- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Vonis Rasyid : Restorative Justice yang Kebablasan


TS
praharsa075
Vonis Rasyid : Restorative Justice yang Kebablasan
Quote:
VONIS 5 bulan dengan masa percobaan 6 bulan terhadap Rasyid Amrullah bin Hatta Rajasa (22 tahun) memperlihatkan hakim “serba salah”. Pada satu sisi menilai bahwa dakwaan terbukti, namun pada sisi lain terlihat kesulitan untuk menerapkan hukuman yang lebih tinggi atau lebih nyata. Mengapa?
Quote:
Ada beberapa dugaan menarik. Pertama, hakim sudah diintervensi oleh kekuatan politik dari klan Hatta Rajasa (HR). Indikasi ini bisa dilihat, antara lain, begitu “segannya” hakim pada Rasyid. Di persidangan hakim sempat memanggil “mas” pada Rasyid, hal yang tidak lazim—panggilan standar hakim biasanya “saudara” atau “terdakwa”. Selain itu, tersiar khabar jika HR dan kelompoknya memang telah melakukan serangkaian lobi-lobi pada berbagai pihak. Hasilnya seperti bisa kita lihat bersama.
Kedua, hakim kesulitan menerapkan hukuman karena menguatnya penerapan hukum yang lebih progresif dalam kasus lakalantas, yakni mulai marak diterapkannya pendekatan restorative justice. Pendekatan ini mulai terlihat marak diterapkan dalam lima tahun terakhir.
Melalui pendekatan restortive justice atau keadilan restoratif, proses hukum tidak berfokus hanya untuk menghukum terdakwa. Melainkan juga untuk memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana, khususnya kasus lakalantas dan tindak pidana tanpa korban. Dalam hal ini beban perbaikan dilakukan oleh pelaku. Jadi ada keseimbangan keadilan antara pelaku dan korban.
Dalam hubungan ini, jika pelaku sudah mengaku bersalah, bersedia bertanggung jawab, mengganti kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana (lakalantas) maka terdakwa tidak harus dihukum terlalu berat. Dengan demikian keadilan di pihak pelaku dapat juga dipenuhi. Sebab, pelaku dalam lakalantas pada dasarnya tidak memiliki anasir jahat, melainkan hanya kelalaian. Dimana tidak ada orang yang mau mengalami lakalantas demikian.
Namun dalam kasus Rasyid ini penulis melihat penerapan restorative justice sudah “kebablasan”. Bukan kesimbangan keadilan antara pelaku dan korban, melainkan lebih banyak keuntungan di pihak pelaku. Pada saat yang sama tidak memenuhi rasa keadilan publik dan efek penjeraan bagi pulik. Ini penting. Karena hukum pidana bukan sekedar menghukum pelaku, namun juga harus memberi efek pertakut pada publik supaya lebih berhati-hati di jalan raya.
Melalui vonis Rasyid demikian pesannya pada publik menjadi lemah. Publik akan menilai bahwa, tidak perlu terlalu dipusingkan andai tertabrak orang di jalan raya, karena bila mengaku salah, bertanggung jawab, dan mengganti kerugian maka semua selesai. Tidak perlu menjalani hukuman di penjara. Intinya, tidak perlu terlalu berhati-hati di jalan raya.
Korban balita Raihan (14 bulan) terenggut masa depannya pasca meninggal dunia akibat lakalantas tersebut. Andai kata tidak terjadi lakalantas itu mungkin sekali Raihan menjadi manusia berguna di masa depan untuk dirinya sendiri, keluarga, bangsa dan negaranya. Nah, apakah cukup dengan menyantuni keluarga korban lantas semua selesai, dengan alasan toh Raihan tidak akan bisa hidup lagi?
Penulis masih bisa memahami jika vonisnya adalah penjara 5 bulan tanpa masa percobaan, dengan mempertimbangkan pendekatan restorative justice. Namun yang terjadi ada masa percobaan. Hakikatnya tidak ada hukuman yang riel. Sebab terpidana tak perlu menjalani hukuman di penjara, kecuali melakukan pelanggaran hukum dalam masa percobaan 6 bulan tersebut. Dalam hubungan ini, manusia normal memang dituntut hati-hati sepanjang hidup dan tak boleh melanggar peraturan, bukan saja 6 bulan melainkan seumur hidup.
Vonis demikian berbeda dengan kasus lakalantas Afriyani Susanti (29 tahun), yang menewaskan 9 orang di Tugu Tani, Jakarta, hari Minggu (22/1/2012). Afriyani divonis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat selama 15 tahun penjara ditambah 4 tahun penjara untuk kasus kepemilikan dan konsumsi narkoba. Kedua hukuman ini tanpa masa percobaan. Hal mana dengan mengingat inti perkara sama dengan kasus Rasyid, yakni menabrak orang, sekalipun pemicunya berlainan.
Perlakuan hukum yang berlainan antara orang biasa (Afriyani) dan anak orang berkuasa (Rasyid) sedikit banyak menciderai rasa keadilan masyarakat. Ini menyampaikan pesan yang tidak baik bagi kewibawaan hukum di mata masyarakat.
Ketiga, rendahnya vonis terhadap Rasyid merupakan faktor keberhasilan pembelaan baik dari pribadi Rasyid sendiri mapun dari pihak pengacaranya. Kita bisa cermati pembelaan pribadi Rasyid, terlihat kekuatan argumen dan sugesti dari pembelaan itu. Demikian pula dengan pembelaan pengacaranya.
Kedua, hakim kesulitan menerapkan hukuman karena menguatnya penerapan hukum yang lebih progresif dalam kasus lakalantas, yakni mulai marak diterapkannya pendekatan restorative justice. Pendekatan ini mulai terlihat marak diterapkan dalam lima tahun terakhir.
Melalui pendekatan restortive justice atau keadilan restoratif, proses hukum tidak berfokus hanya untuk menghukum terdakwa. Melainkan juga untuk memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana, khususnya kasus lakalantas dan tindak pidana tanpa korban. Dalam hal ini beban perbaikan dilakukan oleh pelaku. Jadi ada keseimbangan keadilan antara pelaku dan korban.
Dalam hubungan ini, jika pelaku sudah mengaku bersalah, bersedia bertanggung jawab, mengganti kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana (lakalantas) maka terdakwa tidak harus dihukum terlalu berat. Dengan demikian keadilan di pihak pelaku dapat juga dipenuhi. Sebab, pelaku dalam lakalantas pada dasarnya tidak memiliki anasir jahat, melainkan hanya kelalaian. Dimana tidak ada orang yang mau mengalami lakalantas demikian.
Namun dalam kasus Rasyid ini penulis melihat penerapan restorative justice sudah “kebablasan”. Bukan kesimbangan keadilan antara pelaku dan korban, melainkan lebih banyak keuntungan di pihak pelaku. Pada saat yang sama tidak memenuhi rasa keadilan publik dan efek penjeraan bagi pulik. Ini penting. Karena hukum pidana bukan sekedar menghukum pelaku, namun juga harus memberi efek pertakut pada publik supaya lebih berhati-hati di jalan raya.
Melalui vonis Rasyid demikian pesannya pada publik menjadi lemah. Publik akan menilai bahwa, tidak perlu terlalu dipusingkan andai tertabrak orang di jalan raya, karena bila mengaku salah, bertanggung jawab, dan mengganti kerugian maka semua selesai. Tidak perlu menjalani hukuman di penjara. Intinya, tidak perlu terlalu berhati-hati di jalan raya.
Korban balita Raihan (14 bulan) terenggut masa depannya pasca meninggal dunia akibat lakalantas tersebut. Andai kata tidak terjadi lakalantas itu mungkin sekali Raihan menjadi manusia berguna di masa depan untuk dirinya sendiri, keluarga, bangsa dan negaranya. Nah, apakah cukup dengan menyantuni keluarga korban lantas semua selesai, dengan alasan toh Raihan tidak akan bisa hidup lagi?
Penulis masih bisa memahami jika vonisnya adalah penjara 5 bulan tanpa masa percobaan, dengan mempertimbangkan pendekatan restorative justice. Namun yang terjadi ada masa percobaan. Hakikatnya tidak ada hukuman yang riel. Sebab terpidana tak perlu menjalani hukuman di penjara, kecuali melakukan pelanggaran hukum dalam masa percobaan 6 bulan tersebut. Dalam hubungan ini, manusia normal memang dituntut hati-hati sepanjang hidup dan tak boleh melanggar peraturan, bukan saja 6 bulan melainkan seumur hidup.
Vonis demikian berbeda dengan kasus lakalantas Afriyani Susanti (29 tahun), yang menewaskan 9 orang di Tugu Tani, Jakarta, hari Minggu (22/1/2012). Afriyani divonis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat selama 15 tahun penjara ditambah 4 tahun penjara untuk kasus kepemilikan dan konsumsi narkoba. Kedua hukuman ini tanpa masa percobaan. Hal mana dengan mengingat inti perkara sama dengan kasus Rasyid, yakni menabrak orang, sekalipun pemicunya berlainan.
Perlakuan hukum yang berlainan antara orang biasa (Afriyani) dan anak orang berkuasa (Rasyid) sedikit banyak menciderai rasa keadilan masyarakat. Ini menyampaikan pesan yang tidak baik bagi kewibawaan hukum di mata masyarakat.
Ketiga, rendahnya vonis terhadap Rasyid merupakan faktor keberhasilan pembelaan baik dari pribadi Rasyid sendiri mapun dari pihak pengacaranya. Kita bisa cermati pembelaan pribadi Rasyid, terlihat kekuatan argumen dan sugesti dari pembelaan itu. Demikian pula dengan pembelaan pengacaranya.
Quote:
Inti pembelaan pihak Rasyid adalah: 1. Rasyid perlu menyelesaikan studi di Inggris yang tinggal dua semester lagi dan akan terhenti jika dipenjara; 2. Rasyid tidak memiliki catatan kriminal sebelumnya; 3. Rasyid dalam keadaan segar/fit ketika kecelakaan terjadi (bukan karena kelalaian sesuai unsur pasal); 4. terlemparnya penumpang Luxio ke luar karena faktor modifikasi tempat duduk; 5. sesaat setelah kejadian Rasyid telah meminta maaf dan menyatakan bertanggung jawab; dan 6. kerugian materil semua korban telah ditanggung oleh pihak terdakwa.
Quote:
Pembelaan demikian seolah “mengunci” hakim untuk mau tak mau menuruti pembelaan itu. Sebab, hakim akan merasa “zalim” jika memenjarakan Rasyid. Sayangnya, hakim kelihatan terpaku pada situasi yang dihadapinya tanpa membuka horizon pikiran secara lebih luas. Bahwa, kepentingan-kepentingan terdakwa pada satu sisi, dan kesalahan pihak korban pada sisi lain, tidaklah bisa dikompensasikan satu sama lain. Karena keduanya tidak meliki kaitan langsung.
Coba, apa kepentingan korban dengan masa studi Rasyid di Inggris. Selain itu, korban tidak akan terlempar keluar dan meninggal jika tak ditabrak oleh mobil yang dikendari Rasyid, sekalipun bangku Luxio tersebut telah dimodifikasi, apapun teori sebab-akibat yang dipakai. Ekstrimnya, bahkan sekalipun Luxio tersebut tak pakai bangku, jika tak ditabrak maka penumpangnya tak akan terlempar ke luar. Apalagi, yang memodifikasi jok Luxio itu bukanlah korban yang tewas itu.
Hal di atas sekali lagi menegaskan, pola pikir dan pola batin hakim kelihatan tidak keluar dari “kotak”. Idealnya hakim juga melihat hukum dengan kaca mata yang lebih luas. Bahwa hukum bukan hanya untuk menyelesaikan satu kasus kongkrit yang sedang dihadapi, melainkan pula sarana penjaga ketertiban sosial. Dalam perspektif ini, vonis demikian tidak memberi efek pertakut dan penjeraan bagi publik, sehingga tidak mendorong ketertiban di jalan raya. Nyawa manusia seperti tak berharga ketika sudah di jalan raya.
Disamping itu, andai saja pola pikir hakim “di luar kotak” maka hukuman pada Rasyid akan lebih progresif dari yang ada sekarang. Misalnya, dengan menjatuhkan pidana tambahan berupa mencabut Surat Izin Mengemudi (SIM) milik Rayid sekian tahun atau seumur hidup. Di negara maju hal ini sangat dimungkinkan. Di Indonesia pun sebenarnya sudah terbuka pintu hukum bagi pencabutan SIM terhadap lakalantas maut seperti kasus Rasyid dan Afriyani.
Pasal 314 UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyebutkan, “Selain pidana penjara, kurungan, atau denda, pelaku tindak pidana lalu lintas dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan Surat Izin Mengemudi atau ganti kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana lalu lintas.”
Dalam kasus Rasyid, hakim hanya menjatuhkan pidana penjara 5 bulan dengan percobaan 6 bulan dan denda Rp12 juta. Hakim sama sekali tidak menjatuhkan pidana ganti rugi, karena itu tak terikat dengan ketentuan alternatif sebagaimana tercermin dari kata “atau” pada redaksi Pasal 314 UULLAJ tersebut di atas. Ganti rugi bukan ditetapkan hakim, melainkan inisiatif pihak keluarga terdakwa dan ini pun realisasi untuk jangka panjang belum dapat dipastikan.
Coba, apa kepentingan korban dengan masa studi Rasyid di Inggris. Selain itu, korban tidak akan terlempar keluar dan meninggal jika tak ditabrak oleh mobil yang dikendari Rasyid, sekalipun bangku Luxio tersebut telah dimodifikasi, apapun teori sebab-akibat yang dipakai. Ekstrimnya, bahkan sekalipun Luxio tersebut tak pakai bangku, jika tak ditabrak maka penumpangnya tak akan terlempar ke luar. Apalagi, yang memodifikasi jok Luxio itu bukanlah korban yang tewas itu.
Hal di atas sekali lagi menegaskan, pola pikir dan pola batin hakim kelihatan tidak keluar dari “kotak”. Idealnya hakim juga melihat hukum dengan kaca mata yang lebih luas. Bahwa hukum bukan hanya untuk menyelesaikan satu kasus kongkrit yang sedang dihadapi, melainkan pula sarana penjaga ketertiban sosial. Dalam perspektif ini, vonis demikian tidak memberi efek pertakut dan penjeraan bagi publik, sehingga tidak mendorong ketertiban di jalan raya. Nyawa manusia seperti tak berharga ketika sudah di jalan raya.
Disamping itu, andai saja pola pikir hakim “di luar kotak” maka hukuman pada Rasyid akan lebih progresif dari yang ada sekarang. Misalnya, dengan menjatuhkan pidana tambahan berupa mencabut Surat Izin Mengemudi (SIM) milik Rayid sekian tahun atau seumur hidup. Di negara maju hal ini sangat dimungkinkan. Di Indonesia pun sebenarnya sudah terbuka pintu hukum bagi pencabutan SIM terhadap lakalantas maut seperti kasus Rasyid dan Afriyani.
Pasal 314 UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyebutkan, “Selain pidana penjara, kurungan, atau denda, pelaku tindak pidana lalu lintas dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan Surat Izin Mengemudi atau ganti kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana lalu lintas.”
Dalam kasus Rasyid, hakim hanya menjatuhkan pidana penjara 5 bulan dengan percobaan 6 bulan dan denda Rp12 juta. Hakim sama sekali tidak menjatuhkan pidana ganti rugi, karena itu tak terikat dengan ketentuan alternatif sebagaimana tercermin dari kata “atau” pada redaksi Pasal 314 UULLAJ tersebut di atas. Ganti rugi bukan ditetapkan hakim, melainkan inisiatif pihak keluarga terdakwa dan ini pun realisasi untuk jangka panjang belum dapat dipastikan.
Quote:
Oleh : Sutomo Paguci
Warga, tinggal di Padang. Advokat/praktisi hukum. Politik: nonpartisan
Warga, tinggal di Padang. Advokat/praktisi hukum. Politik: nonpartisan
Sumber : Vonis Rasyid Rajasa
0
2K
Kutip
17
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan