- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
95 Persen Migas Indonesia Dikuasai Korporasi Asing


TS
harriyadi
95 Persen Migas Indonesia Dikuasai Korporasi Asing
Penjajahan ekonomi semakin membuat Indonesia tidak berdaya. Sektor minyak bumi dan gas yang bernilai ekonomi tinggi pun terpaksa harus jatuh ke tangan asing. Kedaulatan energi yang didengungkan Bung Karno pun hanya tinggal kenangan.
Pengamat ekonomi Ikhsan Nurdin Nursi menegaskan, 95 persen sektor migas Indonesia dikuasai korporasi asing. PT Chevron asal AS menjadi salah satu penguasa terbesar migas di Indonesia yang mengambil porsi 44 persen.
Selain Chevron, terdapat perusahaan asing yang ikut menikmati kekayaan alam Indonesia. Antara lain, Total E&P (10 persen), Conoco Phillips (8 persen), Medco Energy (6 persen), China National Offshore Oil Corporation (5 persen), China National Petroleum Corporations (2 persen), British Petroleum, Vico Indonesia, dan Kodeco Energy masing-masing satu persen. Sedangkan Pertamina, perusahaan BUMN hanya mendapatkan porsi 16 persen.
Terkait hal ini, pengamat ekonomi dari Econit Advisory Group Hendri Saparini menilai, ada kesalahan paradigma pengelolaan energi di Indonesia. “Energi di Indonesia dijadikan komoditas komersial semata, bukan komoditas strategis,” katanya.
Menurut Hendri, bila sektor energi menjadi komoditas komersial, itu berarti semua orang boleh menguasainya. Lihat saja, Undang-Undang Penanaman Modal dan anak peraturannya, menyebutkan sektor migas dapat dikuasai asing 95 persen. Sedangkan sektor tambang 90 persen.
Padahal, lanjut dia, jika porsi energi yang begitu besar dititipkan ke perusahaan BUMN dipastikan mampu mengambil perannya menjadi pilar utama sektor perekonomian. Contoh hal bodoh yang dilakukan pemerintah, kata Hendri, di antaranya memberikan hak pengelolaan migas di Blok Cepu kepada ExxonMobil (perusahaan asal AS). Sementara Pertamina, kata Hendri, justru menjadi anak tiri di negerinya sendiri.
Pengamat energi Kurtubi berpendapat, kehancuran kedaulatan energi bersumber dari Undang-Undang Migas yang merugikan negara secara finansial. “Pengelolaan migas di Tanah Air adalah yang terburuk di Asia dan Oceania,” katanya.
Hasil survei teknologi global menunjukkan dari 143 negara di Asia, pengelolaan migas di Indonesia ada di posisi 113 di Asia. Di Oceania, pengelolaan migas Indonesia bahkan lebih buruk di bawah Timor Leste.

Dengan demikian, kesimpulan perekonomian Indonesia sudah dikuasai asing menjadi tidak terbantahkan. “Bangsa Indonesia harus membeli minyak yang justru berasal dari Indonesia. Minyak mentah ditentukan oleh New York bukan oleh kita,” ujarnya.
Menurut Kwik, sistem ekonomi hampir sama di seluruh dunia, tetapi berbeda dalam campur tangan pemerintah. “Pada 1976 kita sudah dipaksa untuk tidak ikut campur dalam konsumsi dan distribusi barang. Kaum koorporasi begitu berkuasa,” ungkapnya.
Dikatakan Kwik, untuk melihat secara jernih masalah ekonomi, bisa dilihat pertentangan ideologi yang terjadi di Eropa beberapa abad silam. “Uraian ini bukan berarti terlampau menyederhanakan masalah,” ujarnya.
Menurutnya, Adam Smith pernah menganjurkan agar pemerintah jangan ikut campur dalam kegiatan ekonomi masyarakat. Teori Smith itu seakan membuat semuanya terasa indah. “Prinsiplaissez-faire (tangan-tangan tak kelihatan) membuat manusia akan kaya. “Terkait investasi dan alokasi dana, dibiarkan masyarakat yang mengatur,” ujarnya.
Sayangnya, sambung Kwik, anjuran Smith itu justru membuat manusia menjadi ‘Homo Ekonomikus’, manusia semata-mata hanya dipandang dari sisi ekonomi semata. Akibatnya terjadi penumpukan modal dan monopoli pasar. Nah, pada 1884, Das Kapital Karl Marx menggugat semua itu.
“Kapitalisasi modal menyebabkan perbudakan karena dikuasai oleh hak milik pribadi,” lanjut Kwik. State of nature menurut Marx adalah ‘manusia dilahirkan tidak mempunyai apa-apa, dan tidak ada alasan untuk perbudakan tersebut’. Karena itu, negara harus ada dalam tiap permasalahan masyarakatnya.
“Saya mengakui gugatan Karl Marx, tetapi saya juga akan mengatur tiap modal yang ada,” paparnya. Di mencontohkan, negara-negara penganut paham ini antara lain Soviet, Cina serta Eropa Timur. Bahkan Cina, sebagai negara Komunis, mekanisme pasar dihormati, tetapi negara boleh bersaing dengan swasta.

MAXSASA Kadepa, warga Mimika, sudah puluhan tahun hidupnya pas-pasan. Hidupnya dari dulu miskin. Padahal, rumahnya tak jauh dari pabrik tambang emas, PT Freeport Indonesia, perusahaan asal Amerika Serikat.
Tentu saja, tak hanya Maxsasa yang hidupnya seperti itu. Masih banyak Maxsasa lain di Papua. Dan, kalau mau jujur, harta karun di Bumi Cendrawasih ini begitu bejibun. Sektor pertambangan yang paling menakjubkan. Di sana ada berbagai jenis tambang yang berlimpah ruah. Ada tembaga, emas, minyak, dan gas.
Sayangnya, kekayaan sumber daya alam itu hampir sebagian besar dikuasai perusahaan-perusahaan asing. Jadilah kebanyakan orang Papua hanya menjadi penonton di kampungnya sendiri.
Tak hanya orang Papua. Di belahan lain, di Kalimantan, Sulawesi, Sumatra, Jawa, Bali, dan daerah lainnya di Indonesia, kebanyakan rakyat cuma jadi penonton melihat geliat perusahaan-perusahaan asing mengeruk hasil tambang dan migas.
Di Indonesia ada 60 kontraktor migas yang terkategori ke dalam tiga kelompok. Pertama, Super Major, terdiri ExxonMobile, Total Fina Elf, BP Amoco Arco, dan Texaco yang menguasai cadangan minyak 70% dan gas 80%. Kedua, Major, terdiri dari Conoco, Repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex dan Japex yang menguasai cadangan minyak 18% dan gas 15%. Ketiga, perusahaan independen; menguasai cadangan minyak 12% dan gas 5%.
Walhasil, minyak dan gas bumi Indonesia hampir 90% telah dikuasai oleh asing. Mereka semua adalah perusahaan multinasional asing.

Di pertambangan batu bara, perusahaan-perusahaan China dan India berduyun-duyun masuk dengan leluasa. Mereka menguasai tambang kecil dengan membiayai perusahaan-perusahaan tambang lokal yang kesulitan pendanaan.
Membaca data British Petroleum Statistical Review, sungguh miris. Indonesia yang hanya memiliki cadangan batu bara terbukti 4,3 miliar ton atau 0,5% dari total cadangan batu bara dunia, ternyata menjadi pemasok utama batu bara untuk China. Padahal, China memiliki cadangan batu bara terbukti 114,5 miliar ton atau setara 13,9% dari total cadangan batu bara dunia.
Semua itu terjadi lantaran liberalisasi di sektor tambang dan migas. Asal tahu saja, sejak 40 tahun lalu pemerintah telah membuka izin seluas-luasnya kepada perusahaan asing untuk mengelola tambang dan migas di Indonesia. Selama itu pula mereka menikmati keuntungan yang berlimpah.
Nah, akhir Februari lalu, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Isinya, asing harus menjual 51% ke investor lokal. Menurut aturan yang baru itu, asing hanya berhak atas 49% saham perusahaan tambang di Indonesia. Selebihnya harus dijual secara bertahap setelah lima tahun berproduksi atau harus tuntas pada tahun ke-10 sejak awal berproduksi.
Aturan itu merinci tahapan divestasinya. Ambil contoh, asing memiliki 100% saham perusahaan tambang di Indonesia. Mulai tahun keenam hingga tahun kesepuluh, dia harus menjual 10% saham per tahun hingga tahun kesepuluh jumlah saham yang dilego mencapai 51%.
Nah, yang pertama kali mendapatkan hak membeli jatah saham divestasi itu adalah pemerintah pusat. Jika tak sanggup, hak ini beralih ke pemerintah daerah. Bila daerah menyerah, BUMN dan BUMD dipersilakan masuk melalui mekanisme lelang. Kalau tak sanggup juga, investor lokal berhak membeli jatah divestasi itu.
Aturan tinggal aturan. Buktinya, tak satu pun perusahaan yang patuh padabeleid ini. Alasannya, kontrak karya yang telah disepakati sebelumnya dengan pemerintah.
Jadi, sampai kapan tambang dan migas Indonesia terus dikuasai oleh asing? Ah…, entahlah.
Ada pendapat lain yang mengungkapkan, Dalam seminar tentang kedaulatan energi yang bertempat di aula pasca sarjana Universitas Sriwijaya (Unsri) akhir pekan lalu sempat mencuat wacana perlunya pemerintah menasionalisasi perusahaan minyak asing di Indonesia.
Presiden Konferensi Serikat Pekerja Migas Indonesia (KSPMI) Faisal Yusra yang berbicara pada seminar tersebut mengungkapan, Indonesia perlu melakukan nasionalisasi perusahaan minyak yang beroperasi di negeri ini.
“85 persen industri minyak kita dikuasai sektor asing. Negara kita mudah dikendalikan negara lain,”ujarnya. Menurutnya, dari 1,3 juta barel kebutuhan minyak Indonesia, hanya 150 ribu barel saja yang benar-benar punya Pertamina.
Sisanya dikuasai oleh Seven Sister yakni tujuh perusahaan minyak asing seperti Shell, Chevron, Exxon, British Petroleum dan lainnya. Untuk itu, pemerintah diminta menasionalisasi perusahaan minyak yang ada di Indonesia.
Menurut Faisal ke depan perlunya kebangkitan energi nasional. Menurutnya, Pertamina sebenarnya mampu mengelola Blok Mahakam.
“Blok Natuna di Kepulauan Riau yang paling sulit saja kita bisa. Blok Natuna kandungan sulfurnya tinggi dan sangat dalam. Ini butuh teknologi tinggi dan biaya paling mahal,”ujarnya. Dia pun berpendapat lemahnya peran Pemerintah Indonesia dalam memperjuangkan kedaulatan energi negaranya.
Semoga bermanfaat bagi agan-agan.
Maaf kalo
kalo berkenan bagi
dan ane mengharap 
jangan di
apalagi 
silahkan komeng gan

Pengamat ekonomi Ikhsan Nurdin Nursi menegaskan, 95 persen sektor migas Indonesia dikuasai korporasi asing. PT Chevron asal AS menjadi salah satu penguasa terbesar migas di Indonesia yang mengambil porsi 44 persen.
Selain Chevron, terdapat perusahaan asing yang ikut menikmati kekayaan alam Indonesia. Antara lain, Total E&P (10 persen), Conoco Phillips (8 persen), Medco Energy (6 persen), China National Offshore Oil Corporation (5 persen), China National Petroleum Corporations (2 persen), British Petroleum, Vico Indonesia, dan Kodeco Energy masing-masing satu persen. Sedangkan Pertamina, perusahaan BUMN hanya mendapatkan porsi 16 persen.
Terkait hal ini, pengamat ekonomi dari Econit Advisory Group Hendri Saparini menilai, ada kesalahan paradigma pengelolaan energi di Indonesia. “Energi di Indonesia dijadikan komoditas komersial semata, bukan komoditas strategis,” katanya.
Menurut Hendri, bila sektor energi menjadi komoditas komersial, itu berarti semua orang boleh menguasainya. Lihat saja, Undang-Undang Penanaman Modal dan anak peraturannya, menyebutkan sektor migas dapat dikuasai asing 95 persen. Sedangkan sektor tambang 90 persen.
Padahal, lanjut dia, jika porsi energi yang begitu besar dititipkan ke perusahaan BUMN dipastikan mampu mengambil perannya menjadi pilar utama sektor perekonomian. Contoh hal bodoh yang dilakukan pemerintah, kata Hendri, di antaranya memberikan hak pengelolaan migas di Blok Cepu kepada ExxonMobil (perusahaan asal AS). Sementara Pertamina, kata Hendri, justru menjadi anak tiri di negerinya sendiri.
Pengamat energi Kurtubi berpendapat, kehancuran kedaulatan energi bersumber dari Undang-Undang Migas yang merugikan negara secara finansial. “Pengelolaan migas di Tanah Air adalah yang terburuk di Asia dan Oceania,” katanya.
Hasil survei teknologi global menunjukkan dari 143 negara di Asia, pengelolaan migas di Indonesia ada di posisi 113 di Asia. Di Oceania, pengelolaan migas Indonesia bahkan lebih buruk di bawah Timor Leste.

Dengan demikian, kesimpulan perekonomian Indonesia sudah dikuasai asing menjadi tidak terbantahkan. “Bangsa Indonesia harus membeli minyak yang justru berasal dari Indonesia. Minyak mentah ditentukan oleh New York bukan oleh kita,” ujarnya.
Menurut Kwik, sistem ekonomi hampir sama di seluruh dunia, tetapi berbeda dalam campur tangan pemerintah. “Pada 1976 kita sudah dipaksa untuk tidak ikut campur dalam konsumsi dan distribusi barang. Kaum koorporasi begitu berkuasa,” ungkapnya.
Dikatakan Kwik, untuk melihat secara jernih masalah ekonomi, bisa dilihat pertentangan ideologi yang terjadi di Eropa beberapa abad silam. “Uraian ini bukan berarti terlampau menyederhanakan masalah,” ujarnya.
Menurutnya, Adam Smith pernah menganjurkan agar pemerintah jangan ikut campur dalam kegiatan ekonomi masyarakat. Teori Smith itu seakan membuat semuanya terasa indah. “Prinsiplaissez-faire (tangan-tangan tak kelihatan) membuat manusia akan kaya. “Terkait investasi dan alokasi dana, dibiarkan masyarakat yang mengatur,” ujarnya.
Sayangnya, sambung Kwik, anjuran Smith itu justru membuat manusia menjadi ‘Homo Ekonomikus’, manusia semata-mata hanya dipandang dari sisi ekonomi semata. Akibatnya terjadi penumpukan modal dan monopoli pasar. Nah, pada 1884, Das Kapital Karl Marx menggugat semua itu.
“Kapitalisasi modal menyebabkan perbudakan karena dikuasai oleh hak milik pribadi,” lanjut Kwik. State of nature menurut Marx adalah ‘manusia dilahirkan tidak mempunyai apa-apa, dan tidak ada alasan untuk perbudakan tersebut’. Karena itu, negara harus ada dalam tiap permasalahan masyarakatnya.
“Saya mengakui gugatan Karl Marx, tetapi saya juga akan mengatur tiap modal yang ada,” paparnya. Di mencontohkan, negara-negara penganut paham ini antara lain Soviet, Cina serta Eropa Timur. Bahkan Cina, sebagai negara Komunis, mekanisme pasar dihormati, tetapi negara boleh bersaing dengan swasta.

MAXSASA Kadepa, warga Mimika, sudah puluhan tahun hidupnya pas-pasan. Hidupnya dari dulu miskin. Padahal, rumahnya tak jauh dari pabrik tambang emas, PT Freeport Indonesia, perusahaan asal Amerika Serikat.
Tentu saja, tak hanya Maxsasa yang hidupnya seperti itu. Masih banyak Maxsasa lain di Papua. Dan, kalau mau jujur, harta karun di Bumi Cendrawasih ini begitu bejibun. Sektor pertambangan yang paling menakjubkan. Di sana ada berbagai jenis tambang yang berlimpah ruah. Ada tembaga, emas, minyak, dan gas.
Sayangnya, kekayaan sumber daya alam itu hampir sebagian besar dikuasai perusahaan-perusahaan asing. Jadilah kebanyakan orang Papua hanya menjadi penonton di kampungnya sendiri.
Tak hanya orang Papua. Di belahan lain, di Kalimantan, Sulawesi, Sumatra, Jawa, Bali, dan daerah lainnya di Indonesia, kebanyakan rakyat cuma jadi penonton melihat geliat perusahaan-perusahaan asing mengeruk hasil tambang dan migas.
Di Indonesia ada 60 kontraktor migas yang terkategori ke dalam tiga kelompok. Pertama, Super Major, terdiri ExxonMobile, Total Fina Elf, BP Amoco Arco, dan Texaco yang menguasai cadangan minyak 70% dan gas 80%. Kedua, Major, terdiri dari Conoco, Repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex dan Japex yang menguasai cadangan minyak 18% dan gas 15%. Ketiga, perusahaan independen; menguasai cadangan minyak 12% dan gas 5%.
Walhasil, minyak dan gas bumi Indonesia hampir 90% telah dikuasai oleh asing. Mereka semua adalah perusahaan multinasional asing.

Di pertambangan batu bara, perusahaan-perusahaan China dan India berduyun-duyun masuk dengan leluasa. Mereka menguasai tambang kecil dengan membiayai perusahaan-perusahaan tambang lokal yang kesulitan pendanaan.
Membaca data British Petroleum Statistical Review, sungguh miris. Indonesia yang hanya memiliki cadangan batu bara terbukti 4,3 miliar ton atau 0,5% dari total cadangan batu bara dunia, ternyata menjadi pemasok utama batu bara untuk China. Padahal, China memiliki cadangan batu bara terbukti 114,5 miliar ton atau setara 13,9% dari total cadangan batu bara dunia.
Semua itu terjadi lantaran liberalisasi di sektor tambang dan migas. Asal tahu saja, sejak 40 tahun lalu pemerintah telah membuka izin seluas-luasnya kepada perusahaan asing untuk mengelola tambang dan migas di Indonesia. Selama itu pula mereka menikmati keuntungan yang berlimpah.
Nah, akhir Februari lalu, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Isinya, asing harus menjual 51% ke investor lokal. Menurut aturan yang baru itu, asing hanya berhak atas 49% saham perusahaan tambang di Indonesia. Selebihnya harus dijual secara bertahap setelah lima tahun berproduksi atau harus tuntas pada tahun ke-10 sejak awal berproduksi.
Aturan itu merinci tahapan divestasinya. Ambil contoh, asing memiliki 100% saham perusahaan tambang di Indonesia. Mulai tahun keenam hingga tahun kesepuluh, dia harus menjual 10% saham per tahun hingga tahun kesepuluh jumlah saham yang dilego mencapai 51%.
Nah, yang pertama kali mendapatkan hak membeli jatah saham divestasi itu adalah pemerintah pusat. Jika tak sanggup, hak ini beralih ke pemerintah daerah. Bila daerah menyerah, BUMN dan BUMD dipersilakan masuk melalui mekanisme lelang. Kalau tak sanggup juga, investor lokal berhak membeli jatah divestasi itu.
Aturan tinggal aturan. Buktinya, tak satu pun perusahaan yang patuh padabeleid ini. Alasannya, kontrak karya yang telah disepakati sebelumnya dengan pemerintah.
Jadi, sampai kapan tambang dan migas Indonesia terus dikuasai oleh asing? Ah…, entahlah.
Ada pendapat lain yang mengungkapkan, Dalam seminar tentang kedaulatan energi yang bertempat di aula pasca sarjana Universitas Sriwijaya (Unsri) akhir pekan lalu sempat mencuat wacana perlunya pemerintah menasionalisasi perusahaan minyak asing di Indonesia.
Presiden Konferensi Serikat Pekerja Migas Indonesia (KSPMI) Faisal Yusra yang berbicara pada seminar tersebut mengungkapan, Indonesia perlu melakukan nasionalisasi perusahaan minyak yang beroperasi di negeri ini.
“85 persen industri minyak kita dikuasai sektor asing. Negara kita mudah dikendalikan negara lain,”ujarnya. Menurutnya, dari 1,3 juta barel kebutuhan minyak Indonesia, hanya 150 ribu barel saja yang benar-benar punya Pertamina.
Sisanya dikuasai oleh Seven Sister yakni tujuh perusahaan minyak asing seperti Shell, Chevron, Exxon, British Petroleum dan lainnya. Untuk itu, pemerintah diminta menasionalisasi perusahaan minyak yang ada di Indonesia.
Menurut Faisal ke depan perlunya kebangkitan energi nasional. Menurutnya, Pertamina sebenarnya mampu mengelola Blok Mahakam.
“Blok Natuna di Kepulauan Riau yang paling sulit saja kita bisa. Blok Natuna kandungan sulfurnya tinggi dan sangat dalam. Ini butuh teknologi tinggi dan biaya paling mahal,”ujarnya. Dia pun berpendapat lemahnya peran Pemerintah Indonesia dalam memperjuangkan kedaulatan energi negaranya.

Semoga bermanfaat bagi agan-agan.
Maaf kalo

kalo berkenan bagi


jangan di


silahkan komeng gan






0
10.6K
26


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan