suarasurabaya.net|
Teks Foto :
- Rumah milik Munif yang tidak dijual di Desa Siring.
Foto : Taufik suarasurabaya.net


Bangunan dua lantai itu terlihat miring di antara belukar tak terawat. Berdiri tepat di bawah tanggul penahan lumpur Lapindo di Desa Siring, Porong, Sidoarjo sebuah spanduk kusam bertulis merah "rumah tidak dijual" masih tampak tertempel di sisi utara bangunan.

Debu dan kotoran dibiarkan dan hampir menyulap rumah menjadi berwarna kecokelatan. Lantai keramik juga tak lagi rata dan bahkan sebagian besar hancur.

Tepat di sisi selatan, sebuah bangunan memanjang juga tampak tak terawat. Pecahan kaca jendela dan pintu berhamburan di antara reruntuhan papan pintu dan jendela yang keropos dimakan ngengat.

Meski tak mungkin ditempati, namun pemilik dua bangunan ini mengaku tidak akan menjual bangunan tersebut. Padahal, pemerintah melalui Peraturan Presiden No 14 tahun 2007 telah perintahkan PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) untuk membeli seluruh bangunan dan tanah di daerah itu, tak terkeculi dua bangunan ini.

“Selama konsep jual beli masih sepihak kami tidak akan mau menjualnya. Apalagi ini rumah warisan. Kami tak jual rumah,” kata Munif, 59 tahun, pemilik dua bangunan ini. Menurut Munif, dua bangunan itu sebenarnya tidak hanya miliknya seorang melainkan juga menjadi hak dari adiknya yang bernama Maksum, 55 tahun.

Merasa tidak pernah dilibatkan dalam penentuan harga jual beli, baik Munif maupun Maksum lantas nekat untuk tidak menjual dua bangunan itu. Selain dua bangunan ini, Munif mengaku juga tidak akan menjual tanah sawahnya seluas 4 ribu meter persegi yang saat ini juga sudah terendam lumpur.

Penolakan ini bukan karena mereka tidak tergiur dengan skema ganti rugi senilai Rp 120 ribu permeter persegi sawah, Rp 1 juta permeter persegi tanah pekarangan, dan Rp 1,5 juta permeter persegi bangunan sebagaimana yang telah diatur dalam Perpres 14/2007. "Tapi hak kami sebagai penjual harusnya bisa bernegosiasi dan selama ini Lapindo tidak pernah melakukannya dan kami dipaksa untuk menerima konsep mereka,” tambah Munif.

Apalagi, di rumah itulah, kedua kakak beradik ini dulunya menggantungkan hidupnya dengan membuka penitipan sepeda. Letak rumah yang cukup strategis lantaran berada tepat di pinggir Jl Raya Porong dan pertigaan jalan Desa menuju kawasan Desa Renokenongo, membuat usaha penitipan sepeda ini dulunya bisa menghasilkan uang minimal Rp 200 ribu perhari.

“Saat itu kami merasa berkecukupan dan bisa menghidupi kedua anak dan istri. Tapi kini, semuanya kacau,” ujarnya.

Munif sendiri sebenarnya berniat menjual rumah dan tanahnya, asal ladang usahanya dari penitipan sepeda juga dihargai dalam skema ganti rugi. “Selama ganti rugi masih bersifat pemaksaan, saya tidak akan mungkin menjualnya,” pungkasnya.

Dan kini dua bangunan milik Munif itu bak petilasan yang dikelilingi tanggul lumpur. Meski sudah condong dan hampir roboh, namun rumah itu seakan terus mengingatkan jika di daerah itu dulunya pernah ada kehidupan warga meski kini telah hilang ditelan lumpur. (fik/ipg)

sumber artikel