- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Mengungkap pembohongan publik yang dilakukan media lewat film!!!


TS
Tukang.cuci
Mengungkap pembohongan publik yang dilakukan media lewat film!!!
pertama-tama,perkenankan nubie membuat thread,semoga bermutu buat agan semua
dan semoga gak 


Spoiler for pertama-tama:
jangan lupa

Spoiler for ini dia!!:
Cerita Singkat Pemutaran Film Dokumenter “Di Balik Frekuensi”

’Pers dulu dibungkam, pers sekarang dibeli’, benarkah itu yang tengah terjadi di dunia media kita di era konglomerasi media pasca reformasi 14 tahun silam?
Ada apa dengan TV berita kita?
Di Balik Frekuensi adalah sebuah feature documentary yang bercerita tentang sebagian kecil dari kisah media yang ada di Indonesia, khususnya media televisi yang menggunakan sarana frekuensi. Bagaimana frekuensi publik saat ini digunakan oleh pemilik media untuk kepentingan politik dan bisnisnya yang jauh dari kepentingan yang berkenaan dengan publik, itulah sebagian dari cerita yang bisa dilihat dalam film dokumenter ini. Melalui kisah Luviana jurnalis Metro TV yang di PHK-kan serta kisah Hari Suwandi dan Harto Wiyono dua orang warga korban lumpur Lapindo yang berjalan kaki dari Porong-Sidoarjo ke Jakarta, film ini akan mengajak kita untuk menyusur apa yang terjadi di dunia media di Indonesia belakangan, setelah reformasi berjalan hampir 15 tahun
Hentikan Monopoli, Kembalikan Frekuensi!
Media Mengabdi Publik, Bukan Menghamba Pada Pemilik.
Ya, begitulah kalimat- kalimat promosi untuk acara menonton dan diskusi film “Di Balik Frekuensi”. Mungkin agak aneh ya mengapa judul film-nya di balik frekuensi. Menurut saya, di sekitar kita tidak hanya berisi berjuta- juta gas yang tak terlihat, tetapi juga banyak frekuensi yang tidak bisa dirasakan kedatangannya. Frekuensi tidak hanya dari siaran radio, tapi juga siaran televisi. Masing- masing stasiun radio dan televisi ada “kasta”-nya. Pada radio ada radio AM, ada juga radio FM yang biasanya kita dengarkan sampai sekarang. Sedangkan pada stasiun televisi ada UHF, VHF, dan sebagainya. Dari frekuensi itulah kita dapat menikmati informasi- informasi yang disiarkan oleh beberapa perusahaan media.
Daripada terlalu panjang lebar, saya akan menceritakan sedikit pendapat saya tentang film Di Balik Frekuensi itu. Film ini menceritakan tentang 2 orang pencari keadilan yang “tertindas” oleh 2 stasiun televisi swasta yang berbeda. Orang yang pertama bernama Luviana, seorang wanita yang telah bekerja selama hampir 10 tahun di stasiun televisi “biru burung”. Entah mengapa beliau pindah jabatan oleh manager stasiun televisi itu secara mendadak. Awalnya Luviana menjadi asisten produser, kemudian dipindahkan ke bagian HRD. Akibat dipindah jabatan itu, beliau tidak dipersilakan memasuki ruang redaksi.
Orang yang kedua bernama Hari Suwandi. Beliau adalah salah satu dari korban lumpur lapindo. Beliau berinisiatif untuk melakukan perjalanan panjang selama sebulan untuk menemui penguasa pemilik perusahaan lapindo. Pak Hari ini berjalan kaki dari Porong, Siduarjo menuju Jakarta. Alasan beliau melakukan hal tersebut karena prihatin perusahaan itu tidak dapat memenuhi kebutuhan korban lumpur Lapindo.
Usaha kedua tokoh itu untuk memperoleh keadilan sangat tidak mudah. Pada tokoh pertama, Luviana telah melakukan mediasi dengan pihak manajemen “biru burung”. Akan tetapi, usaha ini tidak sampai menuju titik temu. Karena beliau mempunyai serikat pekerja, tokoh ini bersama- sama melakukan orasi di depan kantor stasiun televisi itu. Semua wartawan melihat aksi tersebut. Tidak ada satupun karyawan yang memberikan komentar karena di tempat itu ada manajer. Mungkin jika karyawan tersebut memberikan komentar, manajer akan memecatkannya.
Sedangkan pada tokoh yang kedua, Pak Hari Suwandi mendapat beberapa nikmat berupa minuman dan uang selama perjalanan. Dia tidak melakukan perjalanan seorang diri. Ada beberapa rekan yang membantu dia menuju tempat itu. Saat perjalanan menuju ke sana, dia mendapatkan berita yang tidak sesuai dengan kenyataan oleh stasiun televisi “merah dunia”. Pada berita itu dikatakan bahwa terdapat seorang warga “yang mengaku”korban lumpur Lapindo …. Mendengar berita itu, dengan spontan setiap ada reporter yang menggunakan seragam identitas “merah dunia”, beliau menyuruh reporter itu untuk pergi.
Setelah melakukan aksi mediasi dan orasi dan ternyata tidak menyelesaikan masalah, Luviana mengirimkan surat pengaduan ke pemegang perusahaan stasiun televisi “biru burung” di kantor partai “restorasi Indonesia”. Karena tidak digubris sama sekali, Beliau melakukan orasi kembali di depan kantor partai tersebut. Saat orasi itu, beberapa perwakilan partai merasa terganggu dan menyuruh para orator untuk melakukan mediasi secara damai di kantor partai tersebut. Lima perwakilan orator tersebut memasuki gedung tersebut dan bertemu oleh bapak yang berinisial “SP”. Hasil mediasi tersebut menghasilkan putusan bahwa masalah Luviana ini akan diselesaikan pada hari yang telah ditentukan.
Hari yang telah ditentukan tersebut sudah tiba, tetapi acara yang dijanjikan tersebut dibatalkan karena bapak tersebut sedang berada di Singapura untuk melakukan general check in. Mungkin hal itu terjadi juga karena bapak itu tidak mengatakan “Insya Allah” dalam berjanji menentukan hari itu.
Langsung menuju akhir, kedua tokoh itu mendapatkan hal- hal berat dan tidak terduga. Luviana di-PHK oleh manajemennya dengan alasan melakukan orasi secara bersama- sama dan mencemarkan nama baik. Sedangkan pada Bapak Hari Suwandi beliau melihat seseorang yang mirip dengan dia menyesali perbuatannya dan meminta maaf kepada bapak “ARB” pada siaran langsung berita di statiun “merah dunia”.
Begitulah cerita akhir dari tokoh tersebut. Hingga sekarang, Bapak Hari Suwandi tidak tahu di mana keberadaannya, sedangkan Luviana masih ada dan hadir pada pemutaran film “Di Balik Frekuensi”

’Pers dulu dibungkam, pers sekarang dibeli’, benarkah itu yang tengah terjadi di dunia media kita di era konglomerasi media pasca reformasi 14 tahun silam?
Ada apa dengan TV berita kita?
Di Balik Frekuensi adalah sebuah feature documentary yang bercerita tentang sebagian kecil dari kisah media yang ada di Indonesia, khususnya media televisi yang menggunakan sarana frekuensi. Bagaimana frekuensi publik saat ini digunakan oleh pemilik media untuk kepentingan politik dan bisnisnya yang jauh dari kepentingan yang berkenaan dengan publik, itulah sebagian dari cerita yang bisa dilihat dalam film dokumenter ini. Melalui kisah Luviana jurnalis Metro TV yang di PHK-kan serta kisah Hari Suwandi dan Harto Wiyono dua orang warga korban lumpur Lapindo yang berjalan kaki dari Porong-Sidoarjo ke Jakarta, film ini akan mengajak kita untuk menyusur apa yang terjadi di dunia media di Indonesia belakangan, setelah reformasi berjalan hampir 15 tahun
Hentikan Monopoli, Kembalikan Frekuensi!
Media Mengabdi Publik, Bukan Menghamba Pada Pemilik.
Ya, begitulah kalimat- kalimat promosi untuk acara menonton dan diskusi film “Di Balik Frekuensi”. Mungkin agak aneh ya mengapa judul film-nya di balik frekuensi. Menurut saya, di sekitar kita tidak hanya berisi berjuta- juta gas yang tak terlihat, tetapi juga banyak frekuensi yang tidak bisa dirasakan kedatangannya. Frekuensi tidak hanya dari siaran radio, tapi juga siaran televisi. Masing- masing stasiun radio dan televisi ada “kasta”-nya. Pada radio ada radio AM, ada juga radio FM yang biasanya kita dengarkan sampai sekarang. Sedangkan pada stasiun televisi ada UHF, VHF, dan sebagainya. Dari frekuensi itulah kita dapat menikmati informasi- informasi yang disiarkan oleh beberapa perusahaan media.
Daripada terlalu panjang lebar, saya akan menceritakan sedikit pendapat saya tentang film Di Balik Frekuensi itu. Film ini menceritakan tentang 2 orang pencari keadilan yang “tertindas” oleh 2 stasiun televisi swasta yang berbeda. Orang yang pertama bernama Luviana, seorang wanita yang telah bekerja selama hampir 10 tahun di stasiun televisi “biru burung”. Entah mengapa beliau pindah jabatan oleh manager stasiun televisi itu secara mendadak. Awalnya Luviana menjadi asisten produser, kemudian dipindahkan ke bagian HRD. Akibat dipindah jabatan itu, beliau tidak dipersilakan memasuki ruang redaksi.
Orang yang kedua bernama Hari Suwandi. Beliau adalah salah satu dari korban lumpur lapindo. Beliau berinisiatif untuk melakukan perjalanan panjang selama sebulan untuk menemui penguasa pemilik perusahaan lapindo. Pak Hari ini berjalan kaki dari Porong, Siduarjo menuju Jakarta. Alasan beliau melakukan hal tersebut karena prihatin perusahaan itu tidak dapat memenuhi kebutuhan korban lumpur Lapindo.
Usaha kedua tokoh itu untuk memperoleh keadilan sangat tidak mudah. Pada tokoh pertama, Luviana telah melakukan mediasi dengan pihak manajemen “biru burung”. Akan tetapi, usaha ini tidak sampai menuju titik temu. Karena beliau mempunyai serikat pekerja, tokoh ini bersama- sama melakukan orasi di depan kantor stasiun televisi itu. Semua wartawan melihat aksi tersebut. Tidak ada satupun karyawan yang memberikan komentar karena di tempat itu ada manajer. Mungkin jika karyawan tersebut memberikan komentar, manajer akan memecatkannya.
Sedangkan pada tokoh yang kedua, Pak Hari Suwandi mendapat beberapa nikmat berupa minuman dan uang selama perjalanan. Dia tidak melakukan perjalanan seorang diri. Ada beberapa rekan yang membantu dia menuju tempat itu. Saat perjalanan menuju ke sana, dia mendapatkan berita yang tidak sesuai dengan kenyataan oleh stasiun televisi “merah dunia”. Pada berita itu dikatakan bahwa terdapat seorang warga “yang mengaku”korban lumpur Lapindo …. Mendengar berita itu, dengan spontan setiap ada reporter yang menggunakan seragam identitas “merah dunia”, beliau menyuruh reporter itu untuk pergi.
Setelah melakukan aksi mediasi dan orasi dan ternyata tidak menyelesaikan masalah, Luviana mengirimkan surat pengaduan ke pemegang perusahaan stasiun televisi “biru burung” di kantor partai “restorasi Indonesia”. Karena tidak digubris sama sekali, Beliau melakukan orasi kembali di depan kantor partai tersebut. Saat orasi itu, beberapa perwakilan partai merasa terganggu dan menyuruh para orator untuk melakukan mediasi secara damai di kantor partai tersebut. Lima perwakilan orator tersebut memasuki gedung tersebut dan bertemu oleh bapak yang berinisial “SP”. Hasil mediasi tersebut menghasilkan putusan bahwa masalah Luviana ini akan diselesaikan pada hari yang telah ditentukan.
Hari yang telah ditentukan tersebut sudah tiba, tetapi acara yang dijanjikan tersebut dibatalkan karena bapak tersebut sedang berada di Singapura untuk melakukan general check in. Mungkin hal itu terjadi juga karena bapak itu tidak mengatakan “Insya Allah” dalam berjanji menentukan hari itu.
Langsung menuju akhir, kedua tokoh itu mendapatkan hal- hal berat dan tidak terduga. Luviana di-PHK oleh manajemennya dengan alasan melakukan orasi secara bersama- sama dan mencemarkan nama baik. Sedangkan pada Bapak Hari Suwandi beliau melihat seseorang yang mirip dengan dia menyesali perbuatannya dan meminta maaf kepada bapak “ARB” pada siaran langsung berita di statiun “merah dunia”.
Begitulah cerita akhir dari tokoh tersebut. Hingga sekarang, Bapak Hari Suwandi tidak tahu di mana keberadaannya, sedangkan Luviana masih ada dan hadir pada pemutaran film “Di Balik Frekuensi”
Spoiler for akhir kata:
Jangan mau dibohongi oleh media,mari kita bersama sama berfikir kritis

Spoiler for BUKA PLEASE!:
Kaskuser yang baik selalu meninggalkan komen untuk menghargai sang pembuat thread

Spoiler for jangan lupa:
jika thread ini bermutu berikanlah segelas
buat ngobatin rasa haus


Diubah oleh Tukang.cuci 27-03-2013 19:11
0
2.7K
Kutip
20
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan