- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Cerpen adik ane


TS
vrileuisadam
Cerpen adik ane
Adik suka bikin cerpen nih gan, nah nih gan salah satu cerpen adik ane
Episode kesan pertama
Pagi itu, mata Vivi terbuka paksa karna mendengar sesuatu di dalam rumahnya. Vivi terduduk, dan berusaha mengumpulkan seluruh kesadarannya. “Aduuh, ribut banget. Ada apaan sih?” tiba-tiba kuping Vivi mendengar, bentakan seorang laki-laki di kamar Bunda. Yang ruangannya, hanya dibatasi ruang perpustakaan besar di tengah kamar Vivi dan kamar Bundanya.
“Bunda!” teriak Vivi kaget.
Vivi langsung loncat dari tempat tidurnya, dan keluar dari kamarnya. Vivi mendobrak paksa, pintu kamar Bunda. Makin jelas terdengar, teriakan seorang laki-laki dan tangisan seorang perempuan. “Brengsek! Bunda!!” Vivi sangat khawatir, dan masuk ke kamar Bundanya. Terlihat, Ayah hampir saja melemparkan sebuah guci keramik pada Bunda, yang berada di bawah kakinya. “Bunda!” teriak Vivi sambil berlari dan ikut berlutut memegang tubuh Bundanya.
“Bunda, kenapa? Ada apa ini?” Tanya Vivi bertubi-tubi. Bunda hanya bisa menangis. Vivi menajamkan mata, ke arah Ayahnya yang masih saja mempertahankan guci keramik itu di tangannya. “Dasar laki-laki brengsek! Mau apa, kau. Hah? Belum cukup, penderitaan yang kamu kasih sama Mama? PERGI! AKU MOHON, KAU PERGI DARI KAMAR DAN RUMAH INI! AKU TAK SUDI MELIHAT WAJAH KEJAMMU!” bentak Vivi keras.
Lelaki itu cukup tersentak, mendengar bentakan Vivi. “Heuh, dasar anak sial!” geram Ayah tajam. Lalu pergi dari kamar. “Sayang, udah.. udah sayang. Jangan seperti itu. Bagaimanapun, itu Ayahmu Nak!” tegur Bunda sangat pelan, sambil memegang lengan Vivi. “Nggak Bun, nggak! Bunda salah! Sejak kecil, Vivi nggak pernah punya Ayah!” teriak Vivi sambil menangis dan keluar Dari kamar Bunda. Bunda sangat terpukul, dan hanya bisa menangis.
Setelah menyiapkan diri untuk berangkat sekolah, Vivi menyempatkan diri untuk memeriksa kamar Bunda kembali setelah insiden 1 jam yang lalu. Vivi membuka perlahan, pintu kamar. Ia melihat, Bunda terlelap di tempat tidur, dengan posisi berlawanan dengan Vivi.
Dengan pelan, Vivi menghampiri Bunda. “Syukur deh, Bunda bisa tenang tidur setelah masalah tadi,” ujar Vivi dengan nada yang sangat pelan. Ia mengangkat selimut Bunda, agar menutupi seluruh badannya kecuali kepala. Dan terakhir, mengecup kening Bunda dengan penuh kasih sayang. Lalu, Vivi keluar dari kamar Bunda.
Mata Bunda terbuka, beberapa detik saat Vivi keluar dari kamarnya, “Maafkan, Bunda sayang..” ujarnya sambil kembali mengeluarkan air mata.
“Bi, aku pergi dulu ya” pamit Vivi sambil memakai sepatunya asal-asalan. “Lho, Non Kiran. Kok nggak sarapan dulu? Sudah Bibi siapkan lho” tahan Bi Inah. Vivi hanya menggeleng. “Maaf ya Bi, aku lagi nggak nafsu sarapan. Aku berangkat, Bi. Tolong jagain Bunda, ya.” Pesan Vivi sambil tersenyum dan keluar dari rumahnya menuju mobilnya.
“Pak Yanuar. Mulai besok, nggak usah antar-jemput aku sekolah lagi ya?” ujar Vivi pada Pak Yanuar, supir pribadinya. “Lho, ada apa Non?” Tanya Pak Yanuar heran, walau matanya tetap berusaha konsentrasi pada jalan di depannya.
“Nggak papa, Pak. Mulai besok, aku mau nyetir sendiri aja. Bapak, jadi supir Bunda aja. Tolong mulai besok, antar Bunda kemanapun yang Bunda mau. Ya?” perintah Vivi. “Ba.. Baik, Non Kiran.” Pak Yanuar mengangguk mengerti.
Sampai di sekolah, Vivi berjalan di sekitar koridor sekolah dengan santai seperti biasanya. Tiba-tiba ada yang menubruknya dari belakang dengan sengaja. “Aduh” Vivi terdorong ke depan. Vivi hendak marah, ketika orang yang menabraknya duluan berbicara. “Apa? Mau marah?” Tanya orang itu, yang ternyata adalah seorang perempuan cantik. Yah, walau diakui cantikan Vivi sih. Tapi penampilannya sangat glamour.
Make up tebal, rambut pirang keritingan dari salon, kuku yang tajam dan berwarna, baju yang pendek dan ketat, serta rok 3 cm di atas lutut yang cukup mengundang perhatian para lelaki di sekolah itu. Hebatnya, nggak Cuma satu. Tapi ada 2 orang perempuan, yang berpenampilan sama persis di belakangnya. Sungguh menyedihkan..
Vivi terus memperhatikan keseluruhan dari mereka. “Apa lo liat-liat? Sirik sama penampilan kita, hah?!” bentak cewek glamour, yang bernama Seta itu. Vivi terperangah, namun tak membalas perkataan Seta. Mereka kontras sekali, dengan penampilan Vivi yang hanya bermodalkan bedak tipis dan rambut diikat ala kadarnya macam buntut kuda.
“Heuh, jadi ini nih. Anak baru, yang dibangga-banggain sama guru-guru di sekolah?” Tanya Seta, dengan nada acuh. “Ya ampun, apa mereka semua buta ya?” celetuk seorang lagi, di belakang Seta yang bernama Gina. “Hahaha, penampilan biasa gini. Nggak penting banget pake diomongin sesekolah segala. Emang dasarnya aja pada berlebihan!” tambah Heni, yang ada di sebelah Gina. Seta tersenyum remeh, dan menghampiri Vivi. Ia mengelilingi Vivi dan berhenti di samping Vivi. Vivi beruntung, ia lebih tinggi sekitar 4 cm dibanding Seta.
“Rambut, biasa. Cuma hitam lurus. Nggak istimewa. Badan, kurus, tinggi, dan.. rata! Oh, bukan dambaan cowok banget! Wajah, jelas cantikan gue dengan make up yang gue pake. Seragam, biasa-biasa aja. Nggak ngundang perhatian. Jadi, apa sih yang diliat dari lo? Semuanya, dalam kategori cuma-S-A!” ujarnya benar-benar meremehkan, keseluruhan penampilan Vivi. Tiba-tiba bel berdentang dengan kencangnya, menandakkan masuk kelas.
“Udah masuk! Eh, udah kan ngomongnya? Gue sibuk, mau belajar. Lain kali, bisa kok kita ngobrol lagi. Itupun, kalo gue masih mau ketemu sama lo! Daahhh…” Vivi berlari ke kelas.
Seta bener-bener gondok, diomongin begitu sama anak baru yang menurutnya ‘biasa’ itu. Heni dan Gina, cepat-cepat menenangkan nona besarnya itu dengan memegang pundak Seta dan menenangkannya. “Tunggu, yang akan gue lakukan sama lo anak baru sialan!” rutuk Seta kesal.
“Baik anak-anak. Hari ini Bapak akan membagi kelompok. Karna, minggu besok akan ada acara kemping yang diadakan oleh program IPA. Tentunya, untuk mengadakan penelitian lapangan” terang Pak Pitri. Guru Biologi, sekolah itu.
“Satu kelompok berapa orang, Pak? Terus, dipilihin siapa kelompoknya?” Tanya Tyo.
“Satu kelompok, terdiri dari 4 orang. Dan Bapak yang akan memilihkannya untuk kalian.” Ujar Pak Pitri tegas. Ia segera mengambil absen, dan mulai membagi kelompok. “Baiklah, kelompok terakhir adalah Faris Hermawan, Alviani Tirta Kirani Syahputra, Annisa Mutiarani, dan Risha Amelia. Vivi dan Faris tertegun sesaat.
Tiba-tiba, Faris mengacungkan tangan. “Ada apa, Faris?” Tanya Pak Pitri. “Pak, kenapa Cuma saya yang ditempatkan sama 3 perempuan? Yang lain kan, cowoknya lebih dari 1” protes Faris. “Maaf, Faris. Bapak pikir, lebih banyak perempuan yang membutuhkan kamu. Apalagi, Vivi. Dia kan, murid baru. Bapak titip dia sama kamu, dia kan masih butuh bimbingan. Tolong, kamu bantu dia semampu kamu ya, Faris.” Jelas pak Pitri.
Faris hanya mengangguk pasrah. Vivi diam dan tak berkomentar. Bel istirahatpun tiba. “Baiklah anak-anak, Bapak minta mulai sekarang kalian mulai mencari bahan yang akan diteliti disana bersama kelompok kalian. Bebas, asalkan tidak macam-macam. Bapak keluar ya” ujar Pak Pitri, sebelum keluar kelas.
Vivi menoleh pada Faris. “Vivi…!! Yee, kita bertiga sekelompok ya? Aku seneng deh!” ucap Risha sambil memeluk Vivi. Vivi hanya tersenyum. “Lo kenapa Ris? Kita bertiga, mohon bimbingan lo ya!” ujar Icha sambil mengulurkan tangannya. Faris hanya menatap Icha tajam, tanpa membalas uluran tangannya. “Heh, kalo lo emang nggak suka sekelompok sama kita atau tepatnya gue. Lo bilang deh, sama Pak Pitri. Gue mau kok keluar, siapa sih yang mau sekelompok sama orang sombong kayak lo! Udah, Cha. Nggak usah sok baik sama makhluk patung ini! Nggak guna!” bentak Vivi kesal, dan keluar dari kelas. Meninggalkan, Icha dan Risha yang masih kebingungan.
“Vi… Vivi.. Vivi!” teriak seseorang dari pintu kelas. “Ucup? Ada apa, Cup? Kok kayaknya, lo abis lari-lari gitu?” Tanya Vivi melihat, Ucup yang memanggil namanya sambil berusaha mengatur nafasnya yang senen-kemis.
“Ituh Vih.. heh.. heh.. loh.. dicarih… samah.. orang.. dih.. belakang.. sekolahh.. heuh” Ucup berkata dengan sangat lelah. Sampai-sampai, semua ucapannya berimbuh –h. “Gue? Sama siapa Cup? Kok harus di belakang sekolah gitu? Emangnya ada apa?” Tanya Vivi curiga. “Udah Vi, pokoknyah lo samperin dia gih. Dia kayaknya butuh lo banget. Dia lagi kesusahan tuh!” perintah Ucup. Nafasnya sudah mulai teratur.
Vivi tambah curiga. Tetapi, rasa kekhawatirannya atas ucapan Ucup tadi membuatnya ingin segera menolong orang tersebut. “Dimana, Cup?” Tanya Vivi lagi. “Di belakang sekolah, cepet deh!” ujar Ucup terburu-buru.
Vivi berlari ke arah belakang sekolah. Vivi berhenti, ia hanya melihat ada pepohonan lebat disana. Ia tidak melihat apapun, yang harus ditolongnya atau diajak bicara dengannya. “Ada apaan sih? Perasaan nggak ada apa-apa deh. Dasar Ucup! Iseng banget, sampe bohong-bohong segala! Harusnya tadi gue nggak usah percaya. Gue balik deh.” Sebelum ia berbalik, ada seseorang yang menarik tangannya, hingga punggungnya menabrak tembok.
“Aduh!” Vivi mengaduh karna punggungnya sakit.
“Mau kemana?” Tanya seorang lelaki.
“Elo? Mau apa lo?” Tanya Vivi kaget. Ia tidak menyangka, malah akan bertemu laki-laki yang baru saja dibentaknya siang tadi di kelas. Faris mengeratkan pegangannya, di bahu Vivi dan terus menahannya di tembok. Ia tertawa sejenak. “Apa sih mau lo manusia aneh? Denger ya, pasti ini semua kerjaan lo kan? Lo yang nyuruh Ucup ngebohongin gue, iya kan?!” tuduh Vivi kesal.
LANJUTANNYA DI POST SELANJUTNYA
nah gan lanjutannya nanti ane share lagi
nah gan minta tanggapan sama saran dari cerpen ade ane ya gan
Spoiler for Gantung :
Episode kesan pertama
Pagi itu, mata Vivi terbuka paksa karna mendengar sesuatu di dalam rumahnya. Vivi terduduk, dan berusaha mengumpulkan seluruh kesadarannya. “Aduuh, ribut banget. Ada apaan sih?” tiba-tiba kuping Vivi mendengar, bentakan seorang laki-laki di kamar Bunda. Yang ruangannya, hanya dibatasi ruang perpustakaan besar di tengah kamar Vivi dan kamar Bundanya.
“Bunda!” teriak Vivi kaget.
Vivi langsung loncat dari tempat tidurnya, dan keluar dari kamarnya. Vivi mendobrak paksa, pintu kamar Bunda. Makin jelas terdengar, teriakan seorang laki-laki dan tangisan seorang perempuan. “Brengsek! Bunda!!” Vivi sangat khawatir, dan masuk ke kamar Bundanya. Terlihat, Ayah hampir saja melemparkan sebuah guci keramik pada Bunda, yang berada di bawah kakinya. “Bunda!” teriak Vivi sambil berlari dan ikut berlutut memegang tubuh Bundanya.
“Bunda, kenapa? Ada apa ini?” Tanya Vivi bertubi-tubi. Bunda hanya bisa menangis. Vivi menajamkan mata, ke arah Ayahnya yang masih saja mempertahankan guci keramik itu di tangannya. “Dasar laki-laki brengsek! Mau apa, kau. Hah? Belum cukup, penderitaan yang kamu kasih sama Mama? PERGI! AKU MOHON, KAU PERGI DARI KAMAR DAN RUMAH INI! AKU TAK SUDI MELIHAT WAJAH KEJAMMU!” bentak Vivi keras.
Lelaki itu cukup tersentak, mendengar bentakan Vivi. “Heuh, dasar anak sial!” geram Ayah tajam. Lalu pergi dari kamar. “Sayang, udah.. udah sayang. Jangan seperti itu. Bagaimanapun, itu Ayahmu Nak!” tegur Bunda sangat pelan, sambil memegang lengan Vivi. “Nggak Bun, nggak! Bunda salah! Sejak kecil, Vivi nggak pernah punya Ayah!” teriak Vivi sambil menangis dan keluar Dari kamar Bunda. Bunda sangat terpukul, dan hanya bisa menangis.
Setelah menyiapkan diri untuk berangkat sekolah, Vivi menyempatkan diri untuk memeriksa kamar Bunda kembali setelah insiden 1 jam yang lalu. Vivi membuka perlahan, pintu kamar. Ia melihat, Bunda terlelap di tempat tidur, dengan posisi berlawanan dengan Vivi.
Dengan pelan, Vivi menghampiri Bunda. “Syukur deh, Bunda bisa tenang tidur setelah masalah tadi,” ujar Vivi dengan nada yang sangat pelan. Ia mengangkat selimut Bunda, agar menutupi seluruh badannya kecuali kepala. Dan terakhir, mengecup kening Bunda dengan penuh kasih sayang. Lalu, Vivi keluar dari kamar Bunda.
Mata Bunda terbuka, beberapa detik saat Vivi keluar dari kamarnya, “Maafkan, Bunda sayang..” ujarnya sambil kembali mengeluarkan air mata.
“Bi, aku pergi dulu ya” pamit Vivi sambil memakai sepatunya asal-asalan. “Lho, Non Kiran. Kok nggak sarapan dulu? Sudah Bibi siapkan lho” tahan Bi Inah. Vivi hanya menggeleng. “Maaf ya Bi, aku lagi nggak nafsu sarapan. Aku berangkat, Bi. Tolong jagain Bunda, ya.” Pesan Vivi sambil tersenyum dan keluar dari rumahnya menuju mobilnya.
“Pak Yanuar. Mulai besok, nggak usah antar-jemput aku sekolah lagi ya?” ujar Vivi pada Pak Yanuar, supir pribadinya. “Lho, ada apa Non?” Tanya Pak Yanuar heran, walau matanya tetap berusaha konsentrasi pada jalan di depannya.
“Nggak papa, Pak. Mulai besok, aku mau nyetir sendiri aja. Bapak, jadi supir Bunda aja. Tolong mulai besok, antar Bunda kemanapun yang Bunda mau. Ya?” perintah Vivi. “Ba.. Baik, Non Kiran.” Pak Yanuar mengangguk mengerti.
Sampai di sekolah, Vivi berjalan di sekitar koridor sekolah dengan santai seperti biasanya. Tiba-tiba ada yang menubruknya dari belakang dengan sengaja. “Aduh” Vivi terdorong ke depan. Vivi hendak marah, ketika orang yang menabraknya duluan berbicara. “Apa? Mau marah?” Tanya orang itu, yang ternyata adalah seorang perempuan cantik. Yah, walau diakui cantikan Vivi sih. Tapi penampilannya sangat glamour.
Make up tebal, rambut pirang keritingan dari salon, kuku yang tajam dan berwarna, baju yang pendek dan ketat, serta rok 3 cm di atas lutut yang cukup mengundang perhatian para lelaki di sekolah itu. Hebatnya, nggak Cuma satu. Tapi ada 2 orang perempuan, yang berpenampilan sama persis di belakangnya. Sungguh menyedihkan..
Vivi terus memperhatikan keseluruhan dari mereka. “Apa lo liat-liat? Sirik sama penampilan kita, hah?!” bentak cewek glamour, yang bernama Seta itu. Vivi terperangah, namun tak membalas perkataan Seta. Mereka kontras sekali, dengan penampilan Vivi yang hanya bermodalkan bedak tipis dan rambut diikat ala kadarnya macam buntut kuda.
“Heuh, jadi ini nih. Anak baru, yang dibangga-banggain sama guru-guru di sekolah?” Tanya Seta, dengan nada acuh. “Ya ampun, apa mereka semua buta ya?” celetuk seorang lagi, di belakang Seta yang bernama Gina. “Hahaha, penampilan biasa gini. Nggak penting banget pake diomongin sesekolah segala. Emang dasarnya aja pada berlebihan!” tambah Heni, yang ada di sebelah Gina. Seta tersenyum remeh, dan menghampiri Vivi. Ia mengelilingi Vivi dan berhenti di samping Vivi. Vivi beruntung, ia lebih tinggi sekitar 4 cm dibanding Seta.
“Rambut, biasa. Cuma hitam lurus. Nggak istimewa. Badan, kurus, tinggi, dan.. rata! Oh, bukan dambaan cowok banget! Wajah, jelas cantikan gue dengan make up yang gue pake. Seragam, biasa-biasa aja. Nggak ngundang perhatian. Jadi, apa sih yang diliat dari lo? Semuanya, dalam kategori cuma-S-A!” ujarnya benar-benar meremehkan, keseluruhan penampilan Vivi. Tiba-tiba bel berdentang dengan kencangnya, menandakkan masuk kelas.
“Udah masuk! Eh, udah kan ngomongnya? Gue sibuk, mau belajar. Lain kali, bisa kok kita ngobrol lagi. Itupun, kalo gue masih mau ketemu sama lo! Daahhh…” Vivi berlari ke kelas.
Seta bener-bener gondok, diomongin begitu sama anak baru yang menurutnya ‘biasa’ itu. Heni dan Gina, cepat-cepat menenangkan nona besarnya itu dengan memegang pundak Seta dan menenangkannya. “Tunggu, yang akan gue lakukan sama lo anak baru sialan!” rutuk Seta kesal.
“Baik anak-anak. Hari ini Bapak akan membagi kelompok. Karna, minggu besok akan ada acara kemping yang diadakan oleh program IPA. Tentunya, untuk mengadakan penelitian lapangan” terang Pak Pitri. Guru Biologi, sekolah itu.
“Satu kelompok berapa orang, Pak? Terus, dipilihin siapa kelompoknya?” Tanya Tyo.
“Satu kelompok, terdiri dari 4 orang. Dan Bapak yang akan memilihkannya untuk kalian.” Ujar Pak Pitri tegas. Ia segera mengambil absen, dan mulai membagi kelompok. “Baiklah, kelompok terakhir adalah Faris Hermawan, Alviani Tirta Kirani Syahputra, Annisa Mutiarani, dan Risha Amelia. Vivi dan Faris tertegun sesaat.
Tiba-tiba, Faris mengacungkan tangan. “Ada apa, Faris?” Tanya Pak Pitri. “Pak, kenapa Cuma saya yang ditempatkan sama 3 perempuan? Yang lain kan, cowoknya lebih dari 1” protes Faris. “Maaf, Faris. Bapak pikir, lebih banyak perempuan yang membutuhkan kamu. Apalagi, Vivi. Dia kan, murid baru. Bapak titip dia sama kamu, dia kan masih butuh bimbingan. Tolong, kamu bantu dia semampu kamu ya, Faris.” Jelas pak Pitri.
Faris hanya mengangguk pasrah. Vivi diam dan tak berkomentar. Bel istirahatpun tiba. “Baiklah anak-anak, Bapak minta mulai sekarang kalian mulai mencari bahan yang akan diteliti disana bersama kelompok kalian. Bebas, asalkan tidak macam-macam. Bapak keluar ya” ujar Pak Pitri, sebelum keluar kelas.
Vivi menoleh pada Faris. “Vivi…!! Yee, kita bertiga sekelompok ya? Aku seneng deh!” ucap Risha sambil memeluk Vivi. Vivi hanya tersenyum. “Lo kenapa Ris? Kita bertiga, mohon bimbingan lo ya!” ujar Icha sambil mengulurkan tangannya. Faris hanya menatap Icha tajam, tanpa membalas uluran tangannya. “Heh, kalo lo emang nggak suka sekelompok sama kita atau tepatnya gue. Lo bilang deh, sama Pak Pitri. Gue mau kok keluar, siapa sih yang mau sekelompok sama orang sombong kayak lo! Udah, Cha. Nggak usah sok baik sama makhluk patung ini! Nggak guna!” bentak Vivi kesal, dan keluar dari kelas. Meninggalkan, Icha dan Risha yang masih kebingungan.
“Vi… Vivi.. Vivi!” teriak seseorang dari pintu kelas. “Ucup? Ada apa, Cup? Kok kayaknya, lo abis lari-lari gitu?” Tanya Vivi melihat, Ucup yang memanggil namanya sambil berusaha mengatur nafasnya yang senen-kemis.
“Ituh Vih.. heh.. heh.. loh.. dicarih… samah.. orang.. dih.. belakang.. sekolahh.. heuh” Ucup berkata dengan sangat lelah. Sampai-sampai, semua ucapannya berimbuh –h. “Gue? Sama siapa Cup? Kok harus di belakang sekolah gitu? Emangnya ada apa?” Tanya Vivi curiga. “Udah Vi, pokoknyah lo samperin dia gih. Dia kayaknya butuh lo banget. Dia lagi kesusahan tuh!” perintah Ucup. Nafasnya sudah mulai teratur.
Vivi tambah curiga. Tetapi, rasa kekhawatirannya atas ucapan Ucup tadi membuatnya ingin segera menolong orang tersebut. “Dimana, Cup?” Tanya Vivi lagi. “Di belakang sekolah, cepet deh!” ujar Ucup terburu-buru.
Vivi berlari ke arah belakang sekolah. Vivi berhenti, ia hanya melihat ada pepohonan lebat disana. Ia tidak melihat apapun, yang harus ditolongnya atau diajak bicara dengannya. “Ada apaan sih? Perasaan nggak ada apa-apa deh. Dasar Ucup! Iseng banget, sampe bohong-bohong segala! Harusnya tadi gue nggak usah percaya. Gue balik deh.” Sebelum ia berbalik, ada seseorang yang menarik tangannya, hingga punggungnya menabrak tembok.
“Aduh!” Vivi mengaduh karna punggungnya sakit.
“Mau kemana?” Tanya seorang lelaki.
“Elo? Mau apa lo?” Tanya Vivi kaget. Ia tidak menyangka, malah akan bertemu laki-laki yang baru saja dibentaknya siang tadi di kelas. Faris mengeratkan pegangannya, di bahu Vivi dan terus menahannya di tembok. Ia tertawa sejenak. “Apa sih mau lo manusia aneh? Denger ya, pasti ini semua kerjaan lo kan? Lo yang nyuruh Ucup ngebohongin gue, iya kan?!” tuduh Vivi kesal.
LANJUTANNYA DI POST SELANJUTNYA
nah gan lanjutannya nanti ane share lagi
nah gan minta tanggapan sama saran dari cerpen ade ane ya gan

0
1.1K
Kutip
7
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan