
jokertdk
Presiden Lupa Akar Masalah Ditingkat Lokal (Oleh : Ir.Hein Namotemo MSP)
Misi agan-agan sekalian...
ane mau share dikit mengenai wawancara antara KORAN NASIONAL CITRA NUSANTARA dengan Ir.Hein Namotemo MSP (Bupati Halmahera Utara).
Beliau merupakan pemimpin yg memperjuangkan hak rakyat. tapi saja selalu terhambat oleh pemerintah pusat kita. Dengan kepemimpinan Beliau Halmahera Utara menjadi lebih maju dan berkembang di banding dengan kabupaten-kabupaten lain yang ada di Prov. Maluku Utara.
Langsung aja gan ane lampirkan Hasil wawancaranya...
Jakarta (CN)– Persoalan otonomi daerah yang masih kerap menjadi pro dan kontra hingga saat ini, tak sekadar pada asumsi yang berkembang mengenai munculnya “raja-raja kecil”. Persoalan mendasar yang tidak kita pahami ialah bagaimana otonomi daerah belum memberikan dampak signifikan bagi kemakmuran masyarakat di tingkat lokal.
Terkait hal otonomi daerah yang masih sangat “Bias” dalam “Membagi Kekuasaan” antara lokal dengan Nasional, dan dipertajam dengan “Legalisasi Perlakuan Represif Aparat” seiring dengan diterbitkannya Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2013, Ketua Dewan Adat Nasional – Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) – Ir.Hein Namotemo MSP, angkat bicara.
Berikut wawancara ekslusif Redaksi Citra Nusantara bersama jurnalis Donny Suryono PSH dengan Hein Namotemo, yang pula merupakan penjabat Bupati Halmahera Utara.
CITRA NUSANTARA (CN): Pak.Hein, bagaimana anda memandang persoalan otonomi daerah yang selama ini masih menjadi pro dan kontra di tengah masyarakat, ini kaitannya dengan kian miskinnya masyarakat diberagam daerah yang memiliki sumber daya alam luarbiasa kaya sekaligus tuduhan-tuduhan klasik bahwa otonomi daerah menciptakan “Raja-Raja Kecil” yang kembali menindas kesejahteraan rakyat?
HEIN NAMOTEMO (HN): Sebelum saya menjawab itu, saya sedikit paparkan mengenai fakta yang saya alami sendiri selama satu dasawarsa saya menjabat sebagai Bupati Halmahera Utara (HALUT).
Pada zaman Belanda, daerah memperoleh 15% dari hasil sumber daya alam yang dieksploitasi oleh penjajah. Sekarang, di zaman kemerdekaan tinggal berapa? Hanya tinggal 2,5% dan sampai saat ini belum di aktulisasi. Lebih parahnya, daerah hanya “dihormati” dengan sekadar program CSR (Corporate Social Responsibility), dan itu hanya 1% dari jumlah kekayaan perusahaan yang mengeruk sumber daya alam di daerah.
Jika dihitung lebih jauh, bagi hasil secara nasional bisa mencapai 20-30%, namun itu tidak terlaksana. Malah sumber daya alam nasional yang berasal dari daerah itu dibawa keluar negeri mencapi 70-80%, padahal jika setengah saja dari angka itu ada di Indonesia, bayangkan betapa makmurnya bangsa kita, keadilan ekonomi benar-benar akan nyata bagi seluruh lapisan rakyat. Tidak perlu lagi kita berhutang kepada bangsa lain.
(CN): Anda melihat fakta ini berpangkal dari kesalahan pada sisi mana Pak.Hein?
(HN): Yang paling utama, adanya praktek politik transaksional yang tidak jarang terjadi mulai dari hulu sampai ke hilir birokrasi di negara kita ini. Artinya peraturan dapat dikatakan tidak mengatur secara tegas praktek-praktek seperti ini karena nyatanya penyimpangan-penyimpangan kekuasaan seperti ini tak pernah mampu kita sudahi, Undang-Undang kita juga salah, sebagai contoh UU Pertanahan, disini ada dualisme kebijakan negara.
Konstitusi jelas melindungi kedualatan hukum adat dan masyarakat adat didalamnya. Namun prakteknya, jika disuatu lahan yang ingin dimanfaatkan oleh siapapun dan diatas lahan tersebut ada unsur masyarakat adat, maka UU Pertanahan yang menjadi tameng untuk intervensi pusat, seluruh tanah secara nasional termasuk tanah adat didalamnya malah diklaim dimiliki oleh pemerintah pusat dengan dalih-dalih untuk kepentingan negara secara nasional, namun kita tak jernih berpikir bahwa sejatinya kepentingan negara adalah pula memenangkan kepentingan rakyat, bukankah masyarakat adat yang terusir dari kampung halamannya yang sudah ratusan tahun turun temurun mereka tinggali itu, juga merupakan rakyat?
Jika ada kasus yang berkaitan dengan tanah masyarakat adat, hukum yang dipakai adalah hukum tanah nasional yang dimiliki pemerintah. Padahal di Pasal 18 UU mengenai Agraria, mengatur jika terjadi konflik dengan masyarakat adat maka aturan adat-lah yang mutlak digunakan, artinya tanah ulayat itu yang digunakan dan mutlak dihormati keberadaannya untuk terus dihuni dan dikelola segala kekayaan alamnya didalamnya oleh masyarakat adat itu sendiri.
Kita akan terus jadi bangsa yang diwarnai oleh konflik berkepanjanga, karena kita telah begitu meninggalkan kearifan lokal kita, hukum adat diinjak-injak dengan hukum yang sesungguhnya merupakan warisan penjajah, yang dinegeri asalnya penjajah itu sendiri sudah tidak dipergunakan lagi, sialnya lagi, presiden seolah tutup mata dengan akar masalah pertambangan dan agraria yang memicu konflik-konflik lokal, dengan INPRES No.2/2013 yang multi tafsir itu, presiden nyata lebih mengutamakan terciptanya citra keamanan yang kondusif, diatas tangisan ribuan masyarakat adat yang terusir dari tanah kelahiran mereka dan terlegalisasi untuk diperlakukan represif oleh aparat yang tidak paham akar masalah diakar rumput.
Bukannya tegas dengan mengakomodir hukum adat sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi ialah mutlak menjadi landasan kebijakan lokal mupun nasional, ini malah presiden seolah ingin cari gampangnya saja menyelesaikan konflik-konflik ditataran lokal, dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2013.
INPRES tersebut memang perlu di keluarkan, namun tidak serta merta diberlakukan tanpa batasan-batasan yang jelas. Kalau saja Gubernur atau bupati disuatu daerah konflik itu paham benar soal kedaulatan masyarakat adat, INPRES ini baik untuk diberlakukan. Namun, betapa menyeramkannya bila pemerintah lokal disuatu wilayah konflik ternyata punya kepentingan memenangkan para memilik modal yang rakus atau bahkan punya kepentingan terselubung untuk mengeruk untung yang bukan untuk kemaslahatan rakyat.
INPRES ini bisa menjadi senjata ampuh untuk mensukseskan “PELUMATAN KEDAULATAN MASYARAKAT ADAT”.
(CN): Apakah anda ingin menyatakan bahwa pemerintah pusat, dalam hal ini Presiden beserta jajarannya itu bukanlah pemerintahan yang kultural ke-Indonesia-an Pak Hein?
(HN): Tegas saya nyatakan ITU BENAR! Adanya krisis spirit, krisis moral, dan krisis paradigma para pemimpin. Lihat bagiaman kita mulai terbiasa menyikapi janji-janji pemimpin yang pada awalnya berbicara indah, tapi dibelakangnya kemudian tidak pernah konsisten.
Konsistensi pemimpin kita saat ini justru terus melanggengkan konsistensi yang membuat masyarakat menderita. Seolah membohongi rakyat itu justru trend gaya hidup, padahal membohongi rakyat adalah membohongi Tuhan.
Dari krisis-krisis tadi muncul praktek-praktek negosiasi pada tiap produk hukum dan kebijakan lokal maupun Nasional yang dihasilkan untuk masyarakat. Salah satu contoh, UU pertambangan pada pasal pembagian, ada muncul negosiasi bagaimana elit politik dan pengusaha saling bersinergis untuk mendapatkan keuntungannya masing-masing. Lalu pula di UU Kretek Tembakau misalnya, ada muncul praktek negosiasi yang sama dalam pasal pembagian hasil.
(CN): Apa yang sebenarnya menjadi masalah di daerah terkait dengan otonomi daerah ini?
(HN): Masalahnya adalah ketidaktegasan dari peraturan otonomi daerah tersebut, belum lagi permasalahan tumpang tindih di daerah. Saya tanya dimana otonomi? di provinsi, atau di kabupaten kota? provinsi itu wilayahnya ada dimana? Dan kabupaten kota wilayahnya dimana?
Soal anggaran kabupaten kota diberikan anggaran, maka provinsi pun diberikan anggaran pula untuk menciptakan hal dan tujuan yang sama, bukankah itu pemborosan? Anggaran double tapi hasilnya sama. Tidak pernah menyentuh kepentingan rakyat dipelosok Nusantara.
UU mengamanatkan otonomi daerah ada dikabupaten kota, tapi ini pun masih diperdebatkan oleh berbagai pihak. Terjadi tumpang tindih, dan tidak efektif, belum lagi Pemerintah Pusat “bermain mata”, seakan-akan pemimpin daerah tidak bisa mengatur daerahnya sendiri. Semakin kacaulah daerah meski otonomi daerah itu diatas kertas dikatakan lebih membebaskan pemimpjn daerah mengatur daerahnya.
(CN): Apakah dengan membebaskan pemimpin daerah mengatur daerahnya, anda yakin benar bahwa kita mampu mendistribusikan keseimbangan pembagian kekuasaan antara pusat dengan daerah?
(HN): Iya, banyak yang memperdebatkan soal wewenang daerah terkait otonomi daerah, kerap orang menyebut pemimpin daerah memiliki keluluasan untuk mengatur daerah, padahal tidak. Sebagai contoh, daerah saya, Halmahera Utara, ketika ada proyek yang mengutamakan rakyat banyak, saya menginstruksikan untuk memberi rekomendasi, jangan dipungut biaya, tiba-tiba ketika si pengada proyek tersebut mengurus ketingkat Gubernur diatas saya terkait perizinan harus ada biaya tambahan, ini menghina kedaulatan kepemimpinan saya, melecehkan otoritas lokal seorang pemimpin lokal.
Lantas dimana letak kebebasan pemimpin daerah mengatur daerahnya? Sudah dapat diberikan rekomendasi izin, namun dengan beragam cara malah mereka yang sudah mendapatkan izin ditingkat lokal tersebut, justru didesak harus kembali mengurus izin kepada tingkat provinsi, dan dikenakan biaya pula.
Semisal lagi, pada tataran pemerintah kabupaten sudah memberikan izin untuk suatu pengelolaan sumberdaya alam, namun kemudian dilapangan, mereka didesak lagi harus meminta izin kepada pemerintah provinsi dan pusat, dari fenomena yang saya sebut “Premanisme Aparat” itu, bukan hisapan jempol bahwa fenomena transaksional untuk saling menguntungkan terus membuat standar ganda dalam kebijakan lokal-nasional.
Fenomena itu tidak menguntungkan masyarakat daerah. Saya terkaget-kaget ketika saya berikan rekomendasi untuk proyek kepentingan rakyat, ketika melakukan izin ke provinsi malah dipersulit.
(CN): Apakah ada contoh kasusnya di daerah di HALUT Pak.Hein?
(HN): Ada. Soal UU Izin Perubahan Hutan, karena daerah Halmahera Utara banyak memiliki hutan konversi yang akan menguntungkan masyarakat daerah jika itu terlaksana, hal itu saya lakukan sudah lama, dan baru 1 tahun kebelakang ini baru keluar surat izin tersebut. Ada lagi soal sistem pembagian hasil pertambangan emas, salah satu perusahaan swasta menginginkan mengeksplorasi, dan kita meminta jatah 5% untuk daerah, tapi ketika bertemu di Jakarta untuk merapatkan hal ini bersama dengan kaum profesional yang mengerti pertambangan, mereka justru memaparkan daerah hanya bisa mendapat 0,sekian % dari angka 5% yang kita minta, dan nilai dari angka 0,sekian % itu hanya 20 Milyar. Tentu saya berang melihat ini, saya menanyakan hal tersebut ke Dirjen Sumber Daya Alam dan Mineral, mereka justru menyebut angka ini sudah sangat besar. Ini hal yang tidak benar, mereka itu orang Indonesia atau orang luar yang menjajah kita?
Didalam UU sumber daya alam sudah jelas, apa itu pertambangan, kelautan, kehutanan, pertanian untuk daerah seperti yang saya katakan hanya 30% yang ada di Indonesia, 30 % itu pun masih juga dikorupsi. Itu mentalnya sudah seperti itu. Dimana letak kemakmuran masyarakat daerah dan kedulatan otoritas pemerintah lokal dalam menciptakan kemudahan perizinan di daerah?
(CN): Apa pendapat bapak, jika ada penyebutan raja-raja kecil terhadap pemimpin daerah?
(HN): Raja kecil muncul karena ada raja besar. Raja kecil itu yang ada dilingkaran provinsi, sementara tingkat pusat seolah malah ingin berperan aktif sebagai raja-raja besar yang menghantam raja-raja kecil terlebih dahulu, menghantam dalam artian memperhambat izin dan kinerja pemimpin daerah untuk memakmurkan daerahnya.
Seperti yang contohkan dengan berbagai kasus diatas, siapa sebenarnya raja? Siapa yang sebenarnya memotong banyak anggaran untuk kepentingan masyarakat daerah dengan politik transaksional itu, lihat saja bagaimana anggaran 20 Milyar hanya untuk membangun halte di Jakarta, padahal sebenarnya bisa dengan angaran hanya 1 Milyar, sedangkan kita di daerah hanya mendapat anggaran 5 Milyar untuk membangun jembatan yang masih sangat urgent.
(CN): Apa Solusi Terbaik menurut anda terkait carut marut ini Pak.Hein?
(HN): Wah… Itu sangat mudah kawan, katakan kepada setiap pemimpin pusat dan daerah, bahwa UTAMAKAN KEPENTINGAN RAKYAT! Itu adalah mutlak bagi setiap kepemimpinan disetiap jengkal Nusantara kita ini.
Ketika otak kita terus memberikan kesempatan untuk diracuni oleh nafsu-nafsu duniawi, kita tidak akan pernah menemukan pemimpin yang kerap diimpikan oleh rakyat berpredikat RATU ADIL itu, dan ketika anda baru akan naik kepada suatu jabatan saja sudah bersahabat dengan politik uang ala partai politik saat ini, maka jangan berharap nantinya kepemimpinan anda akan jauh dari rong-rongan mereka yang telah membantu anda menjadi pemimpin, merek sudah keluar uang untuk membantu kampanye anda, ya wajar saja kalau saat anda berkuasa mereka datang lagi kepada anda untuk menyadarkan anda agar “berbalas budi” kepada mereka.
Karena itu saya tegas menyatakan diri maju sebagai calon Gubernur Maluku Utara melalui Jalur independen yang bebas dari kepentingan kepartaian, saya tidak mau lagi-lagi jadi pemimpin yang punya latar belakang “Transaksional Jabatan”.
Kalau saya punya bermilyar uang untuk membesarkan kampanye saya, saya tegas tidak akan memberikan uang itu untuk sistem partai yang rakus. Saya lebih memilih untuk menjadi Robin Hood sajalah, berjalan bersama rakyat, memenangkan kepentingan rakyat meski saya harus tersakiti mengalahkan kepentingan pribadi saya.
Demikianlah Hein Namotemo, pemimpin yang dikenal sebagai pemimpin tingkat lokal yang selalu mengutamakan menjadi pemimpi yang kultural, membangun kemitraan dengan rakyatnya dan memimpin tanpa sikap represif seolah jabatan kenegaraan justru adalah legalisasi penjajahan baru.
Seperti kata Ir.Soekarno yang merupakan tokoh panutan Hein, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”, inilah petuah Soekarno yang selalu menjadi sejenis pengingat bagi Hein, karenanya ia lebih memilih untuk MELAWAN ARUS ketimbang menjemput keterpurukan dan hujadan sejarah ketika lebih memilih berjalan seiring arus kelaliman pemimpin saat ini. Bagi Hein tegas bahwa: PEMIMPIN ADALAH PENYAMBUNG LIDAH RAKYAT! (DSPSH)
Anda kata pemimpin negara kita seperti ini, Indonesia tidak perlu ngutang ke negara lain gan...

Diterbitkan Pertama Kali Pada KORAN NASIONAL CITRA NUSANTARA Edisi Ke-04 Februari 2013
ane mau share dikit mengenai wawancara antara KORAN NASIONAL CITRA NUSANTARA dengan Ir.Hein Namotemo MSP (Bupati Halmahera Utara).
Beliau merupakan pemimpin yg memperjuangkan hak rakyat. tapi saja selalu terhambat oleh pemerintah pusat kita. Dengan kepemimpinan Beliau Halmahera Utara menjadi lebih maju dan berkembang di banding dengan kabupaten-kabupaten lain yang ada di Prov. Maluku Utara.
Langsung aja gan ane lampirkan Hasil wawancaranya...
Spoiler for Wawancara:
Jakarta (CN)– Persoalan otonomi daerah yang masih kerap menjadi pro dan kontra hingga saat ini, tak sekadar pada asumsi yang berkembang mengenai munculnya “raja-raja kecil”. Persoalan mendasar yang tidak kita pahami ialah bagaimana otonomi daerah belum memberikan dampak signifikan bagi kemakmuran masyarakat di tingkat lokal.
Terkait hal otonomi daerah yang masih sangat “Bias” dalam “Membagi Kekuasaan” antara lokal dengan Nasional, dan dipertajam dengan “Legalisasi Perlakuan Represif Aparat” seiring dengan diterbitkannya Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2013, Ketua Dewan Adat Nasional – Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) – Ir.Hein Namotemo MSP, angkat bicara.
Berikut wawancara ekslusif Redaksi Citra Nusantara bersama jurnalis Donny Suryono PSH dengan Hein Namotemo, yang pula merupakan penjabat Bupati Halmahera Utara.
CITRA NUSANTARA (CN): Pak.Hein, bagaimana anda memandang persoalan otonomi daerah yang selama ini masih menjadi pro dan kontra di tengah masyarakat, ini kaitannya dengan kian miskinnya masyarakat diberagam daerah yang memiliki sumber daya alam luarbiasa kaya sekaligus tuduhan-tuduhan klasik bahwa otonomi daerah menciptakan “Raja-Raja Kecil” yang kembali menindas kesejahteraan rakyat?
HEIN NAMOTEMO (HN): Sebelum saya menjawab itu, saya sedikit paparkan mengenai fakta yang saya alami sendiri selama satu dasawarsa saya menjabat sebagai Bupati Halmahera Utara (HALUT).
Pada zaman Belanda, daerah memperoleh 15% dari hasil sumber daya alam yang dieksploitasi oleh penjajah. Sekarang, di zaman kemerdekaan tinggal berapa? Hanya tinggal 2,5% dan sampai saat ini belum di aktulisasi. Lebih parahnya, daerah hanya “dihormati” dengan sekadar program CSR (Corporate Social Responsibility), dan itu hanya 1% dari jumlah kekayaan perusahaan yang mengeruk sumber daya alam di daerah.
Jika dihitung lebih jauh, bagi hasil secara nasional bisa mencapai 20-30%, namun itu tidak terlaksana. Malah sumber daya alam nasional yang berasal dari daerah itu dibawa keluar negeri mencapi 70-80%, padahal jika setengah saja dari angka itu ada di Indonesia, bayangkan betapa makmurnya bangsa kita, keadilan ekonomi benar-benar akan nyata bagi seluruh lapisan rakyat. Tidak perlu lagi kita berhutang kepada bangsa lain.
(CN): Anda melihat fakta ini berpangkal dari kesalahan pada sisi mana Pak.Hein?
(HN): Yang paling utama, adanya praktek politik transaksional yang tidak jarang terjadi mulai dari hulu sampai ke hilir birokrasi di negara kita ini. Artinya peraturan dapat dikatakan tidak mengatur secara tegas praktek-praktek seperti ini karena nyatanya penyimpangan-penyimpangan kekuasaan seperti ini tak pernah mampu kita sudahi, Undang-Undang kita juga salah, sebagai contoh UU Pertanahan, disini ada dualisme kebijakan negara.
Konstitusi jelas melindungi kedualatan hukum adat dan masyarakat adat didalamnya. Namun prakteknya, jika disuatu lahan yang ingin dimanfaatkan oleh siapapun dan diatas lahan tersebut ada unsur masyarakat adat, maka UU Pertanahan yang menjadi tameng untuk intervensi pusat, seluruh tanah secara nasional termasuk tanah adat didalamnya malah diklaim dimiliki oleh pemerintah pusat dengan dalih-dalih untuk kepentingan negara secara nasional, namun kita tak jernih berpikir bahwa sejatinya kepentingan negara adalah pula memenangkan kepentingan rakyat, bukankah masyarakat adat yang terusir dari kampung halamannya yang sudah ratusan tahun turun temurun mereka tinggali itu, juga merupakan rakyat?
Jika ada kasus yang berkaitan dengan tanah masyarakat adat, hukum yang dipakai adalah hukum tanah nasional yang dimiliki pemerintah. Padahal di Pasal 18 UU mengenai Agraria, mengatur jika terjadi konflik dengan masyarakat adat maka aturan adat-lah yang mutlak digunakan, artinya tanah ulayat itu yang digunakan dan mutlak dihormati keberadaannya untuk terus dihuni dan dikelola segala kekayaan alamnya didalamnya oleh masyarakat adat itu sendiri.
Kita akan terus jadi bangsa yang diwarnai oleh konflik berkepanjanga, karena kita telah begitu meninggalkan kearifan lokal kita, hukum adat diinjak-injak dengan hukum yang sesungguhnya merupakan warisan penjajah, yang dinegeri asalnya penjajah itu sendiri sudah tidak dipergunakan lagi, sialnya lagi, presiden seolah tutup mata dengan akar masalah pertambangan dan agraria yang memicu konflik-konflik lokal, dengan INPRES No.2/2013 yang multi tafsir itu, presiden nyata lebih mengutamakan terciptanya citra keamanan yang kondusif, diatas tangisan ribuan masyarakat adat yang terusir dari tanah kelahiran mereka dan terlegalisasi untuk diperlakukan represif oleh aparat yang tidak paham akar masalah diakar rumput.
Bukannya tegas dengan mengakomodir hukum adat sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi ialah mutlak menjadi landasan kebijakan lokal mupun nasional, ini malah presiden seolah ingin cari gampangnya saja menyelesaikan konflik-konflik ditataran lokal, dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2013.
INPRES tersebut memang perlu di keluarkan, namun tidak serta merta diberlakukan tanpa batasan-batasan yang jelas. Kalau saja Gubernur atau bupati disuatu daerah konflik itu paham benar soal kedaulatan masyarakat adat, INPRES ini baik untuk diberlakukan. Namun, betapa menyeramkannya bila pemerintah lokal disuatu wilayah konflik ternyata punya kepentingan memenangkan para memilik modal yang rakus atau bahkan punya kepentingan terselubung untuk mengeruk untung yang bukan untuk kemaslahatan rakyat.
INPRES ini bisa menjadi senjata ampuh untuk mensukseskan “PELUMATAN KEDAULATAN MASYARAKAT ADAT”.
(CN): Apakah anda ingin menyatakan bahwa pemerintah pusat, dalam hal ini Presiden beserta jajarannya itu bukanlah pemerintahan yang kultural ke-Indonesia-an Pak Hein?
(HN): Tegas saya nyatakan ITU BENAR! Adanya krisis spirit, krisis moral, dan krisis paradigma para pemimpin. Lihat bagiaman kita mulai terbiasa menyikapi janji-janji pemimpin yang pada awalnya berbicara indah, tapi dibelakangnya kemudian tidak pernah konsisten.
Konsistensi pemimpin kita saat ini justru terus melanggengkan konsistensi yang membuat masyarakat menderita. Seolah membohongi rakyat itu justru trend gaya hidup, padahal membohongi rakyat adalah membohongi Tuhan.
Dari krisis-krisis tadi muncul praktek-praktek negosiasi pada tiap produk hukum dan kebijakan lokal maupun Nasional yang dihasilkan untuk masyarakat. Salah satu contoh, UU pertambangan pada pasal pembagian, ada muncul negosiasi bagaimana elit politik dan pengusaha saling bersinergis untuk mendapatkan keuntungannya masing-masing. Lalu pula di UU Kretek Tembakau misalnya, ada muncul praktek negosiasi yang sama dalam pasal pembagian hasil.
(CN): Apa yang sebenarnya menjadi masalah di daerah terkait dengan otonomi daerah ini?
(HN): Masalahnya adalah ketidaktegasan dari peraturan otonomi daerah tersebut, belum lagi permasalahan tumpang tindih di daerah. Saya tanya dimana otonomi? di provinsi, atau di kabupaten kota? provinsi itu wilayahnya ada dimana? Dan kabupaten kota wilayahnya dimana?
Soal anggaran kabupaten kota diberikan anggaran, maka provinsi pun diberikan anggaran pula untuk menciptakan hal dan tujuan yang sama, bukankah itu pemborosan? Anggaran double tapi hasilnya sama. Tidak pernah menyentuh kepentingan rakyat dipelosok Nusantara.
UU mengamanatkan otonomi daerah ada dikabupaten kota, tapi ini pun masih diperdebatkan oleh berbagai pihak. Terjadi tumpang tindih, dan tidak efektif, belum lagi Pemerintah Pusat “bermain mata”, seakan-akan pemimpin daerah tidak bisa mengatur daerahnya sendiri. Semakin kacaulah daerah meski otonomi daerah itu diatas kertas dikatakan lebih membebaskan pemimpjn daerah mengatur daerahnya.
(CN): Apakah dengan membebaskan pemimpin daerah mengatur daerahnya, anda yakin benar bahwa kita mampu mendistribusikan keseimbangan pembagian kekuasaan antara pusat dengan daerah?
(HN): Iya, banyak yang memperdebatkan soal wewenang daerah terkait otonomi daerah, kerap orang menyebut pemimpin daerah memiliki keluluasan untuk mengatur daerah, padahal tidak. Sebagai contoh, daerah saya, Halmahera Utara, ketika ada proyek yang mengutamakan rakyat banyak, saya menginstruksikan untuk memberi rekomendasi, jangan dipungut biaya, tiba-tiba ketika si pengada proyek tersebut mengurus ketingkat Gubernur diatas saya terkait perizinan harus ada biaya tambahan, ini menghina kedaulatan kepemimpinan saya, melecehkan otoritas lokal seorang pemimpin lokal.
Lantas dimana letak kebebasan pemimpin daerah mengatur daerahnya? Sudah dapat diberikan rekomendasi izin, namun dengan beragam cara malah mereka yang sudah mendapatkan izin ditingkat lokal tersebut, justru didesak harus kembali mengurus izin kepada tingkat provinsi, dan dikenakan biaya pula.
Semisal lagi, pada tataran pemerintah kabupaten sudah memberikan izin untuk suatu pengelolaan sumberdaya alam, namun kemudian dilapangan, mereka didesak lagi harus meminta izin kepada pemerintah provinsi dan pusat, dari fenomena yang saya sebut “Premanisme Aparat” itu, bukan hisapan jempol bahwa fenomena transaksional untuk saling menguntungkan terus membuat standar ganda dalam kebijakan lokal-nasional.
Fenomena itu tidak menguntungkan masyarakat daerah. Saya terkaget-kaget ketika saya berikan rekomendasi untuk proyek kepentingan rakyat, ketika melakukan izin ke provinsi malah dipersulit.
(CN): Apakah ada contoh kasusnya di daerah di HALUT Pak.Hein?
(HN): Ada. Soal UU Izin Perubahan Hutan, karena daerah Halmahera Utara banyak memiliki hutan konversi yang akan menguntungkan masyarakat daerah jika itu terlaksana, hal itu saya lakukan sudah lama, dan baru 1 tahun kebelakang ini baru keluar surat izin tersebut. Ada lagi soal sistem pembagian hasil pertambangan emas, salah satu perusahaan swasta menginginkan mengeksplorasi, dan kita meminta jatah 5% untuk daerah, tapi ketika bertemu di Jakarta untuk merapatkan hal ini bersama dengan kaum profesional yang mengerti pertambangan, mereka justru memaparkan daerah hanya bisa mendapat 0,sekian % dari angka 5% yang kita minta, dan nilai dari angka 0,sekian % itu hanya 20 Milyar. Tentu saya berang melihat ini, saya menanyakan hal tersebut ke Dirjen Sumber Daya Alam dan Mineral, mereka justru menyebut angka ini sudah sangat besar. Ini hal yang tidak benar, mereka itu orang Indonesia atau orang luar yang menjajah kita?
Didalam UU sumber daya alam sudah jelas, apa itu pertambangan, kelautan, kehutanan, pertanian untuk daerah seperti yang saya katakan hanya 30% yang ada di Indonesia, 30 % itu pun masih juga dikorupsi. Itu mentalnya sudah seperti itu. Dimana letak kemakmuran masyarakat daerah dan kedulatan otoritas pemerintah lokal dalam menciptakan kemudahan perizinan di daerah?
(CN): Apa pendapat bapak, jika ada penyebutan raja-raja kecil terhadap pemimpin daerah?
(HN): Raja kecil muncul karena ada raja besar. Raja kecil itu yang ada dilingkaran provinsi, sementara tingkat pusat seolah malah ingin berperan aktif sebagai raja-raja besar yang menghantam raja-raja kecil terlebih dahulu, menghantam dalam artian memperhambat izin dan kinerja pemimpin daerah untuk memakmurkan daerahnya.
Seperti yang contohkan dengan berbagai kasus diatas, siapa sebenarnya raja? Siapa yang sebenarnya memotong banyak anggaran untuk kepentingan masyarakat daerah dengan politik transaksional itu, lihat saja bagaimana anggaran 20 Milyar hanya untuk membangun halte di Jakarta, padahal sebenarnya bisa dengan angaran hanya 1 Milyar, sedangkan kita di daerah hanya mendapat anggaran 5 Milyar untuk membangun jembatan yang masih sangat urgent.
(CN): Apa Solusi Terbaik menurut anda terkait carut marut ini Pak.Hein?
(HN): Wah… Itu sangat mudah kawan, katakan kepada setiap pemimpin pusat dan daerah, bahwa UTAMAKAN KEPENTINGAN RAKYAT! Itu adalah mutlak bagi setiap kepemimpinan disetiap jengkal Nusantara kita ini.
Ketika otak kita terus memberikan kesempatan untuk diracuni oleh nafsu-nafsu duniawi, kita tidak akan pernah menemukan pemimpin yang kerap diimpikan oleh rakyat berpredikat RATU ADIL itu, dan ketika anda baru akan naik kepada suatu jabatan saja sudah bersahabat dengan politik uang ala partai politik saat ini, maka jangan berharap nantinya kepemimpinan anda akan jauh dari rong-rongan mereka yang telah membantu anda menjadi pemimpin, merek sudah keluar uang untuk membantu kampanye anda, ya wajar saja kalau saat anda berkuasa mereka datang lagi kepada anda untuk menyadarkan anda agar “berbalas budi” kepada mereka.
Karena itu saya tegas menyatakan diri maju sebagai calon Gubernur Maluku Utara melalui Jalur independen yang bebas dari kepentingan kepartaian, saya tidak mau lagi-lagi jadi pemimpin yang punya latar belakang “Transaksional Jabatan”.
Kalau saya punya bermilyar uang untuk membesarkan kampanye saya, saya tegas tidak akan memberikan uang itu untuk sistem partai yang rakus. Saya lebih memilih untuk menjadi Robin Hood sajalah, berjalan bersama rakyat, memenangkan kepentingan rakyat meski saya harus tersakiti mengalahkan kepentingan pribadi saya.
Demikianlah Hein Namotemo, pemimpin yang dikenal sebagai pemimpin tingkat lokal yang selalu mengutamakan menjadi pemimpi yang kultural, membangun kemitraan dengan rakyatnya dan memimpin tanpa sikap represif seolah jabatan kenegaraan justru adalah legalisasi penjajahan baru.
Seperti kata Ir.Soekarno yang merupakan tokoh panutan Hein, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”, inilah petuah Soekarno yang selalu menjadi sejenis pengingat bagi Hein, karenanya ia lebih memilih untuk MELAWAN ARUS ketimbang menjemput keterpurukan dan hujadan sejarah ketika lebih memilih berjalan seiring arus kelaliman pemimpin saat ini. Bagi Hein tegas bahwa: PEMIMPIN ADALAH PENYAMBUNG LIDAH RAKYAT! (DSPSH)
Anda kata pemimpin negara kita seperti ini, Indonesia tidak perlu ngutang ke negara lain gan...

Spoiler for Ir. Hein Namotemo MSP (Bupati Halmahera Utara):

Diterbitkan Pertama Kali Pada KORAN NASIONAL CITRA NUSANTARA Edisi Ke-04 Februari 2013
0
1.8K
Kutip
6
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan