- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
[bukan pustun2] Farhat Abbas gugat KPK
TS
rainmaster.
[bukan pustun2] Farhat Abbas gugat KPK
sumber:
Pengacara Farhat Abbas dan seorang jurnalis independen, Narliz Wandi Piliang menguji Pasal 21 ayat (5) UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK yang mengatur pimpinan KPK bekerja secara kolektif di Mahkamah Konstitusi (MK).
"Kerugian konstitusional para pemohon adalah pengambilan keputusan yang disyaratkan secara kolektif oleh pimpinan KPK mengakibatkan proses yang cukup lama dan tidak memberi kepastian hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi," kata Kuasa Hukum Pemohon Windu Wijaya, saat membacakan permohonannya di Jakarta, Kamis.
Menurut Windu, ketentuan ini mengandung kelemahan, contohnya penanganan kasus proyek Hambalang yang melibatkan mantan ketua umum DPP Partai Demokrat, Anas Urbaningrum.
Dia mengungkapkan bahwa berdasarkan keterangan mantan Sekretaris Ketua KPK Abraham Samad, Wiwin Suwandi, dari lima pimpinan KPK ada satu pimpinan yang belum setuju peningkatan status Anas Urbaningrum, yakni Busyro Muqoddas, karena masih perlu satu proses satu kali lagi untuk ditetapkan sebagai tersangka.
"Hal ini menghambat ketua KPK untuk mempercepat upaya pemberantasan korupsi," kata Windu seperti ditulis antara, Kamis (23/5).
Dia berharap kewenangan mengambil keputusan ini seharusnya cukup dilakukan oleh ketua KPK saja.
Untuk itu, pemohon meminta MK menyatakan materi muatan Pasal 21 ayat (5) UU KPK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sidang perdana pembacaan permohonan pemohon ini dipimpin majelis panel yang diketuai Hamdan Zoelva didampingi Anwar Usman dan Arief Hidayat.
Kerugian konstitusional Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva menanyakan kerugian konstitusional pemohon terkait putusan pimpinan KPK diambil secara kolektif.
"Kalau anda salah satu pegawai KPK atau pimpinan, itu jelas. Tapi kalau warga negara biasa atau advokat harus dirumuskan sedemikian rupa sehingga ada hubungannya," kata Hamdan.
Sementara Hakim Konstitusi Arief Hidayat mempertanyakan permohonan pemohon terkait putusan secara kolektif ini apakah permasalahan menyangkut konstitusionalitas.
"Yang saya tahu ajukan ke majelis hakim ini bukan konstitusionalitas, tapi kebijakan politik," kata Arief.
Dia menambahkan jika diputuskan oleh satu pimpinan maka nomenklaturnya bukan ketua KPK lagi tapi menjadi kepala KPK, sama seperti MK putusannya dilakukan kolektif kolegial.
"Ini pilihan pembentuk UU, tidak masalah. maka saudara rumuskan kerugian apa, kelemahan, keuntungannya," katanya.
Arief meminta pemohon mampu menguraikan dan membuat perbandingan KPK di negara-negara lain.
"Yang saya tahu negara-negara lain juga kolektif karena berbahaya sekali menimbulkan otoriter arogansi," katanya.
Untuk itu majelis panel memberikan waktu 14 hari kepada pemohon untuk memperbaiki permohonannya.
komen TS
Spoiler for :
Pengacara Farhat Abbas dan seorang jurnalis independen, Narliz Wandi Piliang menguji Pasal 21 ayat (5) UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK yang mengatur pimpinan KPK bekerja secara kolektif di Mahkamah Konstitusi (MK).
"Kerugian konstitusional para pemohon adalah pengambilan keputusan yang disyaratkan secara kolektif oleh pimpinan KPK mengakibatkan proses yang cukup lama dan tidak memberi kepastian hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi," kata Kuasa Hukum Pemohon Windu Wijaya, saat membacakan permohonannya di Jakarta, Kamis.
Menurut Windu, ketentuan ini mengandung kelemahan, contohnya penanganan kasus proyek Hambalang yang melibatkan mantan ketua umum DPP Partai Demokrat, Anas Urbaningrum.
Dia mengungkapkan bahwa berdasarkan keterangan mantan Sekretaris Ketua KPK Abraham Samad, Wiwin Suwandi, dari lima pimpinan KPK ada satu pimpinan yang belum setuju peningkatan status Anas Urbaningrum, yakni Busyro Muqoddas, karena masih perlu satu proses satu kali lagi untuk ditetapkan sebagai tersangka.
"Hal ini menghambat ketua KPK untuk mempercepat upaya pemberantasan korupsi," kata Windu seperti ditulis antara, Kamis (23/5).
Dia berharap kewenangan mengambil keputusan ini seharusnya cukup dilakukan oleh ketua KPK saja.
Untuk itu, pemohon meminta MK menyatakan materi muatan Pasal 21 ayat (5) UU KPK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sidang perdana pembacaan permohonan pemohon ini dipimpin majelis panel yang diketuai Hamdan Zoelva didampingi Anwar Usman dan Arief Hidayat.
Kerugian konstitusional Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva menanyakan kerugian konstitusional pemohon terkait putusan pimpinan KPK diambil secara kolektif.
"Kalau anda salah satu pegawai KPK atau pimpinan, itu jelas. Tapi kalau warga negara biasa atau advokat harus dirumuskan sedemikian rupa sehingga ada hubungannya," kata Hamdan.
Sementara Hakim Konstitusi Arief Hidayat mempertanyakan permohonan pemohon terkait putusan secara kolektif ini apakah permasalahan menyangkut konstitusionalitas.
"Yang saya tahu ajukan ke majelis hakim ini bukan konstitusionalitas, tapi kebijakan politik," kata Arief.
Dia menambahkan jika diputuskan oleh satu pimpinan maka nomenklaturnya bukan ketua KPK lagi tapi menjadi kepala KPK, sama seperti MK putusannya dilakukan kolektif kolegial.
"Ini pilihan pembentuk UU, tidak masalah. maka saudara rumuskan kerugian apa, kelemahan, keuntungannya," katanya.
Arief meminta pemohon mampu menguraikan dan membuat perbandingan KPK di negara-negara lain.
"Yang saya tahu negara-negara lain juga kolektif karena berbahaya sekali menimbulkan otoriter arogansi," katanya.
Untuk itu majelis panel memberikan waktu 14 hari kepada pemohon untuk memperbaiki permohonannya.
komen TS
Spoiler for :
0
1.6K
13
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan