selama ini sekolah berjalan berlandaskan SKL, nah kalau semua siswa udah mencapai SKL ya udah, di luluskan saja ....

UN nya diganti dengan ujian biasa, yg membuat soal Guru disesuaikan dengan SKL, berlaku untuk semua mata pelajaran.
karena yg buat guru, jadi bakalan disesuaikan lah seoalnya ...
dan gak memberatkan siswa di pelosok daerah, karena yg mereka kerjakan hanya yg mereka pelajari.

jadi waktu 3 tahun siswa belajar di sekolah akan benar-benar diuji berdasarkan kemmapuan siswa di sekolah terebut,,
dan yg tahu kemampuan siswa itu adalah pak guru dan bu guru yang mengajar mereka, bukan pemerintah.

diharapkan juga kejujuran dari pihak guru dan sekolah biar siswanya lulus semua,
Ibarat perahu, yg bernama sekolah harus memiliki ABK yg profesional dan nahkoda yg jujur dan handal...

3 bagian dari sekolah seperti yg dikemukakan oleh Mortensen (supervisi, belajar-mengajar, bimbingan konseling)

benar-benar dijalankan dengan sungguh-sungguh, agar sistem perahu sekolah bisa mengantarkan siswa-siswa nya menuju prestasi semaksimal mungkin.
hal itu bisa dilakukan dengan menempatkan guru pada tempat yg sebenarnya, bukan tukar guling,
misal:
- Guru berijasah S1 pendidikan Agama mengajar mapel agama
- Guru berijasah S1 pendidikan B. Indonesia mengajar mapel bahasa Indonesia
- Guru berijasah S1 bimbingan konseling mengampu layanan BK di sekolah
- dll
jangan di tukar guling, hanya karena kurang jam seorang guru berijasah S1 pendidkan TIK ditempatkan di BK, yg ada malah kacau jalannya sekolah...

dengan menempatka guru pada tempatnya, guru pun bekerja sesuai dengan kemampuan maksimalnya dan kreatif, seluruh sistem kapal yg bernama sekolah akan berjalan sebagaimana mestinya, sehingga gairah belajar siswa meningkat, tingkat kelulusan pun akan naik...