- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Sebuah fakta pahit dari Sepakbola negara kita sendiri!!!


TS
ndhielfp
Sebuah fakta pahit dari Sepakbola negara kita sendiri!!!

Spoiler for cek repsol:


Quote:
Menista Sepak Bola
Sudahi kebencian itu.
Tatkala para nabi dan filsuf mangkat, Tuhan masih menyisahkan ini buat kita: Sepak Bola. Dengan atau lewat sepak bola, kita tak lagi memandang keyakinan, ras, status ekonomi, serta jenis kelamin sebagai dikotomi. Di sepak bola memang ada ego, juga fanatisme, karena di sana ada persaingan: kalah atawa menang. Tapi sepak bola adalah kompetisi yang baradab, di mana hasil akhir harus disikapi dengan lapang dada, baik para pemain maupun para suporter.

“Sepak bola menuntut inisiatif, kompetisi, dan konflik. Tapi ia diatur oleh aturan tak tertulis bernama fair play,” kata politikus lawas kenamaan Italia, Antonio Gramsci (1924-1981).
Apa makna fair play buat kita kini? Di Indonesia, tak semua memahami fair play dengan kerendahan hati. Sepak bola kerap diwarnai pemukulan terhadap wasit, perkelahian sesama pemain, bahkan merembet ke luar stadion. Suporter saling serang, hujat, dan tempur di jalanan. Kebencian mendarah daging, bersemi lintas generasi.
Fanatisme tak lagi dibangun dengan cinta, respek, tapi kebencian. Apa yang kita dapat dari kebencian? Kebencian merusak sepak bola itu sendiri. “Sepak bola adalah bagian dari diriku, ketika aku membangunkan dunia di sekelilingku,” kata Bob Marley. Sepak bola adalah bagian dari diriku. Bisakah kita, dengan sikap jujur tentu saja, mengatakan sekaligus melakoninya? Jika kita menganggap sepak bola adalah bagian dari diri sendiri, maka sikap menerima adalah suatu yang absolut. Menerima keputusan wasit dan kekalahan tanpa amarah.

Kita bersyukur, sepak bola mengajarkan banyak hal. Sepak bola juga membuat kita menjadi pribadi yang terus diajar, diasah, tanpa purbasangka. Bill Shankly, mantan manajer Liverpool (1913-1981), menjadikan sepak bola sebagai,”Caraku melihat kehidupan”.
Para nabi dan filsuf datang, mewariskan “sekat-sekat”, sesuai keyakinan. Dan itu tak jarang menimbulkan pergesekan. Sejarah meninggalkan notasi buram buat kita: Perang Irak – Iran, Perang India – Pakistan, Perang Salib, Perang Bosnia, Revolusi Bolshevik, Chauvinisme, Nazisme, Perang Arab – Israel, dan lain-lain.
Lalu kita satu dalam sepak bola. Kita manunggal di dalamnya, tanpa direcoki atribut asal usul. Itulah sebabnya, pada Piala Dunia 2014 di Brasil, FIFA menetapkan slogan: Semua Dalam Satu Irama. All In One Rhythm!
Jangan rusak sepak bola dengan anarkisme, karena dia satu-satunya yang kita punya saat ini. Sudahi kebencian, akhiri permusuhan antar suporter. Junjung tinggi sportifitas. Berangus mafia wasit serta pengaturan skor. Sepak bola adalah sesuatu yang indah dan kita wajib merawatnya. Simaklah apa kata Nick Hornby, penulis cemerlang Inggris,”Aku jatuh cinta kepada sepak bola seperti aku jatuh cinta kepada perempuan”.
Sudahi kebencian itu.
Tatkala para nabi dan filsuf mangkat, Tuhan masih menyisahkan ini buat kita: Sepak Bola. Dengan atau lewat sepak bola, kita tak lagi memandang keyakinan, ras, status ekonomi, serta jenis kelamin sebagai dikotomi. Di sepak bola memang ada ego, juga fanatisme, karena di sana ada persaingan: kalah atawa menang. Tapi sepak bola adalah kompetisi yang baradab, di mana hasil akhir harus disikapi dengan lapang dada, baik para pemain maupun para suporter.

“Sepak bola menuntut inisiatif, kompetisi, dan konflik. Tapi ia diatur oleh aturan tak tertulis bernama fair play,” kata politikus lawas kenamaan Italia, Antonio Gramsci (1924-1981).
Apa makna fair play buat kita kini? Di Indonesia, tak semua memahami fair play dengan kerendahan hati. Sepak bola kerap diwarnai pemukulan terhadap wasit, perkelahian sesama pemain, bahkan merembet ke luar stadion. Suporter saling serang, hujat, dan tempur di jalanan. Kebencian mendarah daging, bersemi lintas generasi.
Fanatisme tak lagi dibangun dengan cinta, respek, tapi kebencian. Apa yang kita dapat dari kebencian? Kebencian merusak sepak bola itu sendiri. “Sepak bola adalah bagian dari diriku, ketika aku membangunkan dunia di sekelilingku,” kata Bob Marley. Sepak bola adalah bagian dari diriku. Bisakah kita, dengan sikap jujur tentu saja, mengatakan sekaligus melakoninya? Jika kita menganggap sepak bola adalah bagian dari diri sendiri, maka sikap menerima adalah suatu yang absolut. Menerima keputusan wasit dan kekalahan tanpa amarah.

Kita bersyukur, sepak bola mengajarkan banyak hal. Sepak bola juga membuat kita menjadi pribadi yang terus diajar, diasah, tanpa purbasangka. Bill Shankly, mantan manajer Liverpool (1913-1981), menjadikan sepak bola sebagai,”Caraku melihat kehidupan”.
Para nabi dan filsuf datang, mewariskan “sekat-sekat”, sesuai keyakinan. Dan itu tak jarang menimbulkan pergesekan. Sejarah meninggalkan notasi buram buat kita: Perang Irak – Iran, Perang India – Pakistan, Perang Salib, Perang Bosnia, Revolusi Bolshevik, Chauvinisme, Nazisme, Perang Arab – Israel, dan lain-lain.
Lalu kita satu dalam sepak bola. Kita manunggal di dalamnya, tanpa direcoki atribut asal usul. Itulah sebabnya, pada Piala Dunia 2014 di Brasil, FIFA menetapkan slogan: Semua Dalam Satu Irama. All In One Rhythm!
Jangan rusak sepak bola dengan anarkisme, karena dia satu-satunya yang kita punya saat ini. Sudahi kebencian, akhiri permusuhan antar suporter. Junjung tinggi sportifitas. Berangus mafia wasit serta pengaturan skor. Sepak bola adalah sesuatu yang indah dan kita wajib merawatnya. Simaklah apa kata Nick Hornby, penulis cemerlang Inggris,”Aku jatuh cinta kepada sepak bola seperti aku jatuh cinta kepada perempuan”.
Bisakah kita tanpa sepak bola?
June 23, 2013 oleh Samuel Bukti
Quote:
alangkah baiknya setelah membaca berikan TS minimal





jangan lupa ya gan
jangan di
just share 






jangan di


Quote:


Diubah oleh ndhielfp 24-06-2013 03:43
0
2.7K
Kutip
21
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan