- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Kampung Apung, Potret Buram Hunian Jakarta
TS
prassiran
Kampung Apung, Potret Buram Hunian Jakarta
Gan pernah denger kan dengan yang namanya kampung apung di Jakarta
Kalau belum pernah dengar ada neh gan sekelumit cerita soal kampung apung....
Kampung Apung, Potret Buram Hunian Jakarta
@IRNewscom | Jakarta: “Jakarta is the big village,” kata Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), Prof Dr JP Pronk, saat berkunjung ke Jakarta pada 1990-an. Mendengar itu, boleh saja nasionalisme kita terusik. Tapi, coba kita simak salah satu sudut Jakarta dalam liputan investigatif jurnalis IRNews berikut ini.
Ji’ih seorang lelaki paruh baya. Kulitnya hitam. Ia duduk berselonjor di sebuah gardu bersama temannya. Siang itu, Rabu (24/4/2013), Ji’ih sedang menelepon ketika saya menanyakan sebuah alamat.
Matanya langsung menatap saya saat ia mendengar nama tempat yang saya cari. Teman di sebelahnya tak tahu tempat itu. Ketika saya hendak pergi, Ji’ih mengangkat tangannya. Ia menahan saya untuk tidak pergi. “Sebentar ya, saya lagi ada tamu,” kata Ji’ih kepada orang diseberang telepon.
Ia lantas menanyakan identitas saya. Setelah tahu maksud dan tujuan saya, Ji’ih menyodorkan tangannya. “Saya Ji’ih. Orang-orang memanggil saya, Bang Ji’ih. Tempat yang kamu cari ada disini,’ ujarnya mengenalkan diri.
Ji’ih membawa saya memasuki sebuah gang sempit. Rumah-rumah saling berdesakan. Lebar jalan yang kami lalui kira-kira berukuran sepetak. “Untung kamu pakai sandal. Jadi, bisa masuk ke dalam,” kata Ji’ih yang juga mengenakan sandal dengan celana digulung.
Di hadapan saya terbentang sebuah perkampungan yang berdiri di atas air. Warna airnya agak kehitaman. Sampah berserakan. Tinggi air seukuran pergelangan kaki orang dewasa. Sambil berjalan, saya menyaksikan beberapa warga sedang memancing. “Tadi malam, seribu ekor ikan lele lepas dari kandang,” kata Ji’ih seraya menegur beberapa warga.
Tempat ini dinamakan Kampung Apung. Dulu, kampung ini dikenal sebagai Kapuk Teko. Namun, banjir yang tak kunjung surut sejak 1990-an membuat tempat itu disematkan sebagai Kampung Apung. Lokasinya berada di Jalan Kapuk Raya, RT 10/RW 01, Kelurahan Kapuk, Cengkareng, Jakarta Barat. Sebagian rumah warga berdinding triplek. Jumlah warga yang menghuni RT 10 sebanyak 112 Kepala Keluarga (KK).
Ji’ih lahir dan besar di Kampung Apung. Ia asli Betawi. Menurut ayah empat anak itu, Kampung Apung tadinya dipenuhi sawah dan pepohonan. Suasana terasa sejuk. Namun, semuanya berubah sejak gudang-gudang mulai dibangun.
Sawah milik warga diuruk dan dijadikan tempat penyimpan barang. Padahal, sawah itu menjadi tempat resapan air dikala turun hujan. Pengerukan itu, kata Ji’ih, tanpa memperhatikan saluran air. “Jadi, otomatis air mengalir ke tempat yang rendah,” ujar dia.
Setelah menyusuri banjir, Ji’ih mengajak saya ke sebuah balai. Lantainya terbuat dari kayu. Puntung rokok berserakan. Balai ini tempat warga bercengkerama atau sekedar santai. Di dalamnya terdapat televisi.
Ia lalu meminta saya berdiri di atas tanah. Aneh, tanah ini terasa empuk. “Tempat kita berdiri ini adalah tumpukan sampah. Kalau digali, maka isinya sampah semua,” kata Ji’ih sambil menghentak-hentakan kakinya. Saat tanah dihentak, terasa gembur. Andai 10 orang menghentak bersamaan, bisa benar-benar ambles, terperosok di tumpukan sampah.
Sekitar 10 meter dari balai itu terdapat kuburan. Lokasi pemakaman itu juga terendam banjir. Bahkan, tidak tampak satu pun kuburan. Sejak Kampung Apung dilanda banjir, tak ada pihak keluarga yang mengunjungi pemakaman tersebut.
Selengkapnya baca :Indonesiarayanews.com
ini gan sekelumit cerita tentang kampung apung....semoga berkenan memang panjang sih bacanya....
mohon comentnya....
Kalau belum pernah dengar ada neh gan sekelumit cerita soal kampung apung....
Spoiler for TKP:
Kampung Apung, Potret Buram Hunian Jakarta
@IRNewscom | Jakarta: “Jakarta is the big village,” kata Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), Prof Dr JP Pronk, saat berkunjung ke Jakarta pada 1990-an. Mendengar itu, boleh saja nasionalisme kita terusik. Tapi, coba kita simak salah satu sudut Jakarta dalam liputan investigatif jurnalis IRNews berikut ini.
Ji’ih seorang lelaki paruh baya. Kulitnya hitam. Ia duduk berselonjor di sebuah gardu bersama temannya. Siang itu, Rabu (24/4/2013), Ji’ih sedang menelepon ketika saya menanyakan sebuah alamat.
Matanya langsung menatap saya saat ia mendengar nama tempat yang saya cari. Teman di sebelahnya tak tahu tempat itu. Ketika saya hendak pergi, Ji’ih mengangkat tangannya. Ia menahan saya untuk tidak pergi. “Sebentar ya, saya lagi ada tamu,” kata Ji’ih kepada orang diseberang telepon.
Ia lantas menanyakan identitas saya. Setelah tahu maksud dan tujuan saya, Ji’ih menyodorkan tangannya. “Saya Ji’ih. Orang-orang memanggil saya, Bang Ji’ih. Tempat yang kamu cari ada disini,’ ujarnya mengenalkan diri.
Ji’ih membawa saya memasuki sebuah gang sempit. Rumah-rumah saling berdesakan. Lebar jalan yang kami lalui kira-kira berukuran sepetak. “Untung kamu pakai sandal. Jadi, bisa masuk ke dalam,” kata Ji’ih yang juga mengenakan sandal dengan celana digulung.
Di hadapan saya terbentang sebuah perkampungan yang berdiri di atas air. Warna airnya agak kehitaman. Sampah berserakan. Tinggi air seukuran pergelangan kaki orang dewasa. Sambil berjalan, saya menyaksikan beberapa warga sedang memancing. “Tadi malam, seribu ekor ikan lele lepas dari kandang,” kata Ji’ih seraya menegur beberapa warga.
Tempat ini dinamakan Kampung Apung. Dulu, kampung ini dikenal sebagai Kapuk Teko. Namun, banjir yang tak kunjung surut sejak 1990-an membuat tempat itu disematkan sebagai Kampung Apung. Lokasinya berada di Jalan Kapuk Raya, RT 10/RW 01, Kelurahan Kapuk, Cengkareng, Jakarta Barat. Sebagian rumah warga berdinding triplek. Jumlah warga yang menghuni RT 10 sebanyak 112 Kepala Keluarga (KK).
Ji’ih lahir dan besar di Kampung Apung. Ia asli Betawi. Menurut ayah empat anak itu, Kampung Apung tadinya dipenuhi sawah dan pepohonan. Suasana terasa sejuk. Namun, semuanya berubah sejak gudang-gudang mulai dibangun.
Sawah milik warga diuruk dan dijadikan tempat penyimpan barang. Padahal, sawah itu menjadi tempat resapan air dikala turun hujan. Pengerukan itu, kata Ji’ih, tanpa memperhatikan saluran air. “Jadi, otomatis air mengalir ke tempat yang rendah,” ujar dia.
Setelah menyusuri banjir, Ji’ih mengajak saya ke sebuah balai. Lantainya terbuat dari kayu. Puntung rokok berserakan. Balai ini tempat warga bercengkerama atau sekedar santai. Di dalamnya terdapat televisi.
Ia lalu meminta saya berdiri di atas tanah. Aneh, tanah ini terasa empuk. “Tempat kita berdiri ini adalah tumpukan sampah. Kalau digali, maka isinya sampah semua,” kata Ji’ih sambil menghentak-hentakan kakinya. Saat tanah dihentak, terasa gembur. Andai 10 orang menghentak bersamaan, bisa benar-benar ambles, terperosok di tumpukan sampah.
Sekitar 10 meter dari balai itu terdapat kuburan. Lokasi pemakaman itu juga terendam banjir. Bahkan, tidak tampak satu pun kuburan. Sejak Kampung Apung dilanda banjir, tak ada pihak keluarga yang mengunjungi pemakaman tersebut.
Selengkapnya baca :Indonesiarayanews.com
ini gan sekelumit cerita tentang kampung apung....semoga berkenan memang panjang sih bacanya....
mohon comentnya....
0
2.1K
Kutip
16
Balasan
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan