- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Ketika Kepemilikan Berpengaruh pada Klub sepakbola
TS
unyulucu
Ketika Kepemilikan Berpengaruh pada Klub sepakbola
Klub sepakbola, entitas yang berdiri tegak sejak ratusan tahun silam, menjadi katalis komersialisasi permainan yang kita kenal dengan sepakbola. Dulu, mungkin ketika pertama kali diciptakan dan dimainkan, tak terpikirkan bahwa permainan ini menjadi sebuah fenomena global serta menarik keuntungan besar secara finansial di saat yang sama.
Daya tarik sepakbola, terutama di Eropa, memang membuat air liur para investor menetes. Baik dari sisi finansial, nilai sentimental hingga tujuan ekspansi. Tak hanya sekarang, namun dari puluhan hingga seratus tahun yang lalu, penjualan dan pembelian klub menjadi faktor berputarnya nasib sebuah klub sepakbola.
Kita masuk ke mesin waktu dan berkunjung ke tahun 1902. Ketika itu sebuah klub kecil di Inggris bernama Newton Heath Football Club tengah kesulitan mencari dana untuk terus ikut berkompetisi. Utang mereka, yang sebesar 2.706 poundsterling, tak bisa mereka bayar sehingga diadakanlah sebuah penggalangan dana bagi pengusaha lokal untuk berinvestasi.
Tak disangka, saat penggalangan dana, anjing milik Harry Stafford, kapten dan pemain Newton Heath saat itu, secara tak sengaja mendatangi seorang pengusaha dan pemilik pub di Manchester bernama J.H. Davies. Davies menyukai anjing itu dan beberapa pint bir kemudian, bersama 4 orang pengusaha lainnya, Davies membeli Newton Heath FC dan memberi nama baru pada klub itu. Mereka menamainya, Manchester United.
Di bawah Ernest Mangnall yang mulai mengarsiteki klub bernama baru itu tak lama kemudian, United memenangi gelar pertama mereka dengan meraih posisi puncak First Division liga Inggris tahun 1908. Setahun kemudian, Piala FA mereka raih. Lumayan bagi sebuah klub dengan nama yang relatif baru.
Tahun pun berganti dan begitu pula Manchester United. Roller coaster dilalui, mereka mengalami berkali-kali perubahan kepemilikan dari tahun 1902 hingga sampai tahun 2005. Dari mulai J.H Davies di tahun 1902, kemudian berpindah tangan ke James W. Gibson (kembali lagi karena klub mengalami utang yang tak bisa dibayar), kemudian Louis Edwards di tahun 1967 yang mengakuisisi hingga 54%, hingga Martin Edwards, anak dari Louis Edwards, mengambil pucuk pimpinan di United di tahun 1980.
Di tahun 2005, kepindahan kepemilikan klub ke Keluarga Glazer datang lengkap dengan utang hingga 660 juta pounds dan juga kontroversi. Di luar lapangan, banyak yang memprotes kepemilikan ini termasuk beberapa pengusaha dan pengacara elit simpatisan Manchester United yang membentuk konsorsium bernama "Red Knights". Mereka kemudian berniat membeli Manchester United dari tangan keluarga Glazer.
Kontroversi mungkin timbul di luar lapangan dengan semua masalah jual-beli klub ini, namun di kursi manajerial, seseorang yang mempunyai pengering rambut sebagai mulut, menjaga kapal agar tetap stabil.
Dia adalah Alex Ferguson. Dengan falsafah pembinaan pemain muda yang terinspirasi dari metode Sir Matt Busby dan Busby Babes-nya, Manchester United mendapatkan 12 gelar juara Premier League, 5 Piala FA, 4 Piala Liga, 2 gelar Liga Champions, UEFA super cup, Piala Interkonitenental, FIFA Club World Cup, serta 1 Piala Winners --yang sekarang sudah tak ada. Dan ya, beberapa gelar itu datang di saat era kepemilikan Glazer.
Ketika ekonomi di Eropa mulai sulit dan pasar hampir mustahil untuk diprediksi, ide bahwa klub sepakbola adalah investasi yang cemerlang pun menjadi lebih signifikan. Di tahun 2003, Ken Bates, saat itu bos dari Chelsea FC, menjual klub yang dimilikinya secara mayoritas ke seorang pengusaha minyak dari Rusia yang berniat untuk terjun dan ambil bagian.
Melalui tahap takeover saham rumit, yang bila dijabarkan akan membuat Anda pusing, akhirnya Roman Abramovich memiliki saham lebih dari 90% sehingga bisa duduk di kursi pemilik Chelsea. Hal yang pertama dia lakukan adalah membentuk tim marketing, serta membuat staf Chelsea lembur siang dan malam. Abramovich ingin menjadikan Chelsea sebuah klub yang mempunyai gaung di persepakbolaan global. Teriakan “Chelsea! Chelsea!” ingin didengarnya di seluruh penjuru dunia.
Ambisi Abramovich bukan sekadar omong kosong. Jose Mourinho, seorang pelatih muda dari Portugal yang meraih kesuksesan Eropa tertinggi dengan memuncaki Liga Champions dengan FC Porto di tahun 2004, memunculkan rasa penasaran Abramovich. Jika Abramovich penasaran akan suatu hal, dia akan membelinya. Pelatih berkualitas kontinental, check!
Ketika uang tak menjadi halangan, Chelsea memboyong sejumlah pemain berkelas dunia untuk menghuni skuat yang diarsiteki Mourinho ini. Chelsea sudah punya Hernan Crespo, Adrian Mutu, Juan Sebastian Veron, dan Claude Makalele dari era Claudio Ranieri. Lalu kemudian Damien Duff yang sempat jadi transfer termahal dengan banderol 17 juta poundsterling. Tim hebat dengan pemain berkualitas? Check!
Musim berikutnya, 2004-2005, Abramovich menggelontorkan jumlah yang tak sedikit untuk mendatangkan pilar FC Porto Ricardo Carvalho dan Paulo Ferreira. Juga salah satu kiper muda terbaik pada saat itu, di diri Petr Cech. Untuk menambah pundi gol musim itu, Dider Drogba dari Marseille dan Arjen Robben serta Mateja Kezman dari PSV.
Hasilnya? Setelah gagal juara bersama Ranieri, Chelsea sukses meraih dua gelar Premier League secara berurutan. Impresif. Di Liga Champions? Chelsea belum mampu mencapai final. Paling mentok hanya sampai semifinal. Reaksi Abramovich? Dia hanya akan memberikan Anda gelengan ketidakpuasan.
Setidaknya, hasil akhir di musim pertama bersama Mourinho memberikan sedikit senyuman di wajah Abramovich. Dia, Mou, dan pemain-pemain Chelsea berhasil memberikan gelar juara Liga Inggris untuk pertama kalinya dalam 50 tahun. Subsidi dari Rusia terus berlangsung demi memuaskan sang Tsar yang haus gelar. Selama kepemimpinan Abramovich, Chelsea telah mengantongi 3 gelar juara Premier League, 4 Piala FA, dan menjadi klub London pertama yang meraih gelar Liga Champions.
Tak hanya itu, Chelsea menjadi salah satu klub paling dikenal di dunia dengan nilai hingga 470 juta poundsterling. Mungkin Chelsea minus Abramovich tak bisa dibilang klub yang jelek. Tapi, Chelsea plus Abramovich adalah suatu klub dengan level yang jauh berbeda.
Real Madrid adalah contoh lain yang, dengan pemilihan presiden klub yang menyerupai pilkada dengan kampanye yang dipenuhi janji-janji, berhasil menunjukkan pengaruh kuat pemiliknya dengan menjalankan proyek "Los Galacticos". Tak hanya sekali, tapi dua kali.
Para penikmat sepakbola bisa berterima kasih kepada Florentino Perez yang menggembar-gemborkan "project" ini sebelum pemilihannya. Dia membuat janji itu nyata dengan generasi pertama yang dihuni oleh Luis Figo, Zinedine Zidane, Ronaldo, David Beckham, dan sampai satu titik juga Michael Owen. Mereka sempat memberikan kontribusi signifikan kepada titel juara yang memang sudah banyak dimiliki Madrid. Generasi kedua yang dimulai dengan Kaka, berlanjut ke Karim Benzema, Xabi Alonso, dan akhirnya Cristiano Ronaldo setidaknya tidak hampa gelar. Sekarang, mereka tengah berusaha mewujudkan mimpi besar: La Decima, gelar kesepuluh Liga Champions.
Pergantian kepemilikan klub tak selalu berakhir manis. Banyak juga yang berakhir tragis seperti Leeds United yang porak poranda dan sampai satu titik pernah bermain di League One atau kompetisi level ketiga di Inggris, karena utang dan kepemilikan yang tanpa tujuan dan visi. Kita juga bisa melihat contoh Queens Park Rangers yang semenjak musim lalu dimiliki oleh Tony Fernandes, pemilik bisnis maskapai penerbangan ternama di Asia, yang membeli banyak pemain setelah kursi pemilik didudukinya. Namun, kenyataan di lapangan sekarang, QPR justru jadi juru kunci Premier League.
Walaupun QPR sendiri bukan klub yang suka bertengger di puncak klasemen, banyak yang berspekulasi bahwa dengan uang yang dikucurkan dari puncak kursi chairman, prestasi akan datang dengan sendirinya. Tapi, uang bukan jaminan, pertimbangan yang kurang cekatan dari sang empunya klub juga menjadi faktor kunci keberhasilan klub.
Jadi, jika Anda seorang-multi miliuner dan mempunyai uang berlebih yang tumbuh dari pohon di halaman belakang Anda, mungkin ini akan menjadi bahan studi untuk menjadi seorang chairman klub sepakbola yang handal, baik di saat memainkan pasar saham atau bermain fantasy football di dunia nyata.
Daya tarik sepakbola, terutama di Eropa, memang membuat air liur para investor menetes. Baik dari sisi finansial, nilai sentimental hingga tujuan ekspansi. Tak hanya sekarang, namun dari puluhan hingga seratus tahun yang lalu, penjualan dan pembelian klub menjadi faktor berputarnya nasib sebuah klub sepakbola.
Kita masuk ke mesin waktu dan berkunjung ke tahun 1902. Ketika itu sebuah klub kecil di Inggris bernama Newton Heath Football Club tengah kesulitan mencari dana untuk terus ikut berkompetisi. Utang mereka, yang sebesar 2.706 poundsterling, tak bisa mereka bayar sehingga diadakanlah sebuah penggalangan dana bagi pengusaha lokal untuk berinvestasi.
Tak disangka, saat penggalangan dana, anjing milik Harry Stafford, kapten dan pemain Newton Heath saat itu, secara tak sengaja mendatangi seorang pengusaha dan pemilik pub di Manchester bernama J.H. Davies. Davies menyukai anjing itu dan beberapa pint bir kemudian, bersama 4 orang pengusaha lainnya, Davies membeli Newton Heath FC dan memberi nama baru pada klub itu. Mereka menamainya, Manchester United.
Di bawah Ernest Mangnall yang mulai mengarsiteki klub bernama baru itu tak lama kemudian, United memenangi gelar pertama mereka dengan meraih posisi puncak First Division liga Inggris tahun 1908. Setahun kemudian, Piala FA mereka raih. Lumayan bagi sebuah klub dengan nama yang relatif baru.
Tahun pun berganti dan begitu pula Manchester United. Roller coaster dilalui, mereka mengalami berkali-kali perubahan kepemilikan dari tahun 1902 hingga sampai tahun 2005. Dari mulai J.H Davies di tahun 1902, kemudian berpindah tangan ke James W. Gibson (kembali lagi karena klub mengalami utang yang tak bisa dibayar), kemudian Louis Edwards di tahun 1967 yang mengakuisisi hingga 54%, hingga Martin Edwards, anak dari Louis Edwards, mengambil pucuk pimpinan di United di tahun 1980.
Di tahun 2005, kepindahan kepemilikan klub ke Keluarga Glazer datang lengkap dengan utang hingga 660 juta pounds dan juga kontroversi. Di luar lapangan, banyak yang memprotes kepemilikan ini termasuk beberapa pengusaha dan pengacara elit simpatisan Manchester United yang membentuk konsorsium bernama "Red Knights". Mereka kemudian berniat membeli Manchester United dari tangan keluarga Glazer.
Kontroversi mungkin timbul di luar lapangan dengan semua masalah jual-beli klub ini, namun di kursi manajerial, seseorang yang mempunyai pengering rambut sebagai mulut, menjaga kapal agar tetap stabil.
Dia adalah Alex Ferguson. Dengan falsafah pembinaan pemain muda yang terinspirasi dari metode Sir Matt Busby dan Busby Babes-nya, Manchester United mendapatkan 12 gelar juara Premier League, 5 Piala FA, 4 Piala Liga, 2 gelar Liga Champions, UEFA super cup, Piala Interkonitenental, FIFA Club World Cup, serta 1 Piala Winners --yang sekarang sudah tak ada. Dan ya, beberapa gelar itu datang di saat era kepemilikan Glazer.
Ketika ekonomi di Eropa mulai sulit dan pasar hampir mustahil untuk diprediksi, ide bahwa klub sepakbola adalah investasi yang cemerlang pun menjadi lebih signifikan. Di tahun 2003, Ken Bates, saat itu bos dari Chelsea FC, menjual klub yang dimilikinya secara mayoritas ke seorang pengusaha minyak dari Rusia yang berniat untuk terjun dan ambil bagian.
Melalui tahap takeover saham rumit, yang bila dijabarkan akan membuat Anda pusing, akhirnya Roman Abramovich memiliki saham lebih dari 90% sehingga bisa duduk di kursi pemilik Chelsea. Hal yang pertama dia lakukan adalah membentuk tim marketing, serta membuat staf Chelsea lembur siang dan malam. Abramovich ingin menjadikan Chelsea sebuah klub yang mempunyai gaung di persepakbolaan global. Teriakan “Chelsea! Chelsea!” ingin didengarnya di seluruh penjuru dunia.
Ambisi Abramovich bukan sekadar omong kosong. Jose Mourinho, seorang pelatih muda dari Portugal yang meraih kesuksesan Eropa tertinggi dengan memuncaki Liga Champions dengan FC Porto di tahun 2004, memunculkan rasa penasaran Abramovich. Jika Abramovich penasaran akan suatu hal, dia akan membelinya. Pelatih berkualitas kontinental, check!
Ketika uang tak menjadi halangan, Chelsea memboyong sejumlah pemain berkelas dunia untuk menghuni skuat yang diarsiteki Mourinho ini. Chelsea sudah punya Hernan Crespo, Adrian Mutu, Juan Sebastian Veron, dan Claude Makalele dari era Claudio Ranieri. Lalu kemudian Damien Duff yang sempat jadi transfer termahal dengan banderol 17 juta poundsterling. Tim hebat dengan pemain berkualitas? Check!
Musim berikutnya, 2004-2005, Abramovich menggelontorkan jumlah yang tak sedikit untuk mendatangkan pilar FC Porto Ricardo Carvalho dan Paulo Ferreira. Juga salah satu kiper muda terbaik pada saat itu, di diri Petr Cech. Untuk menambah pundi gol musim itu, Dider Drogba dari Marseille dan Arjen Robben serta Mateja Kezman dari PSV.
Hasilnya? Setelah gagal juara bersama Ranieri, Chelsea sukses meraih dua gelar Premier League secara berurutan. Impresif. Di Liga Champions? Chelsea belum mampu mencapai final. Paling mentok hanya sampai semifinal. Reaksi Abramovich? Dia hanya akan memberikan Anda gelengan ketidakpuasan.
Setidaknya, hasil akhir di musim pertama bersama Mourinho memberikan sedikit senyuman di wajah Abramovich. Dia, Mou, dan pemain-pemain Chelsea berhasil memberikan gelar juara Liga Inggris untuk pertama kalinya dalam 50 tahun. Subsidi dari Rusia terus berlangsung demi memuaskan sang Tsar yang haus gelar. Selama kepemimpinan Abramovich, Chelsea telah mengantongi 3 gelar juara Premier League, 4 Piala FA, dan menjadi klub London pertama yang meraih gelar Liga Champions.
Tak hanya itu, Chelsea menjadi salah satu klub paling dikenal di dunia dengan nilai hingga 470 juta poundsterling. Mungkin Chelsea minus Abramovich tak bisa dibilang klub yang jelek. Tapi, Chelsea plus Abramovich adalah suatu klub dengan level yang jauh berbeda.
Real Madrid adalah contoh lain yang, dengan pemilihan presiden klub yang menyerupai pilkada dengan kampanye yang dipenuhi janji-janji, berhasil menunjukkan pengaruh kuat pemiliknya dengan menjalankan proyek "Los Galacticos". Tak hanya sekali, tapi dua kali.
Para penikmat sepakbola bisa berterima kasih kepada Florentino Perez yang menggembar-gemborkan "project" ini sebelum pemilihannya. Dia membuat janji itu nyata dengan generasi pertama yang dihuni oleh Luis Figo, Zinedine Zidane, Ronaldo, David Beckham, dan sampai satu titik juga Michael Owen. Mereka sempat memberikan kontribusi signifikan kepada titel juara yang memang sudah banyak dimiliki Madrid. Generasi kedua yang dimulai dengan Kaka, berlanjut ke Karim Benzema, Xabi Alonso, dan akhirnya Cristiano Ronaldo setidaknya tidak hampa gelar. Sekarang, mereka tengah berusaha mewujudkan mimpi besar: La Decima, gelar kesepuluh Liga Champions.
Pergantian kepemilikan klub tak selalu berakhir manis. Banyak juga yang berakhir tragis seperti Leeds United yang porak poranda dan sampai satu titik pernah bermain di League One atau kompetisi level ketiga di Inggris, karena utang dan kepemilikan yang tanpa tujuan dan visi. Kita juga bisa melihat contoh Queens Park Rangers yang semenjak musim lalu dimiliki oleh Tony Fernandes, pemilik bisnis maskapai penerbangan ternama di Asia, yang membeli banyak pemain setelah kursi pemilik didudukinya. Namun, kenyataan di lapangan sekarang, QPR justru jadi juru kunci Premier League.
Walaupun QPR sendiri bukan klub yang suka bertengger di puncak klasemen, banyak yang berspekulasi bahwa dengan uang yang dikucurkan dari puncak kursi chairman, prestasi akan datang dengan sendirinya. Tapi, uang bukan jaminan, pertimbangan yang kurang cekatan dari sang empunya klub juga menjadi faktor kunci keberhasilan klub.
Jadi, jika Anda seorang-multi miliuner dan mempunyai uang berlebih yang tumbuh dari pohon di halaman belakang Anda, mungkin ini akan menjadi bahan studi untuk menjadi seorang chairman klub sepakbola yang handal, baik di saat memainkan pasar saham atau bermain fantasy football di dunia nyata.
Spoiler for sumber:
0
1.3K
3
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan