- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
[agan-sista yg punya idola, masuk mari]FAN->FANATISME->FETISISME(dalam dunia musik)


TS
mashoed
[agan-sista yg punya idola, masuk mari]FAN->FANATISME->FETISISME(dalam dunia musik)
selamat pagi agan-sista semua, semoga kita sehat dan sukses selalu.
di pagi hari ini, saya akan nyoba share tentang fanatisme dalam dunia musik. ok tanpa basa basi, langsung saja ane kasih pembukanya.
dalam dunia musik
Fanatisme Adalah Kebengalan
Kalau pemahaman fanatisme –dalam segala bentuknya—hendak diseret dan diberhalakan pada penafsiran yang justru bertentangan dengan manfaat kepada kemanusiaan itu sendiri, maka fanatisme yang seperti itu adalah fanatisme fosil yang tidak berguna buat kemanusiaan. Kita harus berani meninggalkan fanatisme kosong yang menjadi kumpulan celoteh dogmatis idola yang memperbodoh akal sehat kita. Tapi, memang musuh terbesar kita, kata para Sufi, adalah diri kita sendiri. Sanggup tidak menempatkan idola kita di porsi yang masuk akal.
Kita berpusat dan akhirnya fanatik pada idola dengan cara yang bermacam-macam. Semua menganggap proses fanatisme adalah sebuah perjalanan “spiritual” yang akhirnya dirasakan untuk bertemu dengan sang idola, apapun dan siapapun yang disebut idola itu. Dalam bahasa psikologi, kelemahan mendasar seorang fanatik adalah tidak mampu mengambil jarak terhadap keyakinannya, tidak kritis lagi terhadap keyakinan dan tindakannya. Dalam kacamata ini, fanatisme seperti kebengalan, keras kepala dan tidak mau diskusi untuk merumuskan titik temu.
Fanatisme Menjadi Pemujaan
Bagi kalangan kapitalis atau pemodal, fanatisme yang tumbuh dalam industri musik dan hiburan, adalah tambang emas untuk mengeruk untung. Perhatikan bagaimana kegilaan mati-matian akan apapun yang berbau Korea, justru dimanfaatkan untuk mendatangkan seabarek musisi Korea untuk berkonser di Indonesia. Mereka –kalangan industri—tahu, ketika sudah menjadi “pemujaan” terhadap idola, apapun –betul apapun—akan mereka lakukan untuk bisa melihat dan bertemu.
Dan jangan bilang bosan kalau bertubi-tubi artis Korea berdatangan tanpa henti. Nyaris semuanya disesaki penggemarnya yang beratribut mirip seperti idolanya di panggung. Bela-belan antri berjam-jam, panasan, bolos kuliah atau kerja, hanya untuk bisa melihat idolanya. Ingat ketika seputaran Senayan macet total ketika SM Town menggelar konser?
Di mata musisi, pengamat musik atau promotor, fanatisme penonton musik di Indonesia sangat luarbiasa. Dan fanatisme itu tidak terbentuk sehari dua hari saja, tapi sudah menjalar akarnya dari puluhan tahun silam. Ingat ketika Deep Purple menggelar konser di Jakarta tahun 1975? Menurut Ipik Tanoyo –wartawan senior—yang ketika itu meliput konsernya, sekitar 75 ribu penonton memadati Stadion Utama Senayan Jakarta [sekarang Stadion GBK –red]. ”Suasananya ramai banget, semua memakai atribut seperti Deep Purple,” kata Pak Ipik –begitu sapaannya—ketika berbagi kisah tentang konser tersebut.
Atau bagaimana metalhead berhamburan di Stadion Lebak Bulus ketika Metallica menggelar konser tahun 1993 silam. Sayangnya, konser berakhir rusuh karena ulah penonton –kayaknya bukan fans kalau ini—yang maunya gratisan dan mendobrak masuk [khas Indonesia?]. Oh ya, sekadar info, kejadian itu itu masuk dalam rentetan kisah dokumenter GLOBAL METAL karya Sam Dunn, sutradara, antropolog-cum-metalhead asal Kanada.
Sepultura pasti juga pernah merasakan luarbiasa fanatisme penggilanya di Indonesia. Dalam konsernya di Surabaya tahun 1992, ketika itu Max Cavalera masih jadi line-up utamanya, menghentikan konser usai lagu ke 6. Sekitar stadion sudah rusuh dan terjadi bakar-bakaran. Mungkin juga atas permintaan pihak keamanan. Tapi kejadian itu menggambarkan, bagaimana beralihnya peer group dari fanatisme menjadi pemujaan. Lahirnya sebuah keberanian, tak mengenal rasa takut dan identifikasi perilaku yang merujuk pada idolanya sebagai kekuatan.
+++
Fanatisme yang terjadi sebenarnya juga tidak bisa langsung dituding hanya berlaku untuk musik tertentu. Dalam beberapa riset tentang fanatisme, ada beberapa hal penting yang perlu disimak. Satu hal dari fanatisme yang harus diperhatikan adalah terjadinya suspension of critical thinking, atau “berhentinya pemikiran kritis” menyangkut obyek pujaan. Saat kita fanatik mengenai sesuatu, kita seringkali tidak mampu berpikir kritis mengenainya. Dan akibat berhentinya pemikiran kritis, kita jatuh pada generalisasi [pokoknya semua yang idola kita lakukan pasti benar], rasionalisasi [kalau idola kita kelihatan seperti salah, pasti karena orang lain tidak tahu maksud jenius dia], dan persepsi selektif [baca: sensor], dimana kita menolak melihat fakta-fakta yang jelek menyangkut obyek fanatisme tersebut.ember
Fetisisme Dunia Pop
Demam lagu Gangnam Style dari penyanyi rap Korea Selatan, Spy dan juga Harlem Shake telah menembus seluruh dunia, Timur dan Barat, tak kecuali di sini. Bahkan melalui Youtube telah ada video Harlem Shake yang diproduksi siswa beberapa SMA di Aceh.
Tidak ada yang salah dengan polah anak-anak SMA itu. Mereka hanya mencoba merayakan kegembiraan budaya pop melalui “peran-peran artistik” pembuatan video musik yang hanya berdurasi setengah menit.
Bukan hanya dalam bermusik, di era millennium ketiga ini, tingkat pelajar saja mudah risih jika tidak memiliki Blackberry atau sepeda motor. Saya kontraskan dengan pengalaman saya saat kuliah 20 tahun yang lalu, telepon genggam dan sepeda motor masih dianggap barang mewah bagi mahasiswa perantauan. Ke mana-mana cukup menggunakan angkutan kota.
Di kalangan ibu-ibu pejabat dan sosialita juga ada gaya hidup baru. Jika pada masa lalu, identitas kemakmuran ditunjukkan dengan emas dan berlian yang menggantung di leher dan lengan, kini status sosial para madame ditunjukkan dengan penggunaan tas bermerek dan gadget terbaru. Saya sempat memperhatikan gaya para istri pejabat di Aceh saat pelantikan gubernur-wakil gubernur tahun lalu di DPRA. Mereka cukup percaya diri dengan apa yang dikenakan: Channel, Louis Vouitton, Gucci, Hermes, dll, dan mengabadikan momen pelantikan itu dengan IPad. Masih gunakan kamera? Kuno!
Demikian juga dalam bermusik. Siapa pun bisa menjadi penyanyi melalui perkembangan teknologi rekam dan audial yang semakin mudah dibawa. Berkaraoke juga tak lagi di sebuah ruangan, bisa di dalam mobil dengan menggunakan flash disc. Silakan bernyanyi sepuasnya dan dijamin Anda tidak mengganggu publik di jalan, karena sudah dilengkapi dengan kendaraan yang berpendingin dan kedap suara oleh kaca tertutup. Seperti juga banyak produksi lagu bahasa Aceh yang hanya menyadur lagu-lagu berbahasa India, Arab, Inggris, untuk kemudian diputar kembali di kedai kopi dan labi-labi.
Industri pop
Hal-hal seperti ini sebenarnya bukan sesuatu yang aneh dalam budaya pop (pop culture). Dalam industri seni pop, kecanggihan teknologi media dan kemampuan memproduksi secara massal menjadikannya sesuatu yang pop: Diterima “semua” orang dari pelbagai lapisan pendidikan, ras, agama, dan ekonomi.
Budaya pop juga ditunjukkan dengan kemampuan menembus batas-batas kultural etnografis dan politik. Biasanya karya pop, baik dalam bentuk ekspresi kesenian atau gaya hidup, bukan lagi karya yang berat, canggih, rumit, dan absurd, tapi karya yang mudah dicerna dan dikonsumsi. Sedikit orang yang bisa menikmati lukisan Cezanne, Picasso atau Jackson Pollock, tapi banyak orang mudah memahami karya Andy Warhol karena kemampuannya menurunkan derajat “misteri” seni rupa menjadi lebih realistik, ekonomis, populer, dan gembira. Memang tidak semahal lukisan tiga pelukis awal, tapi karya-karya Warhol pun ludes bak kacang goreng.
Ini pula yang oleh para pengamat budaya industri pop, seperti Jean Baudrillard disebut popisme, atau awal kematian seni era romantik yang men-dehumanisasi dan membangun banalitas artistik, sesuatu yang tidak memerlukan kedalaman dan endapan refleksi mendalam ketika menikmati seni. Bisa langsung dinikmati dan dirayakan. Istilah Eco, seni pop menerjunkan penikmat seni ke arung realitas hiper (hyperreality); realitas yang dilebih-lebihkan dan ilusionistik. Secara cepat dan histeris, di tengah aksi panggung yang menggilakan atau di ruang tamu sebuah keluarga.
Lihat saja bagaimana penyanyi seperti Madonna dan Lady Gaga bisa terkenal. Impresario musik dunia telah mengangkatnya menjadi sang dewa (Latin : Diva). Mereka hidup dalam dunia industri yang diciptakan untuk memberikan efek turbulensi mengglobal. Industri label musik telah memandunya untuk “toleran” dengan selera masyarakat, dari California, Jakarta, hingga Ie Leubeu, Kembang Tanjung, Pidie.
Fetisisme dan kegilaan
Namun ada dialektika negatif dari industri budaya pop, yaitu munculnya kesadaran fetisisme (fetishism), yaitu kesenangan kepada aktor atau penyanyi yang mengarah kepada pemujaan. Fetisisme adalah efek lanjutan dari bermain-mainnya fantasi spekulatif para penikmat budaya pop yang merasa begitu dekat dengan tokoh pujaannya, seolah mampu berkomunikasi dalam benteng kesendirian (fortresses of solitude) yang diciptakan di dalam pikiran.
Para penggemar bukan hanya menikmati karya seni yang ditampilkan tapi lebih jauh lagi, mengapresiasi secara berlebihan seolah idolanya “setengah dewa” bahkan Tuhan. Maka tak heran, ada pendukung Cherrybelle menuliskan status agama di sebuah media sosial merujuk kepada grup band remaja putri yang sedang naik daun itu. Kini juga muncul JKT 48 yang merupakan tiruan AKB 48 dari Jepang yang digilai para remaja nasional. Demikian pula Fathin, penyanyi mungil berjilbab yang diorbitkan kontes musik berlisensi global. Kesalehan dan hiburan beradu-padu dalam dunia pop tanpa interupsi.
Masih ingat dengan para monster kecil (little monsters); sebutan para pendukung Lady Gaga, karena ia menahbiskan dirinya sebagai ibu monster? Hampir dipastikan sebagian besar pendukung fanatik Gaga itu tidak mengenalnya secara personal, tapi seolah mereka bisa intim berkat bantuan teknologi multi-media. Gaga tidak besar oleh taletanya saja, tapi juga dibantu oleh kejelian dunia industri musik (MTV, Grammy Awards, Billboard Hot 100, Sony) yang telah mengangkat namanya sebagai musisi dunia.
Fetisisme itu merasuk ke dalam situasi yang sangat mistik. Seorang pemuja atau pendukung fanatik bisa melakukan sesuatu yang tidak diperkirakan oleh pikiran sehat umum . Kita ingat bagaimana Andres Escobar, pemain bola asal Kolumbia dibunuh oleh pendukung fanatik negara itu setelah mencetak gol bunuh diri pada piala dunia 1994. Tak tertampik, bahwa digitalisasi teknologi visual dan beragam pemberitaan media setelah kekalahan itu ikut menjadi persuasi kompleks ke arah pembunuhan sadis sang pemain.
Tak ada fetisisme yang kurang dari itu. Kini bukan hanya pendukung, tapi penolak budaya pop juga masuk dalam jeruji perangkap popisme dalam bertindak. Media telah membentuk budaya mimicry: meniru perilaku dan cara pikir sebuah masyarakat dari seluruh sumbu dunia dan menjadikannya perilaku sendiri. Mereka menonton perilaku kekerasan di negara lain melalui berita televisi dan film, dan dipraktikkan di sini dengan dalih moralitas dan agama. Alangkah luar biasanya pengaruh dunia pop bagi insan bumi. ember
sekian dari ane gan-sist. semoga bisa menambah wawasan kita. buat yang dah mampir dan sekiranya berkenan, jangan lupa di
ato kalo boleh dibagi
nya.

di pagi hari ini, saya akan nyoba share tentang fanatisme dalam dunia musik. ok tanpa basa basi, langsung saja ane kasih pembukanya.
Quote:
FANATISMEadalah adalah sebuah keadaan di mana seseorang atau kelompok yang menganut sebuah paham, baik politik, agama, kebudayaan atau apapun saja dengan cara berlebihan (membabi buta) sehingga berakibat kurang baik, bahkan cenderung menimbulkan perseteruan dan konflik serius.wiki
Quote:
FANSadlah orang yang menganut fanatisme (menurut ane sih gitu 

Quote:
FETISISMEFetisisme merupakan pemujaan seseorang pada suatu objek secara berlebihan (entah itu orang atau benda). ember
dalam dunia musik
Quote:
Fanatisme Adalah Kebengalan
Kalau pemahaman fanatisme –dalam segala bentuknya—hendak diseret dan diberhalakan pada penafsiran yang justru bertentangan dengan manfaat kepada kemanusiaan itu sendiri, maka fanatisme yang seperti itu adalah fanatisme fosil yang tidak berguna buat kemanusiaan. Kita harus berani meninggalkan fanatisme kosong yang menjadi kumpulan celoteh dogmatis idola yang memperbodoh akal sehat kita. Tapi, memang musuh terbesar kita, kata para Sufi, adalah diri kita sendiri. Sanggup tidak menempatkan idola kita di porsi yang masuk akal.
Kita berpusat dan akhirnya fanatik pada idola dengan cara yang bermacam-macam. Semua menganggap proses fanatisme adalah sebuah perjalanan “spiritual” yang akhirnya dirasakan untuk bertemu dengan sang idola, apapun dan siapapun yang disebut idola itu. Dalam bahasa psikologi, kelemahan mendasar seorang fanatik adalah tidak mampu mengambil jarak terhadap keyakinannya, tidak kritis lagi terhadap keyakinan dan tindakannya. Dalam kacamata ini, fanatisme seperti kebengalan, keras kepala dan tidak mau diskusi untuk merumuskan titik temu.
Fanatisme Menjadi Pemujaan
Bagi kalangan kapitalis atau pemodal, fanatisme yang tumbuh dalam industri musik dan hiburan, adalah tambang emas untuk mengeruk untung. Perhatikan bagaimana kegilaan mati-matian akan apapun yang berbau Korea, justru dimanfaatkan untuk mendatangkan seabarek musisi Korea untuk berkonser di Indonesia. Mereka –kalangan industri—tahu, ketika sudah menjadi “pemujaan” terhadap idola, apapun –betul apapun—akan mereka lakukan untuk bisa melihat dan bertemu.
Dan jangan bilang bosan kalau bertubi-tubi artis Korea berdatangan tanpa henti. Nyaris semuanya disesaki penggemarnya yang beratribut mirip seperti idolanya di panggung. Bela-belan antri berjam-jam, panasan, bolos kuliah atau kerja, hanya untuk bisa melihat idolanya. Ingat ketika seputaran Senayan macet total ketika SM Town menggelar konser?
Di mata musisi, pengamat musik atau promotor, fanatisme penonton musik di Indonesia sangat luarbiasa. Dan fanatisme itu tidak terbentuk sehari dua hari saja, tapi sudah menjalar akarnya dari puluhan tahun silam. Ingat ketika Deep Purple menggelar konser di Jakarta tahun 1975? Menurut Ipik Tanoyo –wartawan senior—yang ketika itu meliput konsernya, sekitar 75 ribu penonton memadati Stadion Utama Senayan Jakarta [sekarang Stadion GBK –red]. ”Suasananya ramai banget, semua memakai atribut seperti Deep Purple,” kata Pak Ipik –begitu sapaannya—ketika berbagi kisah tentang konser tersebut.
Atau bagaimana metalhead berhamburan di Stadion Lebak Bulus ketika Metallica menggelar konser tahun 1993 silam. Sayangnya, konser berakhir rusuh karena ulah penonton –kayaknya bukan fans kalau ini—yang maunya gratisan dan mendobrak masuk [khas Indonesia?]. Oh ya, sekadar info, kejadian itu itu masuk dalam rentetan kisah dokumenter GLOBAL METAL karya Sam Dunn, sutradara, antropolog-cum-metalhead asal Kanada.
Sepultura pasti juga pernah merasakan luarbiasa fanatisme penggilanya di Indonesia. Dalam konsernya di Surabaya tahun 1992, ketika itu Max Cavalera masih jadi line-up utamanya, menghentikan konser usai lagu ke 6. Sekitar stadion sudah rusuh dan terjadi bakar-bakaran. Mungkin juga atas permintaan pihak keamanan. Tapi kejadian itu menggambarkan, bagaimana beralihnya peer group dari fanatisme menjadi pemujaan. Lahirnya sebuah keberanian, tak mengenal rasa takut dan identifikasi perilaku yang merujuk pada idolanya sebagai kekuatan.
+++
Fanatisme yang terjadi sebenarnya juga tidak bisa langsung dituding hanya berlaku untuk musik tertentu. Dalam beberapa riset tentang fanatisme, ada beberapa hal penting yang perlu disimak. Satu hal dari fanatisme yang harus diperhatikan adalah terjadinya suspension of critical thinking, atau “berhentinya pemikiran kritis” menyangkut obyek pujaan. Saat kita fanatik mengenai sesuatu, kita seringkali tidak mampu berpikir kritis mengenainya. Dan akibat berhentinya pemikiran kritis, kita jatuh pada generalisasi [pokoknya semua yang idola kita lakukan pasti benar], rasionalisasi [kalau idola kita kelihatan seperti salah, pasti karena orang lain tidak tahu maksud jenius dia], dan persepsi selektif [baca: sensor], dimana kita menolak melihat fakta-fakta yang jelek menyangkut obyek fanatisme tersebut.ember
Fetisisme Dunia Pop
Demam lagu Gangnam Style dari penyanyi rap Korea Selatan, Spy dan juga Harlem Shake telah menembus seluruh dunia, Timur dan Barat, tak kecuali di sini. Bahkan melalui Youtube telah ada video Harlem Shake yang diproduksi siswa beberapa SMA di Aceh.
Tidak ada yang salah dengan polah anak-anak SMA itu. Mereka hanya mencoba merayakan kegembiraan budaya pop melalui “peran-peran artistik” pembuatan video musik yang hanya berdurasi setengah menit.
Bukan hanya dalam bermusik, di era millennium ketiga ini, tingkat pelajar saja mudah risih jika tidak memiliki Blackberry atau sepeda motor. Saya kontraskan dengan pengalaman saya saat kuliah 20 tahun yang lalu, telepon genggam dan sepeda motor masih dianggap barang mewah bagi mahasiswa perantauan. Ke mana-mana cukup menggunakan angkutan kota.
Di kalangan ibu-ibu pejabat dan sosialita juga ada gaya hidup baru. Jika pada masa lalu, identitas kemakmuran ditunjukkan dengan emas dan berlian yang menggantung di leher dan lengan, kini status sosial para madame ditunjukkan dengan penggunaan tas bermerek dan gadget terbaru. Saya sempat memperhatikan gaya para istri pejabat di Aceh saat pelantikan gubernur-wakil gubernur tahun lalu di DPRA. Mereka cukup percaya diri dengan apa yang dikenakan: Channel, Louis Vouitton, Gucci, Hermes, dll, dan mengabadikan momen pelantikan itu dengan IPad. Masih gunakan kamera? Kuno!
Demikian juga dalam bermusik. Siapa pun bisa menjadi penyanyi melalui perkembangan teknologi rekam dan audial yang semakin mudah dibawa. Berkaraoke juga tak lagi di sebuah ruangan, bisa di dalam mobil dengan menggunakan flash disc. Silakan bernyanyi sepuasnya dan dijamin Anda tidak mengganggu publik di jalan, karena sudah dilengkapi dengan kendaraan yang berpendingin dan kedap suara oleh kaca tertutup. Seperti juga banyak produksi lagu bahasa Aceh yang hanya menyadur lagu-lagu berbahasa India, Arab, Inggris, untuk kemudian diputar kembali di kedai kopi dan labi-labi.
Industri pop
Hal-hal seperti ini sebenarnya bukan sesuatu yang aneh dalam budaya pop (pop culture). Dalam industri seni pop, kecanggihan teknologi media dan kemampuan memproduksi secara massal menjadikannya sesuatu yang pop: Diterima “semua” orang dari pelbagai lapisan pendidikan, ras, agama, dan ekonomi.
Budaya pop juga ditunjukkan dengan kemampuan menembus batas-batas kultural etnografis dan politik. Biasanya karya pop, baik dalam bentuk ekspresi kesenian atau gaya hidup, bukan lagi karya yang berat, canggih, rumit, dan absurd, tapi karya yang mudah dicerna dan dikonsumsi. Sedikit orang yang bisa menikmati lukisan Cezanne, Picasso atau Jackson Pollock, tapi banyak orang mudah memahami karya Andy Warhol karena kemampuannya menurunkan derajat “misteri” seni rupa menjadi lebih realistik, ekonomis, populer, dan gembira. Memang tidak semahal lukisan tiga pelukis awal, tapi karya-karya Warhol pun ludes bak kacang goreng.
Ini pula yang oleh para pengamat budaya industri pop, seperti Jean Baudrillard disebut popisme, atau awal kematian seni era romantik yang men-dehumanisasi dan membangun banalitas artistik, sesuatu yang tidak memerlukan kedalaman dan endapan refleksi mendalam ketika menikmati seni. Bisa langsung dinikmati dan dirayakan. Istilah Eco, seni pop menerjunkan penikmat seni ke arung realitas hiper (hyperreality); realitas yang dilebih-lebihkan dan ilusionistik. Secara cepat dan histeris, di tengah aksi panggung yang menggilakan atau di ruang tamu sebuah keluarga.
Lihat saja bagaimana penyanyi seperti Madonna dan Lady Gaga bisa terkenal. Impresario musik dunia telah mengangkatnya menjadi sang dewa (Latin : Diva). Mereka hidup dalam dunia industri yang diciptakan untuk memberikan efek turbulensi mengglobal. Industri label musik telah memandunya untuk “toleran” dengan selera masyarakat, dari California, Jakarta, hingga Ie Leubeu, Kembang Tanjung, Pidie.
Fetisisme dan kegilaan
Namun ada dialektika negatif dari industri budaya pop, yaitu munculnya kesadaran fetisisme (fetishism), yaitu kesenangan kepada aktor atau penyanyi yang mengarah kepada pemujaan. Fetisisme adalah efek lanjutan dari bermain-mainnya fantasi spekulatif para penikmat budaya pop yang merasa begitu dekat dengan tokoh pujaannya, seolah mampu berkomunikasi dalam benteng kesendirian (fortresses of solitude) yang diciptakan di dalam pikiran.
Para penggemar bukan hanya menikmati karya seni yang ditampilkan tapi lebih jauh lagi, mengapresiasi secara berlebihan seolah idolanya “setengah dewa” bahkan Tuhan. Maka tak heran, ada pendukung Cherrybelle menuliskan status agama di sebuah media sosial merujuk kepada grup band remaja putri yang sedang naik daun itu. Kini juga muncul JKT 48 yang merupakan tiruan AKB 48 dari Jepang yang digilai para remaja nasional. Demikian pula Fathin, penyanyi mungil berjilbab yang diorbitkan kontes musik berlisensi global. Kesalehan dan hiburan beradu-padu dalam dunia pop tanpa interupsi.
Masih ingat dengan para monster kecil (little monsters); sebutan para pendukung Lady Gaga, karena ia menahbiskan dirinya sebagai ibu monster? Hampir dipastikan sebagian besar pendukung fanatik Gaga itu tidak mengenalnya secara personal, tapi seolah mereka bisa intim berkat bantuan teknologi multi-media. Gaga tidak besar oleh taletanya saja, tapi juga dibantu oleh kejelian dunia industri musik (MTV, Grammy Awards, Billboard Hot 100, Sony) yang telah mengangkat namanya sebagai musisi dunia.
Fetisisme itu merasuk ke dalam situasi yang sangat mistik. Seorang pemuja atau pendukung fanatik bisa melakukan sesuatu yang tidak diperkirakan oleh pikiran sehat umum . Kita ingat bagaimana Andres Escobar, pemain bola asal Kolumbia dibunuh oleh pendukung fanatik negara itu setelah mencetak gol bunuh diri pada piala dunia 1994. Tak tertampik, bahwa digitalisasi teknologi visual dan beragam pemberitaan media setelah kekalahan itu ikut menjadi persuasi kompleks ke arah pembunuhan sadis sang pemain.
Tak ada fetisisme yang kurang dari itu. Kini bukan hanya pendukung, tapi penolak budaya pop juga masuk dalam jeruji perangkap popisme dalam bertindak. Media telah membentuk budaya mimicry: meniru perilaku dan cara pikir sebuah masyarakat dari seluruh sumbu dunia dan menjadikannya perilaku sendiri. Mereka menonton perilaku kekerasan di negara lain melalui berita televisi dan film, dan dipraktikkan di sini dengan dalih moralitas dan agama. Alangkah luar biasanya pengaruh dunia pop bagi insan bumi. ember
sekian dari ane gan-sist. semoga bisa menambah wawasan kita. buat yang dah mampir dan sekiranya berkenan, jangan lupa di



0
4.3K
Kutip
2
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan