Puluhan dokter dan rumah sakit menolak Kartu Jakarta Sehat (KJS)
TS
cuzbha
Puluhan dokter dan rumah sakit menolak Kartu Jakarta Sehat (KJS)
Menolak Politisasi KJS, 50 Dokter Indonesia Bersatu Demo di Bundaran HI
Jakarta - Sekitar 50 orang dokter yang tergabung dalam Dokter Indonesia Bersatu melakukan aksi demo di Bundaran HI tepatnya di depan Hotel Indonesia. Mereka menolak adanya politisasi kesehatan dan KJS.
Menurut Pantuan detikcom, pukul 08.30 WIB para dokter tersebut telah memulai aksinya dengan mengitari Bundaran HI sambil membawa spanduk warna putih ukuran 1x2 meter dengan tulisan 'Stop Politisasi Kesehatan'.
"Kami menginginkan reformasi sistem kesehatan nasional yang berkeadilan bukan sistem kesehatan yang di politisasi seperti program KJS," ujar salah satu pendemo, dr Agung kepada wartawan di lokasi demo, Senin (20/5/2013).
Agung mengatakan, aksi demo ini dilakukan untuk menuntut pemerintah segera menaikkan anggaran kesehatan menjadi 5 persen dari APBN. Karena dana kesehatan bagi masyarakat saat ini masih 2 persen dari APBN.
"Jadi bukan masalah menggratiskannya, tapi untuk apanya," imbuhnya.
Rencananya, para pendemo yang berasal dari Jakarta dan luar Jakarta tersebut akan melakukan aksi long march ke Istana Negara. Bagi para pengendara yang ingin lewati Jalan Thamrin diharapkan tidak melalui jalan yang digunakan demonstran agar tidak terjebak macet.
JAKARTA– Sebanyak 16 rumah sakit (RS) swasta di Jakarta mengundurkan diri sebagai peserta pelayanan Kartu Jakarta Sehat (KJS).Alasannya, mereka terancam bangkrut karena harus ikut menanggung biaya pasien KJS dengan jumlah besar.
KetuaIkatanRumahSakitJakarta Metropolitan Sri Rahman mengungkapkan, langkah pengunduran diri 16 RS swasta ini karena tarif pembayaran dalam sistem Indonesia Case Based Groups (INA-CBG) sangat rendah dibandingkan biaya pelayanan (cost service) untuk kelas III. Menurut dia, sebelumnya di RS swasta Jakarta menggunakan paket pola pembayaran esensial untuk Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Dengan pola ini, RS memberikan pemotongan tarif 10% dari total cost service untuk kelas III.
Sedangkan pada pola INA-CBG tarif yang ditanggung pemerintah hanya 50-60% dari total tarif kelas III. ”Jangankan untung, RS sangat mengalami kerugian. Jika pemotongan tarif sekitar 10%, tidak terlalu masalah,” ungkap Sri Rahman. Tidak semua pelayanan bisa ditanggung RS, tapi ditanggung pihak ketiga.
Semua itu harus dibayarkan ke pihak ketiga tersebut seperti untuk obat dan tenaga sumber daya manusia (SDM). ”Kalau obat dipotong, RS akan menombok. Begitu juga pembayaran gaji karyawan tidak bisa didiskon,” ungkapnya. Rumah sakit yang mengundurkan diri itu adalah RS Thamrin, RS Admira, RS Bunda Suci, RS Mulya Sari, RS Satya Negara, RS Paru Firdaus, RS Islam Sukapura, RS Husada, RS Sumber Waras, RS Suka Mulya, RS Port Medical, RS Puri Mandiri Kedoya, RS Tri Dipa, RS JMC, RS Mediros, dan RS Restu Mulya.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta Dien Emmawati menambahkan, dari 16 RS swasta yang mengundurkan diri itu, delapan di antaranya RS swasta kecil. Pengunduran diri 16 RS ini tentu berdampak terhadap pelayanan kesehatan KJS, terutama di kawasan Jakarta Utara. Di kawasan tersebut, RSUD hanya dua yakni RS Koja dan RS Soeliasti Saroso. "Kita harapkan masyarakat tidak masuk ke-16 rumah sakit tadi. Kita masih punya 76 rumah sakit yang melayani KJS.
Masih cukup banyak," tandasnya. Kendati demikian, Dien maupun Pemprov DKI Jakarta tidak bisa melarang mereka keluar dari Program KJS. RS swasta ini tidak mampu menanggung kerugian karena tidak mendapatkan subsidi. Lain halnya dengan RS pemerintah. Kendati pembayaran klaim murah, RS itu tetap mendapatkan subsidi dari pemerintah. Dien menyebutkan, dari 16 RS swasta itu, baru dua mundur secara resmi. Sedangkan 14 RS lain baru menyampaikan secara lisan.
Pengunduran ini bukan terkait ada tunggakan, melainkan sistem pembayaran tarif. Menurut Dien, pihaknya akan mengubah sistem rujukan pada KJS. Sebagai contoh, pasien yang sudah masuk RSUD Tarakan dan membutuhkan alat penunjang magnetic resonance imaging (MRI) akan dirujuk ke RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) bila RSUD Tarakan tidak memiliki MRI.
Pembayaran klaim tidak bisa satu paket, tapi harus terpisah yakni untuk RSUD Tarakan dan RSCM untuk MRI. Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengungkapkan, RS swasta tidak tahan dengan KJS yang menggunakan sistem Indonesia Case Based Groups (INA-CBG). Sistem tersebut merupakan tawaran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) untuk pengelolaan pelayanan kesehatan secara nasional. Nilai tarif dalam sistem tersebut tidak dapat diakomodasi RS swasta karena dianggap terlalu rendah.
Dengan kondisi tersebut, Pemprov DKI akan mengevaluasi sistem pembayaran dengan tarif ini. ”Makanya kita akan evaluasi untuk memastikan sistem INA-CBG ini tidak bisa menutupi biaya perawatan pasien KJS,” kata Basuki di Balai Kota kemarin. Evaluasi juga dilakukan terhadap pembayaran sistem premi KJS. Selama ini KJS menggunakan pihak ketiga yakni PT Asuransi Kesehatan (Askes) sebagai pengelola KJS dengan tarif premi Rp23.000.
Sejatinya premipalingrelevanuntukpasien KJS ini berkisar di atas Rp30.000- 50.000. Namun, keinginaninitidak serta-merta dapat diubah karena sudah diatur dalam kebijakan berlaku. Jika diubah, Pemprov DKI Jakarta harus meminta persetujuandari pemerintahpusat.
Basuki pun meminta pemerintah pusat memberikan dispensasi kepada Pemprov DKI Jakarta untuk bisa memberlakukan tarif premi berbeda. Jika tidak, Pemprov DKI Jakarta tidak akan lagi menggunakan INA-CBG, tapi Jakarta CBG. ”Kalau angkanya, tidak bisa diubah kita ganti aja,” sebutnya. ●ilham safutra
Kalau dipikir-pikir, entah sejak kapan masyarakat menganggap dokter = kaya, dokter = makmur seperti kebanyakan yang didoktrin kepada kami sebelum memilih jurusan ini ketika akan tamat bangku sekolah di SMA. Bahwa jadi dokter itu pasti senang, jadi dokter itu kaya. Sehingga jika ada sedikit saja pembicaraan yang mengarah kepada tuntutan dokter tentang kesejahteraan dan katakanlah uang saku/gaji perbulannya yang sangat tidak memadai untuk resiko dan beban kerja yang dihadapi dokter, masyarakat dan media tanpa ampun langsung mencemooh dengan kejam, menganggap seakan dokter mata duitan dan tidak tulus mengabdi.
nah, mari kita bicara terbuka sekarang…
kita ambil contoh yang paling mudah, dokter PNS. Dokter termasuk pegawai golongan 3B, gaji pokok Rp 2.2 juta plus tunjangan fungsional Rp 300ribu, total Rp 2.6 juta tanpa tunjangan lain yang seharusnya berkaitan dengan resiko profesi. Dokter disama-ratakan dengan PNS bidang lain, yang tidak harus siap sedia 24jam tanpa kecuali, diluar jam kerja karena bisa sewaktu-waktu dipanggil lagi karena ada pasien gawat atau bencana alam ataupun visum, tidak harus masuk piket kerja saat hari raya, tidak terpapar berbagai penyakit mulai dari yang ringan semisal flu sampai yang terberat seperti hepatitis B ataupun HIV. Juga tidak perlu kuatir membawa penyakit2 tersebut ke rumah dalam jangkauan keluarga tercinta, tidak perlu stres karena tiap saat harus terancam resiko malpraktek yang minimal tuntutannya hingga Rp 500juta. Dengan gaji RP 2.6 juta/bulan, mau lunas kapaaan??
tidak ada tunjangan khusus untuk resiko berbagai macam penyakit, tidak ada asuransi khusus untuk dokter, tidak ada sertifikasi, tidak ada remunerasi. Jangan heran kalau anda semua lihat jika ke puskesmas, lebih banyak “bu dokter” daripada “pak dokter”. Saat tuntutan hidup begitu tinggi, sulit sekali bagi “pak dokter” yang notabene penanggungjawab keluarga untuk tetap “mengabdi” sedangkan ada anak istri yang perlu dicukupi kebutuhannya, ada pendidikan anak yang perlu dipikirkan juga. Mungkin “pak dokter” lebih memilih untuk bekerja di swasta atau meneruskan pendidikannya di jenjang spesialis. Padahal kenyataan pilihan spesialis tersebut pun belum pasti menjadi jalan keluar yang lebih mudah.
dokter mau kerja di swasta?? Sayang sekali, pilihan ini pun tidak selalu bersahabat. Uang duduk di klinik 24 jam rata-rata Rp 100ribu/24 jam, jasmed (jasa medis) Rp 1000/pasien. Tapi jangan dikira yang namanya “uang duduk”, itu berarti kita duduk-duduk saja di klinik sambil ngemil pisang goreng. OOOO tidaak… 24 jam itu betul-betul kerja dan tindakan. Kerja dan tindakan. Kalau dipikir-pikir jasa medis Rp 1000/pasien, mending jaga parkiran motor di depan klinik. Itupun cuma perlu ada saat yang punya motor datang lagi untuk ngambil motornya, plus modal sebuah peluit. Tidak perlu modal belajar “sepanjang hayat”, tidak perlu ada rasa dihantui bayangan tuduhan malpraktek oleh masyarakat dan media yang terkadang sok tahu tapi tidak pernah tahu apa yang terjadi sebenarnya, apa patofisiologi yang terjadi.
Kerja di rumah sakit swasta, terbentur dengan tidak adanya jaminan kesehatan, rata-rata hanya mengontrak dokter tanpa diasuransikan kesehatan, jadi dokter yang terpapar begitu banyak penyakit dan beban kerja yang tinggi harus selalu menjaga kesehatannya. Kalau lagi sial kena penyakit, ya itu derita ditanggung sendiri, ujung-ujungnya bangkrut karena duit tidak cukup bahkan untuk mengobati diri sendiri. DKK, Dokter klinik ke klinik, “ngamen”, akhirnya seperti itulah nasib dokter di sector swasta.
Sekolah lagi?? Hahaha, jalan begitu panjaaaang dalam pendidikan dokter umum, 6 tahun lamanya digembleng, toh hasil nya bahkan lebih rendah dibandingkan sopir bus transjakarta. Sabar kalian bilang?? Tidak usah gunakan kata sabar dan mengabdi kepada kami. Kata-kata itu sudah begitu setia menjadi bagian dari kehidupan dokter dan paramedis. Kalau tidak, sudah sedari dulu kami “mogok”. Begitu tidak adilnya pemenuhan kesejahteraan bagi kami para dokter dan paramedis. Bahkan ditambah lagi dengan pejabat pemerintah dan anggota DPR yang terhormat yang semena-mena mencemooh kerja keras dan kerja bakti kami, ditambah lagi pemberitaan media yang jelas-jelas lebih senang menjual berita negative tentang dokter-paramedis dibanding sebegitu banyak positif nya. Buruh tidak digaji dibilang perbudakan, dokter tidak digaji itu pengabdian. Pernahkah ada yang tahu banyak dokter yang PTT didaerah terpencil, rela bekerja tanpa digaji. Ada satu cerita, teman sejawat saya yang PTT di daerah pedalaman. Walaupun hari sudah malam dini hari, tetap memenuhi panggilan keluarga pasien, yang memaksa si dokter untuk melihat keluarganya yang sakit. Setiba di rumah tujuan, si sakit yang dimaksud tadi hanyalah gatal2 dan menurut hemat keluarga pasien, itu adalah penyakit yang harus diobati saat itu juga. Dalam perjalan pulang, sang dokter mengalami kecelakaan patah tungkai bawah, karena mengendarai motor dalam keadaan hujan dan jalan yang licin dan berlumpur (mengingat tempat tugas di daerah pedalaman dan belum begitu banyak akses jalan yang bagus). Dan karena tidak ada biaya, terpaksa memutuskan rawatan dirumah. Pernahkan media memberitakan hal demikian?? Pernahkah masyarakat membaca hal yang demikian?? Masyarakat pun seolah dibutakan oleh janji-janji manis para pemimpin yang seolah-olah menggratiskan biaya kesehatan, padahal nyatanya anggaran kesehatan tidak pernah dinaikkan. Akibatnya dokter-paramedis-manajemen puskesmas dan rumah sakit yang selalu dijadikan kambing hitam.
dokter internship hanya digaji Rp 1.2 juta / bulan. Mereka disebar diberbagai penjuru negeri hanya dengan uang hidup Rp 1.2 juta yang pembayarannya dirapel per tiga bulan tanpa uang kost-uang makan-uang transport. Semua dipukul rata 1.2 juta per orang tanpa melihat dimana dia ditugaskan. Tanpa melihat gimana beban ekonomi di tempat dokter internship ditugaskan. Miris rasanya saat mendengar ada dokter internship uang harus kerja part time di swalayan 24 jam ind*mar*t menjadi kasir. Astagfirullah, ini bukan pengabdian.. sungguh… Ketika saya menceritakan ini ke sensei di Jepang, mereka terkejut dan balik bertanya, kalau memang begitu, bagaimana caranya si dokter tadi bisa fokus untuk kesembuhan pasien?? Bagaimana caranya si dokter bisa full menunaikan kewajibannya, memberikan pelayan maksimal untuk pasien??
Jadi spesialis??
pernah tahu jasa medis untuk seorang dokter spesialis kebidanan dan kandungan untuk operasi SC (Sectio cesarea) dengan resiko 2 nyawa, ibu dan anak?? Hanya Rp 80 ribu per operasi. Sama seperti biaya masang kaca spion di bengkel mobil. How come?? Yang ditangani ini manusia, bukan mobil. Belum operasi lain semisal laparotomy Rp 100ribu, tonsilektomi Rp 10 ribu. Itu semua sampai kapanpun gak akan pernah bisa membayar kalau suatu saat terkena tudingan malpraktek.
jadi kawan, mohon jangan cemooh kami jika ada dokter-dokter yang terpaksa turun di jalan demi memperjuangkan ketidakadilan ini. Dokter bukanlah dewa, bukan juga makhluk suci. Dokter hanyalah manusia biasa yang memiliki dapur yang harus terus mengepul , memiliki anak istri yang harus dinafkahi, memiliki cita-cita untuk memberi pendidikan yang baik dan layak untuk anak-anaknya. Banyak masyarakat yang bilang dokter Indonesia tidak piawai, tidak peka, tidak mau mendengar keluh kesah pasien. Tidak seperti dokter di negeri tetangga yang begitu baik dan mau mendengar. Apakah masyarakat tahu, disaat yang bersamaan, si dokter sedang pusing memikirkan bagaimana mencari tambahan nafkah di tempat lain,harus memikirkan nafkah anak istrinya dirumah, harus bisa menjamin pendidikan anaknya. Dokter dinegeri tetangga tidak perlu memikirkan tetek-bengek seperti itu, karena semua sudah ditanggung negara. Dan akhirnya mereka bisa full dalam melayani pasien, mendengarkan keluh kesah pasien.
Tidak bisa dipungkiri juga ada beberapa TS dokter yang bisa anda lihat berkebalikan dengan fakta-fakta yang ada, tapi itu semua hanyalah puncak gunug es. Yap, jauh lebih banyak lagi TS dokter yang hidupnya betul-betul “MENGABDI”.
kami sadar, inilah profesi yang telah kami pilih. Harapan kami supaya para petinggi negeri ini, yang duduk di kursi terhormat sana, bisa memikirkan nasib dan kesejahtraan para dokter Indonesia. Bukan demi hidup materialistis, tapi demi hidup yang layak. Sehingga bisa full memberikan pelayan terbaik yang kami bisa untuk masyarakat.
Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan;
Saya akan memberikan kepada guru-guru saya penghormatan dan pernyataan terima kasih yang selayaknya;
Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang berhormat dan bermoral tinggi, sesuai dengan martabat pekerjaan saya;
Kesehatan penderita senantiasa akan saya utamakan;
Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan karena keilmuan saya sebagai dokter;
Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur jabatan kedokteran;
Saya akan memperlakukan teman sejawat saya sebagai mana saya sendiri ingin diperlakukan;
Dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita, saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, politik kepartaian, atau kedudukan sosial;
Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan;
Sekalipun diancam, saya tidak akan mempergunakan pengetahuan kedokteran saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan hukum perikemanusiaan;
Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan mempertaruhkan kehormatan diri saya.
Sungguh dilematis niat baik pemprov DKI untuk mensejahterakan warganya. Gimana pendapat agan-agan?