- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
A Zombie's Tale


TS
soraciel
A Zombie's Tale
Spoiler for pembukaan:
ini cerpen pertama ane gan , sebenernya udah ane posting ke id*s, tapi berhubung yang komen cuma dikit
, jadi ane posting ke sini

ane enggak ngarep



yang ane harap cuma kritik dan saran membangun dari agan-agan sekalian

Spoiler for part 1:
Hosh, hosh, hosh,
Aku berlari. Terus berlari. Meninggalkan sahabatku yang tengah menjadi bual-bualan para zombie gila itu.
Ya.
Zombie.
Makhluk berkulit hijau pucat yang menyerupai manusia dengan bentuk mata yang membulat seperti lingkaran disertai kerut-kerutan yang membuat mereka tak sedap dipandang. Aku tidak tahu pastinya kapan kotaku, eh maksudku negeriku terinfeksi virus zombie. Tiba-tiba saja ada pengumuman bahwa seluruh laki-laki harus menjadi tentara untuk melindungi negara dari serangan zombie. Termasuk aku.
Tapi tidak, aku sudah tidak mau lagi saat aku melihat John, sahabatku sejak kecil dimakan para zombie. Aku terus berlari, berharap makhluk-makhluk gila tersebut masih menikmati John. Aku memang jahat. Meninggalkan sahabat dalam keadaan seperti itu. Tapi biarlah, John sudah tahu dari dulu bahwa aku anak yang pengecut. Dia pasti memaklumiku,kan?
BRAK!
Karena “keasyikan” berlari sambil memikirkan John aku menabrak seseorang di tikungan jalan raya. Aku terjerembab sebentar, lalu berdiri untuk melihat siapa yang telah kutabrak.
Oh, tidak buruk. Seorang cewek cantik tapi kusam (mungkin karena sering dikejar zombie sehingga dia tidak sempat mempercantik diri. Yah, mau bagaimana lagi. Aku mandi saja tidak sempat apalagi pakai parfum), rambutnya merah hati yang panjangnya seleher tapi berantakan sekali. Dia memakai wedding dress putih. Dia pasti terlihat lebih anggun kalau saja bagian depan rok gaunnya tidak robek sehingga lututnya yang penuh goresan terlihat padahal sepatu hak tingginya yang berwarna perak sangat cocok dengan gaunnya.
Penampilannya cewek ini justru terkesan agak macho karena dia membawa dua pistol di tangannya. Yang sedang ditodongkan ke mukaku.
“aku bukan zombie.” Jawabanku kubuat tenang.
Dia mengangkat pistolnya, “ kau mau ke tempat persembunyianku?”
Wajahnya tampak lega setelah mengetahui yang dia temui bukan zombie. Suaranya sangat halus. Suara yang biasa dimiliki oleh kaum hawa. Aku mengangguk, beranjak dari jalan aspal yang tadi kududuki dan segera berlari mengikuti cewek berambut merah itu pergi.
Tempat yang ditinggali cewek itu memang pantas disebut tempat persembunyian. Aku eh, maksudku kami harus melewati gang super sempit. Tidak ada rumah di gang tersebut, gang ini ada karena diapit oleh dua pabrik besar yang sudah bangkrut dari waktu sebelum zombie menyeruak ke negeri ini. aku bahkan berani bertaruh penduduk di sekitar gang ini tidak tahu bahwa ada gang yang berujung pada sebuah rumah kecil disini.
“siapa namamu”, cewek itu membuka percakapan setelah kami sampai di rumahnya.
Rumahnya sangat sederhana. Hanya terbagi tiga ruang. Ruang tamu (kalau bisa dikatakan seperti itu) yang hanya berhias lampu dop dan karpet merah yang sudah usang. Dua ruang lainnya aku tidak tahu apa karena pintunya ditutup. Tapi sangat cukup untuk berlindung dari serangan zombie.
“Rayo. Rayo Gilbert.”, aku menjawab sambil tersenyum.
“kau?”
“Sarah. Sarah Williams”, dia juga menjawab sambil tersenyum.
Dalam hati aku(mungkin si Sarah juga) bersyukur pada Tuhan bahwa aku masih punya kesempatan untuk menyebutkan namaku pada orang lain yang jenisnya manusia tentunya.
“kau datang disaat yang tepat Rayo. Aku tadi keluar dari sarangku untuk mengambil bahan makanan.” Dia tertawa kecil sambil memasukkan tangan ke belahan dadanya. Dia mengeluarkan beberapa kaleng makanan. Pantas saja ada yang ganjil pada bagian dadanya saat aku bertemu dengannya di jalan. Kalau kaleng itu dia makan sendiri mungkin bisa empat hari. Tapi karena ada aku makanannya hanya cukup untuk dua hari.
“tak apa. Aku membawa makananku sendiri kok.” Aku menolak dengan halus. Sambil memasukkan tanganku kedalam saku dan kukeluarkan isinya. Sebuah sosis yang sangat bau. Sosis yang kubawa saat makan malam terakhir bersama teman-temanku di markas tentara. Kulihat Sarah langsung menutup hidungnya saat melihat sosis itu.
“sudahlah, makan saja kalengan ini. tapi tidak gratis,lho. Besoknya kau harus membantuku untuk mencari makanan kalengan lagi,ya?” rayunya sambil tetap menjepit hidungnya yang mancung. Aku hanya menurut. Berharap bahwa perburuan makanan kaleng nanti aku bisa jadi orang yang berguna baginya.
“Sarah,” tiba-tiba saja aku ingin bicara dengannya saat makan kornet kaleng.
“Hm?” Sarah menatapku dengan mulut yang penuh dengan kornet. Lucu sekali.
“mmm, kau tidak susah mencari makanan dengan baju seperti itu?”
“tidak.”
Sebenarnya aku ingin bertanya kenapa tapi sepertinya dia tidak antusias dengan topik yang kuajukan jadi aku diam saja. Menikmati makanan kalengku.
***
“Hei, dasar tukang tidur! Ayo bangun! Kita harus cari makanan lagi!”
Sarah membangunkanku dengan kasar. Ugh, sepertinya kalau sudah menyangkut soal makanan dia tidak tanggung-tanggung lagi. Suara dan ekspresinya persis dengan ibuku saat beliau menyuruhku untuk membeli telur di warung sebelah. Aku terbangun dengan ogah-ogahan. Oh ya, aku tidur di ruang tamu. Dua ruangan lain itu ternyata kamar Sarah dan kamar mandi. Sayangnya, air yang keluar cuma air wastafel. Itupun tidak deras. Otomatis kami hanya bisa sikat gigi atau meraupi muka kami.
“kau mau tugas yang mana? Mengambil makanan atau menembak zombie yang muncul?”, Sarah menghampiriku di kamar mandi sambil menggosok gigi.
“ambil makanan.”,jawabku.
Mampus aja aku kalau kena bagian nembak zombie. Bisa-bisa aku menembak diriku sendiri dulu saat melihat mereka.
“oh, begitu? Kupikir kau ingin yang nembak zombie. Pria biasanya suka hal yang menantang.” Dia berkumur lalu menatapku dengan senyuman nakal.
“tidak sema pria suka hal yang menantang.” Aku membela diri. Sudahlah, aku memang jenis cowok pecundang. Aku tidak peduli jika Sarah menganggapku lemah.
“iya iya. Aku tahu kok. Tolong siapkan kantong makanan yang banyak ya. Aku ingin bahan makanan kita cukup sampai satu minggu.”
Aku hanya mengangguk saat mendengar suara halusnya itu. Merapikan rambut coklatku lalu bergegas mengambil kantong makanan. Hanya perlu sepuluh menit untuk melihat penampilan khas Sarah yang sudah siap dengan dua pistolnya.
“Ready?”, tantangnya
“anytime, madam.”,kujawab sambil mengedipkan sebelah mataku.
Kami berjalan dulu untuk keluar dari gang. Sarah mengintip keluar dulu apakah ada zombie yang sedang memerhatikan kami. Aku sangat kagum terhadap Sarah. Dia bisa berlari dan berjalan cepat dengan sepatu hak tingginya itu. Seolah-olah dia cuma pakai sandal jepit sepertiku. Kami bertemu dengan beberapa zombie, untung saja bukan gerombolan. Sarah bilang jalan yang kami lewati adalah jalan yang jarang dilewati para zombie (dia sendiri tidak tahu alasannya) setelah melakukan beberapa riset jalan.
Tidak susah untuk melakukan tugasku. Aku hanya perlu masuk ke minimarket dan mengambil makanan sebanyak-banyaknya sambil dijaga Sarah. Kalau dia tidak ada, mungkin aku sudah mati dimakan petugas kasir yang sudah jadi zombie. Sayangnya, keberuntunganku eh, maksudku kami berhenti sampai di minimarket...
Aku berlari. Terus berlari. Meninggalkan sahabatku yang tengah menjadi bual-bualan para zombie gila itu.
Ya.
Zombie.
Makhluk berkulit hijau pucat yang menyerupai manusia dengan bentuk mata yang membulat seperti lingkaran disertai kerut-kerutan yang membuat mereka tak sedap dipandang. Aku tidak tahu pastinya kapan kotaku, eh maksudku negeriku terinfeksi virus zombie. Tiba-tiba saja ada pengumuman bahwa seluruh laki-laki harus menjadi tentara untuk melindungi negara dari serangan zombie. Termasuk aku.
Tapi tidak, aku sudah tidak mau lagi saat aku melihat John, sahabatku sejak kecil dimakan para zombie. Aku terus berlari, berharap makhluk-makhluk gila tersebut masih menikmati John. Aku memang jahat. Meninggalkan sahabat dalam keadaan seperti itu. Tapi biarlah, John sudah tahu dari dulu bahwa aku anak yang pengecut. Dia pasti memaklumiku,kan?
BRAK!
Karena “keasyikan” berlari sambil memikirkan John aku menabrak seseorang di tikungan jalan raya. Aku terjerembab sebentar, lalu berdiri untuk melihat siapa yang telah kutabrak.
Oh, tidak buruk. Seorang cewek cantik tapi kusam (mungkin karena sering dikejar zombie sehingga dia tidak sempat mempercantik diri. Yah, mau bagaimana lagi. Aku mandi saja tidak sempat apalagi pakai parfum), rambutnya merah hati yang panjangnya seleher tapi berantakan sekali. Dia memakai wedding dress putih. Dia pasti terlihat lebih anggun kalau saja bagian depan rok gaunnya tidak robek sehingga lututnya yang penuh goresan terlihat padahal sepatu hak tingginya yang berwarna perak sangat cocok dengan gaunnya.
Penampilannya cewek ini justru terkesan agak macho karena dia membawa dua pistol di tangannya. Yang sedang ditodongkan ke mukaku.
“aku bukan zombie.” Jawabanku kubuat tenang.
Dia mengangkat pistolnya, “ kau mau ke tempat persembunyianku?”
Wajahnya tampak lega setelah mengetahui yang dia temui bukan zombie. Suaranya sangat halus. Suara yang biasa dimiliki oleh kaum hawa. Aku mengangguk, beranjak dari jalan aspal yang tadi kududuki dan segera berlari mengikuti cewek berambut merah itu pergi.
Tempat yang ditinggali cewek itu memang pantas disebut tempat persembunyian. Aku eh, maksudku kami harus melewati gang super sempit. Tidak ada rumah di gang tersebut, gang ini ada karena diapit oleh dua pabrik besar yang sudah bangkrut dari waktu sebelum zombie menyeruak ke negeri ini. aku bahkan berani bertaruh penduduk di sekitar gang ini tidak tahu bahwa ada gang yang berujung pada sebuah rumah kecil disini.
“siapa namamu”, cewek itu membuka percakapan setelah kami sampai di rumahnya.
Rumahnya sangat sederhana. Hanya terbagi tiga ruang. Ruang tamu (kalau bisa dikatakan seperti itu) yang hanya berhias lampu dop dan karpet merah yang sudah usang. Dua ruang lainnya aku tidak tahu apa karena pintunya ditutup. Tapi sangat cukup untuk berlindung dari serangan zombie.
“Rayo. Rayo Gilbert.”, aku menjawab sambil tersenyum.
“kau?”
“Sarah. Sarah Williams”, dia juga menjawab sambil tersenyum.
Dalam hati aku(mungkin si Sarah juga) bersyukur pada Tuhan bahwa aku masih punya kesempatan untuk menyebutkan namaku pada orang lain yang jenisnya manusia tentunya.
“kau datang disaat yang tepat Rayo. Aku tadi keluar dari sarangku untuk mengambil bahan makanan.” Dia tertawa kecil sambil memasukkan tangan ke belahan dadanya. Dia mengeluarkan beberapa kaleng makanan. Pantas saja ada yang ganjil pada bagian dadanya saat aku bertemu dengannya di jalan. Kalau kaleng itu dia makan sendiri mungkin bisa empat hari. Tapi karena ada aku makanannya hanya cukup untuk dua hari.
“tak apa. Aku membawa makananku sendiri kok.” Aku menolak dengan halus. Sambil memasukkan tanganku kedalam saku dan kukeluarkan isinya. Sebuah sosis yang sangat bau. Sosis yang kubawa saat makan malam terakhir bersama teman-temanku di markas tentara. Kulihat Sarah langsung menutup hidungnya saat melihat sosis itu.
“sudahlah, makan saja kalengan ini. tapi tidak gratis,lho. Besoknya kau harus membantuku untuk mencari makanan kalengan lagi,ya?” rayunya sambil tetap menjepit hidungnya yang mancung. Aku hanya menurut. Berharap bahwa perburuan makanan kaleng nanti aku bisa jadi orang yang berguna baginya.
“Sarah,” tiba-tiba saja aku ingin bicara dengannya saat makan kornet kaleng.
“Hm?” Sarah menatapku dengan mulut yang penuh dengan kornet. Lucu sekali.
“mmm, kau tidak susah mencari makanan dengan baju seperti itu?”
“tidak.”
Sebenarnya aku ingin bertanya kenapa tapi sepertinya dia tidak antusias dengan topik yang kuajukan jadi aku diam saja. Menikmati makanan kalengku.
***
“Hei, dasar tukang tidur! Ayo bangun! Kita harus cari makanan lagi!”
Sarah membangunkanku dengan kasar. Ugh, sepertinya kalau sudah menyangkut soal makanan dia tidak tanggung-tanggung lagi. Suara dan ekspresinya persis dengan ibuku saat beliau menyuruhku untuk membeli telur di warung sebelah. Aku terbangun dengan ogah-ogahan. Oh ya, aku tidur di ruang tamu. Dua ruangan lain itu ternyata kamar Sarah dan kamar mandi. Sayangnya, air yang keluar cuma air wastafel. Itupun tidak deras. Otomatis kami hanya bisa sikat gigi atau meraupi muka kami.
“kau mau tugas yang mana? Mengambil makanan atau menembak zombie yang muncul?”, Sarah menghampiriku di kamar mandi sambil menggosok gigi.
“ambil makanan.”,jawabku.
Mampus aja aku kalau kena bagian nembak zombie. Bisa-bisa aku menembak diriku sendiri dulu saat melihat mereka.
“oh, begitu? Kupikir kau ingin yang nembak zombie. Pria biasanya suka hal yang menantang.” Dia berkumur lalu menatapku dengan senyuman nakal.
“tidak sema pria suka hal yang menantang.” Aku membela diri. Sudahlah, aku memang jenis cowok pecundang. Aku tidak peduli jika Sarah menganggapku lemah.
“iya iya. Aku tahu kok. Tolong siapkan kantong makanan yang banyak ya. Aku ingin bahan makanan kita cukup sampai satu minggu.”
Aku hanya mengangguk saat mendengar suara halusnya itu. Merapikan rambut coklatku lalu bergegas mengambil kantong makanan. Hanya perlu sepuluh menit untuk melihat penampilan khas Sarah yang sudah siap dengan dua pistolnya.
“Ready?”, tantangnya
“anytime, madam.”,kujawab sambil mengedipkan sebelah mataku.
Kami berjalan dulu untuk keluar dari gang. Sarah mengintip keluar dulu apakah ada zombie yang sedang memerhatikan kami. Aku sangat kagum terhadap Sarah. Dia bisa berlari dan berjalan cepat dengan sepatu hak tingginya itu. Seolah-olah dia cuma pakai sandal jepit sepertiku. Kami bertemu dengan beberapa zombie, untung saja bukan gerombolan. Sarah bilang jalan yang kami lewati adalah jalan yang jarang dilewati para zombie (dia sendiri tidak tahu alasannya) setelah melakukan beberapa riset jalan.
Tidak susah untuk melakukan tugasku. Aku hanya perlu masuk ke minimarket dan mengambil makanan sebanyak-banyaknya sambil dijaga Sarah. Kalau dia tidak ada, mungkin aku sudah mati dimakan petugas kasir yang sudah jadi zombie. Sayangnya, keberuntunganku eh, maksudku kami berhenti sampai di minimarket...


anasabila memberi reputasi
1
1.1K
Kutip
5
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan