- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
La Seleccion Fantasma: Kisah Tim Hantu Argentina 1973
TS
kidutrizki
La Seleccion Fantasma: Kisah Tim Hantu Argentina 1973
mudah2an gak repost gan, langsung aja nih ngacir
La Seleccion Fantasma: Kisah Tim Hantu Argentina 1973
Mario Kempes dan Oscar Fornari adalah dua pemain berbeda nasib dari kisah pasukan "hantu" timnas Argentina di tahun 1973. Kempes kelak mendunia; Fornari dari tiada menjadi sempat ada, lalu tiada lagi.
Babak kualifikasi Piala Dunia 1974 zona Amerika Selatan (CONMEBOL) Grup 2. Argentina bersaing ketat dengan Paraguay. Setelah sama-sama mengalahkan Bolivia di laga pertamanya, kedua tim bermain imbang 1-1 di Asuncion.
Argentina, walaupun dalam posisi unggul selisih gol dari Paraguay, tiba-tiba merasa dalam tekanan lebih besar menghadapi partai ketiganya melawan Bolivia. Sebabnya, jika sampai kalah, sangat mungkin Paraguay menyalip mereka.
Sebab kedua, mereka harus bertanding melawan Bolivia di La Paz, kota berketinggian lebih dari 3.600 meter di atas permukaan laut. La Paz -- nama lengkapnya Nuestra Senora de La Paz, yang berarti "Dewi Perdamaian Kami" n, adalah kota terbesar kedua di Bolivia setelah Santa Cruz, tapi dinyatakan sebagai kota administratif tertinggi di dunia.
Bermain di ketinggian seperti itu adalah masalah terbesar bagi tim-tim sepakbola dari daerah yang lebih rendah. Oksigen yang lebih tipis adalah kesulitan yang utama. Selasa (26/3) lalu misalnya, Lionel Messi sampai muntah-muntah saat turun minum; Angel di Maria sampai harus menghirup tabung oksigen, saking terus terengah-engahnya bermain di Estadio Hernando Siles, stadion utama di La Paz.
Momok Hernando Siles sempat membuat FIFA membuat peraturan khusus di tahun 2007, bahwa setiap pertandingan babak kualifikasi Piala Dunia tidak boleh digelar di tempat dengan ketinggian di atas 2.500 meter dari permukaan laut. Kebijakan itu ditentang oleh Presiden Bolivia Evo Morales, bahkan seorang Diego Maradona. Buat mereka, kebijakan itu deskriminatif bagi negara-negara yang secara geografis letaknya "lebih dekat ke langit". Estadio Hernando Siles menjadi sebuah simbol perlawanan Bolivia pada FIFA. FIFA pun mengalah. Peraturan itu hanya berlaku kurang dari dua bulan.
Pada kualifikasi Piala Dunia 1994, Brasil takluk 0-2 dari Bolivia di La Paz, dan itu menjadi kekalahan pertama Brasil dalam 40 tahun kiprahnya di babak kualifikasi. Momen bersejarah lain (bagi Bolivia) adalah ketika mencukur Argentina 6-1 pada 1 April 2009, yang menjadikan itu kekalahan terburuk tim Tango dalam enam dekade.
Sejarah memukau Argentina di La Paz adalah yang pernah dilakukan sepasukan "hantu" di tahun 1973. Diagendakan menghadapi Bolivia pada 23 September, di laga ketiga kualifikasi Piala Duna 1974 Grup 2, pelatih Enrique Omar Sivori memecah tim menjadi dua. Tim pertama, yang berisi pemain-pemain utama, mempersiapkan diri di Spanyol, dipimpin langsung oleh Sivori. Tim kedua dikomandoi asistennya, Miguel Ignomirielli.
Tim B itu diam-diam dikirim ke Bolivia, tepatnya ke dua kota, Tilcara dan Quiaca, di provinsi Jujuy. Hampir semua pemain yang dibawa Ignomirielli adalah pemain-pemain muda dan tidak terkenal. Mario Kempes, yang kala itu masih berusia 19 tahun dan belum pernah dipanggil timnas, termasuk di dalamnya.
"Ini semua ide Sivori. Kami membuat dua persiapan: satu ke Spanyol, satu ke Bolivia. Kami harus menang di ketinggian 3.626 meter di tempat damai ini supaya lolos ke Piala Dunia. Kami gagal ke Meksiko 1970. Jika kami kalah dari Bolivia dan tidak lolos ke putaran final, hak kami untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 1978 bisa dicabut," kenang Ignomirielli.
"Aku punya pengalaman main di ketinggian seperti ini karena pernah bersama Estudieantes bertanding di La Paz dan Oruro (3.800 m dpl) di tahun 1971, dan dengan San Lorenzo di tahun 1972. Kami berlatih selama 90 hari di sana, menginap di Tilcara dan pulang pergi setiap hari untuk berlatih dan beradaptasi di La Quiaca (3.442 m dpl). Federasi meminta kami sesering mungkin bermain."
Untuk mengawasi kondisi para pemain, diikutkan dua dokter spesialis bernama Dr. Horacio Escudero an Dr. Horacio Leveroni. Belakangan diketahui, itulah kali pertama timnas Argentina melibatkan dokter merangkap psikolog untuk membantu pemain-pemainnya.
Ketika pers mencari tahu tentang tim tersebut, mereka tidak mendapatkan banyak informasi dari federasi. Karena tak jelas rimbanya, seorang jurnalis kemudian menyebut tim itu sebagai La Seleccion Fantasma alias "Timnas Hantu".
Yang menyedihkan dari cerita itu adalah yang diungkapkan Kempes dalam buku biografinya yang berjudul "Matador". Federasi rupanya menelantarkan mereka karena tidak menyediakan tim "antah berantah" itu perbekalan yang layak.
"AFA (PSSI-nya Argentina) melupakan kami. Kami sungguh mengalami masa-masa yang berat. Kami ditempatkan di hotel yang kumuh, tanpa makanan yang cukup dan memadai," tulis Kempes.
"Tadinya kami cuma punya agenda dua laga ujicoba. Tapi kami akhirnya memainkan 6-7 pertandingan supaya kami mendapatkan uang. Dari situ kami bisa membeli makanan di supermarket, dan kami harus memasak sendiri.
"Waktu pulang ke Argentina, berat badanku turun sampai 7-8 kilogram," pemain yang kemudian melegenda itu.
Setelah sebulan lebih "menderita" dalam persiapan itu -- beberapa pemain sempat merasa tidak tahan dan ingin pulang --, tim "hantu" itu kemudian menghabiskan dua minggu terakhirnya di La Paz. Beberapa hari sebelum pertandingan, Sivori dan pasukannya menyusul mereka ke hotel Copacabana.
Setelah berdiskusi dengan Ignomirielli, Sivori memutuskan menurunkan tujuh pemain gemblengan alam Bolivia sebagai starter: Ruben Glaria, Marcelo Trobbiani, Ruben Galvan, Aldo Poy, Oscar Fornari, Ricardo Bochini, dan Mario Kempes. Yang bawaan Sivori di antaranya Daniel Carnevali, Ruben Ayala and Roberto Telch.
Hasilnya, di depan 30 ribu publik La Paz, diwasiti Arnaldo Coelho dari Brasil, Argentina dilaporkan bermain penuh semangat dan daya juang tinggi. Mereka pun pulang membawa kemenangan 1-0, via gol Oscar Fornari di menit 18.
"Tidak ada catatan mengenai tim ini," tulis para wartawan kemudian. "Tim hantu ini telah membuat sejarah."
Ironisnya lagi, detil pertandingan pun tidak terekam banyak orang. Seluruh proses pertandingan baru bisa diketahui berkat penuturan para pemain itu sendiri.
"Kenangan yang tak terlupakan. Ribuan kali kami membahas gol itu. Aku luput dari kawalan, dan aku berjaga-jaga di posisi itu. Ayala menahan bola, itu membuatku tertahan di tengah. Ketika tendangannya mengenai tiang, aku menyongsong dan melompat. Kiper jungkir balik. Kenikmatan yang luar biasa," tutur Fornari.
"Itulah gol paling penting dalam hidupku h Mereka menyebut kami tim nasional hantu, dan bahkan mengambil foto kami dengan mengenakan topeng (penutup kepala)," tambah sang pahlawan.
Jika Kempes kemudian menjadi besar [terutama sejak menjadi top skorer di Piala Dunia 1978], tidak demikian halnya dengan Fornari. Setelah pertandingan bersejarahnya itu ia dipanggil lagi untuk laga berikutnya melawan Paraguay di Buenos Aires. Namun ia hanya duduk di bangku cadangan sepanjang laga, walaupun timnya menang 3-1 dan Argentina lolos ke putaran final di Jerman Barat.
Sejak itu Fornari tidak pernah ada lagi ceritanya di skuat Albiceleste, sampai ia mengakhiri kariernya sebagai pemain di usia 39 tahun. "Itulah satu-satunya pertandingan Argentina yang aku mainkan," imbuh Fornari.
Satu pertandingan, satu gol, satu sejarah.
Sayangnya, menjelang putaran final Sivori -- pemain terbaik Eropa 1961 -- mengundurkan diri, dan peran pelatih diberikan pada Vladislao Cap. Di babak grup Argentina tampil buruk: dari enam pertandingan mereka hanya menang satu kali dan kalah tiga kali.
"Dongeng" di atas pernah mengilhami Daniel Passarella sewaktu membesut Argentina bertahun-tahun kemudian. Pada April 1997 ia memboyong sejumlah pemain lokal dan muda untuk melakukan persiapan selama dua minggu di Tilcara, untuk menghadapi Bolivia di babak kualifikasi Piala Dunia 1998. Namun tim tersebut kalah 1-2 di La Paz.
Hingga kini kisah tim hantu yang terlupakan itu dipastikan takkan pernah terlupakan lagi dalam sejarah panjang dan besar sepakbola Argentina. La Seleccion Fantasma.
sumber : detik..com
ane ga ngarepin tp kalo ada yg ngasih ane ga nolak
La Seleccion Fantasma: Kisah Tim Hantu Argentina 1973
Mario Kempes dan Oscar Fornari adalah dua pemain berbeda nasib dari kisah pasukan "hantu" timnas Argentina di tahun 1973. Kempes kelak mendunia; Fornari dari tiada menjadi sempat ada, lalu tiada lagi.
Babak kualifikasi Piala Dunia 1974 zona Amerika Selatan (CONMEBOL) Grup 2. Argentina bersaing ketat dengan Paraguay. Setelah sama-sama mengalahkan Bolivia di laga pertamanya, kedua tim bermain imbang 1-1 di Asuncion.
Argentina, walaupun dalam posisi unggul selisih gol dari Paraguay, tiba-tiba merasa dalam tekanan lebih besar menghadapi partai ketiganya melawan Bolivia. Sebabnya, jika sampai kalah, sangat mungkin Paraguay menyalip mereka.
Sebab kedua, mereka harus bertanding melawan Bolivia di La Paz, kota berketinggian lebih dari 3.600 meter di atas permukaan laut. La Paz -- nama lengkapnya Nuestra Senora de La Paz, yang berarti "Dewi Perdamaian Kami" n, adalah kota terbesar kedua di Bolivia setelah Santa Cruz, tapi dinyatakan sebagai kota administratif tertinggi di dunia.
Bermain di ketinggian seperti itu adalah masalah terbesar bagi tim-tim sepakbola dari daerah yang lebih rendah. Oksigen yang lebih tipis adalah kesulitan yang utama. Selasa (26/3) lalu misalnya, Lionel Messi sampai muntah-muntah saat turun minum; Angel di Maria sampai harus menghirup tabung oksigen, saking terus terengah-engahnya bermain di Estadio Hernando Siles, stadion utama di La Paz.
Momok Hernando Siles sempat membuat FIFA membuat peraturan khusus di tahun 2007, bahwa setiap pertandingan babak kualifikasi Piala Dunia tidak boleh digelar di tempat dengan ketinggian di atas 2.500 meter dari permukaan laut. Kebijakan itu ditentang oleh Presiden Bolivia Evo Morales, bahkan seorang Diego Maradona. Buat mereka, kebijakan itu deskriminatif bagi negara-negara yang secara geografis letaknya "lebih dekat ke langit". Estadio Hernando Siles menjadi sebuah simbol perlawanan Bolivia pada FIFA. FIFA pun mengalah. Peraturan itu hanya berlaku kurang dari dua bulan.
Pada kualifikasi Piala Dunia 1994, Brasil takluk 0-2 dari Bolivia di La Paz, dan itu menjadi kekalahan pertama Brasil dalam 40 tahun kiprahnya di babak kualifikasi. Momen bersejarah lain (bagi Bolivia) adalah ketika mencukur Argentina 6-1 pada 1 April 2009, yang menjadikan itu kekalahan terburuk tim Tango dalam enam dekade.
Sejarah memukau Argentina di La Paz adalah yang pernah dilakukan sepasukan "hantu" di tahun 1973. Diagendakan menghadapi Bolivia pada 23 September, di laga ketiga kualifikasi Piala Duna 1974 Grup 2, pelatih Enrique Omar Sivori memecah tim menjadi dua. Tim pertama, yang berisi pemain-pemain utama, mempersiapkan diri di Spanyol, dipimpin langsung oleh Sivori. Tim kedua dikomandoi asistennya, Miguel Ignomirielli.
Tim B itu diam-diam dikirim ke Bolivia, tepatnya ke dua kota, Tilcara dan Quiaca, di provinsi Jujuy. Hampir semua pemain yang dibawa Ignomirielli adalah pemain-pemain muda dan tidak terkenal. Mario Kempes, yang kala itu masih berusia 19 tahun dan belum pernah dipanggil timnas, termasuk di dalamnya.
"Ini semua ide Sivori. Kami membuat dua persiapan: satu ke Spanyol, satu ke Bolivia. Kami harus menang di ketinggian 3.626 meter di tempat damai ini supaya lolos ke Piala Dunia. Kami gagal ke Meksiko 1970. Jika kami kalah dari Bolivia dan tidak lolos ke putaran final, hak kami untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 1978 bisa dicabut," kenang Ignomirielli.
"Aku punya pengalaman main di ketinggian seperti ini karena pernah bersama Estudieantes bertanding di La Paz dan Oruro (3.800 m dpl) di tahun 1971, dan dengan San Lorenzo di tahun 1972. Kami berlatih selama 90 hari di sana, menginap di Tilcara dan pulang pergi setiap hari untuk berlatih dan beradaptasi di La Quiaca (3.442 m dpl). Federasi meminta kami sesering mungkin bermain."
Untuk mengawasi kondisi para pemain, diikutkan dua dokter spesialis bernama Dr. Horacio Escudero an Dr. Horacio Leveroni. Belakangan diketahui, itulah kali pertama timnas Argentina melibatkan dokter merangkap psikolog untuk membantu pemain-pemainnya.
Ketika pers mencari tahu tentang tim tersebut, mereka tidak mendapatkan banyak informasi dari federasi. Karena tak jelas rimbanya, seorang jurnalis kemudian menyebut tim itu sebagai La Seleccion Fantasma alias "Timnas Hantu".
Yang menyedihkan dari cerita itu adalah yang diungkapkan Kempes dalam buku biografinya yang berjudul "Matador". Federasi rupanya menelantarkan mereka karena tidak menyediakan tim "antah berantah" itu perbekalan yang layak.
"AFA (PSSI-nya Argentina) melupakan kami. Kami sungguh mengalami masa-masa yang berat. Kami ditempatkan di hotel yang kumuh, tanpa makanan yang cukup dan memadai," tulis Kempes.
"Tadinya kami cuma punya agenda dua laga ujicoba. Tapi kami akhirnya memainkan 6-7 pertandingan supaya kami mendapatkan uang. Dari situ kami bisa membeli makanan di supermarket, dan kami harus memasak sendiri.
"Waktu pulang ke Argentina, berat badanku turun sampai 7-8 kilogram," pemain yang kemudian melegenda itu.
Setelah sebulan lebih "menderita" dalam persiapan itu -- beberapa pemain sempat merasa tidak tahan dan ingin pulang --, tim "hantu" itu kemudian menghabiskan dua minggu terakhirnya di La Paz. Beberapa hari sebelum pertandingan, Sivori dan pasukannya menyusul mereka ke hotel Copacabana.
Setelah berdiskusi dengan Ignomirielli, Sivori memutuskan menurunkan tujuh pemain gemblengan alam Bolivia sebagai starter: Ruben Glaria, Marcelo Trobbiani, Ruben Galvan, Aldo Poy, Oscar Fornari, Ricardo Bochini, dan Mario Kempes. Yang bawaan Sivori di antaranya Daniel Carnevali, Ruben Ayala and Roberto Telch.
Hasilnya, di depan 30 ribu publik La Paz, diwasiti Arnaldo Coelho dari Brasil, Argentina dilaporkan bermain penuh semangat dan daya juang tinggi. Mereka pun pulang membawa kemenangan 1-0, via gol Oscar Fornari di menit 18.
"Tidak ada catatan mengenai tim ini," tulis para wartawan kemudian. "Tim hantu ini telah membuat sejarah."
Ironisnya lagi, detil pertandingan pun tidak terekam banyak orang. Seluruh proses pertandingan baru bisa diketahui berkat penuturan para pemain itu sendiri.
"Kenangan yang tak terlupakan. Ribuan kali kami membahas gol itu. Aku luput dari kawalan, dan aku berjaga-jaga di posisi itu. Ayala menahan bola, itu membuatku tertahan di tengah. Ketika tendangannya mengenai tiang, aku menyongsong dan melompat. Kiper jungkir balik. Kenikmatan yang luar biasa," tutur Fornari.
"Itulah gol paling penting dalam hidupku h Mereka menyebut kami tim nasional hantu, dan bahkan mengambil foto kami dengan mengenakan topeng (penutup kepala)," tambah sang pahlawan.
Jika Kempes kemudian menjadi besar [terutama sejak menjadi top skorer di Piala Dunia 1978], tidak demikian halnya dengan Fornari. Setelah pertandingan bersejarahnya itu ia dipanggil lagi untuk laga berikutnya melawan Paraguay di Buenos Aires. Namun ia hanya duduk di bangku cadangan sepanjang laga, walaupun timnya menang 3-1 dan Argentina lolos ke putaran final di Jerman Barat.
Sejak itu Fornari tidak pernah ada lagi ceritanya di skuat Albiceleste, sampai ia mengakhiri kariernya sebagai pemain di usia 39 tahun. "Itulah satu-satunya pertandingan Argentina yang aku mainkan," imbuh Fornari.
Satu pertandingan, satu gol, satu sejarah.
Sayangnya, menjelang putaran final Sivori -- pemain terbaik Eropa 1961 -- mengundurkan diri, dan peran pelatih diberikan pada Vladislao Cap. Di babak grup Argentina tampil buruk: dari enam pertandingan mereka hanya menang satu kali dan kalah tiga kali.
"Dongeng" di atas pernah mengilhami Daniel Passarella sewaktu membesut Argentina bertahun-tahun kemudian. Pada April 1997 ia memboyong sejumlah pemain lokal dan muda untuk melakukan persiapan selama dua minggu di Tilcara, untuk menghadapi Bolivia di babak kualifikasi Piala Dunia 1998. Namun tim tersebut kalah 1-2 di La Paz.
Hingga kini kisah tim hantu yang terlupakan itu dipastikan takkan pernah terlupakan lagi dalam sejarah panjang dan besar sepakbola Argentina. La Seleccion Fantasma.
sumber : detik..com
ane ga ngarepin tp kalo ada yg ngasih ane ga nolak
0
2K
14
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan