- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Muda, Kaya Raya, Dermawan (Tren Filantropis di Silicon Valley)


TS
arnandadanu
Muda, Kaya Raya, Dermawan (Tren Filantropis di Silicon Valley)
Quote:
Muda, Kaya Raya, Dermawan (Tren Filantropis di Silicon Valley)
Banyak orang menginginkan kekayaan tanpa harus bekerja keras untuk itu. Namun, jika itu terjadi secara mendadak, bisa jadi kita akan berpikir 1000 kali sebelum menginginkannya karena sindrom Kaya Raya Mendadak tak sepenuhnya menyenangkan. Menurut Money, Meaning and Choices Institute, hal itu bisa memicu ketakutan, susah tidur, rasa bersalah yang tak disadari, krisis jati diri dan depresi.
Di Silicon Valley, setidaknya satu gejala sudah dideteksi: tren filantropis yang meluas. Perusahaan pemodal ventura Andreessen Horowitz (penyokong Instagram dan Zynga) mengumumkan bahwa enam mitranya akan menyumbangkan setengah penghasilan mereka. Berita itu datang dari Marc Andressen (40), Bene Horowitz (45) sesaat sebelum IPO Facebook beberapa bulan lalu. Elon Musk (40), salah satu pendiri paypai, dan salah satu pendiri Facebook, Dustin Moskovitz (27) juga turut serta menandatangani dalam Giving Pledge milik Warrenb Buffett. Di tempat lain, Sergey Brin dan istrinya Anne Wojcicki (38) menjanjikan akan menyumbang 1 juta dolar untuk badan amal pemberantasan kemiskinan setempat “Tipping Point”.
Salah satu sosok legendaris Silicon Valley, Steve Jobs, juga pernah mencicipi menjadi filantropis dengan mendirikan Steve P. Jobs di tahun 1986 tetapi menutupnya setahun berikutnya. Ia bertekad memfokuskan diri pada keuntungan. Hingga sekarang Apple tak memiliki program amal apapun.
Namun, keadaan akan berubah. Dua musim panas lalu pendiri Salesforce Mark Benioff (47) memberi sumbangan pada rumah sakit anak di San Fransisco dan pendiri Facebook, Mark Zuckerberg (27), membantu sekolah Newark. Masing-masing entrepreneur ini menyumbang 100 juta dollar. Filantropi individu kembali marak dan batasan usianya makin muda saja.
Warren Buffett belum menyumbangkan apapun yang signifikan pada masyarakat sebelum berusia 70 tahun. Sam Walton baru ikut menjadi pegiat sosial saat berusia 69 tahun. Namun kelompok filantropis baru ini berusia jauh lebih muda dibandingkan generasi pendahulunya. Seorang CEO nirlaba yang tak disebutkan namanya mendapatkan telepon dari seorang entrepreneur yang ingin menyumbangkan dana dalam jumlah tak sedikit karena sebelumnya berhasil menjual perusahaan teknologinya. Dan entrepreneur muda ini baru berusia 22 tahun.
Platform seperti Facebook mungkin lebih dari sebuah kegiatan berjejaring tanpa manfaat. Namun mereka yang masih muda dan antusias ini menunjukkan semangat untuk memberikan kembali apa yang mereka dapatkan pada masyarakat sekitar.
Mulanya berawal dari Google dan kini makin menggejala. Generasi Facebook akan makin berpeluang menjadi filantropis di usia muda. Demikian kata Ron Conway, seorang angel investor dan mentor. “Dalam setahun Anda akan menyaksikan komunitas ini menjadi filantropis. Lihat saja Jack Dorsey,” ujarnya. “Salah satu pendiri Twitter yang berusia 35 tahun ini baru saja membantu badan amal Build, yang mengajar anak-anak kurang beruntung untuk menjadi entrepreneur”.
Kelompok ini yakin bahwa teknologi bersifat dermawan. Pendiri Twitter lainnya kini mengepalai perusahaan yang sebetulanya disebut Obvious Corp. Bisnis ini berinvestasi pada pembangunan masyarakat, secara online. Laura Arrilaga-Andressen, penulis “Giving 2.0” membicarakan mengenai teknologi yang memabngkitkan kembali bisnis penyebar kebajikan.
Mereka mengembalikan apa yang sudah mereka dapat: keahlian, uang dan fokus pada masa depan. (*AP)
Sumber
0
1.2K
Kutip
2
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan