- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Di Penjara Tak Ada yang Gratis (korupsi tingkat teri tapi sistemik)
TS
bakulecendol
Di Penjara Tak Ada yang Gratis (korupsi tingkat teri tapi sistemik)
Quote:
Original Posted By bakulecendol►Berulang kali Badan Narkotika Nasional (BNN) mengungkap jaringan peredaran narkotika yang bermuara di balik jeruji besi. Mereka berperan sebagai pengendali, pengelola keuangan, atau penghubung dengan jaringan di luar penjara. Beragam alasan mereka lontarkan sehingga nekat menjalankan bisnis barang haram.
Raut Ring Aryanto lemas saat tim BNN menjemputnya dari Lapas Kedungpane, Semarang, Kamis (23/5/2013) siang. Pria berbadan tambun ini tak berkutik kala borgol aparat mengunci kedua lengannya. Tato tokoh kartun burung Tweety berukuran 5 centimeter di lengan kirinya menjadi ciri khas pria yang akrab disebut Jenggot ini.
"Nama Jenggot karena saya dulu jenggotan, lalu hakim minta jenggot saya dipotong agar identitas saya jelas," katanya saat memulai pembicaraan di Kantor BNN Provinsi Semarang, Jl Madukoro Blok BB, Kamis (23/5/2013).
Dinginnya lantai penjara bukan pertama kali dialami bapak dua anak ini. September 2012 dia baru saja menghirup udara bebas setelah menjalani 2 tahun penjara karena kasus penyalahgunaan narkoba.
Dua bulan menikmati kebebasan, aparat menangkapnya kembali karena kasus serupa, hukumannya 5 tahun penjara. Dan kini hukuman akan kembali bertambah karena kedapatan mengotaki peredaran sabu dari balik penjara.
Meski di awal perbincangan dia mengelak menjawab alasan dirinya nekat menjadi operator peredaran sabu dari dalam penjara, namun akhirnya Jenggot mau membuka suaranya.
"Di dalam penjara tidak ada yang gratis. Di dalam harus bayar iuran air, sampah. Itu setiap bulan. Yang gratis cuma nasi tanpa rasa alias nasi cadong (sebutan untuk menu untuk para napi)," kata Jenggot.
Setiap bulan dia harus mengeluarkan beban iuran tersebut secara tidak menentu, berkisar Rp 50 ribu hingga Rp 75 ribu. Dia tidak tahu persis uang itu bermuara ke mana. Yang dia ketahui, setiap warga binaan yang ada di dalam lapas dikenakan biaya tersebut.
"Setiap blok bervariasi," sambungnya.
Bila ada napi yang tidak selera dengan menu harian yang dikeluarkan pihak lapas, maka mereka akan membelinya di kantin yang ada di dalam lapas. Mengenai legal tidaknya keberadaan warung di dalam lapas, Jenggot tidak mengetahui persis.
"Sepertinya legal, sebab yang kelola orang lapas," ujar Jenggot.
Untuk persoalan telepon genggam, dirinya mendapatkan itu dari rekan sesama napi yang menjual secara sembunyi. Harga yang dijual di luar penjara dengan di dalam penjara bisa terpaut Rp 50 ribu sampai Rp 100 ribu. Dia menggunakan telepon genggam tersebut secara tersembunyi. Alat komunikasi itu pula lah yang menjadi senjatanya untuk mengatur peredaran sabu dari balik penjara.
"Kalau ada yang pesan, saya telepon yang punya barang nanti ada yang antar. Pembayaran lewat M-Banking," katanya.
Hubungan dengan para bandar menjadi turun temurun dari napi-napi bandar narkoba yang pernah mendekam di lapas tersebut. Bila para bandar tersebut bebas dari masa penahanannya, mereka akan meninggalkan nomor telepon untuk kemudian membantu penyedian narkoba.
"Mereka yang punya barang (narkoba) nomornya selalu tetap," cerita Jenggot.
Deputi Pemberantasan BNN, Irjen Benny J Mamoto, mengatakan keberadaan alat komunikasi seperti ponsel diyakini melibatkan oknum lapas. Bahkan oknum kadang mengambil keuntungan dengan menarik bayaran dari napi dengan memberi izin ponsel masuk atau justru meminjamkannya.
"Keberadaan ponsel di dalam lapas mau tidak mau kita yakini ada keterlibatan oknum. Satu orang saja cukup dengan meminjamkan ponsel dan menarik bayaran," kata Benny.
Ia pun mencontohkan pengalamannya saat mengungkap peredaran alat komunikasi di dalam lapas di Nusakambangan.
"Di Nusakambangan pernah ada oknum melegalkan ponsel dengan membayar. Meski di awal oknum mengatakan tidak, tapi fakta yang diungkap seperti itu," katanya.
Dari hasil pengungkapan pihaknya, terdapat peningkatan siginifikan sindikat peredaran narkoba yang melibatkan para napi.
"Tahanan di BNN ada 40 persen napi. Angka ini naik 30 persen dari pengungkapan keterlibatan napi di tahun 2012," ujarnya.
Guna membuat jera para sindikat, BNN terus berupaya memangkas jalur transaksi narkoba yang dijalankan para bandar. Salah satu upaya adalah dengan menerapkan Undang-undang No.8/2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
"Kami paling tinggi ungkap money laundry, itu kata PPATK," katanya.
Langkah ini sebagai bentuk memiskikan para bandar dan melemahkan aset bandar yang dapat digunakan dalam operasional peredaran narkotika. "Kalau tidak disita, dia akan tenang," ujar Benny.
Raut Ring Aryanto lemas saat tim BNN menjemputnya dari Lapas Kedungpane, Semarang, Kamis (23/5/2013) siang. Pria berbadan tambun ini tak berkutik kala borgol aparat mengunci kedua lengannya. Tato tokoh kartun burung Tweety berukuran 5 centimeter di lengan kirinya menjadi ciri khas pria yang akrab disebut Jenggot ini.
"Nama Jenggot karena saya dulu jenggotan, lalu hakim minta jenggot saya dipotong agar identitas saya jelas," katanya saat memulai pembicaraan di Kantor BNN Provinsi Semarang, Jl Madukoro Blok BB, Kamis (23/5/2013).
Dinginnya lantai penjara bukan pertama kali dialami bapak dua anak ini. September 2012 dia baru saja menghirup udara bebas setelah menjalani 2 tahun penjara karena kasus penyalahgunaan narkoba.
Dua bulan menikmati kebebasan, aparat menangkapnya kembali karena kasus serupa, hukumannya 5 tahun penjara. Dan kini hukuman akan kembali bertambah karena kedapatan mengotaki peredaran sabu dari balik penjara.
Meski di awal perbincangan dia mengelak menjawab alasan dirinya nekat menjadi operator peredaran sabu dari dalam penjara, namun akhirnya Jenggot mau membuka suaranya.
"Di dalam penjara tidak ada yang gratis. Di dalam harus bayar iuran air, sampah. Itu setiap bulan. Yang gratis cuma nasi tanpa rasa alias nasi cadong (sebutan untuk menu untuk para napi)," kata Jenggot.
Setiap bulan dia harus mengeluarkan beban iuran tersebut secara tidak menentu, berkisar Rp 50 ribu hingga Rp 75 ribu. Dia tidak tahu persis uang itu bermuara ke mana. Yang dia ketahui, setiap warga binaan yang ada di dalam lapas dikenakan biaya tersebut.
"Setiap blok bervariasi," sambungnya.
Bila ada napi yang tidak selera dengan menu harian yang dikeluarkan pihak lapas, maka mereka akan membelinya di kantin yang ada di dalam lapas. Mengenai legal tidaknya keberadaan warung di dalam lapas, Jenggot tidak mengetahui persis.
"Sepertinya legal, sebab yang kelola orang lapas," ujar Jenggot.
Untuk persoalan telepon genggam, dirinya mendapatkan itu dari rekan sesama napi yang menjual secara sembunyi. Harga yang dijual di luar penjara dengan di dalam penjara bisa terpaut Rp 50 ribu sampai Rp 100 ribu. Dia menggunakan telepon genggam tersebut secara tersembunyi. Alat komunikasi itu pula lah yang menjadi senjatanya untuk mengatur peredaran sabu dari balik penjara.
"Kalau ada yang pesan, saya telepon yang punya barang nanti ada yang antar. Pembayaran lewat M-Banking," katanya.
Hubungan dengan para bandar menjadi turun temurun dari napi-napi bandar narkoba yang pernah mendekam di lapas tersebut. Bila para bandar tersebut bebas dari masa penahanannya, mereka akan meninggalkan nomor telepon untuk kemudian membantu penyedian narkoba.
"Mereka yang punya barang (narkoba) nomornya selalu tetap," cerita Jenggot.
Deputi Pemberantasan BNN, Irjen Benny J Mamoto, mengatakan keberadaan alat komunikasi seperti ponsel diyakini melibatkan oknum lapas. Bahkan oknum kadang mengambil keuntungan dengan menarik bayaran dari napi dengan memberi izin ponsel masuk atau justru meminjamkannya.
"Keberadaan ponsel di dalam lapas mau tidak mau kita yakini ada keterlibatan oknum. Satu orang saja cukup dengan meminjamkan ponsel dan menarik bayaran," kata Benny.
Ia pun mencontohkan pengalamannya saat mengungkap peredaran alat komunikasi di dalam lapas di Nusakambangan.
"Di Nusakambangan pernah ada oknum melegalkan ponsel dengan membayar. Meski di awal oknum mengatakan tidak, tapi fakta yang diungkap seperti itu," katanya.
Dari hasil pengungkapan pihaknya, terdapat peningkatan siginifikan sindikat peredaran narkoba yang melibatkan para napi.
"Tahanan di BNN ada 40 persen napi. Angka ini naik 30 persen dari pengungkapan keterlibatan napi di tahun 2012," ujarnya.
Guna membuat jera para sindikat, BNN terus berupaya memangkas jalur transaksi narkoba yang dijalankan para bandar. Salah satu upaya adalah dengan menerapkan Undang-undang No.8/2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
"Kami paling tinggi ungkap money laundry, itu kata PPATK," katanya.
Langkah ini sebagai bentuk memiskikan para bandar dan melemahkan aset bandar yang dapat digunakan dalam operasional peredaran narkotika. "Kalau tidak disita, dia akan tenang," ujar Benny.
[URL="http://news.detik..com/read/2013/05/24/024054/2254592/10/napi-tato-tweety-jual-sabu-di-penjara-tak-ada-yang-gratis?9911012"]ember[/URL]
Bahkan sampai petugas lapas pun tidak bisa bertindak benar. Saya yakin tidak semuanya. Tapi kalau setiap berita kebanyakan menyuguhkan fenomena yang sama?? spechless deh
0
1.9K
Kutip
8
Balasan
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan