- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
INILAH NANTINYA CENTURY JILID 2
TS
hutanam
INILAH NANTINYA CENTURY JILID 2
Rencana pemerintah menunjuk langsung PT Hutama Karya (persero) membangun dan mengelola jalan tol Trans Sumatera dan ruas-ruas jalan tol lainnya yang layak ekonomi namun tidak layak secara finansial, dinilai melanggar aturan.
Hal tersebut mengemuka dalam acara Diskusi Publik dengan tema “Pro Kontra Penunjukkan Langsung Hutama Karya Sebagai Pembangun dan Pengelola Jalan Tol” yang diadakan oleh Institute For Public Trust, Rabu di Jakarta. Hadir sebagai pembicara antara lain Direktur Pengembangan CIDES (Centre for information Development Studies) yang juga Dosen FISIP Universitas National Hilmi R Ibrahim dan Dosen FISIP UI Eman S Nasim.
“Rencana pemerintah yang akan menunjuk PT Hutama Karya (Persero) sebagai pembangun dan pengelola jalan tol di Sumatera dan ruas ruas jalan tol yang layak ekonomi namun tidak layak secara finansial, disertai dengan pemberian dukungan dana APBN sebesar Rp5 triliun, tanpa melalui proses tender, bertentangan dengan perundang undangan yang ada sekaligus melanggar tata kelola pemerintahan yang bersih dan transparan," tegas Hilmi R Ibrahim.
Pengamat kebijakan publik ini mengatakan, UU No. 38/2004 tentang Jalan, pasal 50 mengamanatkan, pengusahaan jalan tol dilakukan oleh badan usaha (baik BUMN, BUMND, maupun Badan Usaha Milik swasta). Jika pengusahaan jalan tol tidak dapat dilakukan oleh Badan Usaha, maka pemerintah dapat mengambil langkah sesuai dengan kewenangannya.
Sementara, Pasal 51 ayat 1 menyebutan,Pengusahaan jalan tol yang diberikan oleh pemerintah kepada badan usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 (4) dilakukan melalui pelelangan secara transfaran dan terbuka. Ayat 3 (tiga) Badan Usaha yang mendapatkan hak pengusahaan jalan tol berdasarkan hasil pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengadakan perjanjian pengusahaan jalan tol dengan pemerintah.
“Undang undang, mengharuskan pemerintah melakukan pelelangan secara transparan dan terbuka terlebih dahulu. Bukan lewat penunjukkan langsung,” tegas Hilmi R Ibrahim.
Dijelaskan Hilmi R Ibrahim, kewenangan pemerintah untuk ruas ruas tol yang hanya layak secara ekonomi, namun secara keseluruhan belum layak secara finansial, adalah pemerintah melakukan pendanaan, perencanaan teknis, dan melaksanakan konstruksi. Sedangkan operasional dan pemeliharaan dilakukan oleh Badan Usaha yang pemilihannya dilakukan melalui lelang.
“Berdasarkan Undang undang, pemerintah tidak diperkenankan melakukan penunjukkan badan usaha, untuk melakukan pengusahaan ruas-ruas jalan tol secara penuh. Dengan demikian, peraturan presiden yang akan dikeluarkan berkaitan dengan penunjukkan PT Hutama Karya untuk pengusahaan jalan tol tidak boleh diterbitkan karena bertentangan dengan UU No. 38/2004 tentang jalan dan PP No. 15/2005 tentang jalan,” paparnya.
Menurut Hilmi, jika penunjukkan langsung tetap dipaksakan, hal tersebut melanggar prinsip-prinsip efisiensi. “Jika pemerintah menggelontorkan uang APBN Rp5 triliun, kemudian melakukan penunjukkan langsung kepada Hutama Karya, maka pemerintah hanya akan mendapatkan jalan tol dengan panjang terntentu dengan kualitas tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah dan Hutama Karya,” katanya.
Century Jilid II
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) Eman Sulaeman Nasim berpendapat, segala hal yang bersifat penunjukkan langsung disertai rekayasa perubahan peraturan dan perundang-undangan yang ada, seperti yang akan dilakukan dengan pembangunan jalan tol, rawan dengan penyelewengan.
“Apalagi dana yang akan dgelontorkan sangat besar, Rp5 triliun. Apabila hal ini tetap dilakukan pemerintah, maka akan muncul kasus Century jilid II,” katanya
sumber : http://www.analisadaily.com/news/201...anggar-aturan/
Hal tersebut mengemuka dalam acara Diskusi Publik dengan tema “Pro Kontra Penunjukkan Langsung Hutama Karya Sebagai Pembangun dan Pengelola Jalan Tol” yang diadakan oleh Institute For Public Trust, Rabu di Jakarta. Hadir sebagai pembicara antara lain Direktur Pengembangan CIDES (Centre for information Development Studies) yang juga Dosen FISIP Universitas National Hilmi R Ibrahim dan Dosen FISIP UI Eman S Nasim.
“Rencana pemerintah yang akan menunjuk PT Hutama Karya (Persero) sebagai pembangun dan pengelola jalan tol di Sumatera dan ruas ruas jalan tol yang layak ekonomi namun tidak layak secara finansial, disertai dengan pemberian dukungan dana APBN sebesar Rp5 triliun, tanpa melalui proses tender, bertentangan dengan perundang undangan yang ada sekaligus melanggar tata kelola pemerintahan yang bersih dan transparan," tegas Hilmi R Ibrahim.
Pengamat kebijakan publik ini mengatakan, UU No. 38/2004 tentang Jalan, pasal 50 mengamanatkan, pengusahaan jalan tol dilakukan oleh badan usaha (baik BUMN, BUMND, maupun Badan Usaha Milik swasta). Jika pengusahaan jalan tol tidak dapat dilakukan oleh Badan Usaha, maka pemerintah dapat mengambil langkah sesuai dengan kewenangannya.
Sementara, Pasal 51 ayat 1 menyebutan,Pengusahaan jalan tol yang diberikan oleh pemerintah kepada badan usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 (4) dilakukan melalui pelelangan secara transfaran dan terbuka. Ayat 3 (tiga) Badan Usaha yang mendapatkan hak pengusahaan jalan tol berdasarkan hasil pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengadakan perjanjian pengusahaan jalan tol dengan pemerintah.
“Undang undang, mengharuskan pemerintah melakukan pelelangan secara transparan dan terbuka terlebih dahulu. Bukan lewat penunjukkan langsung,” tegas Hilmi R Ibrahim.
Dijelaskan Hilmi R Ibrahim, kewenangan pemerintah untuk ruas ruas tol yang hanya layak secara ekonomi, namun secara keseluruhan belum layak secara finansial, adalah pemerintah melakukan pendanaan, perencanaan teknis, dan melaksanakan konstruksi. Sedangkan operasional dan pemeliharaan dilakukan oleh Badan Usaha yang pemilihannya dilakukan melalui lelang.
“Berdasarkan Undang undang, pemerintah tidak diperkenankan melakukan penunjukkan badan usaha, untuk melakukan pengusahaan ruas-ruas jalan tol secara penuh. Dengan demikian, peraturan presiden yang akan dikeluarkan berkaitan dengan penunjukkan PT Hutama Karya untuk pengusahaan jalan tol tidak boleh diterbitkan karena bertentangan dengan UU No. 38/2004 tentang jalan dan PP No. 15/2005 tentang jalan,” paparnya.
Menurut Hilmi, jika penunjukkan langsung tetap dipaksakan, hal tersebut melanggar prinsip-prinsip efisiensi. “Jika pemerintah menggelontorkan uang APBN Rp5 triliun, kemudian melakukan penunjukkan langsung kepada Hutama Karya, maka pemerintah hanya akan mendapatkan jalan tol dengan panjang terntentu dengan kualitas tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah dan Hutama Karya,” katanya.
Century Jilid II
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) Eman Sulaeman Nasim berpendapat, segala hal yang bersifat penunjukkan langsung disertai rekayasa perubahan peraturan dan perundang-undangan yang ada, seperti yang akan dilakukan dengan pembangunan jalan tol, rawan dengan penyelewengan.
“Apalagi dana yang akan dgelontorkan sangat besar, Rp5 triliun. Apabila hal ini tetap dilakukan pemerintah, maka akan muncul kasus Century jilid II,” katanya
sumber : http://www.analisadaily.com/news/201...anggar-aturan/
0
3.2K
25
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan