jungle99rulesAvatar border
TS
jungle99rules
[MIRIS] Pramoedya Ananta Toer: Dihargai Dunia Dipenjara di Negeri Sendiri
Dia bagaikan potret seorang nabi, yang dihargai oleh bangsa lain tetapi dibenci (dipenjara) di negerinya sendiri. Pramoedya Ananta Toer, kelahiran Blora 6 Februari 1925 yang dipanggil Pram dan terkenal dengan karya Tetralogi Bumi Manusia, itu Sang Pujangga yang pantas menjadi calon pemenang Nobel bidang sastra. Dia wafat dalam usia 81 tahun, Minggu 30 April 2006 di Jakarta.

Spoiler for Pramoedya Ananta Toer:


Pram telah menghasilkan belasan buku baik kumpulan cerpen maupun novel.Kenyang dengan berbagai pengalaman berupa perampasan hak dan kebebasan. Ia banyak menghabiskan hidupnya di balik terali penjara, baik pada zaman revolusi kemerdekaan, zaman pemerintahan Soekarno, maupun era pemerintahan Soeharto.

Di zaman revolusi kemerdekaan ia dipenjara di Bukit Duri Jakarta (1947-1949), dijebloskan lagi ke penjara di zaman pemerintahan Soekarno karena buku Hoakiau di Indonesia, yang menentang peraturan yang mendiskriminasi keturunan Tionghoa

Spoiler for :


Setelah pecah G30S-PKI, Pramoedya yang anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat - onderbouw Partai Komunis Indonesia - ditangkap dan dibuang ke Pulau Buru sampai tahun 1979. Siksaan dan kekerasan adalah bagian hari-harinya di tahanan dan terpaksa kehilangan sebagian pendengarannya, karena kepalanya dihajar popor bedil.

Setelah bebas pun, Pramoedya dijadikan tahanan rumah dan masih menjalani wajib lapor setiap minggu di instansi militer. Meskipun ia sudah 'bebas', hak-hak sipilnya terus dibrangus, dan buku-bukunya banyak yang dilarang beredar terutama di era Soeharto. Pemerintah telah mengambil tahun-tahun terbaik dalam hidupnya, pendengarannya, papernya, rumahnya dan tulisan-tulisannya.

Ia dilahirkan di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 oleh seorang ibu yang memberikan pengaruh kuat dalam pertumbuhannya sebagai individu. Pramoedya mengatakan bahwa semua yang tertulis dalam bukunya teinspirasi oleh ibunya. Karakter kuat seorang perempuan dalam karangan fiksinya didasarkan pada ibunya, "seorang pribadi yang tak ternilai, api yang menyala begitu terang tanpa meninggalkan abu sedikitpun'.

Ketika Pramoedya melihat kembali ke masa lalu, ia melihat "revolusi Indonesia diwujudkan dalam bentuk tubuh perempuan – ibunya. Meskipun karakter ibunya kuat, fisik ibunya menjadi lemah karena TBC dan meninggal pada umur 34 tahun, waktu itu Pramoedya masih berumur 17 tahun. Bagi Pramoedya, ibu merupakan sosok yang memberi inspirasi bagi tiap tulisannya. Karakter kuat seorang perempuan dalam karangan fiksinya didasarkan pada ibunya, “seorang pribadi yang tak ternilai, api yang menyala begitu terang tanpa meninggalkan abu sedikitpun’. Ketika Pramoedya melihat kembali ke masa lalu, ia melihat “revolusi Indonesia diwujudkan dalam bentuk tubuh perempuan – ibunya.
Setelah ibunya meninggal, Pramoedya dan adiknya meninggalkan rumah keluarga lalu menetap di Jakarta. Pramoedya masuk ke Radio Vakschool, di sini ia dilatih menjadi operator radio yang ia ikuti hingga selesai. Namun ketika Jepang datang menduduki, ia tidak pernah menerima sertifikat kelulusannya. Pramoedya bersekolah hingga kelas 2 di Taman Dewasa, sambil bekerja di Kantor Berita Jepang Domei. Ia belajar mengetik lalu bekerja sebagai stenografer, lalu jurnalis.
Asketis
Penjara menjadi salah satu tempat Pram untuk menulis. Sebagaian besar karya besarnya ia telurkan di ruang “sunyi” tersebut. Ia menulis dalam asketisme (kesunyian) diskusi, kenyamanan, pemandangan indah, dan literatur, namun riuh dengan kekerasan.
Ketika tentara Indonesia berperang melawan koloni Belanda, tahun 1945 ia bergabung dengan para nasionalis, bekerja di sebuah radio, dan membuat sebuah majalah berbahasa Indonesia sebelum ia akhirnya ditangkap dan ditahan oleh Belanda tahun 1947. Selama dalam tahanan Belanda (1947-1949) di Bukit Duri Jakarta, ia menulis novel pertamanya, Perburuan (1950).
Di awal tahun 50-an, ia bekerja sebagai editor di Departemen Literatur Modern Balai Pustaka. Tahun 1962, ia dekat dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat yang disponsori oleh PKI yang kemudian dicap sebagai organisasi “onderbow” atau “mantel” PKI. Di Lekra ia menjadi anggota pleno lalu diangkat menjadi wakil ketua Lembaga Sastra, dan menjadi salah seorang pendiri Akademi Multatuli, yang disponsori oleh Lekra.
Di masa pemerintahan Soekarno, Pram pernah dipenjara karena menulis buku Hoakiau (1960). Buku tersebut berisi kritik atas PP no 10 tahun 1960 yang berbau rasial. Buku Hoakiau merupakan wujud keprihatinan Pram sebab peraturan tersebut berbuntut panjang dengan terjadinya tindakan rasial di Jawa Barat pada 1963, yang dilakukan oleh militer Angkatan Darat. Setelah keluar dari penjara karena soal Hoakiau itu, Profesor Tjan Tjun Sin memintanya “mengajar” di Fakultas Sastra Universitas Res Publica milik Baperki (sekarang Universitas Trisaksi).
Setelah pecah G30S-PKI tahun 1965, Pramoedya yang anggota Lekra, ditangkap kembali dan dibuang ke Pulau Buru sampai tahun 1979. Siksaan dan kekerasan adalah bagian hari-harinya di tahanan, hingga ia terpaksa kehilangan sebagian pendengarannya, karena kepalanya dihajar popor bedil.
Kerasnya menjadi tahanan politik era Orde Baru tak melunturkan gairah menulisnya. Pada tahun 1972, saat di penjara, Pramoedya ”terpaksa” diperbolehkan oleh rezim Soeharto untuk tetap menulis di penjara. Selama dalam penjara (1965-1979) ia menulis 4 rangkaian novel sejarah yang kemudian semakin mengukuhkan reputasinya. Dua di antaranya adalah Bumi Manusia (1980) dan Anak Semua Bangsa (1980), mendapat perhatian dan kritikan setelah diterbitkan, dan pemerintah membredelnya, dua volume lainnya dari tetralogi ini, Jejak Langkah dan Rumah Kaca terpaksa dipublikasikan di luar negeri.

Spoiler for Tetralogi Pulau Buru:


Beberapa tahun setelah dibebaskan tahun 1979, Pramoedya dijadikan tahanan rumah dan harus melapor setiap minggu kepada militer. Pemerintah telah mengambil tahun-tahun terbaik dalam hidupnya, pendengarannya, papernya, rumahnya dan tulisan-tulisannya.
Pramoedya Ananta Toer meninggal dunia pada Minggu 30 April 2006. Namun seperti yang pernah ia katakan, “tiap karya akan punya sejarahnya masing-masing”, kini belasan bukunya sudah diterjemahkan lebih dari 30 puluh bahasa termasuk Belanda, Jerman, Jepang, Rusia dan Inggris. Karena prestasinya inilah ia dianggap sebagai orang yang paling berpengaruh di Asia versi majalah Time.Pelbagai penghargaan penghargaan pernah diraih, seperti PEN Freedom-to-Write Award, Wertheim Award dari Belanda, serta Ramon Magsaysay Award (dinilai dengan brilyan menonjolkan kebangkitan dan pengalaman moderen rakyat Indonesia).

Sumber
Diubah oleh jungle99rules 30-03-2013 09:33
0
7.2K
42
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan