widimonAvatar border
TS
widimon
‘Umar & Imam Syafi’i Berbicara Tentang Bid’ah Hasanah....PART 1
GAN SIS...kira2 penjelasan tentang perkataan UMAR RA. "inilah sebaik - baiknya bid'ah" apa yups,,, yuk kita simak..

Spoiler for JALAN KEBENARAN:


Kata-kata yang sudah sangat masyhur dan telah dianggap berasal dari Umar bin Khottob dan Imam Asy Syafi’i. Sebagaian orang lantas menyangka selama bid’ah itu baik, maka tidaklah masalah diamalkan. Karena bid’ah menurutnya ada yang baik (bid’ah hasanah) dan ada bid’ah yan jelek (bid’ah sayyi’ah). Lantas segala amalan pun yang tanpa tuntunan cuma sekedar dibangun atas landasan niat baik menjadi legal.

Khalifah ‘Umar dan Imam Syafi’i Berbicara Mengenai Bid’ah Hasanah

‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu ketika menghidupkan shalat tarawih secara berjama’ah, beliau berkata,

الْبِدْعَةُ هَذِهِ

“Sebaik-baik bid’ah adalah ini”.[1]

Imam Syafi’i rahimahullah berkata,

البدعة بدعتان: بدعة محمودة، وبدعة مذمومة، فما وافق السنة، فهو محمود، وما خالف السنة، فهو مذموم

“Bid’ah itu ada dua macam yaitu bid’ah mahmudah (yang terpuji) dan bid’ah madzmumah (yang tercela). Jika suatu amalan bersesuaian dengan tuntunan Rasul, itu termasuk amalan terpuji. Namun jika menyelisihi tuntunan, itu termasuk amalan tercela”[2]

Memahami Perkataan ‘Umar bin Khottob tentang Shalat Tarawih

Mengenai kisah keluarnya ucapan ‘Umar “sebaik-baik bid’ah adalah ini” dapat kita saksikan pada hadits berikut ini.

عَنْ عَبْدِ الرحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِي أَنهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطابِ فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا الناسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرقُونَ يُصَلي الرجُلُ لِنَفْسِهِ, وَيُصَلي الرجُلُ فَيُصَلي بِصَلَاتِهِ الرهْطُ. فَقَالَ عُمَرُ: وَاللهِ إِني لَأَرَانِي لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ, فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَي بْنِ كَعْبٍ. قَالَ: ثُم خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالناسُ يُصَلونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ, فَقَالَ عُمَرُ: نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ, وَالتِي تَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنْ التِي تَقُومُونَ, يَعْنِي آخِرَ الليْلِ وَكَانَ الناسُ يَقُومُونَ أَولَهُ

Dari Abdurrahman bin Abdil Qaary katanya; aku keluar bersama Umar bin Khatthab di bulan Ramadhan menuju masjid (Nabawi). Sesampainya di sana, ternyata orang-orang sedang shalat secara terpencar; ada orang yang shalat sendirian dan ada pula yang menjadi imam bagi sejumlah orang. Maka Umar berkata: “Menurutku kalau mereka kukumpulkan pada satu imam akan lebih baik…” maka ia pun mengumpulkan mereka –dalam satu jama’ah– dengan diimami oleh Ubay bin Ka’ab. Kemudian aku keluar lagi bersamanya di malam yang lain, dan ketika itu orang-orang sedang shalat bersama imam mereka, maka Umar berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini, akan tetapi saat dimana mereka tidur lebih baik dari pada saat dimana mereka shalat”, maksudnya akhir malam lebih baik untuk shalat karena saat itu mereka shalatnya di awal malam.[3]

Perkataan ‘Umar di atas disikapi oleh Ibnu Rajab dengan pernyataan berikut,

“Adapun perkataan ulama salaf yang menganggap adanya bid’ah yang baik, maka yang dimaksudkan adalah bid’ah lughowi (bid’ah secara bahasa) dan bukan menurut istilah syar’i. Contoh perkataan yang dimaksud adalah perkataan ‘Umar bin Khottob ketika beliau mengumpulkan orang-orang untuk melaksanakan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) bersama dengan satu imam di masjid. Lantas ‘Umar keluar dan melihat mereka shalat (dengan satu imam), lalu ia pun berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. Diriwayatkan bahwa Ka’ab bin Malik berkata pada ‘Umar, “Ini sebelumnya tidak ada”. “Aku tahu. Akan tetapi perbuatan ini baik (hasan)”, jawab ‘Umar. Yang dimaksudkan oleh ‘Umar bahwa shalat tarawih sebelumnya tidak dilakukan seperti itu sebelumnya. Akan tetapi, ada landasan dalam syari’at mengenai hal ini di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong dan memotivasi untuk melaksanakan qiyam Ramadhan. Dahulu di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang melaksanakan shalat tarawih secara jama’ah namun terpisah-pisah atau berkelompok-kelompok. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat bersama para sahabat di bulan Ramadhan lebih dari semalam. Kemudian beliau enggan melaksanakannya lagi karena khawatir shalat tarawih itu wajib. Beliau pun tidak merutinkannya setelah itu. Namun setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kekhawatiran tersebut sudah tidak ada. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendirikan shalat tarawih bersama para sahabatnya di malam ganjil di sepuluh hari terakhir dari Ramadhan”.[4]

Ibnu Rajab setelah itu mengatakan bahwa shalat tarawih yang dihidupkan kembali oleh ‘Umar tetap sah dan bukan bid’ah karena itu adalah bagian dari sunnah[5] (ajaran) khulafaur rosyidin al mahdiyyin[6] yang kita juga diperintahkan untuk mengikutinya. Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Alasan lain bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengikuti sunnah (ajaran) khulafaur rosyidin. Bahkan shalat tarawih telah menjadi sunnah (ajaran) khulafaur rosyidin. Manausia di masa ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali juga menghidupkannya secara berjama’ah.”[7]

Dalil bahwasanya kita diperintahkan mengikuti ajaran khulafaur rosyidin,

فَعَلَيْكُمْ بِسُنتِى وَسُنةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيينَ الراشِدِينَ تَمَسكُوا بِهَا وَعَضوا عَلَيْهَا بِالنوَاجِذِ

“Berpegang teguhlah dengan ajaranku dan ajaran kholifah yang diberi petunjuk dalam ilmu dan amal, berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah (kuat-kuat) dengan gigi geraham kalian”.[8]

Ibnu Taimiyah berkata, “Perlu dipahami bahwa istilah bid’ah hasanah yang disebutkan ‘Umar hanyalah penyebutan bid’ah secara bahasa dan bukan istilah syari’at. Karena bid’ah secara bahasa berarti setiap perbuatan yang diawali tanpa ada contoh sebelumnya.”[9]

Ibnu Katsir juga menerangkan, “Bid’ah itu ada dua macam. Kadang yang dimaksud adalah bid’ah syar’iyyah seperti yang disebutkan dalam hadits, “Setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” Terkadang pula bid’ah yang dimaksud adalah bid’ah secara bahasa. Seperti perkataan ‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu ketika beliau membuat jama’ah shalat tarawih dan dilakukan terus menerus, di mana beliau berkata, “Ni’matul bid’ah hadzihi (sebaik-baik bid’ah adalah ini).”[10]

Perkataan bid’ah dengan artian bahasa -yaitu sesuatu yang baru- dikatakan pula oleh anak ‘Umar bin Khottob, ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Yang namanya adzan pertama pada shalat Jum’at baru dilakukan di masa ‘Utsman karena kebutuhan manusia akan hal itu. Dan amalan ini diteruskan pula oleh ‘Ali bin Abi Tholib. Namun Ibnu ‘Umar lantas berkata, “Huwa bid’ah (ini adalah bid’ah)”. Ibnu Rajab menerangkan maksud Ibnu ‘Umar, “Sepertinya Ibnu ‘Umar ingin berkata seperti maksud ayahnya dalam masalah qiyam Ramadhan (shalat tarawih).”[11]

Bagaimana bisa hadits dipertentangkan dengan perkataan sahabat?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan bahwa setiap bid’ah adalah sesat sebagaimana sabdanya,

وَكُل بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Setiap bid’ah adalah sesat?”[12] Asy Syathibi mengatakan, “Para ulama memaknai hadits di atas sesuai dengan keumumannya, tidak boleh dibuat pengecualian sama sekali. Oleh karena itu, tidak ada dalam hadits tersebut yang menunjukkan ada bid’ah hasanah.”[13] Artinya setiap bid’ah itu tercela, tidak ada yang hasanah.

Lalu bagaimana kita menyikapi perkataan ‘Umar?

Taruhlah kita setuju dengan perkataan ‘Umar bahwa ada bid’ah hasanah karena beliau telah berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. Maka cukup disanggah seperti kata Ibnu Taimiyah, “Perkataan sahabat bukanlah argumen. Bagaimana perkataan sahabat bisa sebagai alasan di saat bertentangan dengan sabda Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”[14]

Jika dengan perkataan sahabat saja tidak bisa dipertentangkan dengan sabda Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, lantas bagaimana lagi dengan perkataan ulama yang berada di bawah sahabat?

LANJUT LAGI GAN.. emoticon-Matabelo

emoticon-Matabelo
0
1.9K
16
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan