- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
TUHAN TEOLOG VS TUHAN SAINTIS
TS
prophetofwar
TUHAN TEOLOG VS TUHAN SAINTIS
Quote:
Bismillah
Konon, para saintis mendaki gunung-gunung ketidaktahuan. Mereka hampir saja menundukkan puncaknya yang tertinggi. Dan ketika sampai pada undakan batu teratas, mereka disambut oleh serombongan teolog yang sudah duduk di sana selama berabad-abad. Itulah salah satu metafora termasyhur sekaligus gambaran paling representatif yang memperlihatkan konflik berkepanjangan yang membelit para teolog dan saintis tentang Tuhan. Kedua kubu, baik teolog maupun saintis, terbelit dalam sebuah konflik yang bertolak dari perbedaan perspektif keduanya dalam memandang dan menjelaskan Tuhan.
Para teolog, bertolak dari latar belakang teologis yang ditopang oleh beberapa ayat dalam teks suci, cenderung memandang dan memahami Tuhan secara antropomorfis-simbolis. Sehingga Tuhan dalam pandangan para teolog cenderung ber-”sosok”, dengan sederet simbol dan bentuk (morphe), bahkan kecenderungan kemanusiaan (pathos). Meminjam istilah para saintis, khususnya Albert Einstein, para teolog cenderung memandang dan memahami Tuhan sebagai "Sosok Personal" dengan kehendak Maha Niscaya yang hanya menghukum dan memberi pahala bagi makhluk-Nya.
Para saintis, yang mendapat keleluasaan sejak bergulirnya Renaisans, kemudian cenderung bersikap apatis, bahkan menggusur pandangan tentang Tuhan Personal yang dibangun oleh para teolog tersebut. Dalam pandangan mereka, Tuhan yang dibayangkan sebagai "Sosok Personal" ternilai terlalu sederhana dan dangkal. Sehingga pandangan tersebut justru riskan meruntuhkan transendensi-Nya. Bahkan, pada titik ekstrem, bagi para saintis, Tuhan patut dijauhkan dari berbagai simbolisasi. Pasalnya, simbol tertinggi apa pun yang diupayakan untuk menggambarkan-Nya pasti masih merupakan konsepsi manusia yang niscaya bersifat imanen.
Bertolak dari situ, kemudian para saintis--dimulai oleh Albert Einstein--mulai menggagas Tuhannya sendiri. Terpengaruh oleh hipotesis Spinoza dalam karyanya yang berjudul Ethics, Einstein kemudian menggagas Tuhannya para saintis. Dalam pandangannya, Tuhan merupakan Kecerdasan Tertinggi yang menampakkan dirinya dalam harmoni dan keindahan alam. Dia tidaklah ber-”sosok”. Sebagaimana pandangan Spinoza, Tuhan adalah struktur pengatur kosmis yang impersonal. Dalam pandangannya, sesuatu yang oleh Injil disebut sebagai aktivitas Ilahi sejatinya adalah semacam hukum ketentuan alam. Adapun sesuatu yang disebut sebagai kehendak Tuhan tak lain adalah hukum alam. Baginya, Tuhan merupakan entitas abstrak sebagaimana diungkapkan Injil, "Janganlah kamu membuat patung berhala atas-Nya atau keserupaan dengan macam-macam benda" (Eksodus 20:4).
Konsep Tuhan impersonal ala para saintis yang di antaranya diungkapkan oleh Einstein melalui esai 1940-nya yang berjudul Science and Religion itulah yang kemudian diruntuhkan dan diserang oleh para teolog--khususnya teolog Yahudi ortodoks--dengan kekuatan dogma; kafir dan ateis. Namun, Einstein selalu menegaskan bahwa dirinya bukanlah seorang ateis. Salah satunya, ketika Rabbi Herbert S. Goldstein dari The Institutional Sinagoge di New York bertanya kepada Einstein melalui telegram "Apakah Anda percaya Tuhan?", Einstein menjawab "Saya percaya kepada Tuhannya Spinoza yang menampakkan diri-Nya dalam harmoni keteraturan atas keseluruhan yang ada. Bukan sosok Tuhan yang menyibukkan diri-Nya dengan nasib dan tindakan-tindakan manusia". Dan, membaca jawaban Einstein tersebut, Rabbi Goldstein pun menegaskan bahwa tuduhan ateis terhadap Einstein jelas-jelas tak terbukti.
Namun, menurut penulis, sejatinya konsep Tuhan ala teolog maupun konsep Tuhan ala saintis pada titik mendasar dan substansial selaras; mengakui keberadaan Yang Transenden--baik personal maupun impersonal--yang mendasari penciptaan dan harmoni alam semesta. Adapun perbedaan Tuhan--antara yang personal dan yang impersonal--sejatinya hanyalah perbedaan keduanya (para teolog maupun saintis) dalam mengekspresikannya, sesuai dengan latar belakang masing-masing. Para teolog cenderung teologis-antromorfis, sedangkan para saintis cenderung saintifis-empiris. Bahkan, jika melihat realitas bahwa keduanya, baik teolog (Kristen) maupun saintis (khususnya Einstein), sama-sama melandaskan dan melegitimasi konsep Tuhannya dengan ayat dalam teks suci Injil, dapat dipastikan juga bahwa perbedaan di antara keduanya hanyalah perbedaan hermeneutik; para teolog cenderung lebih tekstual dalam menginterpretasikan teks suci, sedangkan para saintis cenderung lebih kontekstual.
Jika merujuk pada hipotesis Einstein, yang kemudian menyimpulkan bahwa salah satu sumber utama konflik antara agama dan sains terletak pada konsep Tuhan yang personal, maka, dengan melandaskan pada keselarasan konsep mendasar Tuhannya teolog dan Tuhannya saintis tersebut, sepatutnya konflik berkepanjangan yang membelit agama dan sains selama ini relatif dapat terurai dan terbendung oleh keselarasan konsep mendasar Tuhan keduanya. Dengan harapan, nantinya akan terbentuk sebuah peradaban manusia yang lebih ideal di atas fondasi sains dan agama, bukan salah satu dari keduanya. Sebab, sebagaimana ungkapan populer Einstein, "Religion without science is blind; science without religion is lame".
Akhirnya, kembali pada metafora di atas, pada dasarnya para teolog dan saintis sejatinya sama-sama mendaki gunung ketidaktahuan dengan puncak yang sama. Hanya, keduanya melintasi jalur undakan yang berbeda. Sehingga, tak ada yang perlu dipertentangkan, apalagi dikafirkan, dari keduanya.
-Pemerhati-
Konon, para saintis mendaki gunung-gunung ketidaktahuan. Mereka hampir saja menundukkan puncaknya yang tertinggi. Dan ketika sampai pada undakan batu teratas, mereka disambut oleh serombongan teolog yang sudah duduk di sana selama berabad-abad. Itulah salah satu metafora termasyhur sekaligus gambaran paling representatif yang memperlihatkan konflik berkepanjangan yang membelit para teolog dan saintis tentang Tuhan. Kedua kubu, baik teolog maupun saintis, terbelit dalam sebuah konflik yang bertolak dari perbedaan perspektif keduanya dalam memandang dan menjelaskan Tuhan.
Para teolog, bertolak dari latar belakang teologis yang ditopang oleh beberapa ayat dalam teks suci, cenderung memandang dan memahami Tuhan secara antropomorfis-simbolis. Sehingga Tuhan dalam pandangan para teolog cenderung ber-”sosok”, dengan sederet simbol dan bentuk (morphe), bahkan kecenderungan kemanusiaan (pathos). Meminjam istilah para saintis, khususnya Albert Einstein, para teolog cenderung memandang dan memahami Tuhan sebagai "Sosok Personal" dengan kehendak Maha Niscaya yang hanya menghukum dan memberi pahala bagi makhluk-Nya.
Para saintis, yang mendapat keleluasaan sejak bergulirnya Renaisans, kemudian cenderung bersikap apatis, bahkan menggusur pandangan tentang Tuhan Personal yang dibangun oleh para teolog tersebut. Dalam pandangan mereka, Tuhan yang dibayangkan sebagai "Sosok Personal" ternilai terlalu sederhana dan dangkal. Sehingga pandangan tersebut justru riskan meruntuhkan transendensi-Nya. Bahkan, pada titik ekstrem, bagi para saintis, Tuhan patut dijauhkan dari berbagai simbolisasi. Pasalnya, simbol tertinggi apa pun yang diupayakan untuk menggambarkan-Nya pasti masih merupakan konsepsi manusia yang niscaya bersifat imanen.
Bertolak dari situ, kemudian para saintis--dimulai oleh Albert Einstein--mulai menggagas Tuhannya sendiri. Terpengaruh oleh hipotesis Spinoza dalam karyanya yang berjudul Ethics, Einstein kemudian menggagas Tuhannya para saintis. Dalam pandangannya, Tuhan merupakan Kecerdasan Tertinggi yang menampakkan dirinya dalam harmoni dan keindahan alam. Dia tidaklah ber-”sosok”. Sebagaimana pandangan Spinoza, Tuhan adalah struktur pengatur kosmis yang impersonal. Dalam pandangannya, sesuatu yang oleh Injil disebut sebagai aktivitas Ilahi sejatinya adalah semacam hukum ketentuan alam. Adapun sesuatu yang disebut sebagai kehendak Tuhan tak lain adalah hukum alam. Baginya, Tuhan merupakan entitas abstrak sebagaimana diungkapkan Injil, "Janganlah kamu membuat patung berhala atas-Nya atau keserupaan dengan macam-macam benda" (Eksodus 20:4).
Konsep Tuhan impersonal ala para saintis yang di antaranya diungkapkan oleh Einstein melalui esai 1940-nya yang berjudul Science and Religion itulah yang kemudian diruntuhkan dan diserang oleh para teolog--khususnya teolog Yahudi ortodoks--dengan kekuatan dogma; kafir dan ateis. Namun, Einstein selalu menegaskan bahwa dirinya bukanlah seorang ateis. Salah satunya, ketika Rabbi Herbert S. Goldstein dari The Institutional Sinagoge di New York bertanya kepada Einstein melalui telegram "Apakah Anda percaya Tuhan?", Einstein menjawab "Saya percaya kepada Tuhannya Spinoza yang menampakkan diri-Nya dalam harmoni keteraturan atas keseluruhan yang ada. Bukan sosok Tuhan yang menyibukkan diri-Nya dengan nasib dan tindakan-tindakan manusia". Dan, membaca jawaban Einstein tersebut, Rabbi Goldstein pun menegaskan bahwa tuduhan ateis terhadap Einstein jelas-jelas tak terbukti.
Namun, menurut penulis, sejatinya konsep Tuhan ala teolog maupun konsep Tuhan ala saintis pada titik mendasar dan substansial selaras; mengakui keberadaan Yang Transenden--baik personal maupun impersonal--yang mendasari penciptaan dan harmoni alam semesta. Adapun perbedaan Tuhan--antara yang personal dan yang impersonal--sejatinya hanyalah perbedaan keduanya (para teolog maupun saintis) dalam mengekspresikannya, sesuai dengan latar belakang masing-masing. Para teolog cenderung teologis-antromorfis, sedangkan para saintis cenderung saintifis-empiris. Bahkan, jika melihat realitas bahwa keduanya, baik teolog (Kristen) maupun saintis (khususnya Einstein), sama-sama melandaskan dan melegitimasi konsep Tuhannya dengan ayat dalam teks suci Injil, dapat dipastikan juga bahwa perbedaan di antara keduanya hanyalah perbedaan hermeneutik; para teolog cenderung lebih tekstual dalam menginterpretasikan teks suci, sedangkan para saintis cenderung lebih kontekstual.
Jika merujuk pada hipotesis Einstein, yang kemudian menyimpulkan bahwa salah satu sumber utama konflik antara agama dan sains terletak pada konsep Tuhan yang personal, maka, dengan melandaskan pada keselarasan konsep mendasar Tuhannya teolog dan Tuhannya saintis tersebut, sepatutnya konflik berkepanjangan yang membelit agama dan sains selama ini relatif dapat terurai dan terbendung oleh keselarasan konsep mendasar Tuhan keduanya. Dengan harapan, nantinya akan terbentuk sebuah peradaban manusia yang lebih ideal di atas fondasi sains dan agama, bukan salah satu dari keduanya. Sebab, sebagaimana ungkapan populer Einstein, "Religion without science is blind; science without religion is lame".
Akhirnya, kembali pada metafora di atas, pada dasarnya para teolog dan saintis sejatinya sama-sama mendaki gunung ketidaktahuan dengan puncak yang sama. Hanya, keduanya melintasi jalur undakan yang berbeda. Sehingga, tak ada yang perlu dipertentangkan, apalagi dikafirkan, dari keduanya.
-Pemerhati-
Tuhan itu personal atau impersonal
akan ditemukan jawabannya kurang dari 60 tahun waktu hidup anda
0
3.2K
Kutip
18
Balasan
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan