Kaskus

Entertainment

alvings08Avatar border
TS
alvings08
“Nyepi” di Rumah Aceh TMII
Code:
Pertama2 ane mau ucapin Terimkasih banyak tuk mimin/momod
spcial thanks tuk kaskus officer yg baik budi karena uda bebasin ane dari anak banded :loveu


Kemarin, ketika bertepatan dengan hari “Nyepi” umat Hindu, sebagai warga non Hindu menjadi kesempatan bagi saya untuk memanfaatkan hari libur nasional ini berkunjung ke Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Salah satu site yang saya tertarik untuk kunjungi adalah Rumah Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam. Sebagai salah satu tempat yang menurut saya menggambarkan adat istiadat dan tingginya nilai-nilai budaya Aceh.
“Nyepi” di Rumah Aceh TMII
Bangunan komplek rumah Aceh di TMII terbilang cukup beragam di lahan lebih kurang seluas 1 hektar. Ada beberapa bangunan seperti museum sejarah Aceh, pesawat Seulawah Indonesia 1, krueng pade (lumbung padi) dan Musholla. Secara umum bangunan yang ada relatif “setengah” terawat, demikian juga dengan hal kebersihan yang menurut saya masih sangat kurang. Pengunjung yang ada pun lebih kepada melihat-lihat maupun berfoto-foto di bangunan maupun pesawat Seulawah yang bernilai sejarah yang menurut saya tidak satupun pengunjung yang memahami arti maupun makna dari bangunan dan nilai sejarah yang terkandung tersebut. Hal ini disebabkan memang tidak adanya guide ataupun informasi yang jelas mengenai bangunan-bangunan tersebut. Seperti contohnya pesawat bersejarah Dakota RI-001 Seulawah.
“Nyepi” di Rumah Aceh TMII
Dakota RI-001 Seulawah adalah pesawat angkut yang merupakan pesawat ke-2 milik Republik Indonesia. Pesawat jenis Dakota dengan nomor sayap RI-001 yang diberi nama Seulawah ini dibeli dari uang sumbangan rakyat Aceh. Pesawat Dakota RI-001 Seulawah ini adalah cikal bakal berdirinya perusahaan penerbangan niaga pertama, Indonesian Airways. Pesawat ini sangat besar jasanya dalam perjuangan awal pembentukan negara Indonesia(Dokumen pribadi). Sayangnya, tidak ada satupun papan informasi maupun keterangan apapun mengenai hal ini.

Selanjutnya saya menginjakkan kaki saya ke sebuah rumah panggung yang berisikan peninggalan-peninggalan sejarah. Bisalah ini dikatakan sebagai sebuah museum. Walaupun terus terang sangat minim daya tariknya. Saya memasuki tangga rumah panggung dan disambut oleh seorang penjaga yang meminta saya untuk melepaskan alas kaki. Hmmm, tidak ada satupun peringatan saat saya akan menaiki tangga rumah panggung untuk melepas alas kaki. Okelah, lalu saya menaiki tangga dimana saya melihat peta Aceh yang sudah sangat usang dan berdebu.
“Nyepi” di Rumah Aceh TMII
Bapak-bapak yang tadi menegur saya untuk melepas alas kaki duduk di kursinya, entah dia sebagai apa di situ karena sepanjang perjalanan saya dia hanya duduk di kursinya dan tidak berbicara apapun. Saya berjalan menyusuri lorong yang gelap, berdebu dan tak terawat.
“Nyepi” di Rumah Aceh TMII
Tidak ada informasi dan keterangan apapun yang dapat diperoleh di museum ini kecuali hanya melihat-lihat patung berpakaian adat, meriam-meriam kuno dan alat tabuh maupun pertanian. Seperti meriam di bawah ini, tidak dijelaskan kapan pembuatannya, sejarahnya, ditemukan dimana dll.
“Nyepi” di Rumah Aceh TMII
Dan yang lebih menyedihkan adalah saat saya melihat ke ruangan selanjutnya dimana terpajang foto gubernur dan Wakil gubernur Aceh, yang lama. Yaitu Gubernur Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar. Foto itu lah yang memancing pertanyaan kepada bapak yang tadi, “pak, sudah berapa kali Gubernur Zaini atau wakilnya berkunjung kesini?” bapak tadi menjawab,” belum ada, tidak tentu…tapi sedang dijadwalkan.” Lalu saya bertanya lagi, kalau Gubernur Irwandi?” bapak menjawab,” ada dua kali, yang cukup sering istrinya di Jakarta,”.Entah siapa.
“Nyepi” di Rumah Aceh TMII
Persoalan perawatan selalu kembali kepada perhatian. Kalau perhatian minim, maka demikian pulalah dengan perawatannya. Setiap ada perhatian selalu ada cinta di dalamnya, sehingga selalu ada kebaikan yang disertakan dalam perawatannya. Inilah yang terjadi dalam perawatan sejarah Aceh, yang memang tidak ada cinta juga perhatian dari yang berkewajiban merawatnya. Masyarakat Aceh sebagai pewaris nilai-nilai luhur dan sejarah keemasan Aceh harus berperan dalam memberikan “cinta” kepada sejarahnya sendiri, agar kebaikan muncul di generasi yang akan datang. Selanjutnya peranan pemerintah Aceh sebagai penyelenggara birokrasi juga sangat diperlukan, untuk setidaknya memberikan perhatian tidak hanya menjadwalkan kepada situs-situs bersejarah Aceh yang sangat memprihatinkan, tidak hanya di TMII namun juga di tempat-tempat lain. Kita semua berharap, bahwa kecintaan akan sejarah dan nilai-nilai budaya Aceh tidak tergerus oleh kemajuan zaman dan derasnya arus demokrasi politik di Aceh untuk kemudian melupakan jati dirinya sebagai ureung Aceh yang santun dan islami. Semuanya ada di sejarah Aceh.

Rafli Hasan

sumber copas
0
1.6K
8
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan