Di masa VOC berkuasa, di tatar Sunda banyak bermunculan perlawanan rakyat terhadap ketidakadilan. Salah satunya, dipelopori oleh seorang menak Cianjur bernama Haji Prawatasari.
Quote:
Ilustrasi Haji Prawatasari
Gelap masih membekap kawasan Stadion Prawatasari Joglo, Cianjur. Matahari pagi belum berani menampakan diri, saat puluhan anak muda berpakaian olahraga berduyun menuju stadion di pusat kota itu. Suara mereka terdengar sedikit ribut, mirip rombongan burung sawah yang sedang mencari makan.
Saya mendekati beberapa anak muda yang tengah bercengkarama di sudut stadion. Dari wajahnya, saya taksir usia mereka masih 17-an. “Olahraga,Kang?”kata salah satu dari mereka yang saya kenal sebagai tetangga saya. Kami lantas terlibat dalam obrolan ngalor-ngidul, mulai bicara tentang sekolah, pergaulan anak muda sekarang hingga sejarah Cianjur.
“Kalian tahu siapa yang mempunyai nama stadion ini?” tanya saya.
“Haji Prawatasari? Wah kirang terang,Kang…” kata salah seorang dari mereka. Yang lainnya hanya bisa tersenyum dengan wajah malu-malu.
Saya sebenarnya maklum kalau mereka tidak tahu. Alih-alih anak-anak muda tersebut, seorang Tjetjep Muchtar Soleh yang Bupati Cianjur saja pada mulanya tidak tahu menahu pada nama itu. ¨Hampir setiap minggu, saya berolahraga di Lapang Prawatasari, tapi saya sendiri tidak tahu siapa itu Prawatasari¨ katanya kepada para wartawan beberapa waktu yang lalu.
Lantas siapa sebenarnya Haji Prawatasari? Hingga tulisan ini dibuat, sosok menak yang lahir dan besar di daerah Jampang (sekarang sebagian masuk Kabupaten Cianjur yakni Jampang Wetan dan sebagian lagi yakni Jampang Kulon masuk ke wilayah Kabupaten Sukabumi) masih diliputi kabut misteri.
“Katanya, dia itu masih turunan dinasti raja-raja Pajajaran,”ujar Aki Rangga (78) salah seorang sesepuh yang sempat saya temui di sebuah kampung kecil di kawasan Jampang Kulon beberapa tahun yang lalu. Ada juga orang yang mempercayai,
Haji Prawatasari adalah keturunan Prabu Sancang Kuning.Itu adalah nama seorang raja terkenal dari Singacala, Panjalu (sekarang masuk Kabupaten Ciamis).
Sebagian besar sejarawan Sunda sendiri meyakini ia lahir dan dibesarkan di tanah Jampang. Kalaupun tidak dilahirkan di Jampang, setidaknya ia dibesarkan dan tumbuh menjadi seorang ulama di daerah yang terkenal sebagai pusat pelatihan militer (akademi militer) para jagabaya (prajurit Kerajaan Pajajaran) tersebut.
Waktu masih bocah Prawatasari dikenal dengan julukan Raden Alit. Bisa jadi istilah alit (dalam bahasa Sunda berarti kecil) mengacu kepada 2 arti: ia merupakan anak paling kecil (bungsu) dalam struktur keluarganya atau karena sifatnya yang selalu bergaul dengan para “kawula alit” (rakyat kecil). Sebuah kondisi yang memberinya pengaruh besar untuk menjadi seorang pemberontak terhadap segala bentuk kezaliman.
PADA masa pemerintahan Dalem Aria Wiratanu II (1686-1707) secara resmi Cianjur mengakui kekuasaan VOC (Vereenigde Oost indische Compagnie atau Maskapai Dagang Hindia Timur). Pengakuan tersebut otomatis membuat posisi tawar Cianjur secara politik jatuh di mata VOC. Sebagai organisasi kapitalis pertama dan terbesar pada zamannya, VOC sebisa mungkin mengeksploitasi daerah taklukan mereka secara maksimal. Salah satunya dengan cara memberlakukan kerja paksa (rodi) pembangunan sarana infrastruktur seperti jalan dan gedung dagang, memonopoli perdagangan kopi sekaligus memberlakukan tanam paksa untuk tumbuhan jenis tersebut kepada rakyat.
Demi menghadapi situasi itu, para menak lokal di bawah Aria Witatanu II tidak bisa berbuat apa-apa. Alih-alih menjadi pembela kepentingan rakyat, para penguasa feodal itu malah menikmati posisi mereka sebagai kaki tangan VOC. Tapi tidak serta merta semua menak lokal membebek kepada kepentingan para kapitalis bule tersebut. Selalu ada kekecualian dalam hidup. Salah satu kekecualian itu adalah Raden Alit alias Haji Prawatasari.
Haji Prawatasari menentang keras kebijakan Aria Wiratanu II yang menurutnya sama sekali tidak pro rakyat. Tidak cukup hanya menentang dengan kata-kata, ia juga memimpin pembangkangan massal rakyat untuk menolak penanaman kopi.Rupanya situasi yang penuh dengan ketidakadilan menjadikan seorang menak seperti Haji Prawata menjalankan aksi ‘bunuh diri kelas’ (istilah Marx untuk para borjuis yang menggabungkan dirinya dalam perlawanan kaum proletar). Persis seperti yang dilakukan oleh Robin Hood di Nottingham,Inggris beberapa abad sebelumnya.
Maret 1703, Haji Prawatasari memobilisasi rakyat Cianjur dan sekitarnya untuk memicu pemberontakan. Menurut Gunawan Yusuf,
sekitar 3000 massa berhasil direkrut oleh Haji Prawatasari untuk menjadi gerilyawan. Mereka lantas menyerang tangsi-tangsi tentara kompeni di pusat kota Cianjur untuk kemudian menjalankan aksi
hit and run. “Dalam berbagai aksi penyerangannya, Haji Prawatasari selalu mengacu kepada 12 taktik tempur prajurit Pajajaran yang terkenal itu,” tulis sejarawan Sunda tersebut dalam Mencari Pahlawan Lokal.
Setahun kemudian, sekitar 3 bataliyon pasukan Haji Prawatasari bergerak menyerang titik-titik kepentingan militer VOC di Bogor, Tangerang dan beberapa kawasan Priangan Timur seperti Galuh, Imbanagara, Kawasen dan daerah muara Sungai Citanduy. Sesekali mereka juga menjalankan aksi hit and run mereka di sekitar Batavia.
Kenyataan itu membuat VOC sama sekali tidak nyaman. Mereka lantas membentuk sebuah ekspedisi militer dengan kekuatan 2 bataliyon (terdiri dari serdadu lokal dan sebagian kecil bule) pimpinan Pieter Scorpoi untuk menyerang Jampang.Baru sampai Cianjur, konvoi para serdadu tersebut dicegat sekaligus “dihabisi” oleh para gerilyawan Haji Prawatasari. “ Dari 1354 serdadu, yang disisakan oleh pasukan Haji Prawata hanya 582 orang,”ungkap Gunawan Yusuf.
Maret 1704, para gerilyawan Haji Prawatasari mengepung Sumedang dan nyaris mengahancurkannya.
Hingga Agustus 1705, tercatat 3 kali pasukan' Robin Hood dari Tjiandjoer' itu berhasil mengalahkan pasukan VOC 
BANYAK kalangan menyebut kemenangan Haji Prawatasari, tidak lepas dari kepiawaiannya memainkan trik-trik intelejen.
Siapakah Ki Mas Tanu? Dalam De Geschiedenis van Buitenzorg (1887), CHF Riesz, menyebutnya sebagai orang Sunda dari Sumedang yang berhasil membentuk "pasukan pekerja" dan mendapat perintah dari Camphuijs untuk membuka Hutan Pajajaran.
Pada mulanya Ki Mas Tanu sangat loyal terhadap VOC. Sejarah mencatat, bersama seorang sersan Belanda bernama Scipio, ia memimpin Ekspedisi Ciliwung, yang menjadikan kawasan-kawan hutan sekitar bantaran sungai tersebut pemukiman penduduk. Sebut saja kawan-kawasan itu seperti Depok, Pondok Cina dan Kedung Halang.