Kaskus

News

soiponAvatar border
TS
soipon
Badan Pengawas MA Patut Periksa Putusan Rasyid Rajasa
Mengusik Rasa Keadilan Publik
Badan Pengawas MA Patut Periksa Putusan Rasyid Rajasa

Kamis, 28/03/2013 - 08:18


JAKARTA, (PRLM).- Putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang memvonis hukuman percobaan terhadap Rasyid Rajasa terdakwa kasus kecelakaan BMW maut dinilai telah mengusik rasa keadilan publik. Mahkamah Agung melalui Badan Pengawas-nya patut memeriksa objektivitas hakim dalam memutus perkara putra bungsu Menko Perekonomian Hatta Rajasa ini.

"Hakim membuat pertimbangan objektif berdasarkan faktor memberatkan dan meringankan tetapi kemudian putusan ternyata mengusik rasa keadilan publik. Yang akan menjawab ini adalah MA yang punya instrumen pengawasan putusan peradilan," kata anggota Komisi III Martin Hutabarat kepada wartawan di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (27/3/13).

Ia menyebut salah satu pertanyaan publik yang paling mengemuka adalah apakah ada intervensi dalam penyelesaian perkara kecelakaan yang telah menyebabkan dua korban meninggal dunia. Komisi III sendiri menurutnya dapat mempertanyakan hal ini dalam rapat konsultasi dengan Mahkamah Agung.

Bagi politisi FP Gerindra yang juga punya latar belakang ilmu hukum ini, proses perdamaian di antara para pihak memang dapat mempengaruhi putusan dalam persidangan. "Namun perdamaian itu tetap tidak boleh merusak rasa keadilan masyarakat," kata Martin. (A-109/A-88)

Source


Rabu, 27 Maret 2013 , 11:06:00
GARA-GARA RASYID, NABRAK TEWAS BISA BEBAS


JAKARTA–Rasa keadilan masyarakat sedang terusik. Vonis Rasyid Rajasa, bungsu Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, jadi pelatuknya. Masyarakat masih tak menyangka jika seseorang yang didakwa lalai saat mengemudi hingga menewaskan dua orang, hanya diganjar enam bulan hukuman percobaan dengan hukuman pidana lima bulan. Artinya, Rasyid sama sekali tak mencicipi dinginnya hotel prodeo.

Sejumlah kalangan memandang ketimpangan hukum di kasus BMW maut Rasyid terlihat jelas. Itu jika dibandingkan dengan sejumlah kasus serupa yang menimpa rakyat jelata. Putusan majelis hakim dinilai lebih rendah dibanding tuntutan jaksa, yakni delapan bulan dengan masa percobaan 12 bulan. Apalagi, Rasyid tidak perlu masuk penjara bila tidak mengulang perbuatan sama dalam kurun waktu enam bulan.

“Tentu sangat mengusik rasa keadilan. Tak ada efek punishment (hukuman). Tak adil, ada nilai yang tak seimbang,” cetus pakar Psikologi Sosial Sriwulan Ferindian Falatehan kepada Radar Bogor, kemarin.

Sejak awal persidangan, Rasyid terkesan diperlakukan istimewa. Hakim menunjukan rasa segan dengan memanggil anak Hatta Rajasa itu dengan sebutan “mas”. Lazimnya hakim menyapa terdakwa dengan kata “saudara” atau “terdakwa”.

Menurut perempuan yang akrab disapa Fera, kasus yang menimpa anak dari besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) seharusnya menjadi titik balik mengembalikan kepercayaan penegakan hukum yang adil dan merata di masyarakat.

Sejak awal penanganan, kata dia, masyarakat menunggu sikap tegas dan mempertanyakan keberanian penyidik hingga hakim dalam memperlakukan Rasyid.

“Dan semua terjawab dengan tak adanya upaya penahanan serta putusan hakim kemarin. Padahal kasus ini menjadi sorotan publik. Jangan salahkan rakyat jika kepercayaan terhadap penegakan hukum terus menghilang,” ungkapnya.

Fera menambahkan, vonis hakim dan penanganan hukum terhadap kasus Rasyid, berpotensi melahirkan gejolak di kemudian hari. Menurutnya, bagaimana perlakuan kepada Rasyid bisa menjadi alasan pengajuan yurisprudensi (Putusan hakim terdahulu yang telah berkekuatan hukum tetap yang diikuti hakim lain dalam memutus perkara yang sama) pada kasus serupa. Artinya, jika ada kasus nyaris sama dengan yang menimpa Rasyid, si terdakwa bisa meminta tidak dipenjara. “Ini akan menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum di Indonesia,” tegasnya.

Anggota Komisi III DPR RI Martin Hutabarat mengatakan,sikap keluarga Rasyid yang bertanggung jawab terhadap keluarga para korban hingga terjadi perdamaian dapat menjadi pertimbangan yang meringankan hukuman. Hanya, kata dia, putusan tetap harus memenuhi rasa keadilan di masyarakat. “Nanti akan kita tanya ketika rapat dengan Mahkamah Agung bagaimana putusan bisa keluar,” pungkas politisi Partai Gerindra itu.

Satu hal lagi terasa mengganjal adalah keputusan hakim ketua Suharjono menerapkan teori restorative justice dalam kasus Rasyid. Restorative justice adalah proses dimana para pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan persoalan secara bersama-sama bagaimana menyelesaikan pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan. Atau dengan kata lain, pelaku dan korban telah melalui jalan damai.

Pakar hukum pidana Choirul Huda menyayangkan penerapan konsep itu. Menurut Choirul, restorative justice berlaku jika ada kerugian yang bisa dipulihkan atau diganti. Persoalannya, kerugian yang dilakukan Rasyid bukan saja mengakibatkan mobil korban rusak, tapi juga korban luka dan meninggal.

“Orang yang ditabrak mobilnya kemudian rusak, memang bisa dibetulkan. Tapi, nyawa tidak bisa direstorasi. Jadi, hakim tidak benar kalau memakai teori restorative justice,” ujar Choirul kepada wartawan.

Pernyataan senada dilontarkan Aktivis hukum dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Muhammad Isnur. Ia mengaku terkejut dengan penerapan konsep restorative justice dalam kasus Rasyid. “Pasalnya ini kasus besar yang sampai menyebabkan orang meninggal. Terlebih, terdakwa sudah dewasa, 22 tahun,” ujarnya kepada pewarta.

Isnur mengatakan, konsep restorative justice jarang digunakan untuk kasus-kasus besar yang menyebabkan orang meninggal. Pasalnya, restorative justice mene kankan pada unsur restorasi hubungan korban dengan pelaku.

Isnur menambahkan, restorative justice selama ini juga lebih diwacanakan untuk kasus yang melibatkan anak-anak. Tujuannya, agar anak-anak tidak menghabiskan masa kecilnya di lapas.

Anehnya, ketika untuk anak-anak saja masih wacana, restorative justice sudah digunakan untuk Rasyid yang umurnya 22 tahun.


“Apa ini tidak aneh? Kita perlu lihat ke depannya apakah pengadilan berani menggunakan hal serupa pada kasus lain,” tutupnya.

Di kasus yang nyaris sama, pelaku Livina maut, Andika Pradipta (27) yang menabrak warung pecel lele di Kemang, Jakarta Selatan dan menyebabkan dua orang tewas, justru ‘babak belur’ dituntut jaksa. Bahkan sedari Januari, Andika sudah ditahan di Mapolres Jakarta Selatan. Padahal, sama seperti Rasyid, Andika sudah memberikan ganti rugi pada korban, sesuai asas restorative justice yang disebut hakim sebagai salah satu pertimbangan di sidang Rasyid.

Bedanya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Andhika dengan Pasal 311 ayat (5) UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dengan ancaman hukuman 12 tahun penjara dengan denda paling banyak Rp24 juta. Sementara ‘mas’ Rasyid, JPU hanya berani menuntut hukuman delapan bulan penjara dengan masa percobaan selama 12 bulan penjara. Kini, masyarakat menunggu bagaimana sikap pengadilan dalam memperlakukan dan menjatuhkan vonis kepada Andika.(ric/jpnn)

Source

Andhika sudah pasti tidak akan diperlakukan sama dengan Rasyid, pertama karena beda kasus, kedua Andhika bukan keluarga pejabat.
emoticon-Matabelo
0
1.4K
9
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan