- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
"Please, Just Listen!"
TS
kuramayoko
"Please, Just Listen!"
permisi agan-agan kaskuser yang baik hati,
ijinkan saya untuk berbagi hasil corat-coret di dinding kehidupan
sekedar menumpahkan air yang berlebih di gelas
ijinkan saya untuk berbagi hasil corat-coret di dinding kehidupan
sekedar menumpahkan air yang berlebih di gelas
Spoiler for 1:
Cerita Dinda (1)
Suasana pagi berselimut sejuk. Udara rindang pepohonan selepas menepis embun menyiarkan harum khas pepagian. Awal hari mulai berjalan. Sang kehidupan telah menulis ceritanya kembali.
Aku berjalan menyusuri koridor sekolah. Suasana tampak sepi. Aneh sekali, pikirku. Bukankah tidak seperti biasanya keadaan pagi ini. Aku melirik jam tanganku. Masih pukul setengah tujuh, sedangkan bel masuk jam tujuh tepat. Seharus kondisi sekolah sudah setengah ramai dengan siswa yang baru datang.
Kususuri satu persatu ruang kelas yang aku lalui. Tidak ada yang ganjil ketika aku melihatnya. Namun perasaanku masih terselimut sesuatu yang janggal. Apakah itu, tanyaku dalam hati. Entah dari mana suara yang berdengung di kepalaku seolah menunjukkan kalau yang kulihat, kusadari, dan kualami saat ini adalah tidak nyata.
Ya benar, “mungkin aku kurang tidur semalam”, sahutku tak terdengar. Mungkin waktu tidur yang terbatas semalam membuatku merasa seperti orang bingug di pagi hari. Tapi, kembali sesuatu itu datang menyeruak.
Aku berhenti di depan sebuah kelas. Mataku melihat ada lima orang di dalamnya. Sebagian dari mereka aku mengenalnya karena pernah satu sekolah dan satu kelas saat SMP dulu. Aku coba melongok melalui jendela yang terbuka kecil.
Aku melihat Dina sedang duduk di pojok depan sambil menulis. Pasti sedang menyalin pr, aku mencoba menerka-nerka apa yang sedang dia kerjakan. Di baris paling belakang empat orang anak laki-laki sedang asyik mengobrol. Salah satunya Radit, seorang yang duduk di pinggir meja. Mataku bertemu pandang dengan dirinya. Dan aku kembali merasakan sesuatu yang berbeda.
Kupalingkan pandanganku dari dirinya segera aku melihat papan tulis yang menempel di dinding depan kelas. Ini adalah kelas XII, aku melihat tulisan-tulisan tentang pelajaran masih belum dibersihkan dari papan tulis tersebut. Beberapa tulisan aku mengenalnya samar-samar kalau itu adalah hasil karya Pak Diman, guru matematikaku. “Pak Diman, kemarin di kelas ini”, kataku dalam hati. Kembali suasana berubah.
Aku melanjutkan jalanku dan kali ini melewati sebuah ruang UKS. Kulirik sebentar, ada seorang siswa disana. Dia sedang membetulkan sesuatu yang tergantung di dinding. Dari belakang tubuhnya aku sepertinya mengenalnya. Aku kembali mengingat-ingat siapa dia. ‘Oh ya, itukan Reni, kenapa pagi-pagi udah ada di uks, seruku lirih.
Reni, adik kelasku. Aku mengenalnya ketika awal-awal dia masuk sekolah ini. Pada saat masa orientasi, dia memintaku menandatangani buku MOS-nya. Awalnya aku menolak karena aku bukan bagian dari panitia atau OSIS sekolah, namun ia tetap memaksaku. Katanya ada orang lain yang menyuruh dirinya untuk meminta tanda tanganku. Orang itu berkata kepada Reni, “Kau harus mengenalnya, dia akan menjadi teman sekaligus kakakmu yang baik disini”. Aku sendiri tak mengerti mengapa dia berkata seperti itu kepada Reni. Begitu juga sebaliknya, Reni pun tak mengerti.
Aku melihatnya masih sibuk. Aku biarkan saja ia dengan kegiatannya di UKS. Aku kembali menuju kelasku. Kelasku ada di ujung koridor ini. Ketika tiba di depan kelas, aku melihat seseorang berdiri di sisi luar jendela. Sembilan meter di hadapanku. Ia berdiri bersandar dengan dinding diantara sela-sela jendela yang sebagian terbuka. “Ngapain dia disini”, gumamku diselimuti rasa penasaran.
Aku mendekatinya. “Tar, ngapain disini, gak masuk ke kelas? Mungkin Dinda udah dateng” tanyaku tiba-tiba. Ia menoleh ke arahku dan tersenyum. “Gak Ar, aku gak nyari Dinda, timpalnya. Kali ini ia menjauh dari jendela dan duduk di bangku panjang depan kelasku. Aku mengikutinya dan segera duduk disampingnya. “Gak nyari Dinda, tumben, terus ada apa?”, rasa penasaranku kembali hinggap. Tari disini tidak bermaksud ketemu Dinda, sahabat dekatnya. Biasanya setiap sebelum bel masuk atau istirahat, dia kesini menemui Dinda untuk sekedar mengobrol menghabiskan waktu. Sebelum melanjutkan percakapan, aku berdiri dan melihat melalui jendela, apakah Dinda ada di dalam kelas. Mataku menyapu setiap sudut dan tak menemukannya. Jelas sudah Tari memang tidak sedang mencarinya. Tapi bukankan Tari dan Dinda selalu berangkat dan pulang bersama-sama. Jadi kalau Tari sudah tiba di sekolah seharusnya Dinda pun ada disini.
Aku kembali duduk didekatnya. “Kok Dinda belum dateng, biasanya bareng terus sama kau. Apa tadi berangkatnya gak bareng”, kembali aku bertanya. Meskipun itu bukan urusanku menanyakan tentang Tari dan Dinda, tapi sebuah kejanggalan kecil cukup untuk memulai pembicaraan.
“Gak, aku tadi berangkat sendiri. Waktu aku ke rumahnya dinda gak ada. Kata neneknya dari semalam dia di rumah sakit karena ibunya sakit. Aku sendiri lupa kalau kemarin sore akulah yang mengantarnya menjenguk ibunya. Mungkin dia menginap disana dan izin tidak masuk hari ini”, katanya memberikan penjelasan.
Tari menatapku dan tangannya bergerak meraih telapak tanganku. “Ar boleh aku ngomong sesuatu sama kamu”, suaranya lembut dan pikiranku beranjak dari ragaku saat ini. Sesuatu terbang seketika ketika aku melihat tatapan yang datang dari bola matanya. Sebuah tatapan yang sering aku lihat di kala itu. Aku menghela napas dan membalas genggamannya. Kali ini aku bereaksi lebih keras. Aku remas erat namun lembut pada tangannya.
Aku menangkap pikiran yang sempat kabur. Kali ini terbawa sebuah memori yang telah lama tersimpan. Aku coba mengingatnya kembali. Aku masih terdiam. “Ya, apa yang kamu mau omongin”, jawabku pada dirinya.
Sebuah keheningan melingkupi kami. Waktu seolah berhenti. Alam seolah-olah memberikan jeda diantara aku dan Tari. Aku hiraukan kedaan luar. Aku hanya ingin kembali mengingat masa itu. Dan saat ini aku sangat menginginkannya.
***
Aku pacu motorku dengan kecepatan penuh. Derasnya hujan tak mengahalangi untuk menerobos jalanan. Helmku berulang kali basah oleh tetes air dan mengaburkan pandanganku. Tapi aku sigap dan segera kuenyahkan air yang jatuh membahasi kaca helmku. Suasana jalan lengang. Suara petir terdengar bersahutan. Tak kupedulikan apa yang terjadi dengan alam saat ini. Aku hanya punya satu tujuan. Dan harus aku lakukan sekarang juga.
Sebuah mobil tiba-tiba telah lima puluh meter berlawanan arah di depanku. Sorot lampunya segera menyadarkanku. Untung saja jalan ini dapat dilalui dua mobil sehingga segera saja aku melaju agak ke pinggir. Mobil itu terlalu ke kengah jalan. Hampir saja, untung cepat menghindar, aku mengeluh kejadian barusan. Berbahaya sekali. Untung saja mobil tersebut menyalakan lampu.
Ah, aku sadar, ternyata aku juga salah. Aku sendiri tidak menyalakan lampu. Jadi di hujan yang sangat deras seperti ini resiko kecelakaan sangat tinggi dan menyalakan lampu menjadi salah satu cara menghindarinya. Paling tidak suasana cahaya di bawah tetes air dan suasana gelap sedikit menyadarkan para pengemudi kalau jalanan tidak benar-benar lengang.
Aku berbelok melalui tikungan tajam. Suara derit ban yang tertahan rem membuatku terkejut. Seketika aku merasakan air membasahi keningku. Jatuh meluncur dan menerpa kedua mataku. Tanganku masih tersadar menggenggam stang motor. Aku yakin tidak terjadi apa-apa. Roda belakang tak bergerak, motorku terhenti.
Beberapa saat kemudian aku menoleh ke samping kanan. Entah dimana aku saat ini. Aku tahu itu bukan motor ataupun mobil. Aku tak yakin dimana aku saat ini. Bukankah setelah berbelok tadi seharusnya sebuah jalan lurus. Namun kenapa ada banyak lampu bergerak di sisi kanan-kiri jalan. Mataku masih perih kemasukan air. Berulang kali aku mengedipkan mata. Kepalaku terasa dingin. Sepertinya air hujan telah masuk membasahi rambutku dan kini menjalar ke arah punggung melalui celah-celah jaket yang kupakai. Dingin air juga terasa di tangan kiriku. Aku tak merasakan sarung tangan yang tadi kugunakan. Tetesan air seperti kerikil kecil yang jatuh menimpa telapak tanganku. Tunggu dulu, telapak tangan, seruku panik.
***
DSA
anasabila memberi reputasi
1
941
Kutip
2
Balasan
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan