- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Opsi Progresif Pengendalian Subsidi BBM 'ala Indonesia'


TS
dcendoool
Opsi Progresif Pengendalian Subsidi BBM 'ala Indonesia'
Pagi2 baca kompasiana, ndapetin retorika opsi subsidi BBM baru
cukup bisa dipertimbangkan juga sih, tapi ane bukan anak kalkulus ekonomi, gak tau dampak2 ekonomi yg terbaik buat bangsa kitanya..
Mungkin agan lain yg kritis ada yg berpendapat?
Sumber
Quote:
Kompasiana. Belantara pikiran saya tiba-tiba tertuju pada suatu redaksi kata yang keluar dari pidato Presiden SBYdi tahun 2012 seperti pada judul berita di daring “Presiden SBY: Jangan Ikuti Strategi Ekonomi Asing” yang diwartakan oleh kompas -saat menanggapi gejolak perekonomian dunia yang limbung saat itu-. Adapun gelagat dalam warta tersebut kalau boleh saya tafsirkan maka seakan-akan Indonesia tidak mengekor/asal ikut negara lain, ataupun terpengaruh SAPs (Structural Adjustment Programs) insitusi keuangan dunia. Meski praduga saya tidak mendasar akan tetapi berita daring lain seperti “SBY: Teori Trickle Down Effect Telah Gagal” cukup membuat saya bangga, bahwa Indonesia mengikrarkan orientasi prinsip dan sikap yang berbeda membumi yang berbeda dengan bangsa lain, yakni dengan poin strategi “pro-growth, pro-job, dan pro-poor’ dalam triple track strategy-nya.
“Pro-growth, Pro-job, dan Pro-poor” adalah sebuah istilah yang nyaman bagi saya yang diucapkan oleh Kepala Negara RI. Istilah ini jugalah yang pastinya dirasakan nyaman oleh para pelaku UKM di Indonesia, terlebih pada masa sebelumnya yakni sesaat pasca puncak krisis global terjadi, UKM disebut-sebut sebagai penopang ketahanan ekonomi di Indonesia, sehingga seakan-akan memang pemerintah menaruh minat yang besar terhadap pengembangan dan perkembangan UKM di Indonesia melalui triple track strategy. Cara ini disebut-sebut sebagai cara lokal sekaligus cara mirko (ekonomi) Indonesia untuk mengatasi permasalahan global dan permasalahan makro (ekonomi) yang terjadi. Maka sejenak saya berfikir ‘bukankah permasalahan BBM adalah permasalahan global yang dibawa (lokal) ke Indonesia, dan bukankah itu permasalahan makro dalam APBN dan inflasi yang mempengaruhi perekonomian mikro pada rakyat?’ So, kenapa tidak kita menggunakan cara-cara ‘ala Indonesia’, dan tak harus ’saklek’ dengan cara asing (menaikkan harga BBM/menarik subsidi BBM)?
Opsi untuk BBM ‘Ala Indonesia’ (Triple Track Strategy)
Ketika saya mengingat poor, growth dan jobatas BBM, maka saya teringat pada latennya pembelian BBM melalui jerigen di SPBU oleh rakyat kecil yang digunakan untuk menjual lagi secara eceran dipinggiran jalan diperkotaan maupun dipedesaan/pesisir yang notabene memang jauh dari kota dan SPBU (baik untuk kebutuhan alat transportasi, mesin pembajak/traktor ataupun kapal nelayan, yang memang membelinya dalam jerigen). Latennya pembelian BBM dalam jerigen sebenarnya menjadi tanda tanya bagi pemerintah maupun penyedia jasa stasiun pengisian bahan bakar umum di Indonesia, yakni entah pada penerapan ‘Larangan mengisikan BBM di jerigen’ yang tidak dipatuhi oleh pihak SPBU, atau memang pemerintah yang memiliki kelalaian atas realita bahwa ketersediaan SPBU di Indonesia tidak mencukupi dan menjangkau bagi seluruh masyarakatnya (?). Yang jelas jika ini menjadi sesuatu yang ada di wilayah ‘abu-abu’, maka saya kira hal ini segeralah untuk dapat dikoreksi. Dan kiranya saya dapat mengusulkan, maka pencabutan larangan tersebut adalah sebagai upaya untuk menselaraskan dengan triple track strategy
oor, job and growth.
“Masyarakat Indonesia saat ini bukan segan banyak makan nasi, akan tetapi sedang banyak makan gengsi“
Menghalalkan pengisian dalam jerigen adalah sebuah lintasan opsi yang terlintas dalam pikiran saya dalam mengurangi alokasi subsidi BBM di Indonesia. Yaitu dengan cara menaikkan harga BBM secara resmi kedalam suatu nominal harga tertentu, namun pada sisi yang sama pemerintah memberikan subsidi kepada rakyat -khusus melalui pengecer (yang membeli BBM melalui jerigen dan menjualnya selayaknya warung bensin yang umum di Indonesia) dengan jatah harian tertentu dan pengecer bensin sudah harus terverifikasi (entah cukup hanya diverifikasi oleh RT, RW, lurah setempat saja atau misal perlu kombinasi dari Depsos maupun NGO amal-sedekah -yang mana mereka memiliki managemen pengentasan kemiskinan-?). Inilah skema opsi penyesuaian harga BBM ‘progresif’:
SPBU tidak melayani penjualan BBM subsidi! kecuali kepada mobil plat kuning dan pembeli berjerigen terverifikasi (yang mana juga dibatasi pembeliannya secara wajar, serta peraturan verifikasi ketat/mencabut hak pembeli berjerigen jika terindikasi ‘nakal’)
Pemerintah merekayasa/menentukan harga rasional untuk BBM non Subsidi (di jual umum ke konsumen di SPBU) dan BBM bersubsidi (dijual umu ke konsumen di warung bensin). Memberikan pilihan pada ‘harga, pelayanan, kenyamanan, dan gengsi’ ke konsumen, agar terjadi distribusi pembelian antara membeli di SPBU atau di warung bensin (dengan catatan pasokan SPBU terjaga, dan warung bensin sesuai dengan kuota penjualan yang dimilikinya)
Pemerintah menentukan cara verifikasi (prosedur hak penjualan) penjual eceran berhak menjual BBM, beserta kuota (misal hak penjualan BBM ke konsumen 100liter/hari), menentukan harga kewajaran BBM bersubsidi dijual ke masyarakat umum dan sanksi-sanksinya/pencabutan hak.
Maka ringkasnya dampak yang diharapkan adalah:
Terdapat dua pilihan harga bagi masyarakat, pada dua tempat yang jelas berbeda (SPBU dan pengecer-warung bensin). Tidak membingungkan masyarakat, dan memanfaatkan celah karakter konsumerisme masyarakat Indonesia saat ini, yang sering membeli karena masalah gengsi dan kenyamanan dalam membeli)
memberikan kesempatan kerja (pro-job) bagi pengecer-warung bensin, karena pembeli yang memang butuh bensin yang lebih murah akan membelinya diwarung bensin. Hal ini sekaligus pro-poor, dan pro-growth, meningkatkan produktifitas bilamana sebelumnya menganggur (bukan hanya menerima BLT atau beras murah sementara waktu saja tanpa banyak bekerja keras).
memberikan peran pemberdayaan dan managerial NGO ZIS (zakat-infaq-sedekah) dalam mendidik para mantanpengangguran yang terberdayakan karena opsi pengurangan subsidi BBM ini, sehingga bisa mentas dari kemiskinan hingga -misal- nanti tidak ada lagi subsidi BBM ke pengecer. [jika NGO ZIS dilibatkan dalam program ini]
mengurangi beban subsidi, yakni jika distribusi pembelian BBM antara warung bensin dan SPBU dinamis merata
subsidi BBM lebih tepat sasaran. karena menciptakan lapangan kerja, serta subsidi BBM diasumsikan dapat tersaring pembelinya karena terdistribusi atas keinginan konsumen, yakni ke warung bensin dan/atau ke SPBU
menghilangkan lonjakan inflasi dibanding jika subsidi langsung dicabut, yakni sesuai dengan rekayasa harga yang ditetapkan pemerintah atas harga jual umum dan harga jual subsidi, serta hasil distribusi yang terjadi
masyarakat miskin masih bisa memanfaatkan bensin subsidi dengan peningkatan harga yang tidak terlalu signifikan karena sudah ada harga kewajaran di penjual bensin eceran (jika penjual eceran melanggar, hak dicabut dan masyarakat lain yang layak untuk menjual masih banyak).
Itulah sekilas ide untuk opsi pengurangan subsidi BBM di Indonesia ‘ala Indonesia’, yang pro-job, pro-growth, and pro-poor.
“Pro-growth, Pro-job, dan Pro-poor” adalah sebuah istilah yang nyaman bagi saya yang diucapkan oleh Kepala Negara RI. Istilah ini jugalah yang pastinya dirasakan nyaman oleh para pelaku UKM di Indonesia, terlebih pada masa sebelumnya yakni sesaat pasca puncak krisis global terjadi, UKM disebut-sebut sebagai penopang ketahanan ekonomi di Indonesia, sehingga seakan-akan memang pemerintah menaruh minat yang besar terhadap pengembangan dan perkembangan UKM di Indonesia melalui triple track strategy. Cara ini disebut-sebut sebagai cara lokal sekaligus cara mirko (ekonomi) Indonesia untuk mengatasi permasalahan global dan permasalahan makro (ekonomi) yang terjadi. Maka sejenak saya berfikir ‘bukankah permasalahan BBM adalah permasalahan global yang dibawa (lokal) ke Indonesia, dan bukankah itu permasalahan makro dalam APBN dan inflasi yang mempengaruhi perekonomian mikro pada rakyat?’ So, kenapa tidak kita menggunakan cara-cara ‘ala Indonesia’, dan tak harus ’saklek’ dengan cara asing (menaikkan harga BBM/menarik subsidi BBM)?
Opsi untuk BBM ‘Ala Indonesia’ (Triple Track Strategy)
Ketika saya mengingat poor, growth dan jobatas BBM, maka saya teringat pada latennya pembelian BBM melalui jerigen di SPBU oleh rakyat kecil yang digunakan untuk menjual lagi secara eceran dipinggiran jalan diperkotaan maupun dipedesaan/pesisir yang notabene memang jauh dari kota dan SPBU (baik untuk kebutuhan alat transportasi, mesin pembajak/traktor ataupun kapal nelayan, yang memang membelinya dalam jerigen). Latennya pembelian BBM dalam jerigen sebenarnya menjadi tanda tanya bagi pemerintah maupun penyedia jasa stasiun pengisian bahan bakar umum di Indonesia, yakni entah pada penerapan ‘Larangan mengisikan BBM di jerigen’ yang tidak dipatuhi oleh pihak SPBU, atau memang pemerintah yang memiliki kelalaian atas realita bahwa ketersediaan SPBU di Indonesia tidak mencukupi dan menjangkau bagi seluruh masyarakatnya (?). Yang jelas jika ini menjadi sesuatu yang ada di wilayah ‘abu-abu’, maka saya kira hal ini segeralah untuk dapat dikoreksi. Dan kiranya saya dapat mengusulkan, maka pencabutan larangan tersebut adalah sebagai upaya untuk menselaraskan dengan triple track strategy

“Masyarakat Indonesia saat ini bukan segan banyak makan nasi, akan tetapi sedang banyak makan gengsi“
Menghalalkan pengisian dalam jerigen adalah sebuah lintasan opsi yang terlintas dalam pikiran saya dalam mengurangi alokasi subsidi BBM di Indonesia. Yaitu dengan cara menaikkan harga BBM secara resmi kedalam suatu nominal harga tertentu, namun pada sisi yang sama pemerintah memberikan subsidi kepada rakyat -khusus melalui pengecer (yang membeli BBM melalui jerigen dan menjualnya selayaknya warung bensin yang umum di Indonesia) dengan jatah harian tertentu dan pengecer bensin sudah harus terverifikasi (entah cukup hanya diverifikasi oleh RT, RW, lurah setempat saja atau misal perlu kombinasi dari Depsos maupun NGO amal-sedekah -yang mana mereka memiliki managemen pengentasan kemiskinan-?). Inilah skema opsi penyesuaian harga BBM ‘progresif’:
SPBU tidak melayani penjualan BBM subsidi! kecuali kepada mobil plat kuning dan pembeli berjerigen terverifikasi (yang mana juga dibatasi pembeliannya secara wajar, serta peraturan verifikasi ketat/mencabut hak pembeli berjerigen jika terindikasi ‘nakal’)
Pemerintah merekayasa/menentukan harga rasional untuk BBM non Subsidi (di jual umum ke konsumen di SPBU) dan BBM bersubsidi (dijual umu ke konsumen di warung bensin). Memberikan pilihan pada ‘harga, pelayanan, kenyamanan, dan gengsi’ ke konsumen, agar terjadi distribusi pembelian antara membeli di SPBU atau di warung bensin (dengan catatan pasokan SPBU terjaga, dan warung bensin sesuai dengan kuota penjualan yang dimilikinya)
Pemerintah menentukan cara verifikasi (prosedur hak penjualan) penjual eceran berhak menjual BBM, beserta kuota (misal hak penjualan BBM ke konsumen 100liter/hari), menentukan harga kewajaran BBM bersubsidi dijual ke masyarakat umum dan sanksi-sanksinya/pencabutan hak.
Maka ringkasnya dampak yang diharapkan adalah:
Terdapat dua pilihan harga bagi masyarakat, pada dua tempat yang jelas berbeda (SPBU dan pengecer-warung bensin). Tidak membingungkan masyarakat, dan memanfaatkan celah karakter konsumerisme masyarakat Indonesia saat ini, yang sering membeli karena masalah gengsi dan kenyamanan dalam membeli)
memberikan kesempatan kerja (pro-job) bagi pengecer-warung bensin, karena pembeli yang memang butuh bensin yang lebih murah akan membelinya diwarung bensin. Hal ini sekaligus pro-poor, dan pro-growth, meningkatkan produktifitas bilamana sebelumnya menganggur (bukan hanya menerima BLT atau beras murah sementara waktu saja tanpa banyak bekerja keras).
memberikan peran pemberdayaan dan managerial NGO ZIS (zakat-infaq-sedekah) dalam mendidik para mantanpengangguran yang terberdayakan karena opsi pengurangan subsidi BBM ini, sehingga bisa mentas dari kemiskinan hingga -misal- nanti tidak ada lagi subsidi BBM ke pengecer. [jika NGO ZIS dilibatkan dalam program ini]
mengurangi beban subsidi, yakni jika distribusi pembelian BBM antara warung bensin dan SPBU dinamis merata
subsidi BBM lebih tepat sasaran. karena menciptakan lapangan kerja, serta subsidi BBM diasumsikan dapat tersaring pembelinya karena terdistribusi atas keinginan konsumen, yakni ke warung bensin dan/atau ke SPBU
menghilangkan lonjakan inflasi dibanding jika subsidi langsung dicabut, yakni sesuai dengan rekayasa harga yang ditetapkan pemerintah atas harga jual umum dan harga jual subsidi, serta hasil distribusi yang terjadi
masyarakat miskin masih bisa memanfaatkan bensin subsidi dengan peningkatan harga yang tidak terlalu signifikan karena sudah ada harga kewajaran di penjual bensin eceran (jika penjual eceran melanggar, hak dicabut dan masyarakat lain yang layak untuk menjual masih banyak).
Itulah sekilas ide untuk opsi pengurangan subsidi BBM di Indonesia ‘ala Indonesia’, yang pro-job, pro-growth, and pro-poor.
cukup bisa dipertimbangkan juga sih, tapi ane bukan anak kalkulus ekonomi, gak tau dampak2 ekonomi yg terbaik buat bangsa kitanya..

Mungkin agan lain yg kritis ada yg berpendapat?
Sumber
0
1.1K
Kutip
6
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan