- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- Lounge Pictures
BUKIT HIJAU TINGGAL KENANGAN


TS
devitapra
BUKIT HIJAU TINGGAL KENANGAN




“Pileuleuyan…Pileuleuyan,
Pasir Nangka geus perlaya
Digupay ku langit
Ditundung ku bumi..”
Perjalanan dari Cianjur ke Sukabumi pagi itu tak lagi seceria biasanya. Padahal duapuluhlima tahun yang lalu, saya ingat perjalanan ke kota kecil itu selalu menyenangkan. Saya akan tertawa, jika almarhum kakek menunjuk pohon-pohon mahoni kokoh yang berbaris sepanjang jalan Cianjur-Sukabumi seolah sedang berlomba adu lari cepat dalam arah yang berlawanan dengan kendaraan kami. Udara sejuk. Gunung Gemuruh dan Gunung Gede menjulang di arah kanan kami, warnanya biru kehijauan dengan lapisan tipis halimun berwarna putih.
Di sebelah kanan dan kiri kami, sepanjang jalan menuju Sukabumi bukit-bukit kecil selalu menjadi pengawal perjalanan kendaraan-kendaraan yang lalu lalang. Kini sebagian raib. Di kawasan Gekbrong yang dulu kaya akan tumbuhan hijau, kini sebuah bangunan raksasa tengah dibangun. Udara terasa panas di sekitarnya. Terik matahari menembus kaca mobil memerangi hawa sejuk buatan yang terpancar dari perangkat bernama air conditioner.
“Di sini sedang dibuat Pabrik Aqua,”kata adik saya Helmy, menyebut perusahaan air mineral milik sebuah perusahaan multinasional.
“Apa yang mereka perbuat di sini? Dari mana mereka ambil airnya,”tanya saya
“Mereka memonopoli mata air Cikahuripan, yang selama ini digunakan penduduk setempat,”timpal ayah saya dari jok belakang.
Saya terdiam. Rasanya sangat sedih sekali. Bagaimana sebuah mata air tiba-tiba menjadi air mata bagi para penduduk yang selama ini menerima manfaatnya? Bukankah mata air itu karunia Tuhan untuk manusia? Inikah arti “Air, tanah dan udara adalah milik negara dan dimanfaatkan seluas-luasnya oleh negara bagi kepentingan rakyat banyak" dalam pasal 33 UUD 45? Seribu pertanyaan berkecamuk dalam otak saya.
Belum selesai dengan soal itu. Tiba-tiba ayah menunjuk ke arah bukit di sebelah kiri kami. Tuhanku, mereka melukai bukit yang dulu hijau itu. Beberapa alat berat saya lihat sedang bekerja, mengeroak tanpa ampun dinding-dinding bukit yang sudah setengah telanjang. Saya lihat ibu yang duduk di sebelah ayah: matanya nanar mengucap nama Tuhan dan terdiam. Dia memang seperti saya: selalu mudah sedih jika melihat hal-hal yang dulu pernah menjadi bagian hidup kami hari ini terabaikan begitu saja.
“Mereka melakukan itu hanya untuk mengambil tanahnya lalu dijual ke cukong-cukong yang mengirim tanah-tanah itu ke kota-kota besar untuk pembangunan gedung-gedung,”ujar ayah.
Pemandangan yang sama, saya dapatkan juga ketika sore harinya, saat sepulang dari Sukabumi, ayah mengajak kami ke Pasir Nangka. Itu nama sebuah bukit kecil yang terletak di sebelah timur rumah kami. Saya ingat saat berumur sekitar 8-9 tahun, saya sering ke bukit ini. Hanya untuk melihat elang-elang ruyuk keluar dari sarangnya di pohon-pohon besar untuk mencari mangsa atau sekadar menikmati suara gemerisik angin meningkahi nyanyian burung-burung kutilang dan siki nangka.
Kami dulu bersahabat dengan bukit ini. Mata airnya menjadi tempat kami mandi. Sungai-sungainya menjadi percikan senda gurau kami.Pohon-pohonnya menjadi tempat main petak umpet kami. Kini semua itu tinggal kenangan. "Pasir Nangka, geus perlaya," kata ayah dalam nada setengah berduka. Ya Pasir Nangka telah mati.Dibunuh oleh keserakahan atas nama pembangunan dan penciptaan lapangan kerja oleh para kapitalis tolol yang tak pernah memikirkan masa depan anak-anak dan cucu-cucunya. Pileuleuyan.Selamat tinggal, Pasir Nangka. (hendijo)




4iinch memberi reputasi
1
2.5K
10


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan