Pantes aja pertanian kita maju mundur ga jelas dan cendrung mundur, filosofi petani itu saja sudah di lupakan dan bagaimana cara pandang seorang soekarno melihat pertanian merupakan sebuah perjuangan ekonomi dan kelak menjadi struktur ekonomi yg kuat beliau sadar bahwa kita di dukung SDA yang kuat untuk mandiri dalam pangan, para pemimpin yang terhormat sadar akan hal ini ga???
Petani Dan Presiden Soekarno
Menurut Soekarno, petani merupakan bagian utama perjuangan ekonomi negara dan sokoguru revolusi Indonesia. Soekarno tidak mau melupakan petani, yang pernah menyokong pergerakan nasionalisme Indonesia sejak mulanya. Akan tetapi, keberpihakan Soekarno yang tak basi-basi ini bukannya tanpa reaksi.
Pada peringatan 17 Agustus 1964 di Jakarta, dalam pidato resminya berjudul ‘Tahun Vivere Vericoloso’, Soekarno menjelaskan: “Ada polemik tentang pelaksanaan UUPA-UUPBH, terutama tentang aksef (aksi sepihak) kaum petani. Terlebih dulu saya akan menjawab pengkritik-pengkritik saya, yang menganggap saya telah berbuat ‘keterlaluan’ dengan mendudukkan kaum tani sebagai salah satu sokoguru revolusi, bersama dengan kaum buruh. Tukang-tukang kritik itu rupanya begitu terpisahnya dari hidupnya kaum tani, sehingga tak tahu mereka apa yang menjadi watak kaum tani itu.” (Lihat Edward C. Keefer dan Joesoef Iskak, 2002: 631)
Soekarno meyakini, petani dan tanah garapannya tidak dapat dipisahkan, sehingga ‘tanah untuk petani’ (landreform) dianggap mutlak, agar ‘tanah tidak menjadi alat penghisapan’ oleh kaum yang bukan pembela petani.
Lalu, Soekarno juga mengatakan, “revolusi Indonesia tanpa landreform adalah sama saja dengan ‘omong-besar tanpa isi’ dan ‘jangan hadapi dia (landreform) dengan Komunisto-phobi’. Kenapa? Kenapa? Kaum tani itu objektif membutuhkan tanah garapan, karena kalau tidak menggarap, tidak mengolah tanah, mereka bukan petani.”
Namun, posisi kritis petani pada tahun 1960-an itu tidak banyak berbeda dengan tahun-tahun atau periode berikutnya.
Dalam wawancaranya Ahmad Nashih Luthfi dkk. (2009:158) di Pura Pakualaman, pada 8 Januari 2008, seorang pujangga Kadipaten Paku Alam Yogyakarta, R.M. Tamdaru Tjakrawerdaya mengatakan: “…Dalam memanfaatkan tanah harus berdasarkan Al-Quran. Jadi, tanah itu untuk siapa? …Rejeki itu turun lewat udara, tanah dan di bawah tanah, bukan dalam bentuk uang. Nah ini yang bahaya sekarang! Semua menggunakan uang, [sehingga] rakyat diambil tanahnya dan ditukar dengan uang. Mereka [si petani] malah bingung, ‘uang ini untuk apa. Wong saya biasanya nyangkul’ ‘’
Kembali kepada Soekarno, yang menggambarkan bahwa “kaum tani itu wataknya ‘ngukuhi’ tanah garapan—sadumuk bathuk senyari bumi’. Kaum tani itu memang kaum yang sederhana, bersahaja, tetapi orang akan kecélé kalau mengira kaum tani itu ‘tukang nurut’ atau ‘tukang nerimo’ saja.”
Tidak aneh, jika petani Jambi bernama Suwondo pun, pada Minggu (3/2/2013) dapat berkata, “musuh kita bukan Presiden [Soesilo Bambang Yudoyono], musuh kita bukan Pak Polisi, musuh kita bukan pemerintah; tetapi musuh kita adalah yang diatasnya Presiden, dengan istilah kerennya Imperialisme atau Neo-liberalisme.” (Kabar SR28, 05 Februari 2013)
Tepatlah apa yang dinyatakan Soekarno sejak 1960-an itu, kaum petani bukan hidup dalam ketenangan, “tetapi kaum tani itu mengalami penghisapan dobel: penghisapan dari feodalisme dan penghisapan dari kapitalisme. Kalau kita mau memperbaharui Indonesia, kalau kita mau memodernisasi Indonesia, tak boleh tidak kita harus memperhatikan nasib kaum tani.”
Pertanyaannya, sesudah Soekarno tiada, siapa yang mau membela mati petani agar tercapai Indonesia negara agraris yang modern? Alih-alih membela petani, menghormatinya saja pun sulit, sejak dari pikirannya. Meminjam uraian Pramoedya Ananta Toer, bahwa “…siapapun yang bersekolah berfikir untuk menjadi birokrat. Pekerjaan di luar birokrasi dianggap hina. Pemikiran ini sangat merugikan karena tenaga yang mempunyai kemampuan produksi justru dianggap hina. Petani dianggap sebagai lapisan terendah dalam masyarakat.” (Kompas, 15/12/2004)
Sekali lagi, dalam bahasa rakyatnya, ungkapan ‘sadumuk bathuk senyari bumi ditohi pati’ yang artinya ‘Sejengkal tanah bumi akan dibela sampai mati’ dari Soekarno tadi itu, cukup menggairahkan bagi petani pada zamannya. Kurang lebih ini mirip dengan bahasa revolusionernya QS Al A’raaf [7]: 25 “Allah berfirman: ‘Di bumi itu kamu hidup dan di bumi itu kamu mati, dan dari bumi itu (pula) kamu akan dibangkitkan’ “