- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Banyak Konflik Agama, Lembaga Mediator Dibutuhkan


TS
InRealLife
Banyak Konflik Agama, Lembaga Mediator Dibutuhkan
http://www.tempo.co/read/news/2013/0...tor-Dibutuhkan

memang dibutuhkan lembaga pendamai, soalnya kadang provokatornya justru pemda, kementerian agama, lembaga agama pemerintah, aparat...

Quote:
Kamis, 25 April 2013 | 17:59 WIB
Banyak Konflik Agama, Lembaga Mediator Dibutuhkan
TEMPO.CO, Yogyakarta - Peneliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM, Syamsu Rizal Panggabean, menyatakan pemerintah perlu segera membentuk lembaga mediator resmi konflik keagamaan di banyak daerah rawan.
Menurut dia, mediasi lebih menjanjikan penyelesaian konflik ketimbang instrumen hukum. "Sampai sekarang belum ada lembaga yang resmi. Sementara kapasitas pemda maupun polisi sebagai mediator sangat rendah," kata Rizal, dalam peluncuran "Laporan Kehidupan Beragama 2013", Center for Religious and Cross Culture Studies UGM, Kamis, 25 April 2013.
Instrumen hukum, kata dia, terbukti lemah. Banyak kasus terjadi selama 2012, misalnya konflik rumah ibadah Gereja HKBP Filadelfia Bekasi, dan GKI Taman Yasmin Bogor. Keputusan Mahkamah Agung justru diabaikan. "Kasus itu menunjukkan pula, dalam isu konflik agama, tata kelola pemerintahan terlihat buruk, sebab kepala daerah yang menolak eksekusi putusan MA."
Rizal menambahkan, hasil eksaminasi Fakultas Hukum UGM terhadap persidangan kasus penodaan agama dan pelaku penyerangan di kasus Syiah Sampang, setahun belakangan, juga membuktikan kelemahan instrumen hukum di penyelesaian konflik agama.
Hasil eksaminasi itu menunjukkan putusan persidangan terkesan dirancang sejak awal, dengan menghadirkan saksi yang memihak, dakwaan yang melenceng dari fakta, dan putusan yang lebih banyak dipengaruhi opini publik. "Kasus itu menjadi sinyal lemahnya undang-undang, terkait konflik keagamaan. Banyak pasal karet," kata dia.
Untuk itu, konsep kerja lembaga mediator juga mesti digarap serius. Mediasi yang selama ini berjalan justru diwarnai negosiasi yang timpang. Sering kali pemerintah daerah atau polisi memihak salah satu kelompok. "Tajul Muluk (tokoh Syiah Sampang) mengaku saat mediasi pernah diminta polisi menandatangani pernyataan tobat. Alasannya, pernyataan itu nanti bisa dijelaskan dengan apologi karena tertekan," kata dia.
Praktek mediasi, Rizal menambahkan, mesti dipersepsikan sebagai program pemberdayaan kapasitas kelompok yang sedang bertikai. Mediator, kata dia, mesti mampu mendorong aktor yang terlibat, baik mayoritas maupun minoritas, untuk menjalankan komunikasi sosial yang tidak memicu ledakan konflik. "Di kasus Syiah Sampang, eskalasi konflik makin memuncak ketika perang argumentasi terjadi lewat toa (pengeras suara) masjid," ujar dia.
Zainal Abidin Bagir, Direktur Program CRCS UGM, mengatakan salah satu kesimpulan utama laporan kehidupan beragama selama 2012 dari lembaganya, ialah pentingnya melembagakan mediasi sebagai solusi konflik. Perumusan strategi mediasi perlu menjadi perhatian pemerintah, mengingat selama beberapa tahun terakhir sama sekali tak ada terobosan yang muncul sebagai solusi konflik. "Kalau tetap tak ada terobosan, bakal terus bermunculan kasus, terutama di isu penodaan agama dan konflik rumah ibadah," kata dia.
Laporan kehidupan beragama CRCS UGM tahun ini, kata Zainal, berbeda daripada tahun sebelumnya, karena menekankan analisis kualitatif. Laporan itu tak banyak memperhatikan data kuantitatif mengenai jumlah konflik atau kebijakan pemerintah yang mendukung adanya pertikaian. "Ini karena ada banyak kasus bersifat pengulangan tahun sebelumnya, seperti isu penodaan agama di kasus Ahmadiyah dan Syiah, serta konflik rumah ibadah di banyak daerah," kata dia.
Tahun ini, kata Zainal, lembaganya akan menerbitkan dua monografi berkaitan dengan konflik keagamaan, yakni monografi kehidupan beragama di Indonesia, dan monografi rumah ibadah di Kawasan Jakarta. "Peta besar konflik keagamaan mulai jelas, asal ada kebijakan yang tepat, situasi keberagamaan akan mulai kondusif," kata Zainal.
ADDI MAWAHIBUN IDHOM
Banyak Konflik Agama, Lembaga Mediator Dibutuhkan
TEMPO.CO, Yogyakarta - Peneliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM, Syamsu Rizal Panggabean, menyatakan pemerintah perlu segera membentuk lembaga mediator resmi konflik keagamaan di banyak daerah rawan.
Menurut dia, mediasi lebih menjanjikan penyelesaian konflik ketimbang instrumen hukum. "Sampai sekarang belum ada lembaga yang resmi. Sementara kapasitas pemda maupun polisi sebagai mediator sangat rendah," kata Rizal, dalam peluncuran "Laporan Kehidupan Beragama 2013", Center for Religious and Cross Culture Studies UGM, Kamis, 25 April 2013.
Instrumen hukum, kata dia, terbukti lemah. Banyak kasus terjadi selama 2012, misalnya konflik rumah ibadah Gereja HKBP Filadelfia Bekasi, dan GKI Taman Yasmin Bogor. Keputusan Mahkamah Agung justru diabaikan. "Kasus itu menunjukkan pula, dalam isu konflik agama, tata kelola pemerintahan terlihat buruk, sebab kepala daerah yang menolak eksekusi putusan MA."
Rizal menambahkan, hasil eksaminasi Fakultas Hukum UGM terhadap persidangan kasus penodaan agama dan pelaku penyerangan di kasus Syiah Sampang, setahun belakangan, juga membuktikan kelemahan instrumen hukum di penyelesaian konflik agama.
Hasil eksaminasi itu menunjukkan putusan persidangan terkesan dirancang sejak awal, dengan menghadirkan saksi yang memihak, dakwaan yang melenceng dari fakta, dan putusan yang lebih banyak dipengaruhi opini publik. "Kasus itu menjadi sinyal lemahnya undang-undang, terkait konflik keagamaan. Banyak pasal karet," kata dia.
Untuk itu, konsep kerja lembaga mediator juga mesti digarap serius. Mediasi yang selama ini berjalan justru diwarnai negosiasi yang timpang. Sering kali pemerintah daerah atau polisi memihak salah satu kelompok. "Tajul Muluk (tokoh Syiah Sampang) mengaku saat mediasi pernah diminta polisi menandatangani pernyataan tobat. Alasannya, pernyataan itu nanti bisa dijelaskan dengan apologi karena tertekan," kata dia.
Praktek mediasi, Rizal menambahkan, mesti dipersepsikan sebagai program pemberdayaan kapasitas kelompok yang sedang bertikai. Mediator, kata dia, mesti mampu mendorong aktor yang terlibat, baik mayoritas maupun minoritas, untuk menjalankan komunikasi sosial yang tidak memicu ledakan konflik. "Di kasus Syiah Sampang, eskalasi konflik makin memuncak ketika perang argumentasi terjadi lewat toa (pengeras suara) masjid," ujar dia.
Zainal Abidin Bagir, Direktur Program CRCS UGM, mengatakan salah satu kesimpulan utama laporan kehidupan beragama selama 2012 dari lembaganya, ialah pentingnya melembagakan mediasi sebagai solusi konflik. Perumusan strategi mediasi perlu menjadi perhatian pemerintah, mengingat selama beberapa tahun terakhir sama sekali tak ada terobosan yang muncul sebagai solusi konflik. "Kalau tetap tak ada terobosan, bakal terus bermunculan kasus, terutama di isu penodaan agama dan konflik rumah ibadah," kata dia.
Laporan kehidupan beragama CRCS UGM tahun ini, kata Zainal, berbeda daripada tahun sebelumnya, karena menekankan analisis kualitatif. Laporan itu tak banyak memperhatikan data kuantitatif mengenai jumlah konflik atau kebijakan pemerintah yang mendukung adanya pertikaian. "Ini karena ada banyak kasus bersifat pengulangan tahun sebelumnya, seperti isu penodaan agama di kasus Ahmadiyah dan Syiah, serta konflik rumah ibadah di banyak daerah," kata dia.
Tahun ini, kata Zainal, lembaganya akan menerbitkan dua monografi berkaitan dengan konflik keagamaan, yakni monografi kehidupan beragama di Indonesia, dan monografi rumah ibadah di Kawasan Jakarta. "Peta besar konflik keagamaan mulai jelas, asal ada kebijakan yang tepat, situasi keberagamaan akan mulai kondusif," kata Zainal.
ADDI MAWAHIBUN IDHOM
memang dibutuhkan lembaga pendamai, soalnya kadang provokatornya justru pemda, kementerian agama, lembaga agama pemerintah, aparat...
0
5.7K
Kutip
108
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan