- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Di Gontor, Tidak Ada Ujian Nasional


TS
thebestmagician
Di Gontor, Tidak Ada Ujian Nasional
Assalamu 'alaikum warohmatullahi wabarokaatuh
Selamat sore agan sekalian, ane udh lupa gimana caranya bikin thread, namun kali ini ane berusaha buat postingan terbaru terkait berita terhangat, Mundurnya UN dibeberapa provinsi di Indonesia.
Selamat sore agan sekalian, ane udh lupa gimana caranya bikin thread, namun kali ini ane berusaha buat postingan terbaru terkait berita terhangat, Mundurnya UN dibeberapa provinsi di Indonesia.

Pengantar
Quote:
Ya seperti kita ketahui dari media masa, media cetak dan online termasuk kaskus, Indonesia memiliki beragam berita, tak ketinggalan Mundurnya UN dari jadwal yang telah ditentukan dibeberapa provinsi sehingga menjadi
. Dan kita pun menyaksikan berbagai pihak pelaksana dari atas sampai bawah saling tuduh dan tuding dan saling menyalahkan, entah salah siapa hanya saja memang ada beberapa opsi bahwa UN memang tak perlu diadakan lagi, termasuk dari kalangan pejabat pemerintahan dan orang2 penting para praktisi pendidikan khususnya menilai seperti dinyatakan oleh Jokowi dan Hamengku buwono ttg ketidaksetujuannya thd pelaksanaan UN, namun tahukah agan bahwasanya Pondok Modern Darussalam Gontor semenjak berdiri tidak ada yang namanya Ujian Nasinal, kok bisa? penasaran?


Spoiler for Isi dari Kompasi***:
Quote:
Ngomongin pendidikan dan pengajaran, saya sering gak nyambung dengan praksis pemerintah mengelola sekolah di tanah air. Hidup anak-anak itu, mulai dari mereka kenal huruf ABC di bangku SD sampai aktif berorganisasi di bangku SMA, seolah hanya untuk mengejar satu hal: Ujian Nasional.
Ujian dibuat sebagai tujuan, bukan proses belajar. Sebagai target, bukan sarana. Ujian diposisikan sebagai satu-satunya cara mengidentifikasi keilmuan murid, bukan metode untuk membuat orang pintar. Posisi ujian berada di awal, bukan di akhir.
Dengan kerangka berpikir begini, pendidikan dijalankan dalam bingkai ujian. Pengajaran pun dievaluasi lewat ujian di atas kertas yang hasilnya diukur dengan angka dan warna tinta. Guru dan kepala sekolah melakukan banyak hal (atau diyakini sebagai banyak inovasi) dalam rangka mensukseskan seremoni bernama ujian. Mau tahu ukuran suksesnya? Nilai sekolah. Semakin banyak siswa yang mendapat nilai tinggi, semakin besar kredibilitas sekolah, begitu berlaku sebaliknya.
Maka digelarlah yang disebut dengan ulangan 1, ulangan 2 dan seterusnya. Lalu ada kursus Ujian Nasional yang diadakan guru (atau lembaga bimbel) secara personal. Pelajaran matematika dianggap segalanya. Jelang UN, diadakan simulasi atau pra-Ujian Nasional dengan maksud agar siswa siap luar-dalam menghadapi ujian sungguhan. Belum lagi try out demi try out yang digelar secara massal baik oleh lembaga plat merah maupun swasta.
Tidakkah semua tradisi itu benar-benar telah menempatkan Ujian Nasional sebagai Dewa Pendidikan?
Memang belum ada cara yang lebih efektif dalam mengukur keberhasilan proses belajar-mengajar di kelas selain lewat ujian. Juga tidak ada perangkat lebih canggih untuk menyeragamkan kualitas pengajaran (bukan pendidikan) dari ujung Sabang sampai ujung Merauke. Tapi apakah seperti ini implementasi dari evaluasi belajar di sekolah?
Saya bukan pendidik meskipun pernah mengajar setahun dua tahun dalam rangka pengabdian dan persyaratan pendidikan sekolah. Maka daripada ngomongin teori ini dan itu terkait ujian nasional, ada baiknya saya bercerita bagaimana ujian sekolah diadakan di almamater Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Sebuah ujian yang menurut saya ideal dan layak diterapkan oleh pemerintah.
Sebelum ngomongin soal ujian di Gontor, perlu diketahui bahwa di pondok ini tidak ada yang namanya Ujian Nasional. Pondok mengadakan pembelajaran dengan caranya sendiri. Bahasa pengantar di sekolah juga mengacu pada standar sendiri, yaitu Bahasa Indonesia, Arab dan Inggris (sesuai kebutuhan mata pelajaran). Dan tidak ada lembar-lembar soal UN berlabel Rahasia Negara yang dikirim ke pondok untuk dibagikan ke santri.
Untuk ujian pun, semua dilaksanakan berdasarkan praktek dan sistem yang berlaku di Gontor.
Di tempat sekolah berasrama ini, yang sistem pengajarannya sudah mendapat pengakuan persamaan dari Departemen Agama (1998) dan penyetaraan dari Departemen Pendidikan (2000), berlaku falsafah yang dipegang teguh puluhan tahun: Ujian untuk belajar, bukan belajar untuk ujian.
Falsafah ujian tersebut menyatu dengan motto pembelajaran lainm yaitu metode lebih penting daripada materi, guru lebih penting daripada metode; pondok memberi kail, tidak memberi ikan; ilmu bukan untuk ilmu tetapi untuk amal dan ibadah; serta komposisi pelajaran di pondok adalah 100% agama dan 100% umum.
Selama sekolah di pondok, sama halnya dengan para siswa di pelosok dunia, saya mendapati ujian sebagai musim yang menggetarkan (lagi menakutkan). Aktifitas sekolah di Gontor diliburkan sepuluh hari menjelang ujian. Lampu-lampu dijalan ditambah agar tidak ada sejengkal pun ruang terbuka yang gelap di malam hari. Beberapa aktifitas rutin santri dihilangkan. Peraturan asrama sedikit dilonggarkan.
Ujian adalah musim yang sama sekali berbeda. Pondok menyebutnya sebagai pesta. Pesta ilmu dan pelajaran. Maka sepanjang musim ini, Anda akan menemukan semua santri bertebaran di banyak sudut sambil memegang setumpuk buku. Di masjid, di lapangan, di bawah pohon, di tengah jalan, di mana-mana.
Rutinitas pagi berubah. Dari masuk kelas jadi sesi belajar di mana saja. Ada yang semangat membaca, tak sedikit yang semangat tidur. Tapi jangan harap bisa tidur lama, karena pengawas berkeliling ke setiap sudut pondok. Para guru diperintahkan untuk menyebar sepanjang malam. Mereka bertugas sebagai perpustakaan berjalan. Atau lebih tepatnya kelas berjalan. Kalau ada murid, murid dari kelas apapun, bertanya dan meminta penjelasan suatu pelajaran, sang guru harus siap menjelaskan sejelas-jelasnya. Tidak peduli si murid berasal dari kelas satu atau kelas empat. Karena pada dasarnya para guru adalah mantan santri yang sudah mempelajari dan dianggap menguasai semua pelajaran.
Maka ada guru yang sengaja memilih satu rute atau satu kawasan asrama yang hanya diisi oleh kelas tertentu untuk menghindari pertanyaan dari kelas yang tidak begitu dikuasai.
Selama ujian, santri diharapkan tidak menerima tamu. Atau, dengan kata lain, para wali santri diminta untuk tidak datang berkunjung selama masa ujian berlangsung. Karena dapat merusak konsentrasi belajar putra mereka.
Sumber : http://edukasi.kompasiana.com/2013/0...tml?ref=signin
Ujian dibuat sebagai tujuan, bukan proses belajar. Sebagai target, bukan sarana. Ujian diposisikan sebagai satu-satunya cara mengidentifikasi keilmuan murid, bukan metode untuk membuat orang pintar. Posisi ujian berada di awal, bukan di akhir.
Dengan kerangka berpikir begini, pendidikan dijalankan dalam bingkai ujian. Pengajaran pun dievaluasi lewat ujian di atas kertas yang hasilnya diukur dengan angka dan warna tinta. Guru dan kepala sekolah melakukan banyak hal (atau diyakini sebagai banyak inovasi) dalam rangka mensukseskan seremoni bernama ujian. Mau tahu ukuran suksesnya? Nilai sekolah. Semakin banyak siswa yang mendapat nilai tinggi, semakin besar kredibilitas sekolah, begitu berlaku sebaliknya.
Maka digelarlah yang disebut dengan ulangan 1, ulangan 2 dan seterusnya. Lalu ada kursus Ujian Nasional yang diadakan guru (atau lembaga bimbel) secara personal. Pelajaran matematika dianggap segalanya. Jelang UN, diadakan simulasi atau pra-Ujian Nasional dengan maksud agar siswa siap luar-dalam menghadapi ujian sungguhan. Belum lagi try out demi try out yang digelar secara massal baik oleh lembaga plat merah maupun swasta.
Tidakkah semua tradisi itu benar-benar telah menempatkan Ujian Nasional sebagai Dewa Pendidikan?
Memang belum ada cara yang lebih efektif dalam mengukur keberhasilan proses belajar-mengajar di kelas selain lewat ujian. Juga tidak ada perangkat lebih canggih untuk menyeragamkan kualitas pengajaran (bukan pendidikan) dari ujung Sabang sampai ujung Merauke. Tapi apakah seperti ini implementasi dari evaluasi belajar di sekolah?
Saya bukan pendidik meskipun pernah mengajar setahun dua tahun dalam rangka pengabdian dan persyaratan pendidikan sekolah. Maka daripada ngomongin teori ini dan itu terkait ujian nasional, ada baiknya saya bercerita bagaimana ujian sekolah diadakan di almamater Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Sebuah ujian yang menurut saya ideal dan layak diterapkan oleh pemerintah.
Sebelum ngomongin soal ujian di Gontor, perlu diketahui bahwa di pondok ini tidak ada yang namanya Ujian Nasional. Pondok mengadakan pembelajaran dengan caranya sendiri. Bahasa pengantar di sekolah juga mengacu pada standar sendiri, yaitu Bahasa Indonesia, Arab dan Inggris (sesuai kebutuhan mata pelajaran). Dan tidak ada lembar-lembar soal UN berlabel Rahasia Negara yang dikirim ke pondok untuk dibagikan ke santri.
Untuk ujian pun, semua dilaksanakan berdasarkan praktek dan sistem yang berlaku di Gontor.
Di tempat sekolah berasrama ini, yang sistem pengajarannya sudah mendapat pengakuan persamaan dari Departemen Agama (1998) dan penyetaraan dari Departemen Pendidikan (2000), berlaku falsafah yang dipegang teguh puluhan tahun: Ujian untuk belajar, bukan belajar untuk ujian.
Falsafah ujian tersebut menyatu dengan motto pembelajaran lainm yaitu metode lebih penting daripada materi, guru lebih penting daripada metode; pondok memberi kail, tidak memberi ikan; ilmu bukan untuk ilmu tetapi untuk amal dan ibadah; serta komposisi pelajaran di pondok adalah 100% agama dan 100% umum.
Selama sekolah di pondok, sama halnya dengan para siswa di pelosok dunia, saya mendapati ujian sebagai musim yang menggetarkan (lagi menakutkan). Aktifitas sekolah di Gontor diliburkan sepuluh hari menjelang ujian. Lampu-lampu dijalan ditambah agar tidak ada sejengkal pun ruang terbuka yang gelap di malam hari. Beberapa aktifitas rutin santri dihilangkan. Peraturan asrama sedikit dilonggarkan.
Ujian adalah musim yang sama sekali berbeda. Pondok menyebutnya sebagai pesta. Pesta ilmu dan pelajaran. Maka sepanjang musim ini, Anda akan menemukan semua santri bertebaran di banyak sudut sambil memegang setumpuk buku. Di masjid, di lapangan, di bawah pohon, di tengah jalan, di mana-mana.
Rutinitas pagi berubah. Dari masuk kelas jadi sesi belajar di mana saja. Ada yang semangat membaca, tak sedikit yang semangat tidur. Tapi jangan harap bisa tidur lama, karena pengawas berkeliling ke setiap sudut pondok. Para guru diperintahkan untuk menyebar sepanjang malam. Mereka bertugas sebagai perpustakaan berjalan. Atau lebih tepatnya kelas berjalan. Kalau ada murid, murid dari kelas apapun, bertanya dan meminta penjelasan suatu pelajaran, sang guru harus siap menjelaskan sejelas-jelasnya. Tidak peduli si murid berasal dari kelas satu atau kelas empat. Karena pada dasarnya para guru adalah mantan santri yang sudah mempelajari dan dianggap menguasai semua pelajaran.
Maka ada guru yang sengaja memilih satu rute atau satu kawasan asrama yang hanya diisi oleh kelas tertentu untuk menghindari pertanyaan dari kelas yang tidak begitu dikuasai.
Selama ujian, santri diharapkan tidak menerima tamu. Atau, dengan kata lain, para wali santri diminta untuk tidak datang berkunjung selama masa ujian berlangsung. Karena dapat merusak konsentrasi belajar putra mereka.
Sumber : http://edukasi.kompasiana.com/2013/0...tml?ref=signin
Serba Serbi Ujian Di Gontor
Quote:
Menjelang Ujian baik ujian biasa ataupun Ujian Siswa Akhir sampai hari terakhir Ujian WAJIB membawa buku pelajaran kemana-mana, sampai kedapur pun harus bawa, karena ngantrinya panjaaang jadi sambil baca buku dan ketika makan pun jangan heran anak santri ada juga yg sambil membaca saking berharganya waktu

Quote:
Mekanisme pelaksanaan ujian terbagi dua, Ujian Lisan mencakup conversation dan pertanyaan2 berkaitan dg pelajaran secara verbal, setiap santri diuji kuranglebih 20menit lamanya didalam ruangan oleh 4 orang penguji, dan juga ujian Tulis berlangsung 10 hari setelah ujian lisan selesai dilaksanakan
Quote:
Soal ujian tulis semuanya Essay, berisikan 20 soal bahkan lebih, dan tiap soal beranak satu atau dua
, jaid beneran ditulis pake bahasa arab dan inggris jawabanyya, gak bikin bulet-bulet gitu gan


Quote:
Tidak berlaku sistem curang ( contek mencontek ) atau pengawas memberikan kunci jawaban, Resikonya fatal bisa di skorsing bahkan di keluarkan alias D.O, Jadi benar-benar diuji kejujuran dan kesungguhan[
Quote:
Dan di Gontor hingga saat ini seleksi masuk pondok juga naik kelas berlaku dan menjadi bagian dari sistem pendidikan, bukan hanya diukur dari nilai akademisi, namun faktor lain juga semisal kepribadian, akhlak, moral, aktifitas dipantau 24 Jam, dan itu yang nantinya masuk catatan Raport yang dibagikan nantinya, dan nilai pelajaran benar-benar murni, kalo dapat 5 matematika, ya ditulis 5 juga di raportnya, jadi jangan heran disana setiap tahun ada yang tinggal kelas, itulah seleksi kualitas
Quote:
Itu yang dapat ane tulis, takutnya kepanjangan, semoga pendidikan di Indonesia bisa dipimpin oleh orang-orang yang berkualitas dan profesional hingga tidak lagi terjadi hal yg dialami sekarang ini oleh anak bangsa kita.
TS kehausan, tolong disiram sama
, kalo
kasih aja sama kuli bangunan 



Diubah oleh thebestmagician 21-04-2013 11:45
0
11.5K
Kutip
66
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan