- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Sang Penakhluk Harimau Tanpa Senjata


TS
andhrapdlbjkt
Sang Penakhluk Harimau Tanpa Senjata
Syarwani Sabi
TAK ADA yang istimewa pada sosok Syarwani Sabi. Tubuhnya mungil, pakaiannya lusuh, kulitnya legam keriput dimakan usia yang sudah 72 tahun.
Di balik kesederhanaan itu, ia adalah sosok luar biasa; si raja rimba saja bisa takluk di tangannya. “Sudah 100 ekor lebih saya tangkap harimau,” katanya, di Gunung Sikundo, Kecamatan Pante Ceurmen, Aceh Barat, Rabu (28/10-09).
Syarwani, ayah 14 anak, merupakan warga Sawang Teubei, Kecamatan Kawai XIV, Aceh Barat.
Mulai masuk hutan sejak kecil, bersama orangtuanya. Ia membaca gerak-gerik ayahnya menaklukkan ganasnya harimau. “Saat itu saya masih sekolah Jepang buat (Sekolah Rakyat setingkat SD sekarang-red),” kisahnya. “Ayah juga sering melarang saya ikut, karena saya masih kecil.”
Hobi yang menggebu, membuatnya ngotot ingin seperti sang ayah. Ia beruapaya membaca bahasa tubuh harimau dan belajar cara berinteraksi dengan binatang itu.
Sang ayah akhirnya luluh. Saat persyaratan diajukan terpenuhi, ‘sang guru’ pun menurunkan ilmu serta doa yang harus diamalkan. “Syaratnya kita harus sabar, tidak somobong dan harus suka membantu.”
Selepas orangtuanya tiada, berbekal ilmu diberikan, ia melanjutkan perjuangan sang ayah. Beranjak remaja, Syarwani mulai berpetualang sendiri di hutan. Di mana ada kabar harimau ‘mengamuk’, ia jadi penawar. Dengan cara serba tradisional, satu satu raja rimba takluk di tangannya.
Namanya pun kian melejit di kalangan warga pelosok barat-selatan Aceh. Nyaris saban hari ia dipanggil untuk meredam ganasnya raja rimba. Tiap harimau yang ditangkap, warga membayar jerih Syarwani seikhlasnya. “Saya tidak pernah meminta, saya suka membatu orang.”
Saat itu, kata Syarwani, harimau yang ditangkap, langsung dihabisi oleh warga.
Berkah tsunami mencerdaskan warga. Setelah banyak tumbuh lembaga pelindung satwa dan pecinta lingkungan di Aceh, saban satwa dilindungi serupa harimau tertangkap, warga menyerahkan ke pihak itu.
Konflik antara satwa dan manusia tinggi di Aceh. Wildlife Conservation Society (WCS) mencatat, kurun 2007-2009, ada 17 kali terjadi. 13 kali pada 2007 dan dua kali masing-masing di 2008 serta sepanjang 2009.
“Paling banyak terjadi di Aceh Selatan,” kata Munawar Kholis, pekerja WCS, Oktober lalu.
Di bumi pala itu, Syarwani, punya kesan tak terlupakan sepanjang hidupnya. 2007 lalu, usai menaklukkan seekor harimau yang telah memangsa enam manusia (lima di antaranya tewas) di Puelumat, Kecamatan Labuhan Haji, karirnya melonjak drastis.
Syarwani berhasil menangkapnya setelah empat pawang dari Aceh dan Sumatera Barat lain gagal.
Usai itulah, Balai Konservasi Sumbar Daya Alam (BKSDA) Aceh menasbihkannya sebagai pawang harimau se-Aceh melalui selembar SK (surat keputusan). Kini, Syarwani rutin menerima gaji atas profesi langka itu saban bulan.
Setengah abad lebih bergelut dengan raja hutan, Syarwani sadar akan usianya. Ia mengaku sudah menurunkan ilmunya kepada tiga dari sembilan anaknya yang masih hidup.
Tapi, kata dia, anaknya tak seagresif dirinya. Meski sudah bisa, tapi jarang berpetualang. “Mungkin ketika saya sudah meninggal nanti, mereka akan berubah dengan sendirinya,” kata dia.

Ucok Parta/ACEHKITA.COM
Syarwani juga bersedia memberi ilmunya kepada siapa saja yang yakin ingin mengamalkannya. Tapi, kata dia, syaratnya harus bertanggungjawab. “Masalahnya, sekarang orang yang bertanggungjawab susah kita dapat.”
Ia berpesan agar masyarakat tak merambah hutan. Konflik satwa manusia, menurutnya, muncul karena habitat mereka sudah terusik. “Harimau itu pada dasarnya seperti aulia Tuhan, dia tidak akan mengganggu manusia. Dia butuh ketenangan,” ujarnya. Sumber : ACEHKITA.COM
Rajo Lelo
“Kok tidak landang jo landi, dimano kiambang diam. Kok indak utang dibayia, dimano dagang ka diam” Tiba-tiba bulu kuduk berdiri, saat Syamsir Rajo Lelo, yang duduk di depan penulis melafazkan dua kalimat mantra tersebut, Senin (20/5) sore. Darah berdesir, hati terkesiap, mendengar suara berat kakek bercucu 26 orang tersebut. Jelas bukan kalimat biasa. Ada nuansa balas dendam dari untaian kata itu.Jika dipahami, kalimat tersebut sarat makna. Dimana, seseorang yang berhutang, bagaimana pun caranya mesti membayar setimpal. Tidak ada cerita menunda, apalagi melupakan. Namun, lelaki tua berjenggot putih, dengan usia lebih dari 80 tahun itu, tidak menujukan kalimat pemanggil tersebut, kepada manusia. Tapi, terhadap sesuatu yang menakutkan. Binatang buas bernama harimau (panthera tigris sumatrae). Penguasa rimba Sumatera, yang oleh tetua Minangkabau dipanggil inyiak.
“Itu lafaz pemanggil inyiak yang masuk perkampungan. Jika tak datang, akan tewas dengan sendirinya atau dibunuh oleh inyiak lain. Itu sudah perjanjian lama, tak bisa ditawar,” tutut Syamsir Rajo Lelo.
Ungkapannya seperti memerkuat, aroma ketakutan dari apa yang dibacanya, kala siang telah usai di beranda rumahnya, daerah Taruko Rodi, Kelurahan Limau Manih Selatan, Kecamatan Pauh, Kota Padang, Sumatera Barat. Daerah pinggiran yang belum sepenuhnya tersentuh roda pembangunan.
Lahir 11 Januari 1933, Syamsir Rajo Lelo, adalah satu-satunya pawang harimau yang hidup di Kota Padang. Pria tua yang hanya mengecap pendidikan formal sampai jenjang kelas II Sekolah Rakyat (SR) itu, juga merupakan pewaris terakhir ilmu pikek harimau yang dimiliki secara turun temurun oleh keluarganya.
Meski telah uzur, jangan bayangkan Rajo Lelo, seorang lelaki renta yang berjalan dengan bantuan tongkat atau hanya bisa duduk di kursi roda untuk menghabiskan hari tua. Rajo Lelo adalah lelaki kuat. Jalannya mantap, bicaranya cakap. Telinganya pun masih bisa menangkap pembicaraan dengan jelas. Pola “hidup berkeringat” yang dijalankannya, betul-betul membuatnya selalu bugar. Di tangannya, tak kurang sudah 30 harimau takluk. Bukan dijerat mati, tapi ditangkap hidup-hidup.
Cukup pelik awalnya meminta Rajo Lelo mengingat memori hidupnya. Memaparkan lagi kepada penulis, bagaimana akhirnya dia mamutuih kaji lalu memilih hidup jadi pamikek harimau. Namun, akhirnya, setelah hampir setengah jam membujuk, Rajo Lelo membuka kisah untuk dirawikan kembali. “Saya hanya berharap, semuanya bisa jadi amalan,” ungkapnya memulai cerita.
Bakat langka Syamsir Rajo Lelo, bukan didapatnya dengan mudah. Tidak datang dengan sendirinya. Butuh perjuangan, hingga kemudian dia bisa mengamalkan ilmu itu. “Saya mendapatkannya dari mamak (paman-red). Dia penangkap harimau ulung. Tak terhitung harimau yang bertekuk dihadapannya. Saya pertama kali ikut menangkap harimau dengan mamak pada 1952 di daerah Batu Busuak. Ada dua ekor yang berhasil ditangkap waktu itu,” tutur Rajo Lelo, yang terpaksa berhenti sekolah karena Sekolah Rakyat (SR) tempatnya menuntut ilmu di tengah Kota Padang, ditutup paksa tentara Belanda pada 1941.
Yakin dengan pilihannya, Rajo Lelo yang kala itu masih berumur delapan tahun, akhirnya diantarkan sang mamak ke Ulakan, Padangpariaman tepatnya di pusat pengajian Syech Burhanuddin. “Saya disuruh dulu memperdalam ilmu agama, menyucikan diri dan membuang segala amarah berlebihan di diri oleh mamak. Kalau tak begitu, katanya tidak bisa menjadi pamikek harimau. Saya diantarkan ke Pesantren Syech Burhanuddin. Dulu santri di sana ramai,” kenang Rajo Lelo.
Di Pesantren Syech Burhanuddin, Rajo Lelo ditempa ilmu tarekat selama tujuh tahun. Selama itu pula dia giat belajar. “Lewat tujuh tahun, barulah saya naik tingkat dan diajarkan secara khusus cara mamikek harimau. Ada pula selama tujuh tahun saya belajar ilmunya,” beber pemilik dua mushalla tersebut.
Boleh dikatakan, Rajo Lelo adalah orang pilihan. Dari 37 orang yang mengaji ilmu pikek harimau di masa itu, hanya dua orang yang lulus. Dia dan satu temannya dari Aceh. Yang terpatri di hati Rajo Lelo, saat dia mamutuih kaji (ujian akhir-red), oleh sang guru, seluruh santri diberi pisau yang sangat tajam. “Jangankan dipegang, melihat mata pisau itu saja, bergidik kita,” cerita Rajo Lelo.
Berbeda dengan teman-temannya yang langsung menggunakan pisau, untuk pekerjaan, Rajo Lelo malah menyimpannya. Menurut hematnya, belum saatnya pisau pemberian guru digunakan. “Ternyata benar, yang lulus pengajian adalah santri yang pisaunya masih tajam. Saya lulus dan akhirnya boleh mamikek harimau,” sebut Rajo Lelo sumringah.
Sejak saat itu, Syamsir Rajo Lelo melanglang buana jadi penangkap harimau. Sudah berpuluh rimba yang dia masuki untuk menangkap hewan pemangsa itu. Namun, jangan sangka Rajo Lelo menangkap harimau untuk diperjualbelikan. Dia hanya menangkap harimau yang mengganggu warga, mengusik ketenangan kampung.
“Harimau yang ditangkap itu, yang masuk perkampungan. Harimau yang memakan ternak warga. Kalau tidak masuk perkampungan, tak akan diganggu apalagi diperangkap. Tidak ada yang tidak datang kalau saya sudah memanggil mereka,” sebut Rajo Lelo jumawa.
Untuk menangkap harimau, Rajo Lelo tetap memakai pinjaro kayu maransi (kayu yang kuat khas daerah Sumbar-red). Lalu, sebagai umpan, dimasukkan kambing yang sebelumnya sudah di-limau dan dihembuskan asap kemenyan. “Istilahnya, sudah kita beri rajah. Pemanggil harimau. Ada bacaan yang mesti dilafazkan. Yang tadi saya sebutkan bagian dari potongan lafaz itu,” tutur Rajo Lelo.
Dalam hitungan semalam, harimau akan masuk kandang secara sukarela. “Tidak akan mungkin salah tangkap, inyiak yang masuk pinjaro (penjara/kurungan-red) adalah yang mengganggu perkampungan. Tidak jarang diantarkan oleh harimau-harimau lainnya. Itu tandanya, mereka sudah mengakui kesalahan dan bersedia menebusnya,” ucap pria yang empat orang keluarganya tewas dihantam galodo, akhir 2012 lalu di Kampuang Ubi, Batubusuak, Padang.
Hingga akhir 1995, tak kurang sudah 30 harimau yang ditangkap Rajo Lelo hidup-hidup. Harimau yang ditangkapnya diserahkan ke Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumbar untuk dikembangkan di habitat lain. Rajo Lelo, sendiri hanya meminta uang siliah jariah dan pengganti beli umpan ke petugas BKSDA.
Mengabdi di Jalan Tuhan….
SUATU waktu di periode 1990-an, warga di kaki Karang Putiah, Indaruang, buncah. Auman harimau hampir setiap malam menggelegar. Masyarakat bergidik. Harimau turun bukit. Tak seekor, tapi tiga. Sang raja melabrak kandang, menyeret ternak dan meninggalkan bangkai di tengah pemukiman, lalu pergi untuk kembali lagi esok hari.
Saat rasa takut menyelimuti perkampungan, Rajo Lelo dipanggil untuk menuntaskan rasa takut itu. Dengan segala kecakapan yang dimiliki, dipanggilnya sang raja hutan. Hanya sebaris dua baris doa, si pengusik datang. Panjangnya lebih dua meter. Dengan tatapan, dua ekor raja hutan itu tunduk. “Kami ketakutan saat itu. Harimau mengusik. Satu-satunya cara, ya memanggil Rajo Lelo,” tutur Atin (71), yang duduk di balai-balai rumah Rajo Lelo. Dia menunggu waktu untuk diurut.
Saat Rajo Lelo datang, dia menyuruh warga kampung menyiapkan kambing dan kayu Maransih, untuk dibuatkan jadi pinjaro. Setelah diruwat, umpan berupa kambing dimasukkan ke dalam pinjaro. Rajo Lelo lantas mengitari lokasi kandang dengan memercikkan air. “Saya menunggu sembari merapalkan doa-doa. Pertama itu, banyak nyamuk yang datang ke lokasi. Awalnya tidak ada. Setelah itu, barulah dia datang. Harimau. Besar, dengan mata yang sudah sayu, masuk kandang, setelah itu terkulai,” sebut Rajo Lelo.
Sekali pun Rajo Lelo tidak melukai, dia memanggil dengan untaian doa. Memaparkan perjanjian antara manusia dan inyiak itu. Dia tenang-tenang saja. Mendekati pinjaro dan seperti bicara dengan harimau itu. Tapi, bagi warga itu sebuah ketakutan bukan kepalang. Bayangkan saja, harimau sebesar itu berjalan ke arah kita.
Lain lagi cerita Kamaruddin, warga Taruko, Kecamatan Pauh. Dia nyaris tak sadarkan diri, saat menyaksikan tiga harimau berjalan menuju ladang. “Baru sebulan. Hari mulai gelap kala itu. Saya hendak pulang. Dari jarak sekitar 25 meter, saya melihat harimau. Tiga ekor, berjalan beriringan di pematang. Tubuh saya seketika seperti tak bertulang. Dengan menahan nafas, saya biarkan lewat. Nyatanya harimau itu masuk ke kandang, dangau Rajo Lelo. Baru saya tenang, ternyata itu harimau Rajo. Tidak mengganggu,” papar Kamaruddin.
Kisah Lelo Diangkat ke Film
Cerita kehebatan Rajo Lelo memang tak pernah habis. Hampir saban hari dia diceritakan. Bahkan, dua pembuat film dokumenter asal Jepang dan Prancis, sengaja datang ke Kota Padang hanya sekadar bertemu Rajo Lelo. Meminta Rajo Lelo kembali menceritakan kisahnya selama menjadi pamikek harimau.
“Indonesia menjadi contoh keakraban manusia dan harimau. Kalau di negara sana, harimau yang masuk kepemukiman dibunuh,” sebut Gaspard Kuents, sutradara film dokumenter itu.
Rajo Lelo sendiri menyambut baik, keinginan orang asing itu untuk membuatkan film tentang dirinya. Tentang jalan hidup langka yang telah ditinggalkannya berbelas tahun lalu. “Saya berkisah apa yang saya lakoni, bukan dibuat-buat,” tutur Rajo Lelo.
Mengabdi di Jalan Tuhan
Selepas pensiun sebagai pamikek harimau, bukan berarti Rajo Lelo hanya menghabiskan umurnya untuk bermain dengan anak cucu. Dia tetap mengabdi di tengah masyarakat. Selain kepandaian menangkap harimau, Rajo Lelo juga santiang memijit. Mulai dari urut pegal, hingga patah tulang, bisa dia sembuhkan. Tidak terhitung sudah berapa orang yang sembuh di tangannya.
“Mereka datang dari berbagai pelosok. Ada yang dari luar negeri juga. Entah dari siapa mereka tahu, yang pasti saya tidak mengiklankan di media, kalau saya pandai mengobati patah tulang,” tutur Rajo Lelo sembari tersenyum.
Sehari, ada sekitar 50 orang yang mengantri untuk diurut Rajo Lelo. “Tidak mungkin saya tolak. Mereka membutuhkan pertolongan. Sebisanya saya bantu. Alhamdulillah, banyak yang disembuhkan Allah lewat perantara saya,” lanjut Rajo Lelo.
Sudah barang tentu, orang yang disembuhkan Rajo Lelo meninggalkan uang siliah jariah atas pekerjaannya. Tapi, jangan sangka Rajo Lelo menghabiskan uang tersebut untuk dirinya sendiri. Dia menyumbang untuk yatim piatu, kegiatan amal bahkan mendirikan dua mushalla. “Satu di belakang rumah, satunya lagi di kampung saya, Butubusuak,” cerita Rajo Lelo.
Mushalla yang dibangunnya di Batubusuak, sempat rusak berat dihantam galodo yang mendera pada 17 September 2012 lalu. Tidak hanya mushalla yang diseret, empat anggota keluarga Rajo Lelo juga tiada, akibat bencana tersebut. “Tapi sekarang sudah dibangun lagi. Mushalla yang disana, saya peruntukkan untuk keponakan, kalau di rumah, untuk anak. Itulah yang saya tinggalkan jika kelak saya tiada,” ucap Rajo Lelo.
Semangat Rajo Lelo untuk berbagi dan membangun negerinya memang tidak pernah padam. Sudah berpuluh tahun dia mengabdi ke tengah masyarakat. Selama itu pula, Rajo Lelo merasa bangga, bisa membantu.
“Jika nanti saya tiada, entah siapa yang akan mewarisi. Terutama tuah penakluk harimau ini. Tidak ada lagi yang mau belajar. Saya yang terakhir mengamalkannya. Entah mungkin jadi yang terakhir,” kata Rajo Lelo sembari memandang jauh ke halaman rumahnya yang dilapisi batu kerikil.
Sekian lama diam, dia akhirnya berdiri. “Saya mau adzan dulu. Memanggil orang untuk shalat. Lain waktu dilanjutkan,” tuturnya sembari melangkah. Ada semangat dan ajakan kebajikan dari setiap kata yang terucap dari pak tua luar biasa itu.
“Saya Menikmati Sensasi Sorot Mata Raja Hutan”
KISAH heroik Rajo Lelo menangkap harimau berhenti di 1995. Saat itu, pemerintah sudah melakukan pelarangan menangkap harimau dan menetapkan status langka kepada hewan berbulu belang itu. Namun, nama Rajo Lelo tetap harum.
Bahkan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumbar memberikan penghargaan atas dedikasinya menangkap harimau hidup-hidup dan menyerahkannya ke pemerintah. Dia juga masih memiliki tiga ekor harimau, yang saban hari tidur di dangau-nya.
“Tahun 1995, saya akhirnya pensiun sebagai penangkap harimau. Berhenti dalam artian, tidak lagi masuk rimba ke luar rimba. Tapi, jika ada yang minta bantuan, tetap saya tolong. Tersebab saya menangkap harimau bukan dengan kekerasan, sehingga saya diberi penghargaan oleh BKSDA. Saya dianggap peduli terhadap kelangsungan hidup harimau dengan tidak membunuhnya,” sebur Rajo Lelo melanjutkan cerita.
Tapi, pengalaman menangkap harimau tidak pernah dilupakan Rajo Lelo. Baginya, itu merupakan bagian hidup yang tidak akan pernah dilupakan dan termasuk langka. “Bagaimana ketakutan bercampur dengan keberanian, sewaktu menatap mata si raja hutan itu. Saya menikmati,” tutur Rajo Lelo.
Pensiun sebagai pamikek harimau, bukan berarti Rajo Lelo jauh dari binatang buas tersebut. Percaya atau tidak, sekarang ini Rajo Lelo mengaku memiliki tiga ekor harimau, yang saban hari tidur di dangau-nya (rumah dari papan susun sirih), di sebuah ladang, tak jauh dari Rajo Lelo bermukim.
“Tepatnya bukan peliharaan, tapi sahabat. Setiap hari mereka tidur di kandang di bawah dangau. Masyarakat sini juga sering melihat. Harimau itu tidak mengganggu lagi. Sahabat saya. Biasanya, harimau-harimau itu mencari makan sendiri ke hutan. Sesekali saya beri mereka makan telur ayam kampung. Tapi, seringnya cari makan sendiri,” ungkap Rajo Lelo.
Sekarang, yang disesali sang penakluk harimau dari Taruko Rodi itu adalah tingkah manusia. Dia miris menyaksikan ulah manusia yang tidak lagi menaati aturan alam. Berbuat sekehendaknya, bahkan melanggar pantangan yang membuat amuk harimau tak mereda sampai sekarang.
“Jiko tuan ka rimbo gadang, tak usah sesakali mambaok pariuak karaia, pun baitu mangapiang puntuang, karaia tagak jo mangalatiakan aia cucian. Indak usah pulo manggadangan badan. Kok lupo jo nan dijanjian, sudahlah badan ka sangsaro.”
Pepatah di atas merupakan perjanjian secara lisan antara manusia dan inyiak (harimau-red). Bermakna larangan bagi manusia yang akan masuk ke rimba. Meski didengungkan turun-temurun, namun perjanjian ini acap kali terlupakan. Seakan-akan, generasi sekarang sudah tidak lagi menghargai alam. Menaati perjanjian leluhurnya.
“Percaya atau tidak, kita sebenarnya memiliki perjanjian dengan inyiak, dengan segala ciptaan-NYA. Perjanjian lama yang dibuat untuk ditaati. Akan tetapi, itu sekarang dilupakan. Bukan mereka (harimau-red), tapi manusia lah yang tidak menaatinya,” sebut Rajo Lelo.
Disebutkan Rajo Lelo, layaknya manusia, harimau juga memiliki karakter. Prinsipnya, tidak akan mengganggu kalau tak diusik. Baik secara langsung atau tidak. “Nah, tinggal kita lagi, bagaimana menghargai keberadannya. Kalau ada harimau masuk ke kampung, berarti ada yang melanggar aturan itu,” tutur Rajo Lelo.
Sepanjang tidak diganggu, harimau akan menjadi penyelamat manusia jika berada di hutan. Rajo Lelo punya cerita tersendiri tentang pertolongan harimau. “Suatu waktu, di pertenganan tahun 50-an, saya nyaris saja tewas saat dangau yang dibangun di tengah rimba Kampuang Ubi, Batubusuak, Kecamatan Pauh, Kota Padang, ambruk ditimpa pohon yang diameternya dua dekapan orang dewasa. Kalau lah tak harimau yang mengaum dan memaksanya keluar dari dangau, tak mungkin Rajo Lelo hidup sampai sekarang,” ujarnya mengenang. Rokok daun nipah yang digulung dengan tembakau dihisapnya dalam.

Bapak Rajo lelo.red
Tugas Rajo Lelo bukan sekadar menangkap harimau, tapi dia juga memiliki kewajiban menyampaikan segala larangan itu kepada masyarakat. Dia tidak ingin, konflik antara manusia dan harimau kembali terjadi, hanya karena pelanggaran perjanjian lama tersebut. Di pundak Rajo Lelo, kewajiban itu terbeban.
Menjadi pamikek harimau, tidaklah perkara gampang. Bukan hanya tentang cara memasang perangkap, mantra atau senjata. Lebih dari itu, harus ada pegangan, membaca pola serangan dan tentu saja memahami perjanjian antara manusia dan inyiak. Rajo Lelo paham dengan semua itu. (Dari berbagai sumber)
TAK ADA yang istimewa pada sosok Syarwani Sabi. Tubuhnya mungil, pakaiannya lusuh, kulitnya legam keriput dimakan usia yang sudah 72 tahun.
Di balik kesederhanaan itu, ia adalah sosok luar biasa; si raja rimba saja bisa takluk di tangannya. “Sudah 100 ekor lebih saya tangkap harimau,” katanya, di Gunung Sikundo, Kecamatan Pante Ceurmen, Aceh Barat, Rabu (28/10-09).
Syarwani, ayah 14 anak, merupakan warga Sawang Teubei, Kecamatan Kawai XIV, Aceh Barat.
Mulai masuk hutan sejak kecil, bersama orangtuanya. Ia membaca gerak-gerik ayahnya menaklukkan ganasnya harimau. “Saat itu saya masih sekolah Jepang buat (Sekolah Rakyat setingkat SD sekarang-red),” kisahnya. “Ayah juga sering melarang saya ikut, karena saya masih kecil.”
Hobi yang menggebu, membuatnya ngotot ingin seperti sang ayah. Ia beruapaya membaca bahasa tubuh harimau dan belajar cara berinteraksi dengan binatang itu.
Sang ayah akhirnya luluh. Saat persyaratan diajukan terpenuhi, ‘sang guru’ pun menurunkan ilmu serta doa yang harus diamalkan. “Syaratnya kita harus sabar, tidak somobong dan harus suka membantu.”
Selepas orangtuanya tiada, berbekal ilmu diberikan, ia melanjutkan perjuangan sang ayah. Beranjak remaja, Syarwani mulai berpetualang sendiri di hutan. Di mana ada kabar harimau ‘mengamuk’, ia jadi penawar. Dengan cara serba tradisional, satu satu raja rimba takluk di tangannya.
Namanya pun kian melejit di kalangan warga pelosok barat-selatan Aceh. Nyaris saban hari ia dipanggil untuk meredam ganasnya raja rimba. Tiap harimau yang ditangkap, warga membayar jerih Syarwani seikhlasnya. “Saya tidak pernah meminta, saya suka membatu orang.”
Saat itu, kata Syarwani, harimau yang ditangkap, langsung dihabisi oleh warga.
Berkah tsunami mencerdaskan warga. Setelah banyak tumbuh lembaga pelindung satwa dan pecinta lingkungan di Aceh, saban satwa dilindungi serupa harimau tertangkap, warga menyerahkan ke pihak itu.
Konflik antara satwa dan manusia tinggi di Aceh. Wildlife Conservation Society (WCS) mencatat, kurun 2007-2009, ada 17 kali terjadi. 13 kali pada 2007 dan dua kali masing-masing di 2008 serta sepanjang 2009.
“Paling banyak terjadi di Aceh Selatan,” kata Munawar Kholis, pekerja WCS, Oktober lalu.
Di bumi pala itu, Syarwani, punya kesan tak terlupakan sepanjang hidupnya. 2007 lalu, usai menaklukkan seekor harimau yang telah memangsa enam manusia (lima di antaranya tewas) di Puelumat, Kecamatan Labuhan Haji, karirnya melonjak drastis.
Syarwani berhasil menangkapnya setelah empat pawang dari Aceh dan Sumatera Barat lain gagal.
Usai itulah, Balai Konservasi Sumbar Daya Alam (BKSDA) Aceh menasbihkannya sebagai pawang harimau se-Aceh melalui selembar SK (surat keputusan). Kini, Syarwani rutin menerima gaji atas profesi langka itu saban bulan.
Setengah abad lebih bergelut dengan raja hutan, Syarwani sadar akan usianya. Ia mengaku sudah menurunkan ilmunya kepada tiga dari sembilan anaknya yang masih hidup.
Tapi, kata dia, anaknya tak seagresif dirinya. Meski sudah bisa, tapi jarang berpetualang. “Mungkin ketika saya sudah meninggal nanti, mereka akan berubah dengan sendirinya,” kata dia.

Ucok Parta/ACEHKITA.COM
Syarwani juga bersedia memberi ilmunya kepada siapa saja yang yakin ingin mengamalkannya. Tapi, kata dia, syaratnya harus bertanggungjawab. “Masalahnya, sekarang orang yang bertanggungjawab susah kita dapat.”
Ia berpesan agar masyarakat tak merambah hutan. Konflik satwa manusia, menurutnya, muncul karena habitat mereka sudah terusik. “Harimau itu pada dasarnya seperti aulia Tuhan, dia tidak akan mengganggu manusia. Dia butuh ketenangan,” ujarnya. Sumber : ACEHKITA.COM
Rajo Lelo
“Kok tidak landang jo landi, dimano kiambang diam. Kok indak utang dibayia, dimano dagang ka diam” Tiba-tiba bulu kuduk berdiri, saat Syamsir Rajo Lelo, yang duduk di depan penulis melafazkan dua kalimat mantra tersebut, Senin (20/5) sore. Darah berdesir, hati terkesiap, mendengar suara berat kakek bercucu 26 orang tersebut. Jelas bukan kalimat biasa. Ada nuansa balas dendam dari untaian kata itu.Jika dipahami, kalimat tersebut sarat makna. Dimana, seseorang yang berhutang, bagaimana pun caranya mesti membayar setimpal. Tidak ada cerita menunda, apalagi melupakan. Namun, lelaki tua berjenggot putih, dengan usia lebih dari 80 tahun itu, tidak menujukan kalimat pemanggil tersebut, kepada manusia. Tapi, terhadap sesuatu yang menakutkan. Binatang buas bernama harimau (panthera tigris sumatrae). Penguasa rimba Sumatera, yang oleh tetua Minangkabau dipanggil inyiak.
“Itu lafaz pemanggil inyiak yang masuk perkampungan. Jika tak datang, akan tewas dengan sendirinya atau dibunuh oleh inyiak lain. Itu sudah perjanjian lama, tak bisa ditawar,” tutut Syamsir Rajo Lelo.
Ungkapannya seperti memerkuat, aroma ketakutan dari apa yang dibacanya, kala siang telah usai di beranda rumahnya, daerah Taruko Rodi, Kelurahan Limau Manih Selatan, Kecamatan Pauh, Kota Padang, Sumatera Barat. Daerah pinggiran yang belum sepenuhnya tersentuh roda pembangunan.
Lahir 11 Januari 1933, Syamsir Rajo Lelo, adalah satu-satunya pawang harimau yang hidup di Kota Padang. Pria tua yang hanya mengecap pendidikan formal sampai jenjang kelas II Sekolah Rakyat (SR) itu, juga merupakan pewaris terakhir ilmu pikek harimau yang dimiliki secara turun temurun oleh keluarganya.
Meski telah uzur, jangan bayangkan Rajo Lelo, seorang lelaki renta yang berjalan dengan bantuan tongkat atau hanya bisa duduk di kursi roda untuk menghabiskan hari tua. Rajo Lelo adalah lelaki kuat. Jalannya mantap, bicaranya cakap. Telinganya pun masih bisa menangkap pembicaraan dengan jelas. Pola “hidup berkeringat” yang dijalankannya, betul-betul membuatnya selalu bugar. Di tangannya, tak kurang sudah 30 harimau takluk. Bukan dijerat mati, tapi ditangkap hidup-hidup.
Cukup pelik awalnya meminta Rajo Lelo mengingat memori hidupnya. Memaparkan lagi kepada penulis, bagaimana akhirnya dia mamutuih kaji lalu memilih hidup jadi pamikek harimau. Namun, akhirnya, setelah hampir setengah jam membujuk, Rajo Lelo membuka kisah untuk dirawikan kembali. “Saya hanya berharap, semuanya bisa jadi amalan,” ungkapnya memulai cerita.
Bakat langka Syamsir Rajo Lelo, bukan didapatnya dengan mudah. Tidak datang dengan sendirinya. Butuh perjuangan, hingga kemudian dia bisa mengamalkan ilmu itu. “Saya mendapatkannya dari mamak (paman-red). Dia penangkap harimau ulung. Tak terhitung harimau yang bertekuk dihadapannya. Saya pertama kali ikut menangkap harimau dengan mamak pada 1952 di daerah Batu Busuak. Ada dua ekor yang berhasil ditangkap waktu itu,” tutur Rajo Lelo, yang terpaksa berhenti sekolah karena Sekolah Rakyat (SR) tempatnya menuntut ilmu di tengah Kota Padang, ditutup paksa tentara Belanda pada 1941.
Yakin dengan pilihannya, Rajo Lelo yang kala itu masih berumur delapan tahun, akhirnya diantarkan sang mamak ke Ulakan, Padangpariaman tepatnya di pusat pengajian Syech Burhanuddin. “Saya disuruh dulu memperdalam ilmu agama, menyucikan diri dan membuang segala amarah berlebihan di diri oleh mamak. Kalau tak begitu, katanya tidak bisa menjadi pamikek harimau. Saya diantarkan ke Pesantren Syech Burhanuddin. Dulu santri di sana ramai,” kenang Rajo Lelo.
Di Pesantren Syech Burhanuddin, Rajo Lelo ditempa ilmu tarekat selama tujuh tahun. Selama itu pula dia giat belajar. “Lewat tujuh tahun, barulah saya naik tingkat dan diajarkan secara khusus cara mamikek harimau. Ada pula selama tujuh tahun saya belajar ilmunya,” beber pemilik dua mushalla tersebut.
Boleh dikatakan, Rajo Lelo adalah orang pilihan. Dari 37 orang yang mengaji ilmu pikek harimau di masa itu, hanya dua orang yang lulus. Dia dan satu temannya dari Aceh. Yang terpatri di hati Rajo Lelo, saat dia mamutuih kaji (ujian akhir-red), oleh sang guru, seluruh santri diberi pisau yang sangat tajam. “Jangankan dipegang, melihat mata pisau itu saja, bergidik kita,” cerita Rajo Lelo.
Berbeda dengan teman-temannya yang langsung menggunakan pisau, untuk pekerjaan, Rajo Lelo malah menyimpannya. Menurut hematnya, belum saatnya pisau pemberian guru digunakan. “Ternyata benar, yang lulus pengajian adalah santri yang pisaunya masih tajam. Saya lulus dan akhirnya boleh mamikek harimau,” sebut Rajo Lelo sumringah.
Sejak saat itu, Syamsir Rajo Lelo melanglang buana jadi penangkap harimau. Sudah berpuluh rimba yang dia masuki untuk menangkap hewan pemangsa itu. Namun, jangan sangka Rajo Lelo menangkap harimau untuk diperjualbelikan. Dia hanya menangkap harimau yang mengganggu warga, mengusik ketenangan kampung.
“Harimau yang ditangkap itu, yang masuk perkampungan. Harimau yang memakan ternak warga. Kalau tidak masuk perkampungan, tak akan diganggu apalagi diperangkap. Tidak ada yang tidak datang kalau saya sudah memanggil mereka,” sebut Rajo Lelo jumawa.
Untuk menangkap harimau, Rajo Lelo tetap memakai pinjaro kayu maransi (kayu yang kuat khas daerah Sumbar-red). Lalu, sebagai umpan, dimasukkan kambing yang sebelumnya sudah di-limau dan dihembuskan asap kemenyan. “Istilahnya, sudah kita beri rajah. Pemanggil harimau. Ada bacaan yang mesti dilafazkan. Yang tadi saya sebutkan bagian dari potongan lafaz itu,” tutur Rajo Lelo.
Dalam hitungan semalam, harimau akan masuk kandang secara sukarela. “Tidak akan mungkin salah tangkap, inyiak yang masuk pinjaro (penjara/kurungan-red) adalah yang mengganggu perkampungan. Tidak jarang diantarkan oleh harimau-harimau lainnya. Itu tandanya, mereka sudah mengakui kesalahan dan bersedia menebusnya,” ucap pria yang empat orang keluarganya tewas dihantam galodo, akhir 2012 lalu di Kampuang Ubi, Batubusuak, Padang.
Hingga akhir 1995, tak kurang sudah 30 harimau yang ditangkap Rajo Lelo hidup-hidup. Harimau yang ditangkapnya diserahkan ke Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumbar untuk dikembangkan di habitat lain. Rajo Lelo, sendiri hanya meminta uang siliah jariah dan pengganti beli umpan ke petugas BKSDA.
Mengabdi di Jalan Tuhan….
SUATU waktu di periode 1990-an, warga di kaki Karang Putiah, Indaruang, buncah. Auman harimau hampir setiap malam menggelegar. Masyarakat bergidik. Harimau turun bukit. Tak seekor, tapi tiga. Sang raja melabrak kandang, menyeret ternak dan meninggalkan bangkai di tengah pemukiman, lalu pergi untuk kembali lagi esok hari.
Saat rasa takut menyelimuti perkampungan, Rajo Lelo dipanggil untuk menuntaskan rasa takut itu. Dengan segala kecakapan yang dimiliki, dipanggilnya sang raja hutan. Hanya sebaris dua baris doa, si pengusik datang. Panjangnya lebih dua meter. Dengan tatapan, dua ekor raja hutan itu tunduk. “Kami ketakutan saat itu. Harimau mengusik. Satu-satunya cara, ya memanggil Rajo Lelo,” tutur Atin (71), yang duduk di balai-balai rumah Rajo Lelo. Dia menunggu waktu untuk diurut.
Saat Rajo Lelo datang, dia menyuruh warga kampung menyiapkan kambing dan kayu Maransih, untuk dibuatkan jadi pinjaro. Setelah diruwat, umpan berupa kambing dimasukkan ke dalam pinjaro. Rajo Lelo lantas mengitari lokasi kandang dengan memercikkan air. “Saya menunggu sembari merapalkan doa-doa. Pertama itu, banyak nyamuk yang datang ke lokasi. Awalnya tidak ada. Setelah itu, barulah dia datang. Harimau. Besar, dengan mata yang sudah sayu, masuk kandang, setelah itu terkulai,” sebut Rajo Lelo.
Sekali pun Rajo Lelo tidak melukai, dia memanggil dengan untaian doa. Memaparkan perjanjian antara manusia dan inyiak itu. Dia tenang-tenang saja. Mendekati pinjaro dan seperti bicara dengan harimau itu. Tapi, bagi warga itu sebuah ketakutan bukan kepalang. Bayangkan saja, harimau sebesar itu berjalan ke arah kita.
Lain lagi cerita Kamaruddin, warga Taruko, Kecamatan Pauh. Dia nyaris tak sadarkan diri, saat menyaksikan tiga harimau berjalan menuju ladang. “Baru sebulan. Hari mulai gelap kala itu. Saya hendak pulang. Dari jarak sekitar 25 meter, saya melihat harimau. Tiga ekor, berjalan beriringan di pematang. Tubuh saya seketika seperti tak bertulang. Dengan menahan nafas, saya biarkan lewat. Nyatanya harimau itu masuk ke kandang, dangau Rajo Lelo. Baru saya tenang, ternyata itu harimau Rajo. Tidak mengganggu,” papar Kamaruddin.
Kisah Lelo Diangkat ke Film
Cerita kehebatan Rajo Lelo memang tak pernah habis. Hampir saban hari dia diceritakan. Bahkan, dua pembuat film dokumenter asal Jepang dan Prancis, sengaja datang ke Kota Padang hanya sekadar bertemu Rajo Lelo. Meminta Rajo Lelo kembali menceritakan kisahnya selama menjadi pamikek harimau.
“Indonesia menjadi contoh keakraban manusia dan harimau. Kalau di negara sana, harimau yang masuk kepemukiman dibunuh,” sebut Gaspard Kuents, sutradara film dokumenter itu.
Rajo Lelo sendiri menyambut baik, keinginan orang asing itu untuk membuatkan film tentang dirinya. Tentang jalan hidup langka yang telah ditinggalkannya berbelas tahun lalu. “Saya berkisah apa yang saya lakoni, bukan dibuat-buat,” tutur Rajo Lelo.
Mengabdi di Jalan Tuhan
Selepas pensiun sebagai pamikek harimau, bukan berarti Rajo Lelo hanya menghabiskan umurnya untuk bermain dengan anak cucu. Dia tetap mengabdi di tengah masyarakat. Selain kepandaian menangkap harimau, Rajo Lelo juga santiang memijit. Mulai dari urut pegal, hingga patah tulang, bisa dia sembuhkan. Tidak terhitung sudah berapa orang yang sembuh di tangannya.
“Mereka datang dari berbagai pelosok. Ada yang dari luar negeri juga. Entah dari siapa mereka tahu, yang pasti saya tidak mengiklankan di media, kalau saya pandai mengobati patah tulang,” tutur Rajo Lelo sembari tersenyum.
Sehari, ada sekitar 50 orang yang mengantri untuk diurut Rajo Lelo. “Tidak mungkin saya tolak. Mereka membutuhkan pertolongan. Sebisanya saya bantu. Alhamdulillah, banyak yang disembuhkan Allah lewat perantara saya,” lanjut Rajo Lelo.
Sudah barang tentu, orang yang disembuhkan Rajo Lelo meninggalkan uang siliah jariah atas pekerjaannya. Tapi, jangan sangka Rajo Lelo menghabiskan uang tersebut untuk dirinya sendiri. Dia menyumbang untuk yatim piatu, kegiatan amal bahkan mendirikan dua mushalla. “Satu di belakang rumah, satunya lagi di kampung saya, Butubusuak,” cerita Rajo Lelo.
Mushalla yang dibangunnya di Batubusuak, sempat rusak berat dihantam galodo yang mendera pada 17 September 2012 lalu. Tidak hanya mushalla yang diseret, empat anggota keluarga Rajo Lelo juga tiada, akibat bencana tersebut. “Tapi sekarang sudah dibangun lagi. Mushalla yang disana, saya peruntukkan untuk keponakan, kalau di rumah, untuk anak. Itulah yang saya tinggalkan jika kelak saya tiada,” ucap Rajo Lelo.
Semangat Rajo Lelo untuk berbagi dan membangun negerinya memang tidak pernah padam. Sudah berpuluh tahun dia mengabdi ke tengah masyarakat. Selama itu pula, Rajo Lelo merasa bangga, bisa membantu.
“Jika nanti saya tiada, entah siapa yang akan mewarisi. Terutama tuah penakluk harimau ini. Tidak ada lagi yang mau belajar. Saya yang terakhir mengamalkannya. Entah mungkin jadi yang terakhir,” kata Rajo Lelo sembari memandang jauh ke halaman rumahnya yang dilapisi batu kerikil.
Sekian lama diam, dia akhirnya berdiri. “Saya mau adzan dulu. Memanggil orang untuk shalat. Lain waktu dilanjutkan,” tuturnya sembari melangkah. Ada semangat dan ajakan kebajikan dari setiap kata yang terucap dari pak tua luar biasa itu.
“Saya Menikmati Sensasi Sorot Mata Raja Hutan”
KISAH heroik Rajo Lelo menangkap harimau berhenti di 1995. Saat itu, pemerintah sudah melakukan pelarangan menangkap harimau dan menetapkan status langka kepada hewan berbulu belang itu. Namun, nama Rajo Lelo tetap harum.
Bahkan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumbar memberikan penghargaan atas dedikasinya menangkap harimau hidup-hidup dan menyerahkannya ke pemerintah. Dia juga masih memiliki tiga ekor harimau, yang saban hari tidur di dangau-nya.
“Tahun 1995, saya akhirnya pensiun sebagai penangkap harimau. Berhenti dalam artian, tidak lagi masuk rimba ke luar rimba. Tapi, jika ada yang minta bantuan, tetap saya tolong. Tersebab saya menangkap harimau bukan dengan kekerasan, sehingga saya diberi penghargaan oleh BKSDA. Saya dianggap peduli terhadap kelangsungan hidup harimau dengan tidak membunuhnya,” sebur Rajo Lelo melanjutkan cerita.
Tapi, pengalaman menangkap harimau tidak pernah dilupakan Rajo Lelo. Baginya, itu merupakan bagian hidup yang tidak akan pernah dilupakan dan termasuk langka. “Bagaimana ketakutan bercampur dengan keberanian, sewaktu menatap mata si raja hutan itu. Saya menikmati,” tutur Rajo Lelo.
Pensiun sebagai pamikek harimau, bukan berarti Rajo Lelo jauh dari binatang buas tersebut. Percaya atau tidak, sekarang ini Rajo Lelo mengaku memiliki tiga ekor harimau, yang saban hari tidur di dangau-nya (rumah dari papan susun sirih), di sebuah ladang, tak jauh dari Rajo Lelo bermukim.
“Tepatnya bukan peliharaan, tapi sahabat. Setiap hari mereka tidur di kandang di bawah dangau. Masyarakat sini juga sering melihat. Harimau itu tidak mengganggu lagi. Sahabat saya. Biasanya, harimau-harimau itu mencari makan sendiri ke hutan. Sesekali saya beri mereka makan telur ayam kampung. Tapi, seringnya cari makan sendiri,” ungkap Rajo Lelo.
Sekarang, yang disesali sang penakluk harimau dari Taruko Rodi itu adalah tingkah manusia. Dia miris menyaksikan ulah manusia yang tidak lagi menaati aturan alam. Berbuat sekehendaknya, bahkan melanggar pantangan yang membuat amuk harimau tak mereda sampai sekarang.
“Jiko tuan ka rimbo gadang, tak usah sesakali mambaok pariuak karaia, pun baitu mangapiang puntuang, karaia tagak jo mangalatiakan aia cucian. Indak usah pulo manggadangan badan. Kok lupo jo nan dijanjian, sudahlah badan ka sangsaro.”
Pepatah di atas merupakan perjanjian secara lisan antara manusia dan inyiak (harimau-red). Bermakna larangan bagi manusia yang akan masuk ke rimba. Meski didengungkan turun-temurun, namun perjanjian ini acap kali terlupakan. Seakan-akan, generasi sekarang sudah tidak lagi menghargai alam. Menaati perjanjian leluhurnya.
“Percaya atau tidak, kita sebenarnya memiliki perjanjian dengan inyiak, dengan segala ciptaan-NYA. Perjanjian lama yang dibuat untuk ditaati. Akan tetapi, itu sekarang dilupakan. Bukan mereka (harimau-red), tapi manusia lah yang tidak menaatinya,” sebut Rajo Lelo.
Disebutkan Rajo Lelo, layaknya manusia, harimau juga memiliki karakter. Prinsipnya, tidak akan mengganggu kalau tak diusik. Baik secara langsung atau tidak. “Nah, tinggal kita lagi, bagaimana menghargai keberadannya. Kalau ada harimau masuk ke kampung, berarti ada yang melanggar aturan itu,” tutur Rajo Lelo.
Sepanjang tidak diganggu, harimau akan menjadi penyelamat manusia jika berada di hutan. Rajo Lelo punya cerita tersendiri tentang pertolongan harimau. “Suatu waktu, di pertenganan tahun 50-an, saya nyaris saja tewas saat dangau yang dibangun di tengah rimba Kampuang Ubi, Batubusuak, Kecamatan Pauh, Kota Padang, ambruk ditimpa pohon yang diameternya dua dekapan orang dewasa. Kalau lah tak harimau yang mengaum dan memaksanya keluar dari dangau, tak mungkin Rajo Lelo hidup sampai sekarang,” ujarnya mengenang. Rokok daun nipah yang digulung dengan tembakau dihisapnya dalam.

Bapak Rajo lelo.red
Tugas Rajo Lelo bukan sekadar menangkap harimau, tapi dia juga memiliki kewajiban menyampaikan segala larangan itu kepada masyarakat. Dia tidak ingin, konflik antara manusia dan harimau kembali terjadi, hanya karena pelanggaran perjanjian lama tersebut. Di pundak Rajo Lelo, kewajiban itu terbeban.
Menjadi pamikek harimau, tidaklah perkara gampang. Bukan hanya tentang cara memasang perangkap, mantra atau senjata. Lebih dari itu, harus ada pegangan, membaca pola serangan dan tentu saja memahami perjanjian antara manusia dan inyiak. Rajo Lelo paham dengan semua itu. (Dari berbagai sumber)
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 3 suara
Unik dan Misteri
Unik
67%Misteri
33%

tien212700 memberi reputasi
1
4.2K
11


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan