- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Bagian 3 : Saat Investor Terbang Lepas dari Jakarta?
TS
santet_urang
Bagian 3 : Saat Investor Terbang Lepas dari Jakarta?
Quote:
VIVAnews – Suaranya melengking. Nadanya sengit. Dia berang kepada Gubernur Joko Widodo yang menaikkan upah minimal buruh Jakarta sampai 44 persen.
Bagaimana tidak, katanya. Pengusaha yang tadinya hanya membayar gaji Rp1,5 juta kini mendadak jadi Rp2,2 juta. Kalau satu-dua orang mungkin tak masalah. Tapi kalau ribuan, bisnis bisa terpukul.
“Ini sangat memberatkan kami,” kata Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi kepada VIVAnews.
Karena keberatan inilah, menurut Sofjan setidaknya ada 90 perusahaan di Jakarta sudah menyatakan akan merelokasi pabrik mereka ke daerah atau negara lain. Bahkan, 40 di antaranya sudah memastikan akan hengkang dari Kawasan Berikat Nusantara, Cakung, Jakarta Timur.
Kata Sofjan, mereka perusahaan dalam dan luar negeri yang rata-rata merupakan perusahaan padat karya dan masing-masing mempekerjakan sedikitnya seribuan buruh lokal. Mayoritas perusahaan garmen. Hanya satu-dua perusahaan yang produsen sepatu, komponen mobil, dan elektronik.
Memang, relokasi tidak akan terjadi segera. Mereka harus mencari lahan baru dan menyiapkan infrastruktur lain, termasuk calon buruh pengganti. “Paling tidak butuh sembilan bulan,” kata Sofjan. “Mereka sedang mengincar lahan di Jawa Tengah dan Jawa Timur.”
Jumlah itu bisa jadi lebih besar lagi. Soalnya, menurut pengusaha baterai Yuasa ini, relokasi direncanakan diam-diam. Tak ada laporan dan pernyataan resmi. Pasalnya, pengusaha takut bakal terjadi keributan di pabrik mereka.
Jika relokasi ini benar terjadi, buntutnya bakal panjang. Menurut hitungan Sofjan, lebih kurang 100 ribu buruh di Jakarta bakal jadi pengangguran.
Hitungannya tak rumit. Satu perusahaan garmen, misalnya, rata-rata punya lebih dari seribu buruh. Jadi, tinggal dikalikan saja kalau benar ada 90 perusahaan bakal hengkang. “Ini tentu memberatkan pemerintah,” Sofjan mengingatkan.
Di sisi lain, wilayah yang jadi tujuan relokasi akan mengalami masalah kekurangan buruh. Sofjan mengatakan memindahkan puluhan ribu buruh tak semudah merelokasi pabrik. Buruh Jakarta yang gajinya sudah tinggi tak mungkin mau pindah ke wilayah lain yang gajinya lebih rendah. Akibatnya, kualitas sumber daya manusia di perusahaan jadi tak begitu bagus, karena harus merekrut apa adanya yang tersedia. Buntutnya, situasi ini akan merugikan perusahaan.
Tapi, lain Sofjan lain Jokowi. Sang Gubernur menepis kabar bakal hengkangnya puluhan perusahaan itu. “Itu semua tidak ada. Saya sudah cek langsung,” katanya.
Kalaupun ada yang melebarkan sayap bisnisnya ke daerah, menurut dia itu justru bagus supaya pembangunan jadi merata dan tidak terpusat di Jakarta. Tidak ada yang perlu diresahkan. Jokowi yang selama 23 tahun menekuni bisnis furnitur mengaku paham jiwa kaum pengusaha. "Mereka bergerak cepat, tidak seperti pemerintah yang mungkin lambat," katanya.
Namun, ekonom Universitas Gadjah Mada Sri Adiningsih berpendapat persoalannya tak seenteng itu. Menurut dia pemerintah daerah perlu membangun iklim investasi yang baik, yang pro investor. Standar upah antar wilayah yang berbeda tak pelak membuat wilayah tertentu sangat rawan ditinggalkan penanam modal. “Mereka akan mencari daerah yang ongkos produksinya rendah dan berdekatan,” ujar dia.
Buruh memang bukan satu-satunya faktor. Masih banyak faktor lain yang jadi penunjang, seperti infrastruktur, ketersediaan moda transportasi, kualitas sumber daya manusia, termasuk pungli. “Pemda harus menciptakan nilai tambah lain agar tak ditinggal investor,” katanya.
Memang, bila dibandingkan dengan wilayah lain, Jakarta memiliki upah minimum yang tergolong tinggi. Jawa Tengah, misalnya. Provinsi dengan penduduk 37,45 juta jiwa ini menetapkan upah minimum Rp830 ribu per orang, hampir sepertiga dari Jakarta.
Menurut data Badan Pusat Statistik, pertumbuhan ekonomi di Jawa Tengah juga menjanjikan. Besaran Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) provinsi ini pada 2012 mencapai Rp556,5 triliun dengan pertumbuhan 6,3 persen. Dari sisi produksi, semua sektor mengalami pertumbuhan positif, dengan pertumbuhan tertinggi di sektor keuangan, real estat, dan jasa.
Sementara itu Jawa Timur memiliki upah minimum Rp866,25 ribu. Hampir sama dengan Jawa Tengah. Wilayah berpenduduk 41,4 juta jiwa ini juga memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi lagi, 7,27 persen.
Wilayah Jawa Timur juga strategis untuk industri karena memiliki pelabuhan besar. Selain itu, sama seperti Jawa Tengah, semua sektor mengalami pertumbuhan positif, dengan kenaikan tertinggi di sektor perdagangan, hotel, dan restoran.
Yang bisa lebih cilaka lagi, tingginya upah buruh bukan satu-satunya yang memelorotkan daya saing Jakarta. Ongkos produksi di wilayah Ibukota juga sudah begitu mahal, bahkan jauh lebih mahal dibandingkan Filipina, Bangladesh, Vietnam, Kamboja, bahkan China.
Di Jakarta, pada tahun ini saja sudah terjadi kenaikan tarif listrik dan gas. Tarif listrik industri naik 25 persen sejak Januari. Sedangkan harga gas naik 35 persen pada September lalu dan lalu 15 persen lagi pada April ini.
Produktivitas buruh di Jakarta juga ternyata tergolong rendah. Di wilayah Ibukota, jam kerja normal buruh cuma 40 jam, sisanya harus dihitung lembur. Padahal, di Vietnam 48 jam. “Lalu, gaji kita ada plus-plusnya, seperti Jamsostek, uang makan, dan transportasi,” kata Sofjan.
Membuat keadaan jadi lebih parah, biaya siluman di Jakarta tergolong nauzubillah dan bikin ongkos produksi melambung. Alhasil, bila di luar negeri biaya logistik dan administrasi hanya 5 persen, di Jakarta bisa melonjak jadi 15 persen.
Ibarat burung, Gubernur Jokowi harus hati-hati menangani investor. Dipegang terlalu keras mereka akan mati, jika terlampau longgar akan terbang lepas.
Bagaimana tidak, katanya. Pengusaha yang tadinya hanya membayar gaji Rp1,5 juta kini mendadak jadi Rp2,2 juta. Kalau satu-dua orang mungkin tak masalah. Tapi kalau ribuan, bisnis bisa terpukul.
“Ini sangat memberatkan kami,” kata Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi kepada VIVAnews.
Karena keberatan inilah, menurut Sofjan setidaknya ada 90 perusahaan di Jakarta sudah menyatakan akan merelokasi pabrik mereka ke daerah atau negara lain. Bahkan, 40 di antaranya sudah memastikan akan hengkang dari Kawasan Berikat Nusantara, Cakung, Jakarta Timur.
Kata Sofjan, mereka perusahaan dalam dan luar negeri yang rata-rata merupakan perusahaan padat karya dan masing-masing mempekerjakan sedikitnya seribuan buruh lokal. Mayoritas perusahaan garmen. Hanya satu-dua perusahaan yang produsen sepatu, komponen mobil, dan elektronik.
Memang, relokasi tidak akan terjadi segera. Mereka harus mencari lahan baru dan menyiapkan infrastruktur lain, termasuk calon buruh pengganti. “Paling tidak butuh sembilan bulan,” kata Sofjan. “Mereka sedang mengincar lahan di Jawa Tengah dan Jawa Timur.”
Jumlah itu bisa jadi lebih besar lagi. Soalnya, menurut pengusaha baterai Yuasa ini, relokasi direncanakan diam-diam. Tak ada laporan dan pernyataan resmi. Pasalnya, pengusaha takut bakal terjadi keributan di pabrik mereka.
Jika relokasi ini benar terjadi, buntutnya bakal panjang. Menurut hitungan Sofjan, lebih kurang 100 ribu buruh di Jakarta bakal jadi pengangguran.
Hitungannya tak rumit. Satu perusahaan garmen, misalnya, rata-rata punya lebih dari seribu buruh. Jadi, tinggal dikalikan saja kalau benar ada 90 perusahaan bakal hengkang. “Ini tentu memberatkan pemerintah,” Sofjan mengingatkan.
Di sisi lain, wilayah yang jadi tujuan relokasi akan mengalami masalah kekurangan buruh. Sofjan mengatakan memindahkan puluhan ribu buruh tak semudah merelokasi pabrik. Buruh Jakarta yang gajinya sudah tinggi tak mungkin mau pindah ke wilayah lain yang gajinya lebih rendah. Akibatnya, kualitas sumber daya manusia di perusahaan jadi tak begitu bagus, karena harus merekrut apa adanya yang tersedia. Buntutnya, situasi ini akan merugikan perusahaan.
Tapi, lain Sofjan lain Jokowi. Sang Gubernur menepis kabar bakal hengkangnya puluhan perusahaan itu. “Itu semua tidak ada. Saya sudah cek langsung,” katanya.
Kalaupun ada yang melebarkan sayap bisnisnya ke daerah, menurut dia itu justru bagus supaya pembangunan jadi merata dan tidak terpusat di Jakarta. Tidak ada yang perlu diresahkan. Jokowi yang selama 23 tahun menekuni bisnis furnitur mengaku paham jiwa kaum pengusaha. "Mereka bergerak cepat, tidak seperti pemerintah yang mungkin lambat," katanya.
Namun, ekonom Universitas Gadjah Mada Sri Adiningsih berpendapat persoalannya tak seenteng itu. Menurut dia pemerintah daerah perlu membangun iklim investasi yang baik, yang pro investor. Standar upah antar wilayah yang berbeda tak pelak membuat wilayah tertentu sangat rawan ditinggalkan penanam modal. “Mereka akan mencari daerah yang ongkos produksinya rendah dan berdekatan,” ujar dia.
Buruh memang bukan satu-satunya faktor. Masih banyak faktor lain yang jadi penunjang, seperti infrastruktur, ketersediaan moda transportasi, kualitas sumber daya manusia, termasuk pungli. “Pemda harus menciptakan nilai tambah lain agar tak ditinggal investor,” katanya.
Memang, bila dibandingkan dengan wilayah lain, Jakarta memiliki upah minimum yang tergolong tinggi. Jawa Tengah, misalnya. Provinsi dengan penduduk 37,45 juta jiwa ini menetapkan upah minimum Rp830 ribu per orang, hampir sepertiga dari Jakarta.
Menurut data Badan Pusat Statistik, pertumbuhan ekonomi di Jawa Tengah juga menjanjikan. Besaran Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) provinsi ini pada 2012 mencapai Rp556,5 triliun dengan pertumbuhan 6,3 persen. Dari sisi produksi, semua sektor mengalami pertumbuhan positif, dengan pertumbuhan tertinggi di sektor keuangan, real estat, dan jasa.
Sementara itu Jawa Timur memiliki upah minimum Rp866,25 ribu. Hampir sama dengan Jawa Tengah. Wilayah berpenduduk 41,4 juta jiwa ini juga memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi lagi, 7,27 persen.
Wilayah Jawa Timur juga strategis untuk industri karena memiliki pelabuhan besar. Selain itu, sama seperti Jawa Tengah, semua sektor mengalami pertumbuhan positif, dengan kenaikan tertinggi di sektor perdagangan, hotel, dan restoran.
Yang bisa lebih cilaka lagi, tingginya upah buruh bukan satu-satunya yang memelorotkan daya saing Jakarta. Ongkos produksi di wilayah Ibukota juga sudah begitu mahal, bahkan jauh lebih mahal dibandingkan Filipina, Bangladesh, Vietnam, Kamboja, bahkan China.
Di Jakarta, pada tahun ini saja sudah terjadi kenaikan tarif listrik dan gas. Tarif listrik industri naik 25 persen sejak Januari. Sedangkan harga gas naik 35 persen pada September lalu dan lalu 15 persen lagi pada April ini.
Produktivitas buruh di Jakarta juga ternyata tergolong rendah. Di wilayah Ibukota, jam kerja normal buruh cuma 40 jam, sisanya harus dihitung lembur. Padahal, di Vietnam 48 jam. “Lalu, gaji kita ada plus-plusnya, seperti Jamsostek, uang makan, dan transportasi,” kata Sofjan.
Membuat keadaan jadi lebih parah, biaya siluman di Jakarta tergolong nauzubillah dan bikin ongkos produksi melambung. Alhasil, bila di luar negeri biaya logistik dan administrasi hanya 5 persen, di Jakarta bisa melonjak jadi 15 persen.
Ibarat burung, Gubernur Jokowi harus hati-hati menangani investor. Dipegang terlalu keras mereka akan mati, jika terlampau longgar akan terbang lepas.
sumber
0
1.2K
Kutip
4
Balasan
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan