NU: Santet Nyata, Perlu Diatur di KUHP
Jakarta - Pencak Silat Pagar Nusa sebagai salah satu badan otonom Nahdlatul Ulama (NU) menilai santet perlu diatur dalam Rancangan KUHP yang tengah dibahas di DPR. Ketua PP Pagar Nusa KH Abdussalam Sokhib menegaskan santet ada dan dikenal di agama Islam, serta mengakui keberadaannya bukan sebuah tindakan musyrik.
Gus Salam mengatakan sejarah keberadaan santet bahkan sudah dikenal sejak zaman Nabi Muhammad SAW.
"Saat itu Nabi disihir oleh kaum Yahudi hingga Allah SWT menurunkan ayat di surat An Nas dan Al Falaq yang mana ayat itu menjadi obat bagi Rasulullah untuk menghilangkan sihir yang mengenainya," kata Gus Salam dalam siaran pers yang diterima detikcom, Rabu (20/3/2013).
Gus Salam menyesalkan adanya pernyataan dari MUI Jawa Tengah yang menyebut mengakui keberadaan santet adalah tindakan musyrik.
"Menyebut orang lain musyrik, kafir dan lain sebagainya itu perlu kehati-hatian. Mengkafirkan seorang muslim yang sejatinya tidak kafir, bisa jadi kita sendiri yang bisa disebut kafir. Kalau santet itu ada dan diakui oleh agama, apakah percaya keberadaannya bisa dikatakan kafir?" urai Gus Salam.
Terkait rencana dimasukkannya santet ke dalam salah satu pasal di RUU KUHP, Gus Salam mengatakan hal tersebut bisa dilakukan. Layaknya ilmu kedokteran, santet ditegaskannya juga bisa dibuktikan.
"Ini hanya masalah metode keilmuan saja. Santet bisa dipelajari, dan orang yang mempelajarinya bisa dijadikan saksi untuk sebuah kasus yang dibawa ke persidangan," ujarnya.
Dalam keterangannya Gus Salam juga mengutarakan alasan yang lebih penting dari dukungannya santet masuk ke dalam salah satu pasal di RUU KUHP. Yaitu tujuan pencegahan agar kejahatan santet tak lagi marak terjadi di tengah kehidupan masyarakat.
"Kalau ada ancaman pidananya, diharapkan orang akan berfikir ulang melakukan santet. Tapi saya juga ingin mengingatkan, dibutuhkan kehati-hatian dalam pembahasan masalah ini," tandas Gus Salam.
RUU KUHP
Soal Pasal Santet, MA: Kita Bingung, Studi Bandingnya ke Mana?
Jakarta - Rencana penerapan pasal santet dalam Rancangan KUHP menuai kontroversi. Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga peradilan tertinggi juga mengaku bingung jika pasal itu jadi diterapkan. Salah satu alasannya, negara lain belum pernah ada yang menjadikan santet masuk dalam UU Pidana.
"Kalau itu jadi, kita takut implementasinya kurang optimal. Kenapa? Karena kita tidak tahu harus studi banding ke negara mana?" tutur Kabiro Hukum dan Humas MA, Ridwan Mansyur usai acara Laporan Keuangan MA Tahun 2012 di Gedung MA, Jl Medan Merdeka Utara, Rabu (13/3/2013).
Karena hal itulah, Ridwan meminta agar DPR selaku penggodok Rancangan KUHP memikirkan pasal tersebut. Pendapat ahli di bidang hukum sangat dibutuh dalam merancang pasal santet ini.
"Oleh karena itu pembahasannya harus komprehensif, harus matang sebelum ditaruh ke UU. Jadi, masukan para ahli betul-betul dibutuhkan," papar Ridwan.
Ridwan mengatakan, jika pasal santet jadi dituangkan dalam UU KUHP pihaknya belum yakin apakah UU itu bisa berjalan maksimal atau tidak. Ridwan juga belum mempunyai gambaran jika suatu hari nanti ada persidangan tentang perkara santet.
"Kalau itu jadi UU, dari segi pembuktiannya sangat riskan. Saya juga bingung tolak ukur-nya apa? Jangan sampai hakimnya juga jadi tukang santet," terang Ridwan berkelakar.
Rancangan KUHP ini diserahkan dari pemerintah ke DPR pada Rabu (6/3) lalu. Delik santet ini diatur dalam pasal 296 Rancangan KUHP yang mengancam orang yang 'mengiklankan diri' bisa menyantet dipidana paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp 300 juta.