byanbyan
TS
byanbyan
[story] [ SECANGKIR ASMARA ]
semoga berkenan di hati agan sekalian.

regards,
@TheoDavish

BAB 1. Ingatan sebuah kenangan

17.05
Mantan. Apa yang ada diotak kalian jika kalian mendengar kata mantan? Ada dua hal. Yang pertama rasa amarah dan dendam yang tak kunjung usai jika mendengar sebutan orang yang telah menyakitimu dengan segala muslihatnya yang ia miliki, dan sekenanya melihatmu tersakiti sedangkan ia sedang menjemput kebahagiaan-kebahagiaan dia yang lain, yang dia pikir, lebih baik dari pada kamu. Lalu yang kedua adalah rasa bahagia telah memutus hubungan dengan makhluk yang bernama mantan karena kamu bersyukur telah diberi kesadaran untuk memutuskan dia lebih dulu dari pada menunggunya menyakitimu dan kondisinya seperti pilihan pertama.

Akan tetapi, jika dipikir-pikir Aku tidak masuk ke pilihan keduanya, atau justru diantara keduanya. iya, kalau dipikir-pikir, hubunganku selalu tidak berjalan mulus karena aku tidak focus pada mereka, karena aku memikirkan seseorang yang luarbiasa dapat membunuhku dengan ingatan tentang dirinya meskipun itu sudah setahun berlalu.

Sore menjelang malam yang dingin, hujan sedang marah sepertinya, sudah lebih dari seperempat hari ia menghempaskan buliran buliran tak tentu yang tak kunjung henti. Mungkin hujan sedang terisak, memandangi orang-orang yang banyak menyumpah serapahinya, saat hujan tiba akan menganggu malam minggu mereka. Saat ini hujan sedang menghantarkan tangisnya.

Aku masih terbujur di coffee shop langgananku ini, bertempat di sudut jalan besar yang ramai, tempat lalu lalang manusia dengan masing masing tujuannya. Sedangkan aku? Aku disini sedari tadi ingin menikmati senja, sayangnya, hujan sedang tak ingin pecinta kata menuai kicauan mesra untuknya, jadilah dia ada. Menyemarakkan sore yang sedang kunikmati ini.

Memandang satu demi satu para pengunjung yang ada, sedari aku belum singgah disini, sampai yang sudah terlewat. Satu, dua, tiga dan seterusnya.

Yang lamat kuperhatikan, keluarga kecil yang terdiri dari seorang wanita muda dengan perawakan sederhana tapi modis, memangku seorang gadis kecil berambut coklat dengan warna mata serupa. Sesaat setelah itu bergabung dengan keduanya seorang lelaki yang terlihat bersahaja tapi matanya begitu tajam. Mereka serasi sekali. Keluarga muda yang bahagia. Lelaki yang tampak mapan itu menghampiri, mengecup pipi sang wanita, lalu seperti membicarakan hal yang begitu serius. Aku tak terlalu memperhatikannya. Buat apa pula aku terlalu mengamati mereka, bukan urusanku juga. Tetapi selang setengah jam kemudian, saat secara tak sengaja aku menengok ke arah mereka, lelaki itu sudah tak ada di sana. Yang ada hanya sang wanita yang tadinya ceria, mendadak menundukkan kepalanya dan mengusap wajahnya dengan tisu seraya sedikit sesegukan. Anak kecil di sebelahnya pun ikut ikutan termangu menatap wanita yang mungkin ibu-nya itu termenung dalam kesedihan. Aku mendesah, perlahan. memunculkan iba pada mereka.
Apapun masalah yang mereka alami, satu kebahagiaan sedang terenggut. Sesuatu yang kadang begitu indah tertatap mata bisa saja hanyut dalam sekejap kerdipan mata. Entah, hanya semesta yang tahu kapan semuanya akan terjadi.

Di sudut lainnya, ada tiga gadis remaja, sedang begitu hangat larut dalam pembicaraan. Sumringah, dan begitu meletup letup. Seusia mereka memang semangat tengah sangat membara, terlebih urusan cinta mencinta. Aku juga begitu, dulu.

Dan satu lagi, dua orang yang baru saja masuk ke café klasik ini, seorang perempuan dan lelaki yang begitu sangat hangat di tatap mata. Mereka sepertinya pasangan yang sedang di rundung berjuta merah muda. Berjalan ke meja yang telah dipesan sambil bergandengan tangan. Mesra. Sang pramusaji pun tampak ramah menghampiri mereka. Setelah itu mereka berbincang seolah tak ada orang lain di antaranya. Aura dan tatapan matanya begitu tersurat bahwa mereka begitu terpesona satu sama lain. Tidak berlebihan seperti yang terbayangkan. Tetapi cukup untuk membuat hati para sendiri meng-iri untuk mendambakan hal yang sama. Ah sudahlah!
***

Aku menatap hujan lamat-lamat. Lalu menghempaskan nafas perlahan. Meneguk cangkir hazelnut coffee yang masih ada setengah. Seraya memandang gemerintik air yang sudah perlahan menyusut, terpejam sesaat di kaca dari café langgananku yang telah sering ku kunjungi satu tahun terakhir ini. Dalam hening ku dengar irama rintik air yang jatuh satu satu, indah. Bukan main indah, aku merasakan potongan cinta dalam tiap kekhasan aromanya. Aku membuka mata, dan berharap dia ada. Kembali.
Ah, harapan konyol. Dehemku dalam hati.

Apalah guna sepenggal memori lalu ini diingat lagi. Yang ada hanya mendatangkan kesedihan, mendaratkan pilu, dan membiarkan semua pertanyaan yang tak sempat terjawab ini mekar diatasnya. Rasanya aku ingin amnesia saja. Kelopak mataku masih terasa memanas, entah darimana benih rasa ini muncul begitu saja, aku hanya tak mengerti jalan ceritanya, tiap episode yang berlalu begitu saja.

Kau pergi. Tanpa ku tahu mengapa.
Kau hilang, membawa potongan hatiku yang luruh di dalamnya.
Kau lenyap, melenyapkan harap dan memupuskan mimpi.

Seolah rangkaian misteri ini ditempa seluruhnya di sini. Tempat dimana cerita ini berasal. Dimana cinta ini tumbuh subur, dan terpangkas sekenanya. Menumbuhsuburkan perasaan, dan terhapus oleh takdir kuasa yang tak tertandingi dahsyatnya. Meski aku tetap tak mengerti.

Kau memang sempat menjelaskan harap di benakku, tapi kau tak memberikanku kepastian itu. Kau tak pernah berkata sekalipun bahwa kau mencintaiku, bagaimana aku bisa yakin bahwa cintamu tak sekedar abu-abu? Bisakah kau beri aku penjelasan dari semua ke-semu-an yang kau eja satu-satu?
Tidak, kau tidak bisa meretasnya. Dan mungkin aku tak akan pernah dapat jawabnya.
***

“Hujan itu menenangkan ya?” Ucap seseorang yang tiba tiba ada di sebelahku.
“Eh?” Aku menoleh.
Wajah berparas baik dan bercahaya itu terrsenyum sambil menatap kaca.
“Hujan itu perantara kesedihan, bisa menenangkan, bisa meingatkan kembali pada luka yang belum mengering, perih,” lanjutku.
“Bukannya hujan itu penuh dengan kebahagiaan? Seperti tangis bahagia para malaikat yang jatuh ke bumi, membawa berkah bagi siapa saja yang mempercayainya,” ucapnya lagi.
“Iya, jika kau tidak punya kenangan pedih tiap kau melihat hujan, dan seketika hatimu beku ketika menatap bulir-bulir itu,”tandasku.
“Kau hanya belum mengerti saja apa maksudnya, nanti jika kau telah melewati fase-fase kehidupan yang penuh liku itu, barulah kau akan tau yang sebenarnya. Selamat menikmati sore, Asmara,”tukasnya seraya tersenyum lalu pergi.
“Eh, darimana kau tau namaku?”
Yang ditanya sudah terlanjur pergi. Entah menghilang kemana. Lalu Asmara sibuk memikirkan kata kata seseorang yang penuh misterius itu dengan senyumnya yang khas. Meskipun tidak paham, kata-kata dari orang asing itu cukup untuk memenuhi otaknya selama berpuluh-puluh menit.
Bagi Asmara, hujan tetap hanya membawa kenangan yang kemudian luruh bersama air yang mengalir, kepada langit yang tak lagi peduli.


Asmara terdiam. Betapa hidupnya tak lagi sama seperti setahun yang lalu. Terlalu banyak yang ingin dia katakan, tapi tak bisa. Terlalu banyak yang ingin dia lakukan, tapi tak sanggup. Dia hanya diam, dan menyimpannya dalam hatinya yang sudah tak utuh lagi.
Hidupnya terlihat biasa, meski hatinya tidak. Betapa hadirnya seseorang begitu berarti baginya, dan ketika kehilangan itu ada, hampa tanpanya. Begitulah yang dirasakan Asmara saat ini. Sesalnya seperti begitu menghujam.
***

Tempat ini tidak penting bagiku, sebenarnya. Tetapi alasan yang paling aku dapat jelaskan mengapa aku selalu mendatangi tempat ini setiap sabtu sore, hanyalah dengan satu penjabaran. Tempat ini bukan tempat semua berasal, bukan juga tempat klise yang selalu kau banggakan. Tetapi, disinilah semua rasa itu singgah, semua pengharapan itu datang, lalu lenyap termakan angan yang ternyata berlebihan. Aku kemari untuk mengenangnya, hanya saja terlalu sering aku mengingatnya kembali. Bahkan setahun kepergiaannya tidak lekang mengenyahkan apa yang sudah terisi di relung hati. Kini, semua kembali sepi.
Sahabatku, Mey, selalu menyempatkan datang kemari ketika ia singgah di kota sederhanaku ini. Tanpa menghubungipun ia sudah tepat tau dimana keberadaanku. Meski-pun aku tak banyak berubah dari semenjak lulus SMA setahun yang lalu. Ia sudah pasrah tentang kebekuan perasaan yang aku alami dua tahun terakhir. Dan ia paling tau bagaimana membuatku tersenyum meski sesaat.

Lonceng pintu café berbunyi, sontak aku menoleh, dan tepat. Mey berdiri di sana, tersenyum padaku. Duduk di depanku dengan pertanyaan yang sama setiap ia tiba.

“Bagaimana kabarmu, sayang?” ucapnya singkat seraya tersenyum.
“Baik, kataku.” Jawabku dengan senyum sangat tipis.
“Kuliahmu lancar?” tanyanya lagi.
“Masih pada jalur yang semestinya kok, hanya saja..” aku memotong pembicaraanku sendiri
“Kenapa? Ada masalah?” Tanya Mey mengernyitkan dahinya.
“Enggak kok, I’m okey dear” ucapku tersenyum meyakinkan.

Mey tidak bertanya banyak setelah itu, ia benar tau gelagat sahabatnya yang telah di kenalnya lebih dari 15 tahun ini. Ia tak akan meracau lagi ketika aku sudah bilang aku tidak apa apa. Meskipun ia benar, dan kebanyakan orang tau, dibalik kata tidak apa apa adalah ada apa apa yang tersimpan. Bukan begitu?

Mey membalas senyumanku, dan ia mulai menceritakan kegiatan perkuliahannya yang padat dan menarik. Mey berkuliah di Universitas Swasta di ibukota yang cukup bergengsi. Di tambah ia dapat tembus ke sana hasil beasiswa penuh yang diberikan universitas tersebut. Aku kagum padanya, selalu kagum. Semesta begitu tercurah dengan iringan langkahnya, aku juga ingin seperti itu..

Pembicaraan Mey ku potong sampai ia bicara mengenai suatu hal yang amat mengejutkan.
“Ra, aku mau ngomong sesuatu nih. Tapi janji reaksinya biasa aja?” ucap Mey sedikit terbata.
“Hmm, tentang apa?” Jawabku datar.
“Tapi beneran reaksinya harus biasa aja?” katanya lagi.
“Iyaaaaaaa, tentang apasih? jangan setengah setengah gitu dong kalo mau cerita.” Kataku sedikit jengkel.
“Emmm, seminggu yang lalu aku aku melihat dia, Ra. Dia yang membuatmu begini.” Dengan ragu ragu Mey mengatakannya.

Aku terdiam. Sejenak. Bagaimana bisa Mey bertemu dengan seseorang yang entah aku tau ia masih hidup atau tidak, yang telah membuncahkan kenangan lalu enyah tersapu angin lalu. Mendengar Mey yang katanya melihat dia adalah suatu keajaiban bagiku. Mendengar kabarnya saja tidak pernah. Sungguh, aku tidak tau harus bereaksi apa. Tetapi, harus kupastikan bahwa aku tidak boleh berlebihan. Dimana mana masalalu adalah masalalu. Jika aku terperangkap dalam kondisi seperti ini terus menerus, akan jadi apa aku nantinya? Meskipun begitu, kata kata itu seringkali tetap menjadi teori yang relativitasnya tinggi. Bisa di aplikasikan jika dan hanya jika kondisi dan semestanya sedang berpihak dengan si empunya masalah. Dan mempunyai semangat dan support yang tinggi bahwa masadepan itu pasti lebih baik. Lain ceritanya jika aktor utamanya ingin menuntaskan masa yang lampau terlebih dahulu. Manusia kadang terjebak dalam sesuatu yang tidak seharusnya terjebak di dalamnya. Disini, peran mindset sang aktor di pertanyakan.

Mey menyentuh tanganku pelan.
“Kamu tidak apa apa kan, Mara sayang?”
Aku kaget seketika, menyadari bahwa ada seseorang yang mengharapkan reaksiku atas pernyataan yang dilontarkannya.
“Eh?! Iya Mey?”
“Kamu tidak apa apa kan? Mey mengulang perkataannya sekali lagi.

Aku tersenyum perlahan. Senyuman menguatkan, senyuman dengan seribu alasan. Diiringi mata yang mulai berkaca-kaca.
“Mara, aku tau mungkin perkataanku tadi membuatmu ingat kembali atas masa masa pedih itu, tapi aku hanya ingin memberitahukan kepadamu, bahwa ia masih baik-baik saja. Ia sudah dengan kehidupannya, dan kamu juga harus begitu, sayang..”
“Aku melihatnya di Bandara Juanda, Surabaya. Tapi demi Tuhan aku tidak menyapa nya bahkan sempat menanyakan kabarnya. Yang terlihat, ia sudah menggenggam kehidupannya yang baru, sepertinya.”
Mey berkata panjang lebar. aku mendengarkannya sambil mencoba mengingat bagaimana rupa wajahnya sekarang.
“Ia tidak banyak berubah, Re. Masih mempunyai mata yang tegas seperti dulu, wajahnya masih sesederhana yang kamu cinta, dan masih tampak hangat seperti dulu. Tetapi sepertinya ia jauh lebih misterius. Dan aku tak tahu mengapa.” Tambah Mey menuturkan.
Sepertinya Mey ini sudah belajar membaca pikiran orang mungkin, ia menjawab pertanyaan yang terlintas di pikiranku dengan tepat. Aku hanya bisa terpaku, dan mendesah perlahan. Memenuhi sisa sabtu malam hanya dengan memikirkan sepenggal kisah yang tergenang begitu saja.

***
Polling
0 suara
bagaimana kesan hati para pembaca sekalian ?
Diubah oleh byanbyan 16-04-2014 08:43
anasabila
anasabila memberi reputasi
1
5.1K
35
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan