Ini pertama kalinya nulis disini. Biasanya sih langsung di twitter @NasihatAyah ataupun di websitenya, tapi lama-lama terlalu jenuh karena kurang komunikatif antar followers dan saya sendiri sebagai admin.
Jadi disini saya coba menceritakan kisah-kisah pendek yang saya ambil dari pengalaman hidup saya dan orang lain tentang ayah-ayah mereka. Judul cerita ini adalah #TentangAyah. Sebelumnya, jika ada yang salah dengan cara penyampaian saya, mohon segera ditegur ya

Semoga cerita ini menginspirasi, dan tentunya mohon kritik dan sarannya
Oia, cerita akan berupa kumpulan kisah-kisah pendek saja. Maklum belum bisa buat jadi novel, paling mentok sampai part 5 itupun kalau masih sanggup.

Silahkan dinikmati cerita pertama.
When I was 3 years old
Quote:
Senja tak pernah lelah bukan? Beberapa kali harus kulihat senja yang datangnya cepat-cepat ini. Di kota kami, kecil di kalimantan timur, senja lebih cepat datangnya. Kalau sudah setengah 6 sore, seperti sudah malam saja. Bahkan kadang bisa lebih cepat dari itu. Senja ini pun harus berlalu kembali dalam termenungnya diri mengingat masa-masa dulu.
Usia tak lagi muda. Sekarang sudah kepala dua. Kata orang, sudah om-om. Kata ponakan, sudah harusnya ngasih duit jajan. Hehe, duit? Ya, klise. Dunia orang dewasa. Penuh dengan hal-hal realistis tanpa khayalan. Seperti mati yang segan, hidup pun tak ingin. Kenangan masa itu, disaat usiaku 3 tahun ternyata begitu unik. Bayangkan saja, tak semua memori itu bisa dihadirkan dalam hitungan detik. Satu, dua, tiga... dan ah... akan masuk dalam lamunan yang dalam. Bisa jadi hanya 1 menit disela ingin memejamkan mata tertidur, atau setengah jam disaat sibuk dengan rutinitas tanpa henti. Dulu semasa kecil, tak ada yang harus menjadi beban. Bermain sepuasnya, menangis sepuasnya. Pokoknya, sepuasnya. Sekarang, kenangan itu begitu manis terasa.
3 tahun, usia itu, apa yang bisa ku ingat? Jika hanya berupa cerita dari Ibu, atau foto kenangan lama yang di cetak di studio foto terdekat di kotaku. Dulu masih ingat masih pakai cuci foto. Kadang foto itu ada yang terbakar, atau warnanya luntur. Terlalu manis dikenang. Tapi lebih banyak sulit ku ingat. Begitu polosnya dulu, dengan empeng (botol dot) kegemaranku, susu instan buatan ibu (sebenarnya ibu cuma buat dari susu yang sudah dibeli sih), berantem dengan adik (ya, adik pertamaku lahir dua tahun setelahku), dan masih banyak kenangan yang ingin ku ingat lekat-lekat.
Kata orang, masa anak-anak adalah cerminan kejujuran. Spontanitas, inginnya ini, inginnya itu, jadi ingat setelah usia semakin beranjak, walau masih anak-anak, aku ingin menjadi arsitek. Minimal, designer interior sebuah rumah. Aneh? Mungkin. Karena dulu sewaktu jaman presiden masih sering memutar tayangan "dunia dalam berita" aku masih suka mencuri-curi majalah ayah. Tentang rumah, keindahan rumah, bentuk rumah, ukurannya, warnanya, apalagi kalau sudah soal cat. Warnanya yang gradasi membaur seperti hamparan sprei warna-warni. Ingin rasanya berloncat-loncat diatasnya bermain tanpa henti. Kejujuran itu kini bagaimana?
Ayah sering sekali mendiamkanku dengan sederhana, sewaktu usia masih 3 tahun, masih bocah, berkelahi dengan anak orang seusiaku yang dulu tak pernah ku tahu siapa, sekarang pun tak pernah ku ingat wajahnya. Konyol...! Kejadian itu terjadi saat ikut ayah sholat idul fitri di masjid kotaku, entah bagaimana caranya dengan cara apa juga, aku bisa menangis hebat waktu itu. Ayah hanya menggendongku dan aku terdiam. Seperti merasa nyaman walau tak merasa tertekan. Ayah tak bicara apapun, seingatku sekarang ini.
Atau saat kisah menggelikan saat aku dan adik merusuh di rumah. Saat itu memang perekonomikan negeri ini tak begitu memburuk, tapi entah kenapa ayah begitu banyak terdiam. Kekonyolan kami berlanjut. Saat itu hari siang cukup panas, aku dan adik belum mandi. Karena saking inginnya berenang (entah kenapa ayah tak pernah mengijinkan kami berenang), kami masuk ke bak mandi yang baru diisi oleh ayah. Air meluap-luap kami masuki berdua. Akhirnya kami berenang didalamnya. Seperti layaknya berenang di kolam renang.
Selang beberapa menit, ayah mulai curiga karena kami tak lantas selesai mandi. Kemudian ayah masuk ke kamar mandi dan mendapati diri kami berenang bersama, spontan ayah menarik kami dari dalam bak dan memukul kami sekeras mungkin. Aku dan adik menangis seketika. Air bak berkurang lebih dari setengahnya. Beberapa tahun setelahnya, aku baru sadar bagaimana sulitnya hidup ayah waktu itu. Sedikit aneh, karena ayah dan ibu menutupi sesuatu dari kami. Soal keuangan.
Karena krismon (krisis moneter) benar-benar melanda negeri tercinta ini, aku dan adik tak mengetahui situasi kondisi sebenarnya. Maklum usia kami belum genap lulus dari sekolah dasar. Pengalaman pahit pernah ku alami bersama keluarga ini. Malam itu, adik dan aku menginginkan sekali martabak manis (ditempat kami biasa mengatakannya, "terang bulan"), entah ayah tak mengijinkan dan tak memberi uang. Ibu pun begitu, akhirnya, ibu menyarankan kami untuk memecah celengan yang berisi uang recehan dan ratusan rupiah (paling besar uang kertas Rp 500). Ayah melihat hal itu, namun hanya terdiam tanpa berkata apapun. Akhirnya ayah ikut membantu kami menghitungkan uangnya, dan adik ditemani ibu untuk membeli makanan favorit kami itu di malam yang kelam itu. Itu tabungan kami, dimana ayah mengajarkannya bagaimana menabung. Namun harus kandas berakhir tanpa bekas.
Sejak usia 3 tahun hingga lulus sekolah dasar itulah aku banyak meniru sikap ayah. Tidak dengan adik. Aku lebih banyak diam, lebih banyak menjaga keuangan sendiri. Bahkan saat SMP aku bisa menabung lebih banyak dari yang ku bayangkan hingga mampu untuk dapat membeli apa yang kuinginkan sendiri (walau tak semuanya dan ayah tetap memberikan uang jajan yang bisa ku tabung itu).
Cerita ini mungkin kurang fiktif, setidaknya dalam senja yang mulai beranjak menghilang di Yogyakarta aku mengenang semuanya begitu jelas mendekati usia yang mendewasakan. Love is beautiful if you know about the beautiful in love. Mungkin maksud ayah saat itu baik. Mungkin tidak banyak bicaranya mengartikan sesuatu. Dimana kurasakan sekarang ini, memang hidup tak seindah masa kecilku saat usiaku masih 3 tahun, saat usiaku masih bocah. But, selalu ada jalan indah lain yang siap menungguku.
Semoga menikmati kisahku yang sederhana, mungkin selanjutnya akan menjadi lebih fiktif walau tetap berfondasi pada kisah nyata
tambahan :
prof -> ini langsung saya tweet dari akun @NasihatAyah

dari trit ini, cek di link dibawah ini ya,
_hxxps://twitter[dot]com/NasihatAyah/status/349203014172692480 (silahkan tanda _ dihilangkan dan xx diganti tt)
jadi biar gak bingung ini cerita asli dari adminnya atau abal-abal. Ini asli.
