

TS
radicalz
ANTARA MAMAK, AMRU DAN BEKAS KESATUANNYA
Quote:
SEBELAS tahun lalu Rosma boru Hasibuan lega melihat putera sulungnya muncul di ambang pintu. Baju pemuda tanggung itu dekil. Di tangan kanannya ada sebungkus pecal yang tadi dibelinya di pasar. Amru Daulay berkelahi lagi dengan anak-anak kampung tetangga.
Rosma mendengar Amru berkelahi dari si bungsu Razali Daulay. Kata Razali, sang abang dikeroyok beberapa anak kampung Payah Roba, dekat rel kereta api yang membatasi Payah Roba dan Limau Sunde, kampung keluarga Daulay. Perkampungan itu letaknya tak begitu jauh dari pusat kota Binjai --sebuah kota ukuran sedang sekitar 22 kilometer barat Medan, Sumatera Utara.
Tadinya Amru dan Razali naik sepeda berboncengan untuk membeli pecal. Mereka dicegat sekelompok anak yang bermusuhan dengan Amru. Razali kecil pulang awal. Abangnya mengatakan, “Kau pergi selamatkan sepeda kita ini. Biar aku hantam mereka!”
Amru tak terluka, tapi menurut Rosma kepada saya belum lama ini, Amru kalah dalam perkelahian tak berimbang itu, pun begitu masih sempat pula dia membeli pecal untuk lauk mereka sore itu.
Amru dan Razali cuma dua bersaudara. Ayah mereka Sangkot Daulay, seorang penjual ikan atau terkadang membawa becak mesin. Rosma lebih besar penghasilannya. Dia punya gaji sebagai guru dan punya kebun coklat serta pisang setengah hektar.
Sejak sekolah dasar Amru sering berkelahi. Meski nakal di luar rumah, Amru lebih patuh pada ibunya ketimbang Razali yang cenderung manja. Amru gampang terpengaruh teman. Dia tidak menolak jika diajak berantem dengan anak-anak lain. Atau membolos sekolah teknik menengahnya untuk jualan ikan tanpa sepengetahuan orangtua. Keinginan Amru paling besar adalah jadi orang kaya.
Dalam kekesalannya, Amru pernah berkata pada ibunya, “Aku Mak, kalau tamat STM nih, aku masuk tentara saja. Biar orang tak sembarangan lagi sama aku dan keluarga kita.”
Kini Amru Daulay memang berhasil jadi tentara dengan pangkat sersan dua di Bataliyon Lintas Udara (Linud) 100/Prajurit Setia (PS) yang bermarkas di Namu Sira-Sira, Binjai. Dia komandan regu pada Kompi Senapan A dengan anak buah sembilan orang.
Bataliyon Linud 100 merupakan pasukan pemukul Komando Daerah Militer (Kodam) Bukit Barisan yang bermarkas di Medan. Pasukannya mempunyai spesialisasi menyerang musuh dari udara. Mereka menyergap dengan cara terjun melalui helikopter atau pesawat. Mereka dianggap pasukan elit karena kemampuan tempurnya tinggi. Jumlah pasukannya sekitar 700-an personil. Nama “Prajurit Setia” diartikan sebagai bentuk kesetiaan mereka pada nusa dan bangsa.
Amru selalu membanggakan kemampuan menembaknya. Tapi keterlibatannya dalam peristiwa memalukan 30 September lalu justru mengakhiri karir tentaranya. Dia dan 19 temannya mendekam di rumah tahanan militer Medan.
Sersan Dua Amru Daulay bersama ratusan prajurit Linud 100, pada Minggu dini hari itu, menyerang markas polisi resort (polres) Binjai dan brigade mobil (brimob) Binjai. Beda dengan perkelahian kampung, kali ini Amru justru mengeroyok polisi dalam sebuah aksi bak perang sungguhan. Menurut jurubicara Kodam Bukit Barisan Letnan Kolonel Nurdin Sulistyo, dalam pertikaian tak berimbang itu, empat anggota Brimob, dua polisi, satu tentara dari Artileri Pertahanan Udara (Arhanud) dan tiga warga tewas. Puluhan lainnya luka-luka.
SABTU 28 September lalu adalah hari ulang tahun pertama Ayu Daulay, putri satu-satunya Amru Daulay dan Nur Asiah, perempuan berusia 23 tahun yang dinikahi Amru tiga tahun lalu. Tak ada pesta, kecuali acara potong kue dan doa selamat dari kedua keluarga mereka yang berkumpul di rumah mertua Amru di Payah Roba.
Amru baru seminggu kembali dari kursus militer di Pematang Siantar. Tiga minggu dia meninggalkan keluarganya. Ini hal biasa bagi seorang tentara untuk pergi jauh untuk tugas. Antara 1999-2000, saat umur Ayu tiga bulan, Amru pergi ikut operasi militer setahun di Aceh. Ketika pulang, putrinya sudah bisa berjalan. Amru bahkan tak sempat melihat Sangkot Daulay meninggal.
Malam itu juga ada pesta pernikahan salah seorang anggota Bataliyon Linud 100 di Pasar Sepuluh, Tandem, sebuah kawasan pinggiran Binjai. Banyak tentara, termasuk Amru, datang dan bergadang hingga larut malam, menikmati hiburan musik keyboard.
Di tengah pesta Amru mendengar kabar Prajurit Satu Abdul Rahmat dan Prajurit Satu Hilman ditembak polisi. Keduanya teman satu kompi Amru. Menurut Amru Daulay dalam wawancara dengan saya di penjara militer, keduanya dikabarkan kritis bahkan diisukan tewas. Kebanyakan tentara yang ada di pesta itu marah. “Masak kita diam saja teman kita ditembak polisi? Dimana harga diri kita?”
Polisi dan tentara biasa ribut, bukan saja di Binjai, tapi di banyak tempat di seluruh Indonesia. Di Binjai kejadian itu juga bukan yang pertama. Sebelumnya seorang anggota Linud dikeroyok lima Brimob karena rebutan perempuan. Keributan juga pernah terjadi di sebuah kafe karena urusan judi togel dan obat terlarang. Keributan-keributan kecil ini, walau tak berbuntut panjang, toh menimbulkan kekesalan dan sentimen antar korps.
Abdul Rahmat teman baik Amru. Mereka berteman akrab sejak pangkat Amru masih prajurit rendahan. Mereka tinggal di barak lajang dan sama-sama merasakan kerasnya latihan militer. Mereka juga merasakan ketegangan antara hidup dan mati saat baku tembak dengan gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka.
Malam itu, Amru memutuskan pulang ke rumahnya di asrama Linud, tanpa menjemput istri dan putrinya, yang tertinggal di rumah mertua. Dia gusar mendengar kawannya ditembak polisi.
SABTU pagi, atau 12 jam sebelum pesta Pasar Sepuluh, sekelompok pemuda meneror tiga rumah yang terletak di samping komplek perumahan mewah Great Wall Binjai. Para pemilik rumah itu bersengketa dengan perusahaan perumahan Great Wall. Logikanya, mereka tak bersedia pindah karena tak sepakat dengan harga ganti rugi. Pemuda-pemuda itu anggota organisasi kepemudaan Angkatan Muda Pembaruan Indonesia, sebuah onderbouw Partai Golongan Karya. Mereka melempari rumah dan mengobrak-abriknya hingga rusak berat.
Si pemilik rumah mengadu ke polisi dan menuduh Great Wall sebagai dalangnya. Polisi bertindak dan menangkap empat orang pelaku: Alan, Zul Irham, Imul, dan Marwan Rangkuti.
Marwan Rangkuti ditangkap di sebuah warung minuman, di simpang Rambung, pada Sabtu sore. Simpang Rambung ini merupakan persimpangan jalan menuju markas Bataliyon Linud 100. Warung sederhana itu sering dijadikan tempat mangkal anak-anak muda, untuk ngobrol sampai mabuk-mabukan.
Sabtu sore sekitar pukul enam, satu regu polisi dengan mengendarai mobil Daihatsu Taft dan Toyota Kijang datang menangkap Marwan Rangkuti. Prajurit Satu Abdul Rahmat kebetulan ada di sana. Marwan kawan Abdul Rahmat.
Dalam dakwaan jaksa militer pada persidangan Abdul Rahmat dan kawan-kawan di Mahkamah Militer Medan, 6 November lalu, disebutkan terjadi perselisihan ketika Marwan ditangkap. Abdul Rahmat spontan mendatangi polisi, “Ada apa ini Bang?”
“Ini urusan polisi!” jawab salah seorang polisi.
“Saya juga anggota. Dari Linud. Apa masalahnya?”
“Nggak ada Linud-Linud disini. Mau kupanggil Brimob?” hardik polisi Brigadir Satu Handoko.
Handoko, salah seorang serse Polres Binjai. Dia tanpa basa-basi langsung mengeluarkan pistol dan melepaskan tembakan ke udara.
Abdul Rahmat lari dengan sepeda motornya. Dia merasa marah karena merasa diremehkan. Dia pulang ke bataliyon mencari sejumlah teman dan mengajak mereka mendatangi polisi yang menangkap Marwan.
Pukul 20.30 dengan naik lima sepeda motor, Abdul Rahmat dan sembilan anggota Linud mendatangi Polres Binjai. Kantor polisi tak begitu ramai karena sudah malam tapi sejumlah serse dan polisi jaga masih ada di sana.
Abdul Rahmat dan empat temannya masuk. Lima lainnya menunggu dekat pos jaga. Mereka berpakaian biasa dan membawa senjata pisau.
Kedatangan mereka memicu kegaduhan. Mereka mencari Handoko. Tapi Handoko tak ada. Polisi lain berkeluaran dari ruang kerja mereka.
Seorang anggota Linud berteriak, ”Mana kawan kami? Keluarkan si Marwan.”
Marwan ada dalam sel. Malam itu dia ditahan karena dalam pemeriksaan, polisi juga menemukan sembilan butir pil ecstasy dalam saku celananya. Alan, Imul dan Irham sudah dilepas beberapa jam sebelumnya.
Terjadi adu mulut dan semua berlangsung cepat hingga salah seorang tentara menyambarkan pisaunya ke tangan Inspektur Dua Haris Simbolon, seorang anggota serse yang mencoba menghalangi rombongan itu membebaskan Marwan.
Mendengar ribut-ribut, kepala satuan serse Ajun Komisaris Polisi Togu Simanjuntak keluar dan mendatangi sekelompok tentara yang sedang marah-marah itu.
“Dari mana kamu?” tanya Simanjuntak marah sambil memukul Abdul Rahmat hingga jatuh.
Rahmat marah dan mencabut pisau yang terselip di pinggangnya.
Simanjuntak tak kalah gertak, cepat menyambar pistol. “Nanti kutembak kau,” ancamnya.
Abdul Rahmat justru mengayunkan pisau ke kepala Simanjuntak. Daun telinga kiri
Simanjuntak tersabet hingga nyaris putus. Simanjuntak melepaskan tembakan ke arah kaki dan dada Rahmat. Dia roboh ke tanah. Polisi lain beramai-ramai menendang dan menginjak tubuh Rahmat hingga babak belur. Kedua kakinya patah dan giginya copot.
Melihat Rahmat jatuh, Prajurit Satu Hilman berusaha menolong, tapi salah seorang polisi menembak lutut kirinya dari belakang. Hilman jatuh tapi bisa melarikan diri bersama teman-temannya.
Polisi mengejar mereka sambil menembakkan pistol. Peluru kedua bersarang di paha kanan Hilman. Tak sanggup lagi berlari, Hilman roboh dekat markas polisi militer, yang berjarak sekitar 100 meter dari Polres Binjai. Sabtu malam itu, delapan tentara lain menyelamatkan diri entah ke mana.
SEPANJANG Minggu 29 September, markas Bataliyon Linud 100 tampak lengang. Kebanyakan prajurit, terutama yang lajang, berada di luar markas. Setiap Sabtu sore hingga Minggu malam, tentara di sana mendapat izin bermalam di luar markas.
SAMBUNGAN DIBAWAH
Rosma mendengar Amru berkelahi dari si bungsu Razali Daulay. Kata Razali, sang abang dikeroyok beberapa anak kampung Payah Roba, dekat rel kereta api yang membatasi Payah Roba dan Limau Sunde, kampung keluarga Daulay. Perkampungan itu letaknya tak begitu jauh dari pusat kota Binjai --sebuah kota ukuran sedang sekitar 22 kilometer barat Medan, Sumatera Utara.
Tadinya Amru dan Razali naik sepeda berboncengan untuk membeli pecal. Mereka dicegat sekelompok anak yang bermusuhan dengan Amru. Razali kecil pulang awal. Abangnya mengatakan, “Kau pergi selamatkan sepeda kita ini. Biar aku hantam mereka!”
Amru tak terluka, tapi menurut Rosma kepada saya belum lama ini, Amru kalah dalam perkelahian tak berimbang itu, pun begitu masih sempat pula dia membeli pecal untuk lauk mereka sore itu.
Amru dan Razali cuma dua bersaudara. Ayah mereka Sangkot Daulay, seorang penjual ikan atau terkadang membawa becak mesin. Rosma lebih besar penghasilannya. Dia punya gaji sebagai guru dan punya kebun coklat serta pisang setengah hektar.
Sejak sekolah dasar Amru sering berkelahi. Meski nakal di luar rumah, Amru lebih patuh pada ibunya ketimbang Razali yang cenderung manja. Amru gampang terpengaruh teman. Dia tidak menolak jika diajak berantem dengan anak-anak lain. Atau membolos sekolah teknik menengahnya untuk jualan ikan tanpa sepengetahuan orangtua. Keinginan Amru paling besar adalah jadi orang kaya.
Dalam kekesalannya, Amru pernah berkata pada ibunya, “Aku Mak, kalau tamat STM nih, aku masuk tentara saja. Biar orang tak sembarangan lagi sama aku dan keluarga kita.”
Kini Amru Daulay memang berhasil jadi tentara dengan pangkat sersan dua di Bataliyon Lintas Udara (Linud) 100/Prajurit Setia (PS) yang bermarkas di Namu Sira-Sira, Binjai. Dia komandan regu pada Kompi Senapan A dengan anak buah sembilan orang.
Bataliyon Linud 100 merupakan pasukan pemukul Komando Daerah Militer (Kodam) Bukit Barisan yang bermarkas di Medan. Pasukannya mempunyai spesialisasi menyerang musuh dari udara. Mereka menyergap dengan cara terjun melalui helikopter atau pesawat. Mereka dianggap pasukan elit karena kemampuan tempurnya tinggi. Jumlah pasukannya sekitar 700-an personil. Nama “Prajurit Setia” diartikan sebagai bentuk kesetiaan mereka pada nusa dan bangsa.
Amru selalu membanggakan kemampuan menembaknya. Tapi keterlibatannya dalam peristiwa memalukan 30 September lalu justru mengakhiri karir tentaranya. Dia dan 19 temannya mendekam di rumah tahanan militer Medan.
Sersan Dua Amru Daulay bersama ratusan prajurit Linud 100, pada Minggu dini hari itu, menyerang markas polisi resort (polres) Binjai dan brigade mobil (brimob) Binjai. Beda dengan perkelahian kampung, kali ini Amru justru mengeroyok polisi dalam sebuah aksi bak perang sungguhan. Menurut jurubicara Kodam Bukit Barisan Letnan Kolonel Nurdin Sulistyo, dalam pertikaian tak berimbang itu, empat anggota Brimob, dua polisi, satu tentara dari Artileri Pertahanan Udara (Arhanud) dan tiga warga tewas. Puluhan lainnya luka-luka.
SABTU 28 September lalu adalah hari ulang tahun pertama Ayu Daulay, putri satu-satunya Amru Daulay dan Nur Asiah, perempuan berusia 23 tahun yang dinikahi Amru tiga tahun lalu. Tak ada pesta, kecuali acara potong kue dan doa selamat dari kedua keluarga mereka yang berkumpul di rumah mertua Amru di Payah Roba.
Amru baru seminggu kembali dari kursus militer di Pematang Siantar. Tiga minggu dia meninggalkan keluarganya. Ini hal biasa bagi seorang tentara untuk pergi jauh untuk tugas. Antara 1999-2000, saat umur Ayu tiga bulan, Amru pergi ikut operasi militer setahun di Aceh. Ketika pulang, putrinya sudah bisa berjalan. Amru bahkan tak sempat melihat Sangkot Daulay meninggal.
Malam itu juga ada pesta pernikahan salah seorang anggota Bataliyon Linud 100 di Pasar Sepuluh, Tandem, sebuah kawasan pinggiran Binjai. Banyak tentara, termasuk Amru, datang dan bergadang hingga larut malam, menikmati hiburan musik keyboard.
Di tengah pesta Amru mendengar kabar Prajurit Satu Abdul Rahmat dan Prajurit Satu Hilman ditembak polisi. Keduanya teman satu kompi Amru. Menurut Amru Daulay dalam wawancara dengan saya di penjara militer, keduanya dikabarkan kritis bahkan diisukan tewas. Kebanyakan tentara yang ada di pesta itu marah. “Masak kita diam saja teman kita ditembak polisi? Dimana harga diri kita?”
Polisi dan tentara biasa ribut, bukan saja di Binjai, tapi di banyak tempat di seluruh Indonesia. Di Binjai kejadian itu juga bukan yang pertama. Sebelumnya seorang anggota Linud dikeroyok lima Brimob karena rebutan perempuan. Keributan juga pernah terjadi di sebuah kafe karena urusan judi togel dan obat terlarang. Keributan-keributan kecil ini, walau tak berbuntut panjang, toh menimbulkan kekesalan dan sentimen antar korps.
Abdul Rahmat teman baik Amru. Mereka berteman akrab sejak pangkat Amru masih prajurit rendahan. Mereka tinggal di barak lajang dan sama-sama merasakan kerasnya latihan militer. Mereka juga merasakan ketegangan antara hidup dan mati saat baku tembak dengan gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka.
Malam itu, Amru memutuskan pulang ke rumahnya di asrama Linud, tanpa menjemput istri dan putrinya, yang tertinggal di rumah mertua. Dia gusar mendengar kawannya ditembak polisi.
SABTU pagi, atau 12 jam sebelum pesta Pasar Sepuluh, sekelompok pemuda meneror tiga rumah yang terletak di samping komplek perumahan mewah Great Wall Binjai. Para pemilik rumah itu bersengketa dengan perusahaan perumahan Great Wall. Logikanya, mereka tak bersedia pindah karena tak sepakat dengan harga ganti rugi. Pemuda-pemuda itu anggota organisasi kepemudaan Angkatan Muda Pembaruan Indonesia, sebuah onderbouw Partai Golongan Karya. Mereka melempari rumah dan mengobrak-abriknya hingga rusak berat.
Si pemilik rumah mengadu ke polisi dan menuduh Great Wall sebagai dalangnya. Polisi bertindak dan menangkap empat orang pelaku: Alan, Zul Irham, Imul, dan Marwan Rangkuti.
Marwan Rangkuti ditangkap di sebuah warung minuman, di simpang Rambung, pada Sabtu sore. Simpang Rambung ini merupakan persimpangan jalan menuju markas Bataliyon Linud 100. Warung sederhana itu sering dijadikan tempat mangkal anak-anak muda, untuk ngobrol sampai mabuk-mabukan.
Sabtu sore sekitar pukul enam, satu regu polisi dengan mengendarai mobil Daihatsu Taft dan Toyota Kijang datang menangkap Marwan Rangkuti. Prajurit Satu Abdul Rahmat kebetulan ada di sana. Marwan kawan Abdul Rahmat.
Dalam dakwaan jaksa militer pada persidangan Abdul Rahmat dan kawan-kawan di Mahkamah Militer Medan, 6 November lalu, disebutkan terjadi perselisihan ketika Marwan ditangkap. Abdul Rahmat spontan mendatangi polisi, “Ada apa ini Bang?”
“Ini urusan polisi!” jawab salah seorang polisi.
“Saya juga anggota. Dari Linud. Apa masalahnya?”
“Nggak ada Linud-Linud disini. Mau kupanggil Brimob?” hardik polisi Brigadir Satu Handoko.
Handoko, salah seorang serse Polres Binjai. Dia tanpa basa-basi langsung mengeluarkan pistol dan melepaskan tembakan ke udara.
Abdul Rahmat lari dengan sepeda motornya. Dia merasa marah karena merasa diremehkan. Dia pulang ke bataliyon mencari sejumlah teman dan mengajak mereka mendatangi polisi yang menangkap Marwan.
Pukul 20.30 dengan naik lima sepeda motor, Abdul Rahmat dan sembilan anggota Linud mendatangi Polres Binjai. Kantor polisi tak begitu ramai karena sudah malam tapi sejumlah serse dan polisi jaga masih ada di sana.
Abdul Rahmat dan empat temannya masuk. Lima lainnya menunggu dekat pos jaga. Mereka berpakaian biasa dan membawa senjata pisau.
Kedatangan mereka memicu kegaduhan. Mereka mencari Handoko. Tapi Handoko tak ada. Polisi lain berkeluaran dari ruang kerja mereka.
Seorang anggota Linud berteriak, ”Mana kawan kami? Keluarkan si Marwan.”
Marwan ada dalam sel. Malam itu dia ditahan karena dalam pemeriksaan, polisi juga menemukan sembilan butir pil ecstasy dalam saku celananya. Alan, Imul dan Irham sudah dilepas beberapa jam sebelumnya.
Terjadi adu mulut dan semua berlangsung cepat hingga salah seorang tentara menyambarkan pisaunya ke tangan Inspektur Dua Haris Simbolon, seorang anggota serse yang mencoba menghalangi rombongan itu membebaskan Marwan.
Mendengar ribut-ribut, kepala satuan serse Ajun Komisaris Polisi Togu Simanjuntak keluar dan mendatangi sekelompok tentara yang sedang marah-marah itu.
“Dari mana kamu?” tanya Simanjuntak marah sambil memukul Abdul Rahmat hingga jatuh.
Rahmat marah dan mencabut pisau yang terselip di pinggangnya.
Simanjuntak tak kalah gertak, cepat menyambar pistol. “Nanti kutembak kau,” ancamnya.
Abdul Rahmat justru mengayunkan pisau ke kepala Simanjuntak. Daun telinga kiri
Simanjuntak tersabet hingga nyaris putus. Simanjuntak melepaskan tembakan ke arah kaki dan dada Rahmat. Dia roboh ke tanah. Polisi lain beramai-ramai menendang dan menginjak tubuh Rahmat hingga babak belur. Kedua kakinya patah dan giginya copot.
Melihat Rahmat jatuh, Prajurit Satu Hilman berusaha menolong, tapi salah seorang polisi menembak lutut kirinya dari belakang. Hilman jatuh tapi bisa melarikan diri bersama teman-temannya.
Polisi mengejar mereka sambil menembakkan pistol. Peluru kedua bersarang di paha kanan Hilman. Tak sanggup lagi berlari, Hilman roboh dekat markas polisi militer, yang berjarak sekitar 100 meter dari Polres Binjai. Sabtu malam itu, delapan tentara lain menyelamatkan diri entah ke mana.
SEPANJANG Minggu 29 September, markas Bataliyon Linud 100 tampak lengang. Kebanyakan prajurit, terutama yang lajang, berada di luar markas. Setiap Sabtu sore hingga Minggu malam, tentara di sana mendapat izin bermalam di luar markas.
SAMBUNGAN DIBAWAH
0
6.2K
Kutip
16
Balasan
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan