TS
parfaitkun
[Kumcer] Panggung tanpa Spotlight
Spoiler for Panggung tanpa Spotlight:
Panggung tanpa Spotlight
Aula pertunjukan berbentuk setengah lingkaran itu mulai dipenuhi pengunjung. Kakek-nenek, orang tua yang mengajak anaknya, pasangan muda, hingga kumpulan anak lajang lengkap di sana. Kursi-kursi empuk yang dilapisi beludru dan iringan musik halus membuat semua penonton duduk nyaman dan menikmati suasana.
Tepat di bagian depan, terdapat panggung dari kayu yang memberikan kesan elegan. Tirai berwarna merah menutupi sebagian besar area panggung. Lampu-lampu temaram yang berada di atas panggung memberikan sedikit cahaya—hanya cukup untuk memberitahukan warna tirai dan corak-corak emas yang membentuk pola mawar tepat di tengahnya.
Tiba-tiba terdengar suara dari balik panggung. Suara seorang pria yang kedengarannya berada di usia paruh baya.
“Misalnya, misalnya lho, ya,” dia berhenti sejenak, seperti ingin membiarkan informasi bahwa ini hanyalah sebuah situasi khayalan belaka meresap ke lawan bicaranya. “Misalnya kamu pergi menonton suatu pertunjukan—drama, film, konser, tidak masalah—dan pertunjukannya itu baguuus sekali, siapa yang pertama kali kau puji?”
“Bintangnya, donk.” Suara lawan bicaranya menunjukkan maskulinitas dan feminitas yang seimbang, atau mungkin tidak menunjukkan feminitas atau maskulinitas sama sekali. Sulit ditebak apakah dia adalah seorang pria atau wanita dan berapakah kisaran umurnya. “Kalau drama dan film, aktor dan aktrisnya, kalau konser, penyanyinya.”
“Oke. Sekarang kita fokus pada drama dan film. Cerita yang bagus itu...siapa yang perannya paling besar?”
“Akt-bukan, penulis cerita?” suaranya terdengar seperti ingin memastikan.
“Yup, penulis cerita. Jadi kenapa tadi kamu tidak memuji penulis ceritanya lebih dulu?”
“Karena aktor dan aktris itu yang berada di depan? Oh, dan sebelum Bapak mulai nyerocos tentang bagian lain, sutradara juga berperan besar dalam mengarahkan aktor.”
“Kalau make-up?”
“Rasanya kurang penting. Paling tidak untuk peran-peran biasa, dan bukan untuk peran seperti Frankenstein atau makhluk-makhluk lainnya.”
“Hmm... Jadi kalau tidak menonjolkan kalau dia bukan manusia, menurutmu tidak penting.” Keheningan sejenak setelahnya mengindikasikan si Bapak sedang berpikir. “Bagaimana dengan musik? Kalau misalnya musik pengiringnya bagus, siapa yang kau puji?”
“...Pemain musiknya?”
“Kita simpan jawabanmu untuk sementara. Sekarang kalau lighting-nya sempurna, siapa yang kau puji?”
“Penata cahaya dan sutradara.”
“Bukan operator lampu sorotnya?”
“Tapi yang membuat permainan ighting-nya enak dilihat ‘kan si penata cahaya,” si anak muda memberikan penjelasannya. “Si operator tinggal menjalankan apa yang sudah direncanakan oleh penata cahaya dan sutradara.”
“Dan pemain musik tinggal memainkan apa yang sudah diciptakan oleh komposer,” sambar si Bapak. “Jadi kenapa kamu memuji pemain musik dan tidak memuji si operator?”
Tidak ada jawaban dari lawan bicara si Bapak. Keheningan yang dibumbui rasa kekalahan ini berlangsung beberapa saat.
“Oke, oke. Saya ngerti. Jadi pembicaraan panjang ini cuma untuk memberitahu saya kalau dalam pertunjukan semuanya punya peran penting. Iya, ‘kan?”
“Nyaris benar, tapi fokus Bapak kali ini bukan itu. Kamu ingat ‘kan kalau tadi kamu bilang kebanyakan yang dipuji pertama itu aktor. Kalau cerita dan pengarahan aktingnya bagus, pembuat scriptdan sutradara dipuji. Penata rias dan penata lighting hanya dipuji kalau yang mereka kerjakan benar-benar spektakuler, setuju? Dan mereka biasanya gak disinggung sedikit pun kalau biasa-biasa saja, tidak seperti aktor dan sutradara yang kalau pertunjukannya biasa saja pasti dikomentari, ‘Ah, aktornya biasa aja. Sutradaranya juga gak ada spesial-spesialnya.’”
Ada sedikit jeda sebelum si Bapak melanjutkan. Bisa diasumsikan si anak muda hanya memberikan respon fisik sehingga tidak bisa didengar.
“Nah, jadi bisa dibilang kalau operator lampu sorot itu yang paling nggak dianggap, ‘kan? Sekarang coba bayangkan, gara-gara nggak pernah dianggap, operator lampu sorotnya ngambek dan nggak mau bekerja. Apa yang terjadi?”
“Kalau kepala grup pertunjukannya kejam, dia bakal dipecat.”
“Yah, mungkin itu yang akan terjadi. Tapi yang ingin Bapak tanyakan, apa yang terjadi dengan pertunjukannya. Sebuah drama tanpa spotlight.”
“Pertunjukannya susah, atau tidak mungkin, ditonton?”
“Tepat sekali,” jawab si Bapak bersamaan dengan suara jentikan jari. “Semua orang menganggap bagian yang paling biasa itu selalu ada di sana. Tidak dipedulikan dan tidak pernah dianggap. Padahal ketika dia hilang, pertunjukan jadi nyaris mustahil ditonton. Yah, ada juga pertunjukan yang sengaja tidak memakai lampu sorot, tapi ini adalah pengecualian dari peraturan umum.”
“Oke. Saya udah kenal Bapak cukup lama, dan biasanya cerita Bapak yang seperti ini bisa diambil moral ceritanya dan diaplikasikan ke dunia nyata. Jadi apa moral cerita kali ini?”
Terdengar suara tawa sebelum si Bapak menjawab. “Ah, ayolah. Kamu harusnya bisa mengambil hikmahnya sendiri. Lagipula biasanya pesan moral dalam suatu cerita itu tidak dijelaskan secara tersurat.”
“Tidak, Pak. Saya nggak mau membaca terlalu dalam dan membaca inti yang salah. Misalnya tulisan ‘Gerimis turun di pagi itu’; orang-orang mungkin membaca makna tersirat seperti ‘penulis ingin menggambarkan suasana kesedihan yang menggelayuti para tokoh’ dan sebagainya, padahal maksud si penulis cuma mau bilang kalau hari itu turun hujan gerimis. Jadi selama saya bisa menanyakan langsung pada orangnya, lebih baik saya tanyakan saja.”
“Baiklah. Jangan anggap spotlight itu “bagian yang sudah sewajarnya ada dalam pertunjukan”. Jangan suka take something for granted.Syukurilah apa yang kamu miliki dan pikirkanlah apa yang tidak dimiliki orang lain. Kamu mungkin berpikir semua orang punya akses internet secepat milikmu, jadi kamu selalu nge-post gambar-gambar dengan ukuran file besar di forum, padahal kenyataannya tidak demikian. Kamu mungkin menganggap semua orang bisa berjalan sepertimu, padahal ada cukup banyak orang yang kakinya lumpuh.”
Si Bapak berhenti sejenak, kemudian meneruskan, “Kamu pikir buang air kecil itu biasa-biasa saja? Apa kamu tidak pernah baca betapa pentingnya aktivitas ginjal di tubuh kita? Coba bayangkan mereka yang ginjalnya tidak bekerja dengan sempurna. Itu baru contoh-contoh kecil saja. Bapak yakin kamu sudah bisa menangkap apa yang ingin Bapak sampaikan dan mencari contoh-contoh lain.”
“Hmm... Terima kasih, Pak.”
“Ah, sudah sewajarnya yang lebih tua memberikan nasehat dan ilmunya pada yang lebih muda,” jawab si Bapak sambil tertawa.
“Ngomong-ngomong, Pak, misalnya, misalnya lho,” kata si anak muda, berhenti sejenak seperti ingin membiarkan informasi bahwa ini hanyalah situasi hipotesa belaka meresap ke pikiran lawan bicaranya. “Misalnya pertunjukan kita kali ini sukses besar, siapa yang Bapak inginkan dipuji oleh penonton?”
“Aktornya, donk. Bagaimanapun juga ‘kan saya ini seorang aktor.”
Kemudian tirai merah dengan pola mawar warna emas di bagian tengahnya terangkat. Musik pengiring mulai dimainkan semakin keras. Lampu sorot tiba-tiba dihidupkan dan menerangi panggung. Di atas panggung terdapat satu orang dengan perawakan tua yang sedang membungkuk ke arah penonton.
Suara tepuk tangan dimulai di salah satu sudut aula pertunjukan. Lalu seperti kebakaran di musim kering, tepuk tangan itu menyebar dan sekarang semua penonton berdiri sambil memberikan aplaus.
Suara seorang announcer perempuan kemudian terdengar.
“Dengan selesainya monolog tadi, saya mengucapkan selamat datang di ‘Panggung tanpa Spotlight’. Semoga para penonton dapat terhibur dengan pertunjukan-pertunjukan selanjutnya.”
Aula pertunjukan berbentuk setengah lingkaran itu mulai dipenuhi pengunjung. Kakek-nenek, orang tua yang mengajak anaknya, pasangan muda, hingga kumpulan anak lajang lengkap di sana. Kursi-kursi empuk yang dilapisi beludru dan iringan musik halus membuat semua penonton duduk nyaman dan menikmati suasana.
Tepat di bagian depan, terdapat panggung dari kayu yang memberikan kesan elegan. Tirai berwarna merah menutupi sebagian besar area panggung. Lampu-lampu temaram yang berada di atas panggung memberikan sedikit cahaya—hanya cukup untuk memberitahukan warna tirai dan corak-corak emas yang membentuk pola mawar tepat di tengahnya.
Tiba-tiba terdengar suara dari balik panggung. Suara seorang pria yang kedengarannya berada di usia paruh baya.
“Misalnya, misalnya lho, ya,” dia berhenti sejenak, seperti ingin membiarkan informasi bahwa ini hanyalah sebuah situasi khayalan belaka meresap ke lawan bicaranya. “Misalnya kamu pergi menonton suatu pertunjukan—drama, film, konser, tidak masalah—dan pertunjukannya itu baguuus sekali, siapa yang pertama kali kau puji?”
“Bintangnya, donk.” Suara lawan bicaranya menunjukkan maskulinitas dan feminitas yang seimbang, atau mungkin tidak menunjukkan feminitas atau maskulinitas sama sekali. Sulit ditebak apakah dia adalah seorang pria atau wanita dan berapakah kisaran umurnya. “Kalau drama dan film, aktor dan aktrisnya, kalau konser, penyanyinya.”
“Oke. Sekarang kita fokus pada drama dan film. Cerita yang bagus itu...siapa yang perannya paling besar?”
“Akt-bukan, penulis cerita?” suaranya terdengar seperti ingin memastikan.
“Yup, penulis cerita. Jadi kenapa tadi kamu tidak memuji penulis ceritanya lebih dulu?”
“Karena aktor dan aktris itu yang berada di depan? Oh, dan sebelum Bapak mulai nyerocos tentang bagian lain, sutradara juga berperan besar dalam mengarahkan aktor.”
“Kalau make-up?”
“Rasanya kurang penting. Paling tidak untuk peran-peran biasa, dan bukan untuk peran seperti Frankenstein atau makhluk-makhluk lainnya.”
“Hmm... Jadi kalau tidak menonjolkan kalau dia bukan manusia, menurutmu tidak penting.” Keheningan sejenak setelahnya mengindikasikan si Bapak sedang berpikir. “Bagaimana dengan musik? Kalau misalnya musik pengiringnya bagus, siapa yang kau puji?”
“...Pemain musiknya?”
“Kita simpan jawabanmu untuk sementara. Sekarang kalau lighting-nya sempurna, siapa yang kau puji?”
“Penata cahaya dan sutradara.”
“Bukan operator lampu sorotnya?”
“Tapi yang membuat permainan ighting-nya enak dilihat ‘kan si penata cahaya,” si anak muda memberikan penjelasannya. “Si operator tinggal menjalankan apa yang sudah direncanakan oleh penata cahaya dan sutradara.”
“Dan pemain musik tinggal memainkan apa yang sudah diciptakan oleh komposer,” sambar si Bapak. “Jadi kenapa kamu memuji pemain musik dan tidak memuji si operator?”
Tidak ada jawaban dari lawan bicara si Bapak. Keheningan yang dibumbui rasa kekalahan ini berlangsung beberapa saat.
“Oke, oke. Saya ngerti. Jadi pembicaraan panjang ini cuma untuk memberitahu saya kalau dalam pertunjukan semuanya punya peran penting. Iya, ‘kan?”
“Nyaris benar, tapi fokus Bapak kali ini bukan itu. Kamu ingat ‘kan kalau tadi kamu bilang kebanyakan yang dipuji pertama itu aktor. Kalau cerita dan pengarahan aktingnya bagus, pembuat scriptdan sutradara dipuji. Penata rias dan penata lighting hanya dipuji kalau yang mereka kerjakan benar-benar spektakuler, setuju? Dan mereka biasanya gak disinggung sedikit pun kalau biasa-biasa saja, tidak seperti aktor dan sutradara yang kalau pertunjukannya biasa saja pasti dikomentari, ‘Ah, aktornya biasa aja. Sutradaranya juga gak ada spesial-spesialnya.’”
Ada sedikit jeda sebelum si Bapak melanjutkan. Bisa diasumsikan si anak muda hanya memberikan respon fisik sehingga tidak bisa didengar.
“Nah, jadi bisa dibilang kalau operator lampu sorot itu yang paling nggak dianggap, ‘kan? Sekarang coba bayangkan, gara-gara nggak pernah dianggap, operator lampu sorotnya ngambek dan nggak mau bekerja. Apa yang terjadi?”
“Kalau kepala grup pertunjukannya kejam, dia bakal dipecat.”
“Yah, mungkin itu yang akan terjadi. Tapi yang ingin Bapak tanyakan, apa yang terjadi dengan pertunjukannya. Sebuah drama tanpa spotlight.”
“Pertunjukannya susah, atau tidak mungkin, ditonton?”
“Tepat sekali,” jawab si Bapak bersamaan dengan suara jentikan jari. “Semua orang menganggap bagian yang paling biasa itu selalu ada di sana. Tidak dipedulikan dan tidak pernah dianggap. Padahal ketika dia hilang, pertunjukan jadi nyaris mustahil ditonton. Yah, ada juga pertunjukan yang sengaja tidak memakai lampu sorot, tapi ini adalah pengecualian dari peraturan umum.”
“Oke. Saya udah kenal Bapak cukup lama, dan biasanya cerita Bapak yang seperti ini bisa diambil moral ceritanya dan diaplikasikan ke dunia nyata. Jadi apa moral cerita kali ini?”
Terdengar suara tawa sebelum si Bapak menjawab. “Ah, ayolah. Kamu harusnya bisa mengambil hikmahnya sendiri. Lagipula biasanya pesan moral dalam suatu cerita itu tidak dijelaskan secara tersurat.”
“Tidak, Pak. Saya nggak mau membaca terlalu dalam dan membaca inti yang salah. Misalnya tulisan ‘Gerimis turun di pagi itu’; orang-orang mungkin membaca makna tersirat seperti ‘penulis ingin menggambarkan suasana kesedihan yang menggelayuti para tokoh’ dan sebagainya, padahal maksud si penulis cuma mau bilang kalau hari itu turun hujan gerimis. Jadi selama saya bisa menanyakan langsung pada orangnya, lebih baik saya tanyakan saja.”
“Baiklah. Jangan anggap spotlight itu “bagian yang sudah sewajarnya ada dalam pertunjukan”. Jangan suka take something for granted.Syukurilah apa yang kamu miliki dan pikirkanlah apa yang tidak dimiliki orang lain. Kamu mungkin berpikir semua orang punya akses internet secepat milikmu, jadi kamu selalu nge-post gambar-gambar dengan ukuran file besar di forum, padahal kenyataannya tidak demikian. Kamu mungkin menganggap semua orang bisa berjalan sepertimu, padahal ada cukup banyak orang yang kakinya lumpuh.”
Si Bapak berhenti sejenak, kemudian meneruskan, “Kamu pikir buang air kecil itu biasa-biasa saja? Apa kamu tidak pernah baca betapa pentingnya aktivitas ginjal di tubuh kita? Coba bayangkan mereka yang ginjalnya tidak bekerja dengan sempurna. Itu baru contoh-contoh kecil saja. Bapak yakin kamu sudah bisa menangkap apa yang ingin Bapak sampaikan dan mencari contoh-contoh lain.”
“Hmm... Terima kasih, Pak.”
“Ah, sudah sewajarnya yang lebih tua memberikan nasehat dan ilmunya pada yang lebih muda,” jawab si Bapak sambil tertawa.
“Ngomong-ngomong, Pak, misalnya, misalnya lho,” kata si anak muda, berhenti sejenak seperti ingin membiarkan informasi bahwa ini hanyalah situasi hipotesa belaka meresap ke pikiran lawan bicaranya. “Misalnya pertunjukan kita kali ini sukses besar, siapa yang Bapak inginkan dipuji oleh penonton?”
“Aktornya, donk. Bagaimanapun juga ‘kan saya ini seorang aktor.”
Kemudian tirai merah dengan pola mawar warna emas di bagian tengahnya terangkat. Musik pengiring mulai dimainkan semakin keras. Lampu sorot tiba-tiba dihidupkan dan menerangi panggung. Di atas panggung terdapat satu orang dengan perawakan tua yang sedang membungkuk ke arah penonton.
Suara tepuk tangan dimulai di salah satu sudut aula pertunjukan. Lalu seperti kebakaran di musim kering, tepuk tangan itu menyebar dan sekarang semua penonton berdiri sambil memberikan aplaus.
Suara seorang announcer perempuan kemudian terdengar.
“Dengan selesainya monolog tadi, saya mengucapkan selamat datang di ‘Panggung tanpa Spotlight’. Semoga para penonton dapat terhibur dengan pertunjukan-pertunjukan selanjutnya.”
tempat kumpulan cerpen parfaitkun
Diubah oleh parfaitkun 23-04-2013 11:36
0
1.6K
Kutip
14
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan