- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Sinetron Berbahaya, Negara Tak Berdaya


TS
Dankomar
Sinetron Berbahaya, Negara Tak Berdaya
Sinetron Berbahaya, Negara Tak Berdaya

Setiap hari pemirsa televisi di Indonesia disuguhi tontonan sinetron. Bukannya sinetron yang membuat orang tamban pintar, tapi justru tambah bodoh alias bloon. Bagaimana tidak, sinetron-sinetron itu jauh dari realitas sosial, mengawang-awang tak karuan.
Anehnya, yang kini banyak tayang dan mendapat rating tinggi itu adalah sinetron-sinetron yang digambarkan berlatar belakang kehidupan umat Islam. Mulai pribadi Muslim, keluarga Muslim, dan komunitas Muslim (pesantren). Tapi bukannya kebaikan yang ditonjolkan, sebaliknya adalah karakter buruk para tokohnya.
Lihat saja sinetron Ustad Fotocopy, Islam KTP, Haji Medit (SCTV), Tukang Bubur Naik Haji (RCTI), Berkah (RCTI) dan Oesman 77 (Trans TV). Sinetron-sinetron tersebut memperoleh rating yang tinggi.
Lama kelamaan muncul kesan ada unsur kesengajaan untuk melecehkan simbol-simbol Islam. Bagaimana digambarkan seorang haji yang tidak mencerminkan sama sekali sikapnya sebagai seorang haji. Juga seorang ustadzah juga yang digambarkan sangat narsis, ada pula santri sebuah pesantren yang digambarkan sangat gaul dan dengan mudahnya pacaran.
Pantas saja, penggambaran yang buruk simbol-simbol Islam itu menuai protes masyarakat. Mereka mendesak pemerintah menghentikan tayangan-tayangan yang tidak mendidik ini.
Di luar itu, banyak tayangan televisi —termasuk sebagian sinetron— yang membahayakan akidah umat. Tayangan itu menggambarkan ketakhayulan dan juga klenik-klenik. Bagaimana tokoh-tokohnya sakti mandraguna akibat bantuan ‘jimat’ dalam berbagai bentuknya. Juga ada tayangan yang mengeksploitasi ‘dunia lain’ sehingga membuat pemirsanya takut terhadap setan, dan jin—sikap yang dilarang oleh agama.
Bisnis Besar
Di balik sinetron-sinetron berating tinggi itu ternyata ada bisnis besar. Para kapitalis pemilik televisi diuntungkan sangat besar dengan keberadaan sinetron tersebut. Dengan sinetron yang ratingnya tinggi maka pemasang iklan akan berbondong-bondong memasang iklan, kendati harga iklan selangit.
Bagi stasiun televisi itu sendiri, tayangan sinetron tak memerlukan banyak kerja. Tak perlu susah-susah menyiapkan sumber daya manusia dan peralatan yang mahal. Penggarapannya dilakukan oleh pihak lain, dalam hal ini rumah produksi. Begitu sinetron sudah jadi, stasiun televisi tinggal menayangkannya.
Disinilah terjadi simbiosis mutualisma (kerja sama saling menguntungkan) antara stasiun televisi dan rumah produksi. Tujuan kerja sama ini semata- mata hanya urusan untung, bisnis, dan uang. Sama sekali bukan masalah edukasi atau lainnya.
Maka wajar jika banyak sinetron yang secara muatannya sebenarnya sangat tidak bermutu tapi mendapat tempat yang baik di stasiun televisi. Bagi stasiun televisi, mutu tidak penting. Yang penting, duit mengalir melalui iklan. Dan itu sangat mungkin dilakukan dengan merekayasa rating.
Sangat berat membuat sinetron yang bermutu di tengah tuntutan tayangan yang bersifat harian. Yang paling mudah adalah memproduksi sinetron konyol dan bodor tapi menghibur. Inilah yang terjadi saat ini.
Bagi rumah produksi, tayangan sinetron ini merupakan ladang mencari penghasilan. Demikian pula bagi aktor dan aktris, menjadi pekerja sinetron adalah sebuah kebanggaan karena penghasilan yang menggiurkan. Puluhan juta bisa mereka dapatkan dari satu episode sinetron.
Walhasil, sinetron-sinetron tersebut adalah lahan bisnis banyak kalangan. Satu sama lain saling menopang dan bergantung. Pantas jika dunia pertelevisian menjadi lahan basah untuk mengeruk pendapatan.
Negara tak Berdaya
Di tengah serbuan tayangan sinetron di televisi, sayangnya peran negara sangat minim, kalau tidak dibilang tidak ada. Pemerintah seolah berlepas tangan terhadap dampak penayangan sinetron tersebut bagi masyarakat.
Menteri Komunikasi dan Informasi Tifatul Sembiring, mengaku dirinya tak punya kewenangan untuk menghentikan tayangan di televisi, kendati ia sendiri sangat tahu, banyak sinetron dan tayangan televisi yang merusak akidah kaum Muslim.
Ini gara-gara ada UU No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, yang mengubah kewenangan mengontrol konten siaran televisi dan radio itu ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). KPI ini dipilih oleh wakil rakyat, sebagai kepanjangan tangan rakyat dalam mengontrol televisi. Pemerintah merasa tak perlu cawe-cawe (ikut campur) karena sudah ada KPI.
Sementara itu KPI sendiri merasa kewenangan yang ada padanya juga dikebiri. KPI tidak bisa mencabut izin siaran stasiun televisi yang melanggar aturan. Soalnya, keberadaan izin itu justru ada di pemerintah.
Walhasil, KPI paling-paling hanya menyampaikan teguran dari mulai teguran satu, dua, dan tiga. Setelah itu memang ada pencabutan izin, tapi prosesnya membutuhkan waktu yang sangat panjang dan harus melibatkan pemerintah.
Nah kalau sudah begini, siapa sebenarnya yang mengontrol dan mengendalikan program pertelevisian di Indonesia? Masak rakyat setiap saat harus bertindak sendiri? Inilah negara liberal, di mana peran negara dikurangi, bahkan hilang sama sekali dalam hal ini.
Pandangan Islam
Islam memiliki seperangkat kebijakan yang jelas tentang pertelevisian ini. Ada departemen yang menangani masalah ini yakni departemen penerangan.
Kebijakan pertelevisian dirancang untuk mewujudkan tiga hal; (1) membangun masyarakat Islam yang kokoh dan kuat, (2) melenyapkan unsur-unsur yang bisa menghancurkan sendi-sendi masyarakat Islam, serta (3) menonjolkan kebaikan dan keluhuran islam. Itu kebijakan kedalam.
Sementara kebijakan ke luar negeri, ditujukan untuk menerangkan Islam, baik dalam keadaan damai maupun perang, dengan penerangan yang menampakkan keagungan dan keadilan Islam; kekuatan Daulah Islamiyah, baik militer, ekonomi, serta peradabannya; serta menerangkan kerusakan sistem selain Islam, kedzaliman dan kerusakannya, serta kelemahan negara-negara kafir, baik militer, ekonomi, dan peradabannya.
Maka program siaran televisi, dilarang menayangkan hal-hal yang diharamkan oleh Islam. Demikian pula program-program siaran yang mengandung unsur- unsur yang bertentangan dengan akidah dan syariah, dibekukan dan dilarang seketika, tanpa menunggu-nunggu waktu lagi. Larangan ini pun ditujukan kepada program-program yang menjajakan pemikiran-pemikiran kufur, seperti demokrasi, liberalisme, pluralisme, nasionalisme, dan lain sebagainya.
Apakah kita tidak ingin semua ituterwujud? [mujiyanto]
http://detikislam.com/tsaqofah/anali...a-tak-berdaya/

Setiap hari pemirsa televisi di Indonesia disuguhi tontonan sinetron. Bukannya sinetron yang membuat orang tamban pintar, tapi justru tambah bodoh alias bloon. Bagaimana tidak, sinetron-sinetron itu jauh dari realitas sosial, mengawang-awang tak karuan.
Anehnya, yang kini banyak tayang dan mendapat rating tinggi itu adalah sinetron-sinetron yang digambarkan berlatar belakang kehidupan umat Islam. Mulai pribadi Muslim, keluarga Muslim, dan komunitas Muslim (pesantren). Tapi bukannya kebaikan yang ditonjolkan, sebaliknya adalah karakter buruk para tokohnya.
Lihat saja sinetron Ustad Fotocopy, Islam KTP, Haji Medit (SCTV), Tukang Bubur Naik Haji (RCTI), Berkah (RCTI) dan Oesman 77 (Trans TV). Sinetron-sinetron tersebut memperoleh rating yang tinggi.
Lama kelamaan muncul kesan ada unsur kesengajaan untuk melecehkan simbol-simbol Islam. Bagaimana digambarkan seorang haji yang tidak mencerminkan sama sekali sikapnya sebagai seorang haji. Juga seorang ustadzah juga yang digambarkan sangat narsis, ada pula santri sebuah pesantren yang digambarkan sangat gaul dan dengan mudahnya pacaran.
Pantas saja, penggambaran yang buruk simbol-simbol Islam itu menuai protes masyarakat. Mereka mendesak pemerintah menghentikan tayangan-tayangan yang tidak mendidik ini.
Di luar itu, banyak tayangan televisi —termasuk sebagian sinetron— yang membahayakan akidah umat. Tayangan itu menggambarkan ketakhayulan dan juga klenik-klenik. Bagaimana tokoh-tokohnya sakti mandraguna akibat bantuan ‘jimat’ dalam berbagai bentuknya. Juga ada tayangan yang mengeksploitasi ‘dunia lain’ sehingga membuat pemirsanya takut terhadap setan, dan jin—sikap yang dilarang oleh agama.
Bisnis Besar
Di balik sinetron-sinetron berating tinggi itu ternyata ada bisnis besar. Para kapitalis pemilik televisi diuntungkan sangat besar dengan keberadaan sinetron tersebut. Dengan sinetron yang ratingnya tinggi maka pemasang iklan akan berbondong-bondong memasang iklan, kendati harga iklan selangit.
Bagi stasiun televisi itu sendiri, tayangan sinetron tak memerlukan banyak kerja. Tak perlu susah-susah menyiapkan sumber daya manusia dan peralatan yang mahal. Penggarapannya dilakukan oleh pihak lain, dalam hal ini rumah produksi. Begitu sinetron sudah jadi, stasiun televisi tinggal menayangkannya.
Disinilah terjadi simbiosis mutualisma (kerja sama saling menguntungkan) antara stasiun televisi dan rumah produksi. Tujuan kerja sama ini semata- mata hanya urusan untung, bisnis, dan uang. Sama sekali bukan masalah edukasi atau lainnya.
Maka wajar jika banyak sinetron yang secara muatannya sebenarnya sangat tidak bermutu tapi mendapat tempat yang baik di stasiun televisi. Bagi stasiun televisi, mutu tidak penting. Yang penting, duit mengalir melalui iklan. Dan itu sangat mungkin dilakukan dengan merekayasa rating.
Sangat berat membuat sinetron yang bermutu di tengah tuntutan tayangan yang bersifat harian. Yang paling mudah adalah memproduksi sinetron konyol dan bodor tapi menghibur. Inilah yang terjadi saat ini.
Bagi rumah produksi, tayangan sinetron ini merupakan ladang mencari penghasilan. Demikian pula bagi aktor dan aktris, menjadi pekerja sinetron adalah sebuah kebanggaan karena penghasilan yang menggiurkan. Puluhan juta bisa mereka dapatkan dari satu episode sinetron.
Walhasil, sinetron-sinetron tersebut adalah lahan bisnis banyak kalangan. Satu sama lain saling menopang dan bergantung. Pantas jika dunia pertelevisian menjadi lahan basah untuk mengeruk pendapatan.
Negara tak Berdaya
Di tengah serbuan tayangan sinetron di televisi, sayangnya peran negara sangat minim, kalau tidak dibilang tidak ada. Pemerintah seolah berlepas tangan terhadap dampak penayangan sinetron tersebut bagi masyarakat.
Menteri Komunikasi dan Informasi Tifatul Sembiring, mengaku dirinya tak punya kewenangan untuk menghentikan tayangan di televisi, kendati ia sendiri sangat tahu, banyak sinetron dan tayangan televisi yang merusak akidah kaum Muslim.
Ini gara-gara ada UU No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, yang mengubah kewenangan mengontrol konten siaran televisi dan radio itu ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). KPI ini dipilih oleh wakil rakyat, sebagai kepanjangan tangan rakyat dalam mengontrol televisi. Pemerintah merasa tak perlu cawe-cawe (ikut campur) karena sudah ada KPI.
Sementara itu KPI sendiri merasa kewenangan yang ada padanya juga dikebiri. KPI tidak bisa mencabut izin siaran stasiun televisi yang melanggar aturan. Soalnya, keberadaan izin itu justru ada di pemerintah.
Walhasil, KPI paling-paling hanya menyampaikan teguran dari mulai teguran satu, dua, dan tiga. Setelah itu memang ada pencabutan izin, tapi prosesnya membutuhkan waktu yang sangat panjang dan harus melibatkan pemerintah.
Nah kalau sudah begini, siapa sebenarnya yang mengontrol dan mengendalikan program pertelevisian di Indonesia? Masak rakyat setiap saat harus bertindak sendiri? Inilah negara liberal, di mana peran negara dikurangi, bahkan hilang sama sekali dalam hal ini.
Pandangan Islam
Islam memiliki seperangkat kebijakan yang jelas tentang pertelevisian ini. Ada departemen yang menangani masalah ini yakni departemen penerangan.
Kebijakan pertelevisian dirancang untuk mewujudkan tiga hal; (1) membangun masyarakat Islam yang kokoh dan kuat, (2) melenyapkan unsur-unsur yang bisa menghancurkan sendi-sendi masyarakat Islam, serta (3) menonjolkan kebaikan dan keluhuran islam. Itu kebijakan kedalam.
Sementara kebijakan ke luar negeri, ditujukan untuk menerangkan Islam, baik dalam keadaan damai maupun perang, dengan penerangan yang menampakkan keagungan dan keadilan Islam; kekuatan Daulah Islamiyah, baik militer, ekonomi, serta peradabannya; serta menerangkan kerusakan sistem selain Islam, kedzaliman dan kerusakannya, serta kelemahan negara-negara kafir, baik militer, ekonomi, dan peradabannya.
Maka program siaran televisi, dilarang menayangkan hal-hal yang diharamkan oleh Islam. Demikian pula program-program siaran yang mengandung unsur- unsur yang bertentangan dengan akidah dan syariah, dibekukan dan dilarang seketika, tanpa menunggu-nunggu waktu lagi. Larangan ini pun ditujukan kepada program-program yang menjajakan pemikiran-pemikiran kufur, seperti demokrasi, liberalisme, pluralisme, nasionalisme, dan lain sebagainya.
Apakah kita tidak ingin semua ituterwujud? [mujiyanto]
http://detikislam.com/tsaqofah/anali...a-tak-berdaya/
0
3.7K
35


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan