TS
erwin.parikesit
DEWA RUCI : Pelayaran pertama Menaklukkan 7 Samudera
Sebuah cuplikan KISAH NYATA dari Bp. Letkol Laut KH (Purn) Coenelis Kowaas, penulis asli daripada Buku : Sebuah Kisah Nyata DEWA RUCI Pelayaran Pertama Menaklukkan 7 Samudera. Sebuah buku yang sangat inspiratif, tentang bagaiman pelaut-pelaut bangsa ini untuk pertama kalinya mengarungi samudera keliling dunia. Sangat berguna untuk menambah pengetahuan kita, buat pencinta bahari, Kadet Taruna AAL, juga buat masyarakat. Sekali lagi disini cuma ringkasan mengenai kisah dalam buku ini, disamping beberpa artikel penambahan dari TS. Untuk lebih lengkap, bisa mendapat kan bukunya di Gramedia/Gn. Agung.
Selamat membaca........
Senin, 16 Maret 1964. Pukul 0600 WIB
Cahaya mentari pagi menyembul dibalik pepohonan di perbukitan Pulau Weh, menyinari Pelabuhan Sabang yang dikelilingi pantai dan tebing-tebing curam, sungguh amat mempesona. Berkas-berkas sinar matahari menukik meelanjangi KRI Dewa Ruci yang sedang tertembat di dermaga kayu yang dutopang tiang-tiang besi karatan yang sudah berusia mungkin ratusan tahun. Cuaca hari itu sangat panas, dan akan menjadi panas lagi bersama gelora didalam dada setiap ABK yang terasa semakin menjadi-jadi. Kami sedang menyiapkan KRI Dewa Ruci untuk berlayar. Guratatan wajah para ABK yang mengeras akibat terpaan cuaca panas lautan, semuanya telah membentuk profil-profil kami sebagai pelaut tangguh dan siap tempur dalam segala cuaca. Kerja..! Kerja..! Kerja..!
Kami mendapat tugas yang maha berat sekarang, berlayar mengelilingi dunia dengan lebih banyak mengandalkan tenaga layar kapal kami. Dan untuk pertama kalinya pula, dilakukan oleh sebuah Kapal berbendera Indonesia, kapal kami KRI Dewa Ruci, yang berstatus kapal perang, kapal latih Angkatan Laut Republik Indonesia. Segala persiapan telah kami lakukan jauh-jauh hari sebelumnya, saat tiba dan apel di Dermaga Ujung Surabaya, kemudian dilanjutkan di Jakarta. Selama di Jakarta selama seminggu penuh kami semua terlibat dengan berbagai acara seremonial, sehingga kami berlayar dan tiba di Sabang sekarang.
26 Februari 1964, Pukul 0700 WIB
Suasana apel kesiapan di didermaga yang sunyi di Pangkalan Angkatan Laut Ujung - Surabaya, disaksikan oleh segelintir anggota keluarga. Tidak ada kesan kebesaran seperti layaknya upacara melepas untuk sebuah misi penting. Padahal, kami sedang bersiap-siap untuk pelayaran pertama kalinya mengelilingi dunia, membawa nama ALRI dan Indonesia. Begitu apel selesai, para keluarga ABK berhamburan untuk melepas kami., juga ada segelintir teman-teman yang datang untuk hanya sekadar mengucapkan selamat jalan. Si Upik yang masih kecil digendong dan dikecup lama-lama, sedangkan tangan yang sebelah mendekap istri tercinta yang membenamkan wajahnya di dada suaminya. Haru...hanya itu. Tanpa sorak sorai. Tanpa Korps musik gegap gempita sebagai pengobar semangat. Pendeknya, tanpa kemegahan!
Namun, kebanggaan dan kebesaran jiwa kami jangan ditanya. Rasanya kami seperti hendak berangkat ke medan tempur dalam suatu peperangan yang menentukan. Ada rasa bangga karena terpilih dan diberi kepercayaan untuk melaksanakan tugas mulia ini. Meskipun bercampur perasaan was-was menghadapi seribu satu kemungkinan yang akan terjadi. Di samudera siapa sih yang bisa menentukan dan memastikan keselamatan kami?
Maka Kapal Latih Kadet AAL KRI Dewa Ruci pun berlayar meninggalkan "sarangnya" di Pangkalan Ujung - Surabaya. Melayari bagian barat Selat Madura. Melewati kota Gresik di lambung kiri. Lalu, setelah melewati Karang Jamuang, berlayar kebarat di sepanjang Laut Jawa dan 3 hari kemudian memasuki Pelabuhan Tanjung Priok. Dewa Ruci bersandar di dermaga Kartika Bahari yang terletak di muara Kali Kresek yang merupakan kelanjutan dari Kali Sunter, berseberangan dengan kapal-kapal tanker yang biasa membongkar muatannya untuk disalurkan ke tangki-tangki raksasa diseberang jalan raya ke arah Cilincing.
6 hari kami berada di Jakarta dengan acara yang teramat padat. Tiap hari diawali dengan apel pagi dan pembersihan kapal, lalu diteruskan dengan acar-acara yang telah disusun oleh panitia,seperti mengunjungi Hotel Indonesia, Gedung Pola, lalu diakhiri dengan resepsi perpisaha di Istana Negara pada malam tanggal 6 Maret 1964. Suasana resepsi begitu meriah. Dihadiri hampir semua menteri dan tamu agung dari kedutaan besar negara-negara sahabat yang akan disinggahi nantinya oleh KRI Dewa Ruci. Kami semua berdiri tegap dengan barisan bersaf berlapis-lapis dengan perasaan yang teramat bangga. Ya, siapa yang bisa membayangkan bahwa kami kelasi-kelasi, Kopral dan Sersan, para Kadet AAL, Perwira-perwira muda, sebagian besarnya bahkan anak-anak pantai dan gunung dari desa-desa terpencil, kini berada disini, diruang Istana Negara. Bahkan kami menjadi fokus perhatian ratusan pasang mata.
Menteri Penerangan Roelan Abdulgani memompa semangat kami dengan ceramahnya. Katanya,
"Tunjukkan kepada dunia bahwa kita adalah bangsa penguasa lautan...Bila Inggris dalam lagi Rule Britannia bisa mengatakan bahwa bangsanya adalah penguasa lautan, maka kita pun sebagai bangsa Indonesia yang merdeka boleh mengatakan hal yang sama. Rule Indonesia! Rule the waves! Indonesians shall never gain be slaved!"
Bisa dibayangkan betapa mengejolaknya perasaan kami, begitu bangga dalam suasana yang megah, apalagi bisa berhadap-hadapan dan berjabat tangan langsung dengan Presiden Soekarno, seorang negarawan besar, yang dengan lantangnya menyerukan "Ganyang Malaysia" dan menyerukan Indonesia keluar dari PBB.
Upacara pelepasan di dermaga Kartika Bahari pada tanggal 8 Maret 1964 telah berlangsung dengan gegap gempita. Korps Musik Angkatan Laut terus menerus mengumandangkan lagu-lagu mars pengobar semangat. Masyarkat berbondong-bondong antusias menyaksikan acara pelepasan kami, sambil turut memnjatkan doa atas keselamatan kami dalam menghadapau tugas yang maha berat, yaitu melakukan pelayaran keliling dunia dengan kapal layar, mengibarkan bendera kebangsaan Sang Saka Merah Putih.
Sebelum acara resmi dimulai, dalam gegap gempita suara korps musik ALRI, Letkol Laut AFH. Rosenow, Komandan Pertama KRI Dewa Ruci yang kini menjabat Syahbandar Angkatan Laut di Tanjung Priok, secara pribadi mengadakan ritual khusus. Dia adalah perwira TNI-AL berkulit putih berasal dari Jerman dan sudah menjadi warga negara Indonesia. Postur tubuhnya agak pendek, namun kekar berisi. Dia mengenakan seragam upacara putih-putih berjalan di geladak kapal, disambut dengan sangat antusias oleh semua ABK kapal yang ada disitu. Mereka menghormat dengan sigap yang dibalas dengan sikap yang sama, sambil menepuk atau meninju lengan mereka dengan mesra.
Kemudian, tanpa menghiraukan orang banyak disekelilingnya, dia pergi ke haluan Dewa Ruci, menghormat dengan khidmat ke arah patung Dewa Ruci yang bersemayam dibawah cocor, lalu berbalik menuju tiang tengah. Di tempat itu dia menundukkan kepala sejenak, melukai ibu jari tangan kanannya dengan pisau lipat, dan darah merah yang mengucur dioleskannya silang menyilang sebanyak tiga kali pada pangkal tiang tengah tersebut. Sebuah ritual seorang pelaut sejati yang membuat kami semua terpana melihatnya.
Selamat membaca........
SELAMAT TINGGAL TANAH AIR
Senin, 16 Maret 1964. Pukul 0600 WIB
Cahaya mentari pagi menyembul dibalik pepohonan di perbukitan Pulau Weh, menyinari Pelabuhan Sabang yang dikelilingi pantai dan tebing-tebing curam, sungguh amat mempesona. Berkas-berkas sinar matahari menukik meelanjangi KRI Dewa Ruci yang sedang tertembat di dermaga kayu yang dutopang tiang-tiang besi karatan yang sudah berusia mungkin ratusan tahun. Cuaca hari itu sangat panas, dan akan menjadi panas lagi bersama gelora didalam dada setiap ABK yang terasa semakin menjadi-jadi. Kami sedang menyiapkan KRI Dewa Ruci untuk berlayar. Guratatan wajah para ABK yang mengeras akibat terpaan cuaca panas lautan, semuanya telah membentuk profil-profil kami sebagai pelaut tangguh dan siap tempur dalam segala cuaca. Kerja..! Kerja..! Kerja..!
Kami mendapat tugas yang maha berat sekarang, berlayar mengelilingi dunia dengan lebih banyak mengandalkan tenaga layar kapal kami. Dan untuk pertama kalinya pula, dilakukan oleh sebuah Kapal berbendera Indonesia, kapal kami KRI Dewa Ruci, yang berstatus kapal perang, kapal latih Angkatan Laut Republik Indonesia. Segala persiapan telah kami lakukan jauh-jauh hari sebelumnya, saat tiba dan apel di Dermaga Ujung Surabaya, kemudian dilanjutkan di Jakarta. Selama di Jakarta selama seminggu penuh kami semua terlibat dengan berbagai acara seremonial, sehingga kami berlayar dan tiba di Sabang sekarang.
26 Februari 1964, Pukul 0700 WIB
Suasana apel kesiapan di didermaga yang sunyi di Pangkalan Angkatan Laut Ujung - Surabaya, disaksikan oleh segelintir anggota keluarga. Tidak ada kesan kebesaran seperti layaknya upacara melepas untuk sebuah misi penting. Padahal, kami sedang bersiap-siap untuk pelayaran pertama kalinya mengelilingi dunia, membawa nama ALRI dan Indonesia. Begitu apel selesai, para keluarga ABK berhamburan untuk melepas kami., juga ada segelintir teman-teman yang datang untuk hanya sekadar mengucapkan selamat jalan. Si Upik yang masih kecil digendong dan dikecup lama-lama, sedangkan tangan yang sebelah mendekap istri tercinta yang membenamkan wajahnya di dada suaminya. Haru...hanya itu. Tanpa sorak sorai. Tanpa Korps musik gegap gempita sebagai pengobar semangat. Pendeknya, tanpa kemegahan!
Namun, kebanggaan dan kebesaran jiwa kami jangan ditanya. Rasanya kami seperti hendak berangkat ke medan tempur dalam suatu peperangan yang menentukan. Ada rasa bangga karena terpilih dan diberi kepercayaan untuk melaksanakan tugas mulia ini. Meskipun bercampur perasaan was-was menghadapi seribu satu kemungkinan yang akan terjadi. Di samudera siapa sih yang bisa menentukan dan memastikan keselamatan kami?
Maka Kapal Latih Kadet AAL KRI Dewa Ruci pun berlayar meninggalkan "sarangnya" di Pangkalan Ujung - Surabaya. Melayari bagian barat Selat Madura. Melewati kota Gresik di lambung kiri. Lalu, setelah melewati Karang Jamuang, berlayar kebarat di sepanjang Laut Jawa dan 3 hari kemudian memasuki Pelabuhan Tanjung Priok. Dewa Ruci bersandar di dermaga Kartika Bahari yang terletak di muara Kali Kresek yang merupakan kelanjutan dari Kali Sunter, berseberangan dengan kapal-kapal tanker yang biasa membongkar muatannya untuk disalurkan ke tangki-tangki raksasa diseberang jalan raya ke arah Cilincing.
6 hari kami berada di Jakarta dengan acara yang teramat padat. Tiap hari diawali dengan apel pagi dan pembersihan kapal, lalu diteruskan dengan acar-acara yang telah disusun oleh panitia,seperti mengunjungi Hotel Indonesia, Gedung Pola, lalu diakhiri dengan resepsi perpisaha di Istana Negara pada malam tanggal 6 Maret 1964. Suasana resepsi begitu meriah. Dihadiri hampir semua menteri dan tamu agung dari kedutaan besar negara-negara sahabat yang akan disinggahi nantinya oleh KRI Dewa Ruci. Kami semua berdiri tegap dengan barisan bersaf berlapis-lapis dengan perasaan yang teramat bangga. Ya, siapa yang bisa membayangkan bahwa kami kelasi-kelasi, Kopral dan Sersan, para Kadet AAL, Perwira-perwira muda, sebagian besarnya bahkan anak-anak pantai dan gunung dari desa-desa terpencil, kini berada disini, diruang Istana Negara. Bahkan kami menjadi fokus perhatian ratusan pasang mata.
Menteri Penerangan Roelan Abdulgani memompa semangat kami dengan ceramahnya. Katanya,
"Tunjukkan kepada dunia bahwa kita adalah bangsa penguasa lautan...Bila Inggris dalam lagi Rule Britannia bisa mengatakan bahwa bangsanya adalah penguasa lautan, maka kita pun sebagai bangsa Indonesia yang merdeka boleh mengatakan hal yang sama. Rule Indonesia! Rule the waves! Indonesians shall never gain be slaved!"
Bisa dibayangkan betapa mengejolaknya perasaan kami, begitu bangga dalam suasana yang megah, apalagi bisa berhadap-hadapan dan berjabat tangan langsung dengan Presiden Soekarno, seorang negarawan besar, yang dengan lantangnya menyerukan "Ganyang Malaysia" dan menyerukan Indonesia keluar dari PBB.
Upacara pelepasan di dermaga Kartika Bahari pada tanggal 8 Maret 1964 telah berlangsung dengan gegap gempita. Korps Musik Angkatan Laut terus menerus mengumandangkan lagu-lagu mars pengobar semangat. Masyarkat berbondong-bondong antusias menyaksikan acara pelepasan kami, sambil turut memnjatkan doa atas keselamatan kami dalam menghadapau tugas yang maha berat, yaitu melakukan pelayaran keliling dunia dengan kapal layar, mengibarkan bendera kebangsaan Sang Saka Merah Putih.
Sebelum acara resmi dimulai, dalam gegap gempita suara korps musik ALRI, Letkol Laut AFH. Rosenow, Komandan Pertama KRI Dewa Ruci yang kini menjabat Syahbandar Angkatan Laut di Tanjung Priok, secara pribadi mengadakan ritual khusus. Dia adalah perwira TNI-AL berkulit putih berasal dari Jerman dan sudah menjadi warga negara Indonesia. Postur tubuhnya agak pendek, namun kekar berisi. Dia mengenakan seragam upacara putih-putih berjalan di geladak kapal, disambut dengan sangat antusias oleh semua ABK kapal yang ada disitu. Mereka menghormat dengan sigap yang dibalas dengan sikap yang sama, sambil menepuk atau meninju lengan mereka dengan mesra.
Kemudian, tanpa menghiraukan orang banyak disekelilingnya, dia pergi ke haluan Dewa Ruci, menghormat dengan khidmat ke arah patung Dewa Ruci yang bersemayam dibawah cocor, lalu berbalik menuju tiang tengah. Di tempat itu dia menundukkan kepala sejenak, melukai ibu jari tangan kanannya dengan pisau lipat, dan darah merah yang mengucur dioleskannya silang menyilang sebanyak tiga kali pada pangkal tiang tengah tersebut. Sebuah ritual seorang pelaut sejati yang membuat kami semua terpana melihatnya.
0
76.1K
243
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan