

TS
kravivanya
[Milfic] Penguasa Langit retak
or
Spoiler for first:
Prolog: sang Kaisar dan Rajawali.
Berjalan diantara pasir yang indah ini terkadang membuatmu bertanya tentang apa langit dan apa yang penguasa surga berikan padamu. Aku dulunya berkata dan bersabda dengan sombongnya bahwa manusia dan Tuhan tidak sejalan. Akan tetapi kini pendapatku berubah. Sedikit berubah.
Berhaturkan sembah dan tempik yang menjerit dalam diriku berbisik tiada satupun orang waras yang mau datang kemari. Tetapi apa yang kujanjikan pada diriku sendiri, dan ibuku mengalahkan apa yang orang waras pikirkan. Selembar film terlampir dilenganku, perlahan menghitam seiring resapan radiasi yang membayang tersapu angin.
“tak usah khawatir bos, disini aman, radiasi yang ada kurang dari yang seharusnya anda terima sehari-hari dijakarta.” Pemanduku, Hathir berujar disebelahku. Pria ini bisa membaca pikiran sepertinya.
Aku mengalihkan pembicaraan, “berapa lama lagi kita bertemu kolonel Merpati?”
Pertanyaanku terjawab, seorang lelaki paruh baya muncul dari balik gundukan pasir. Kulit terbakar matahari dengan satu mata yang tertutup akibat luka parah 7 tahun lalu menyambutku dengan senyum.
Dengan sedikit berbasa-basi, ia menuntun kami ke sebuah pondok kecil dan terawat diujung sebuah tanjung menghadap laut. Meskipun ia salah seorang veteran dengan medali yang panjangnya dua meter, namun tidak sedikitpun kekerasan perang membekas di wajahnya. Dan tiba waktuku bertanya, “apa yang anda bisa ceritakan mengenai sang kaisar?”
“oh beliau?” matanya menerawang sekejap, dan seketika bangun kembali, “apa yang engkau ketahui mengenai pilot jagoan atau aces?” ia memeluk tongkat yang tak pernah ia pakai, “apa engkau tahu ada tiga jenis aces? Ia yang mencari kehormatan, ia yang ingin membuktikan kekuatannya, ataupun hanya keparat beruntung yang dapat meniti ombak aliran pertempuran.”
“sejujurnya kolonel Merpati, saya tidak tahu, dan saya akan menulis mengenai sang kaisar.”
Kolonel Merpati tertegun, aku melemparkan sebatang korek api menyala dalam memorinya, dan kini kenangan itu terbakar kembali, dan tersulut, “kaisar hanyalah seseorang yang sederhana, pria yang hampir tidak pernah berbicara. Ia hanya bisa ditebak terkadang hanya dari sorot mata, ataupun dari petikan gitarnya. Orang-orang macam kamu, anak muda yang membuatnya menjadi mitos, menjadi legenda.
Selepas reformasi, orang-orang mencari sosok pahlawan, kebetulan banyak dari kalian yang memakai emblem sang kaisar sebagai simbol perjuangan, suatu sosok manusia setengah dewa. Seorang che Guevara baru,” Merpati meludah, “meskipun orang yang kukenal sebagai kaisar adalah sosok yang jauh lebih sederhana.”
“dengan segala hormat kolonel, akan tetapi seseorang yang merontokkan lebih dari 21 pesawat musuh dalam perang yang tidak seimbang, membawa merah putih kembali disegani itu jauh dari gambaran… kata sederhana.” Jawabku yang seolah tidak percaya sosok yang paling dekat dengan sang kaisar menggambarkan seorang pahlawan nasional sebagai orang yang sederhana. Well, kalau di jakarta sekarang, engkau menggambarkan sederhana adalah orang-orang kampung biasa dengan hidup yang membosankan.
“merah putih disegani? Coba kau lihat anak muda disekelilingmu.. engkau mengira merah putih disegani. Aku bisa dengan jelas melihat seiring dosimetermu menghitam, semakin jelas ketakutanmu berada disini. Apa perlu kusebutkan siapa yang menembakkan 4 peluru kendali nuklir kemari? Negaraku, dan kita. Tahukah kamu anak muda, jika sekarang Indonesia tak lebih dari negara dunia ketiga yang dipandang dengan rasa jijik sebagai negara kedua yang menggunakan senjata syaraf dalam pertempuran? Berhentilah hidup dalam delusi, semakin engkau menggaruk fakta mengenai sang kaisar engkau hanya akan menemukan kekosongan.”
“aku akan menulis mengenai sang kaisar sesuai dengan kehormatannya, sesuai dengan tempatnya yang layak, ini adalah buku pertama yang akan mengangkat sang kaisar setelah Uni Rakyat Demokratik Indonesia bubar.” Jawabku.. menyebut nama indonesia lama dengan hormat hanya menambah garis diwajah kolonel Merpati.. aku tidak mengerti mengapa begitu banyak garis pilu disana, Demi Tuhan yang tak pernah ada… beliau adalah salah satu pemegang Bintang Merah Sakti! Pejuang terhormat!
“tempatnya, dan kami yang layak adalah di neraka. Tidak ada yang lebih layak dari itu.. dan sang Kaisar, adalah temanku… rekan.. saudara… dan saudara adalah tangan kiri yang membersihkan apa yang tangan kanan lakukan… jika engkau memang ingin mengetahui seperti apa kaisar.. maka kisahnya dimulai dari sini, tempat dimana engkau duduk sekarang.. dulunya adalah pangkalan Udara Leo Wattimena..”
Dan aku tidak pernah berfikir pertanyaanku akan jawaban mengenai sang kaisar akan mengguncang nalarku. Sama sekali tidak pernah… dan jawaban daripada pria yang kukenal dan ibu tangisi hanya dari sejumlah foto pudar.. sama sekali tidak pernah kusukai
Berjalan diantara pasir yang indah ini terkadang membuatmu bertanya tentang apa langit dan apa yang penguasa surga berikan padamu. Aku dulunya berkata dan bersabda dengan sombongnya bahwa manusia dan Tuhan tidak sejalan. Akan tetapi kini pendapatku berubah. Sedikit berubah.
Berhaturkan sembah dan tempik yang menjerit dalam diriku berbisik tiada satupun orang waras yang mau datang kemari. Tetapi apa yang kujanjikan pada diriku sendiri, dan ibuku mengalahkan apa yang orang waras pikirkan. Selembar film terlampir dilenganku, perlahan menghitam seiring resapan radiasi yang membayang tersapu angin.
“tak usah khawatir bos, disini aman, radiasi yang ada kurang dari yang seharusnya anda terima sehari-hari dijakarta.” Pemanduku, Hathir berujar disebelahku. Pria ini bisa membaca pikiran sepertinya.
Aku mengalihkan pembicaraan, “berapa lama lagi kita bertemu kolonel Merpati?”
Pertanyaanku terjawab, seorang lelaki paruh baya muncul dari balik gundukan pasir. Kulit terbakar matahari dengan satu mata yang tertutup akibat luka parah 7 tahun lalu menyambutku dengan senyum.
Dengan sedikit berbasa-basi, ia menuntun kami ke sebuah pondok kecil dan terawat diujung sebuah tanjung menghadap laut. Meskipun ia salah seorang veteran dengan medali yang panjangnya dua meter, namun tidak sedikitpun kekerasan perang membekas di wajahnya. Dan tiba waktuku bertanya, “apa yang anda bisa ceritakan mengenai sang kaisar?”
“oh beliau?” matanya menerawang sekejap, dan seketika bangun kembali, “apa yang engkau ketahui mengenai pilot jagoan atau aces?” ia memeluk tongkat yang tak pernah ia pakai, “apa engkau tahu ada tiga jenis aces? Ia yang mencari kehormatan, ia yang ingin membuktikan kekuatannya, ataupun hanya keparat beruntung yang dapat meniti ombak aliran pertempuran.”
“sejujurnya kolonel Merpati, saya tidak tahu, dan saya akan menulis mengenai sang kaisar.”
Kolonel Merpati tertegun, aku melemparkan sebatang korek api menyala dalam memorinya, dan kini kenangan itu terbakar kembali, dan tersulut, “kaisar hanyalah seseorang yang sederhana, pria yang hampir tidak pernah berbicara. Ia hanya bisa ditebak terkadang hanya dari sorot mata, ataupun dari petikan gitarnya. Orang-orang macam kamu, anak muda yang membuatnya menjadi mitos, menjadi legenda.
Selepas reformasi, orang-orang mencari sosok pahlawan, kebetulan banyak dari kalian yang memakai emblem sang kaisar sebagai simbol perjuangan, suatu sosok manusia setengah dewa. Seorang che Guevara baru,” Merpati meludah, “meskipun orang yang kukenal sebagai kaisar adalah sosok yang jauh lebih sederhana.”
“dengan segala hormat kolonel, akan tetapi seseorang yang merontokkan lebih dari 21 pesawat musuh dalam perang yang tidak seimbang, membawa merah putih kembali disegani itu jauh dari gambaran… kata sederhana.” Jawabku yang seolah tidak percaya sosok yang paling dekat dengan sang kaisar menggambarkan seorang pahlawan nasional sebagai orang yang sederhana. Well, kalau di jakarta sekarang, engkau menggambarkan sederhana adalah orang-orang kampung biasa dengan hidup yang membosankan.
“merah putih disegani? Coba kau lihat anak muda disekelilingmu.. engkau mengira merah putih disegani. Aku bisa dengan jelas melihat seiring dosimetermu menghitam, semakin jelas ketakutanmu berada disini. Apa perlu kusebutkan siapa yang menembakkan 4 peluru kendali nuklir kemari? Negaraku, dan kita. Tahukah kamu anak muda, jika sekarang Indonesia tak lebih dari negara dunia ketiga yang dipandang dengan rasa jijik sebagai negara kedua yang menggunakan senjata syaraf dalam pertempuran? Berhentilah hidup dalam delusi, semakin engkau menggaruk fakta mengenai sang kaisar engkau hanya akan menemukan kekosongan.”
“aku akan menulis mengenai sang kaisar sesuai dengan kehormatannya, sesuai dengan tempatnya yang layak, ini adalah buku pertama yang akan mengangkat sang kaisar setelah Uni Rakyat Demokratik Indonesia bubar.” Jawabku.. menyebut nama indonesia lama dengan hormat hanya menambah garis diwajah kolonel Merpati.. aku tidak mengerti mengapa begitu banyak garis pilu disana, Demi Tuhan yang tak pernah ada… beliau adalah salah satu pemegang Bintang Merah Sakti! Pejuang terhormat!
“tempatnya, dan kami yang layak adalah di neraka. Tidak ada yang lebih layak dari itu.. dan sang Kaisar, adalah temanku… rekan.. saudara… dan saudara adalah tangan kiri yang membersihkan apa yang tangan kanan lakukan… jika engkau memang ingin mengetahui seperti apa kaisar.. maka kisahnya dimulai dari sini, tempat dimana engkau duduk sekarang.. dulunya adalah pangkalan Udara Leo Wattimena..”
Dan aku tidak pernah berfikir pertanyaanku akan jawaban mengenai sang kaisar akan mengguncang nalarku. Sama sekali tidak pernah… dan jawaban daripada pria yang kukenal dan ibu tangisi hanya dari sejumlah foto pudar.. sama sekali tidak pernah kusukai
0
10.6K
Kutip
50
Balasan
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan